KUMPULAN PUISI BENI SETIA
image Barred |
SEL
Beri aku sebatang rokok, sekilas
nyala korek api yang mengoyak
kelam. Sesaat sebelum segala sekarat
-- Telah lama malam menempatkan
bayangan pada tubuh, ketika nafas
dijauhi tatap, telinga meraba-raba,
dan nyeri mengisi pendar kunang-kunang
Angin di luar, kenangan di luar,
angan-angan di luar. Jadi lintah
melekat pada pintu bagai karat,
bagai lumut menyebar aroma amis merindu
Beri aku jendela, beri aku bulan penuh
dan suara kanak main injaki bayangan
beri aku siang, sengat kilau matahari
dan suara adzan sebelum lahat kalian timbun
: Katakan jam berapa sekarang? apa
masih ada antrian minyak tanah dan
beras? apa bendera kita belum koyak terbalik?
Beri aku sebatang rokok, sekilas
nyala korek api yang mengoyak
kelam. Sesaat sebelum segala sekarat
-- Telah lama malam menempatkan
bayangan pada tubuh, ketika nafas
dijauhi tatap, telinga meraba-raba,
dan nyeri mengisi pendar kunang-kunang
Angin di luar, kenangan di luar,
angan-angan di luar. Jadi lintah
melekat pada pintu bagai karat,
bagai lumut menyebar aroma amis merindu
Beri aku jendela, beri aku bulan penuh
dan suara kanak main injaki bayangan
beri aku siang, sengat kilau matahari
dan suara adzan sebelum lahat kalian timbun
: Katakan jam berapa sekarang? apa
masih ada antrian minyak tanah dan
beras? apa bendera kita belum koyak terbalik?
SELEPAS KORAN PAGI
Seperti air dan arus sungai, seperti
jeram dan gemuruh jatuh, seperti
matahar pagi dan bayang-bayang
yang dipaksa beringsut dari barat
: kita dalam waktu dan ruang berbeda
Angin di rimbun jambu, sulur putih bunga
jatuh berserakan. setapak menjadi lengang
ketika kanak terakhir memasuki gerbang
sekolah. tinggal kertas alas harum-manis
terguling-guling, terpuntir-puntir. sendiri
dan pada gelas kosong terpantul wajah sunyi
Kembali bersama Allah, kembali bersama
Allah lagi. menyimak diri mengekalkan
lelap sendirian. ”berapa jarak antara kita, kini?”
Seperti air dan arus sungai, seperti
jeram dan gemuruh jatuh, seperti
matahar pagi dan bayang-bayang
yang dipaksa beringsut dari barat
: kita dalam waktu dan ruang berbeda
Angin di rimbun jambu, sulur putih bunga
jatuh berserakan. setapak menjadi lengang
ketika kanak terakhir memasuki gerbang
sekolah. tinggal kertas alas harum-manis
terguling-guling, terpuntir-puntir. sendiri
dan pada gelas kosong terpantul wajah sunyi
Kembali bersama Allah, kembali bersama
Allah lagi. menyimak diri mengekalkan
lelap sendirian. ”berapa jarak antara kita, kini?”
PENGENALAN DIRI
Kita dijaga oleh syaraf. Tulang-tulang
dibungkus kulit yang berlapis daging
tempat ribuan urat mengalirkan darah
–jantung mengisap serta mengempa
seirama dengan paru-paru menapis udara
Kita dililit syahwat. Dibina instink akar kiara
tumbuh dengan tekad menjulang mengaling
semak-semak dan rumput dari berkah surya
jadi yang senantiasa menyala di tengah semesta
di antara planet dan astroid–reruntuk eksistensi
Sesal gerabah pecah dengan jejak embus nafas-Nya
Kita dijaga oleh syaraf. Tulang-tulang
dibungkus kulit yang berlapis daging
tempat ribuan urat mengalirkan darah
–jantung mengisap serta mengempa
seirama dengan paru-paru menapis udara
Kita dililit syahwat. Dibina instink akar kiara
tumbuh dengan tekad menjulang mengaling
semak-semak dan rumput dari berkah surya
jadi yang senantiasa menyala di tengah semesta
di antara planet dan astroid–reruntuk eksistensi
Sesal gerabah pecah dengan jejak embus nafas-Nya
DINI HARI
Bagai bangkai memendam larva
sebelum belatung muncul, bagai
daun-daun luruh dicumbu hujan
sebelum terurai humus ladang bambu
: Setapak berkabut. tanda rentangan
Jadi tiada di dekat kuburan. angin
menyapu cuat ranting meluruhkan
embun. satu-dua gemeritik dari pipimu
“Yang dari laut kembali ke lautan,”
kata burung hantu. cecurut terbirit
memasuk liang di tepi tebing di bawah waru
jalan burai. rentang kenang mengorak jejak
Bagai bangkai memendam larva
sebelum belatung muncul, bagai
daun-daun luruh dicumbu hujan
sebelum terurai humus ladang bambu
: Setapak berkabut. tanda rentangan
Jadi tiada di dekat kuburan. angin
menyapu cuat ranting meluruhkan
embun. satu-dua gemeritik dari pipimu
“Yang dari laut kembali ke lautan,”
kata burung hantu. cecurut terbirit
memasuk liang di tepi tebing di bawah waru
jalan burai. rentang kenang mengorak jejak
DONGENG SEBELUM SARAPAN
Suatu pagi aku semakin mengerti: kenapa
lelaki tua itu sekuat tenaga memampatkan
udara ke dalam selongsong ban becak tuanya
Di dingin pagi ketika hujan tidak mau nereda
dan langit cerah, saat surya gagap menandai
hijau daun dan orang-orang beku disaput lapar
Itu seperti satu momen–nun dahulu kala:
ketika yang satu meniupkan nafas ikhlas
dan kebebasan pada rongga dada ciptaan-Nya
Suatu pagi aku semakin mengerti: kenapa
lelaki tua itu sekuat tenaga memampatkan
udara ke dalam selongsong ban becak tuanya
Di dingin pagi ketika hujan tidak mau nereda
dan langit cerah, saat surya gagap menandai
hijau daun dan orang-orang beku disaput lapar
Itu seperti satu momen–nun dahulu kala:
ketika yang satu meniupkan nafas ikhlas
dan kebebasan pada rongga dada ciptaan-Nya
TAHAJUD MENURUT ALIEFYA
Antara pot mawar dan kamboja
-- di teras: terselip hp jingga
tiap dini hari berdering. bening
bagai sulur bilah kaca disapu angin
Suara apa itu, gumanmu. antara
kemarin dan kini ada kelenting
: tanda 999 sms masuk -- alpa
dibaca. amplop biru pembuka gerbang
Engkaukah itu? -- guman rindu dini hari
Antara pot mawar dan kamboja
-- di teras: terselip hp jingga
tiap dini hari berdering. bening
bagai sulur bilah kaca disapu angin
Suara apa itu, gumanmu. antara
kemarin dan kini ada kelenting
: tanda 999 sms masuk -- alpa
dibaca. amplop biru pembuka gerbang
Engkaukah itu? -- guman rindu dini hari
SOREANG, SILSILAH
Kenapa pohon-pohon membentuk canopy daun,
tudung bagi batang tegak dan hunjaman akar?
Melengkung bagai tenda café halaman dengan
menú es krim dan steak sapi, dengan lelampu
temaran dan sepasang mata yang bersipergok
–dan jari-jari berjalin bagai anyaman tas rotan
Seperti payung ibu ketika pulang dari pasar,
seperti parasut pasukan komando yang mau
menyusup ke sarang teroris, seperti selendang
di antara sejoli sehati diijabnikahkan penghulu
Tapi kenapa pohon-pohon itu merontokkan daun
sebelum batang kerontang dan akar mengering?
Kenapa pohon-pohon membentuk canopy daun,
tudung bagi batang tegak dan hunjaman akar?
Melengkung bagai tenda café halaman dengan
menú es krim dan steak sapi, dengan lelampu
temaran dan sepasang mata yang bersipergok
–dan jari-jari berjalin bagai anyaman tas rotan
Seperti payung ibu ketika pulang dari pasar,
seperti parasut pasukan komando yang mau
menyusup ke sarang teroris, seperti selendang
di antara sejoli sehati diijabnikahkan penghulu
Tapi kenapa pohon-pohon itu merontokkan daun
sebelum batang kerontang dan akar mengering?
KAMIS PETANG
Angin berkesiur lagi. bagai jutaan ibu
yang serentak bangkit dari kuburan
[tsunami] di aceh dan mencari anak mereka
Sementara para suami jadi batu karang
kadang lumut di dermaga dan lumpur
yang terpercik ombak. serentak mencari anak
Dan anak mereka? seperti setiap kanak-kanak
: riang naik ke langit. berjumpalitan di awan
dan tidak henti mengejar-ngejar matahari. riang
--Dditumbuhi sayap. tetap tidak kenal duka dunia
Angin berkesiur lagi. bagai jutaan ibu
yang serentak bangkit dari kuburan
[tsunami] di aceh dan mencari anak mereka
Sementara para suami jadi batu karang
kadang lumut di dermaga dan lumpur
yang terpercik ombak. serentak mencari anak
Dan anak mereka? seperti setiap kanak-kanak
: riang naik ke langit. berjumpalitan di awan
dan tidak henti mengejar-ngejar matahari. riang
--Dditumbuhi sayap. tetap tidak kenal duka dunia
RENOKENONGO, MEMO
Bila surat itu tak sampai–tak terbaca
karena tersangkut di meja birokrasi
: duka akan berteriak–sampai urat leher
putus. dan bila masih tak juga sampai
: duka menjadi angin–setiap saat
mengusap kening. mengingatkan
akan rumah yang lenyap ditelan lumpur
Setiap saat akan mengetuk jendela mimpi
melulurkan dampak bencana pada kantuk
Bila surat itu tak sampai–tak terbaca
karena tersangkut di meja birokrasi
: duka akan berteriak–sampai urat leher
putus. dan bila masih tak juga sampai
: duka menjadi angin–setiap saat
mengusap kening. mengingatkan
akan rumah yang lenyap ditelan lumpur
Setiap saat akan mengetuk jendela mimpi
melulurkan dampak bencana pada kantuk
NOSTALGIA
Sekali waktu kepala mengetik
dan mata mengerjap-ngerjap
ditimpa kenangan dari 43 tahun lalu
Saat tak ada chatting, tak ada monitor,
tak ada keyboard, dan meja tanpa cpu
: hanya tatapan dengan jari yang diremas
Lalu pesawahan terbuka lepas panen
dengan bubungan asap jerami basah
isyarat luka perpisahan yang amat purba
Baca: Kumpulan Puisi Afrizal MalnaSekali waktu kepala mengetik
dan mata mengerjap-ngerjap
ditimpa kenangan dari 43 tahun lalu
Saat tak ada chatting, tak ada monitor,
tak ada keyboard, dan meja tanpa cpu
: hanya tatapan dengan jari yang diremas
Lalu pesawahan terbuka lepas panen
dengan bubungan asap jerami basah
isyarat luka perpisahan yang amat purba
CARUBAN, BANJIR
Dari pundak dan punggung: hujan tumpah
gemuruh–meluncur bersama bibir jurang
Membendung. mencegat tumpahan semalam
di hulu, dan membuat arus itu menggelegak
: ”kenapa kau hambat perjalanan bergegas ini?”
Wilis yang termangu itu, wilis yang menjulang
di selatan ingin bercerita tentang pohon-pohon
ditebang–dengan melumpurkan hamparan tanah
”tak ada yang tersisa” katanya–menyimpan bah
di balik pelangi, menahan arus lalu melontarkan
semuanya dalam hitungan detik. gemuruh menghilir
Dari pundak dan punggung: hujan tumpah
gemuruh–meluncur bersama bibir jurang
Membendung. mencegat tumpahan semalam
di hulu, dan membuat arus itu menggelegak
: ”kenapa kau hambat perjalanan bergegas ini?”
Wilis yang termangu itu, wilis yang menjulang
di selatan ingin bercerita tentang pohon-pohon
ditebang–dengan melumpurkan hamparan tanah
”tak ada yang tersisa” katanya–menyimpan bah
di balik pelangi, menahan arus lalu melontarkan
semuanya dalam hitungan detik. gemuruh menghilir
ZIARAH
Sekali waktu setapak dihapus rumput
dan disembunyikan semak-perdu. kau
terlunta-lunta. tak tahu harus bagaimana
Burung-burung bercericit tajam, angin
meriapkan daun jambu, mengagetkan
10 kepompong yang mau jadi kupu-kupu
Lalu suara ricik air dari kali itu
mengisyaratkan ada yang pergi
dan tak pernah kembali. seperti rindu + cinta
Sekali waktu setapak dihapus rumput
dan disembunyikan semak-perdu. kau
terlunta-lunta. tak tahu harus bagaimana
Burung-burung bercericit tajam, angin
meriapkan daun jambu, mengagetkan
10 kepompong yang mau jadi kupu-kupu
Lalu suara ricik air dari kali itu
mengisyaratkan ada yang pergi
dan tak pernah kembali. seperti rindu + cinta
CATATAN LIBURAN
Kabut tipis menghalangi matahari
pagi. ”ini saat yang tepat untuk
tidur melungker,” kata kucing di
keset beranda–dari jauh tercium
wangi kopi dan sisa ruap keringat petani
: Pasangan kasmaran akan senantiasa malas
menyibak selimut. tapi lelaki rembang usia
itu memakai sepatu dan mulai menyusuri
setapak. mau menghabiskan dingin pagi dengan
langkah cepat dan debur jantung pekerja pabrik
Setelah riol ia memilih belok ke kiri–ke
arah setapak berbatas sawah dan ladang,
lantas pohon beringin di ladang bambu,
turunan dan deru arus sungai selepas hujan
semalam. desah sia-sia meraih bibir tebing
”Saat yang tepat untuk kembali,”
kata benalu. bungalow di tebing,
panorama kota di utara dan angin
sia-sia mengajak ke selatan. kini dingin pagi
mengabarkan usia lewat tunas tunggul randu
Kabut tipis menghalangi matahari
pagi. ”ini saat yang tepat untuk
tidur melungker,” kata kucing di
keset beranda–dari jauh tercium
wangi kopi dan sisa ruap keringat petani
: Pasangan kasmaran akan senantiasa malas
menyibak selimut. tapi lelaki rembang usia
itu memakai sepatu dan mulai menyusuri
setapak. mau menghabiskan dingin pagi dengan
langkah cepat dan debur jantung pekerja pabrik
Setelah riol ia memilih belok ke kiri–ke
arah setapak berbatas sawah dan ladang,
lantas pohon beringin di ladang bambu,
turunan dan deru arus sungai selepas hujan
semalam. desah sia-sia meraih bibir tebing
”Saat yang tepat untuk kembali,”
kata benalu. bungalow di tebing,
panorama kota di utara dan angin
sia-sia mengajak ke selatan. kini dingin pagi
mengabarkan usia lewat tunas tunggul randu
ADZAN SHUBUH
Debu dan asap
hiruk-pikuk itu
membubung memenuhi langit
Dan dini hari itu
diam-diam Allah
menurunkan embun
Ajakan jernih
rindu putih
-- ”pulanglah …” ajak-Nya
Debu dan asap
hiruk-pikuk itu
membubung memenuhi langit
Dan dini hari itu
diam-diam Allah
menurunkan embun
Ajakan jernih
rindu putih
-- ”pulanglah …” ajak-Nya
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga memberi inspirasi untuk anda. Baca juga Kumpulan Puisi Rivai Apin
KUMPULAN PUISI BENI SETIA
Reviewed by Unknown
on
6:43 AM
Rating:
No comments: