14 KUMPULAN PUISI MENARIK GOENAWAN MOHAMAD
image |
Bintang pagi: seperti sebuah sinyal
untuk berhenti. Di udara keras kata-kata berjalan, sejak malam,
dalam tidur: somnabulis pelan, di sayap mega, telanjang,
ke arah tanjung
yang kadang menghilang. Mungkin ada
sebuah prosesi, ke sebuah liang hitam,
di mana hasrat – dan apa saja yang teringat – terhimpun
seperti bangkai burung-burung
di mana tepi mungkin tak ada lagi.
Siapa yang merancangnya, apa yang mengirimnya?
Dari mana? Dari kita? Ada teluk yang tersisih
dan garis lintang yang dihilangkan, barangkali.
Sementara kau dan aku, duduk, bicara,
dalam sal panjang.
Dan aku memintamu: Sebutkan bintang pagi itu,
hentikan kata-kata itu. Beri mereka alamat!
Kau diam. Mungkin ada sejumlah arti yang tak akan hinggap
di perjalanan, atau ada makna, di rimba tuhan,
yang selamanya menunggu tanda hari:
badai, atau gelap, atau –
bukan bintang pagi.
NOTA UNTUK UMUR 49 TAHUN
Pasir dalam gelas waktu
Menghambur
Ke dalam plasmaku
Lalu di sana tersusun gurun
Dan mungkin oase
Tempat terakhir burung-burung
Pasir dalam gelas waktu
Menghambur
Ke dalam plasmaku
Lalu di sana tersusun gurun
Dan mungkin oase
Tempat terakhir burung-burung
DI MALIOBORO
--kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965--
Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vriedenburg
Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.
Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.
Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam
seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.
Mataram, katamu, Mataram...
Ingatan-ingatan pun bepercikan
--sekilas terang kemudian hilang-- seakan pijar
di kedai tukang las.
Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.
Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya
Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,
kepundan seperti sebuah radang,
dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi
Trauma, kau bilang
(mungkin juga, "trakhoma?")
membutakan kita
Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.
Siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
--kepada seseorang yang mengingatkan saya akan Iramani, yang dibunuh di tahun 1965--
Saya menemukanmu, tersenyum, acuh tak acuh
di sisi Benteng Vriedenburg
Siapa namamu, kataku, dan kau bilang:
Kenapa kau tanyakan itu.
Malam mulai diabaikan waktu.
Di luar, trotoar tertinggal.
Deret gedung bergadang
dan lampu tugur sepanjang malam
seperti jaga untuk seorang baginda
yang sebentar lagi akan mati.
Mataram, katamu, Mataram...
Ingatan-ingatan pun bepercikan
--sekilas terang kemudian hilang-- seakan pijar
di kedai tukang las.
Saya coba pertautkan kembali
potongan-potongan waktu
yang terputus dari landas.
Tapi tak ada yang akan bisa diterangkan, rasanya
Di atas bintang-bintang mabuk
oleh belerang,
kepundan seperti sebuah radang,
dan bulan dihirup hilang
kembali oleh Merapi
Trauma, kau bilang
(mungkin juga, "trakhoma?")
membutakan kita
Dan esok los-los pasar
akan menyebarkan lagi warna permainan kanak
dari kayu: boneka-boneka pengantin
merah-kuning dan rumah-rumah harapan
dalam lilin.
Siapa namamu, tanyaku.
Aku tak punya ingatan untuk itu, sahutmu.
TIGRIS
Sungai demam
Karang lekang
Pasir pecah
pelan-pelan
Gurun mengerang: Babilon!
Defile berjalan
Lalu Tuhan memberi mereka bumi
Tuhan memberi mereka nabi
Antara sejarah
dan sawah
hama
dan Hammurabi
Setelah itu, kita tak akan di sini
Kau dengarkah angin ngakak malam-malam
ketika bulan seperti
susu yang tertikam
ketika mereka memperkosa
Mesopotomia?
Seorang anak berlari, dan seperti dulu
ia pun mencari-cari
kemah di antara pohon-pohon tufah
Jangan menangis.
Belas adalah
Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata
jadi magma, bara yang diterbangkan bersama
belibis, burung-burung sungai yang akan
melempar pasukan revolusi
dengan besi dan api
"Ababil! Ababil!" mereka akan berteriak.
Bumi perang sabil.
Karena itulah, mullah, jubah ini
selalu kita cuci dalam darah di tebing
Tigris yang kalah
Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi
dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala
akan kita temui pembunuhan
yang lebih purba.
Sungai demam
Karang lekang
Pasir pecah
pelan-pelan
Gurun mengerang: Babilon!
Defile berjalan
Lalu Tuhan memberi mereka bumi
Tuhan memberi mereka nabi
Antara sejarah
dan sawah
hama
dan Hammurabi
Setelah itu, kita tak akan di sini
Kau dengarkah angin ngakak malam-malam
ketika bulan seperti
susu yang tertikam
ketika mereka memperkosa
Mesopotomia?
Seorang anak berlari, dan seperti dulu
ia pun mencari-cari
kemah di antara pohon-pohon tufah
Jangan menangis.
Belas adalah
Iblis karena Tuhan telah menitahkan airmata
jadi magma, bara yang diterbangkan bersama
belibis, burung-burung sungai yang akan
melempar pasukan revolusi
dengan besi dan api
"Ababil! Ababil!" mereka akan berteriak.
Bumi perang sabil.
Karena itulah, mullah, jubah ini
selalu kita cuci dalam darah di tebing
Tigris yang kalah
Dari Najaf ada gurun. Kita sebrangi
dengan geram dan racun. Dan tiba di Kerbala
akan kita temui pembunuhan
yang lebih purba.
30 TAHUN KEMUDIAN
30 tahun kemudian mereka bertemu di restoran dekat danau.
Hujan dan kenangan berhimpitan, berbareng,
seperti lalulintas yang langgeng.
Terkadang badai meracau,
langit kian dekat, dan dari tebing dingin berjalin dengan basah
pucuk andilau
ketika mereka duduk berlima,
dengan tuak putih tua,
bertukar cerita tentang lelucon angka tahun
dan rasa asing pensiun,
mengeluhkan anak yang pergi dari tiap bandar
dan percakapan-percakapan sebentar.
Terkadang mereka seakan-akan dengarkan teriak trompet dari
kanal seperti jerit malaikat yang kesal
dan mereka tertawa. Sehabis sloki ketiga,
waktu pun berubah seperti pergantian prisma:
masa lalu adalah huruf yang ditinggalkan musim pada
marmar makam Cina.
Kerakap memberinya warna. Kematian memberinya kata.
Dan pada sloki ke-4 dan ke-5 mereka dengarkan angin susul
menyusul, seakan seorang orang tua bersiul
dengan suara kisut
ke bulan yang berlumut.
Pada sloki ke-6 mereka menunggu malam singgah dalam
topeng Habsi. Dan tuhan dalam baju besi.
30 tahun kemudian mereka tak akan bertemu lagi di sini.
30 tahun kemudian mereka bertemu di restoran dekat danau.
Hujan dan kenangan berhimpitan, berbareng,
seperti lalulintas yang langgeng.
Terkadang badai meracau,
langit kian dekat, dan dari tebing dingin berjalin dengan basah
pucuk andilau
ketika mereka duduk berlima,
dengan tuak putih tua,
bertukar cerita tentang lelucon angka tahun
dan rasa asing pensiun,
mengeluhkan anak yang pergi dari tiap bandar
dan percakapan-percakapan sebentar.
Terkadang mereka seakan-akan dengarkan teriak trompet dari
kanal seperti jerit malaikat yang kesal
dan mereka tertawa. Sehabis sloki ketiga,
waktu pun berubah seperti pergantian prisma:
masa lalu adalah huruf yang ditinggalkan musim pada
marmar makam Cina.
Kerakap memberinya warna. Kematian memberinya kata.
Dan pada sloki ke-4 dan ke-5 mereka dengarkan angin susul
menyusul, seakan seorang orang tua bersiul
dengan suara kisut
ke bulan yang berlumut.
Pada sloki ke-6 mereka menunggu malam singgah dalam
topeng Habsi. Dan tuhan dalam baju besi.
30 tahun kemudian mereka tak akan bertemu lagi di sini.
DALAM KEMAH
Sudah sejak awal kita berterus terang dengan sebuah teori: cinta adalah potongan-
potongan pendek interupsi – lima menit, tujuh menit, empat … Dan aku akan
menatapmu dalam tidur.
Apakah yang bisa bikin kau lelap setelah percakapan? Mungkin sebenarnya kita
terlena oleh suara hujan di terpal kemah. Di ruang yang melindungi kita untuk
sementara ini aku, optimis, selalu menyangka grimis sebenarnya ingin menghibur,
hanya nyala tak ada lagi: kini petromaks seakan-akan terbenam. Jam jadi terasa kecil.
Dan ketika hujan berhenti, malam memanjang karena pohon-pohon berbunyi.
Kemudian kau mimpi. Kulihat seorang lelaki keluar dari dingin dan asap napasmu:
kulihat sosok tubuhku, berjalan ke arah hutan. Aku tak bisa memanggilnya.
Aku dekap kamu.
Setelah itu bau kecut rumput, harum marijuana, pelan-pelan meninggalkan kita.
Sudah sejak awal kita berterus terang dengan sebuah teori: cinta adalah potongan-
potongan pendek interupsi – lima menit, tujuh menit, empat … Dan aku akan
menatapmu dalam tidur.
Apakah yang bisa bikin kau lelap setelah percakapan? Mungkin sebenarnya kita
terlena oleh suara hujan di terpal kemah. Di ruang yang melindungi kita untuk
sementara ini aku, optimis, selalu menyangka grimis sebenarnya ingin menghibur,
hanya nyala tak ada lagi: kini petromaks seakan-akan terbenam. Jam jadi terasa kecil.
Dan ketika hujan berhenti, malam memanjang karena pohon-pohon berbunyi.
Kemudian kau mimpi. Kulihat seorang lelaki keluar dari dingin dan asap napasmu:
kulihat sosok tubuhku, berjalan ke arah hutan. Aku tak bisa memanggilnya.
Aku dekap kamu.
Setelah itu bau kecut rumput, harum marijuana, pelan-pelan meninggalkan kita.
SAJAK SELATAN
Buat Y.Y
Ia lepas topi kepada burung-burung
dan sore hari orang Samarkand
Ia lihat matahari menitipkan parasnya pada pualam
Asar lewat, sekelebat
asar seorang komisar
ketika bayang dan cahaya yang silau
saling memburu
di madrasah biru
Ia dengar surah
seperti Tuhan belum pernah
dikalahkan
seperti desau kapas
dari ladang pedalaman
Tapi di dalam balai ada orang nyanyi, kisah caravan
dan sajak orang Bukhara
yang mereka bacakan, mereka bacakan, sampai
Lenin-Lenin plastik
leleh di aula
dan orang terdiam
dalam perjamuan
Barangkali ia dengar juga bunyi esok
yang lain lagi?
Bunyi waktu, yang seperti pisau,
bunyi mimpi yang robek,
bunyi malam yang kadang sampai
di langit Uzbek?
Ia lihat burung-burung bertambah hitam,
hinggap,
seperti tirai.
Di malam itu ditulisnya surat
(meski ia tak tahu di mana kau, Yevgeny),
“Di Samarkand sesuatu terlindung di kedap daun,
aku melihatnya
di pohon-pohon lampai.”
Buat Y.Y
Ia lepas topi kepada burung-burung
dan sore hari orang Samarkand
Ia lihat matahari menitipkan parasnya pada pualam
Asar lewat, sekelebat
asar seorang komisar
ketika bayang dan cahaya yang silau
saling memburu
di madrasah biru
Ia dengar surah
seperti Tuhan belum pernah
dikalahkan
seperti desau kapas
dari ladang pedalaman
Tapi di dalam balai ada orang nyanyi, kisah caravan
dan sajak orang Bukhara
yang mereka bacakan, mereka bacakan, sampai
Lenin-Lenin plastik
leleh di aula
dan orang terdiam
dalam perjamuan
Barangkali ia dengar juga bunyi esok
yang lain lagi?
Bunyi waktu, yang seperti pisau,
bunyi mimpi yang robek,
bunyi malam yang kadang sampai
di langit Uzbek?
Ia lihat burung-burung bertambah hitam,
hinggap,
seperti tirai.
Di malam itu ditulisnya surat
(meski ia tak tahu di mana kau, Yevgeny),
“Di Samarkand sesuatu terlindung di kedap daun,
aku melihatnya
di pohon-pohon lampai.”
DI DEPAN SANCHO PANZA
Di depan Sancho Panza yang lelah,
seorang perempuan bercerita tentang sajak
yang disisipkan ke dalam hujan
yang tak tidur.
Tentu saja Sancho tak mengerti
bagaimana sajak disisipkan
ke dalam hujan, tapi ia mengerti
cinta yang sungguh. Dipegangnya tangan
perempuan itu dan berkata, “Jangan cemas.”
Memang sebenarnya perempuan itu cemas:
Seseorang mencintainya dan ia tak tahu
untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang
dan laki-laki itu tetap menuliskannya, sementara hujan
hanya datang kadang-kadang. Malah guruh lebih sering,
seperti brisik kereta langit yang menenggelamkan
antusiasme yang tak lazim. Atau logat yang asing.
Atau angan-angan yang memabukkan.
“Semua ini jadi lucu,” kata perempuan itu.
Dan Sancho pun sedih. Sebab ia pernah melihat seorang kurus,
tua dan majenun, yang memungut sajak yang lumat
dalam hujan, yang percaya telah mendengar sedu-sedan
dan cinta dari cuaca, meskipun yang ia dengar
adalah sesuatu yang panjang dan sabar
seperti gerimis.
Di depan Sancho Panza yang lelah,
seorang perempuan bercerita tentang sajak
yang disisipkan ke dalam hujan
yang tak tidur.
Tentu saja Sancho tak mengerti
bagaimana sajak disisipkan
ke dalam hujan, tapi ia mengerti
cinta yang sungguh. Dipegangnya tangan
perempuan itu dan berkata, “Jangan cemas.”
Memang sebenarnya perempuan itu cemas:
Seseorang mencintainya dan ia tak tahu
untuk apa. Ia tak tahu kenapa sajak-sajak tetap terbuang
dan laki-laki itu tetap menuliskannya, sementara hujan
hanya datang kadang-kadang. Malah guruh lebih sering,
seperti brisik kereta langit yang menenggelamkan
antusiasme yang tak lazim. Atau logat yang asing.
Atau angan-angan yang memabukkan.
“Semua ini jadi lucu,” kata perempuan itu.
Dan Sancho pun sedih. Sebab ia pernah melihat seorang kurus,
tua dan majenun, yang memungut sajak yang lumat
dalam hujan, yang percaya telah mendengar sedu-sedan
dan cinta dari cuaca, meskipun yang ia dengar
adalah sesuatu yang panjang dan sabar
seperti gerimis.
DI PASAR LOAK
Di pasar loak jejak timpa menimpa, menghapus kau dan aku,
mengingat kau mengingat aku
Pengalaman adalah karpet tua, anakku, pompa-pompa,
gambar burak, gambar yesus, kamus-kamus, gaun malam dan
hordin panjang, di mana dulu ada sebuah rumah, di mana kita
tak ada, kita tak punya, di mana seekor parkit mungkin
mencoba bernyanyi, mencoba menyanyi, dan seseorang tutup
pintu, dengar, papa, aku tak kembali, tak akan kembali
Kenangan adalah seperti manik-manik yang ditawarkan peniup
harmonika itu: butir-butir putih yang teruntai, tak berkait,
sebuah montase, sederet huruf morse, Selamatkan Kami,
Selamatkan Kami, Kami Tenggelam, percintaan yang tak ingin
jadi hantu dalam mimpi malam.
Perpisahan adalah sebuah isyarat kematian, orang tua penjual
kaca itu berkata dan bertanya, siapa kita sebenarnya, mengapa
Di pasar loak jejak timpa menimpa, menghapus kau dan aku,
mengingat kau mengingat aku
Pengalaman adalah karpet tua, anakku, pompa-pompa,
gambar burak, gambar yesus, kamus-kamus, gaun malam dan
hordin panjang, di mana dulu ada sebuah rumah, di mana kita
tak ada, kita tak punya, di mana seekor parkit mungkin
mencoba bernyanyi, mencoba menyanyi, dan seseorang tutup
pintu, dengar, papa, aku tak kembali, tak akan kembali
Kenangan adalah seperti manik-manik yang ditawarkan peniup
harmonika itu: butir-butir putih yang teruntai, tak berkait,
sebuah montase, sederet huruf morse, Selamatkan Kami,
Selamatkan Kami, Kami Tenggelam, percintaan yang tak ingin
jadi hantu dalam mimpi malam.
Perpisahan adalah sebuah isyarat kematian, orang tua penjual
kaca itu berkata dan bertanya, siapa kita sebenarnya, mengapa
Baca: Kumpulan Puisi Bernard Batubara
TELESKOP
Ia memandangimu dari jauh: sebuah teleskop tua, yang tak akan kelihatan,
seseorang yang sedikit sok-tahu tapi maklum: pejalan cahaya yang sebenarnya takut
menyentuhmu.
Itu sebabnya, nak, pada suatu sore, ia bertekad pergi ke pohon tumbang itu, tempat
kau pada suatu hari duduk. Tak ada jejak di sana. Mungkin tubuhmu selamanya tak
menginjak bumi: seperti capung dengan mata yang tak tampak dan sayap yang
bergetar berulang kali.
Ia tahu tanganmu menanting jam. Berkeringat. Tapi ia tak akan berani menghambur
ke depan menawarkan akhir yang lain. Ia hanya akan kembali memandangimu dari
jarak yang tak tentu. Merasa makin tua, merasa makin jauh, dalam ruang yang
memuai, meskipun ia tetap sisipkan teleskop itu
di saku jaketnya. Sebenarnya sejak tahun itu, sejak ia melihatmu terdiam di depan
pintu itu, ia sudah ingin berkata: Lihat, aku tak menguntitmu. Tapi ia tak pernah yakin
kepada siapa ia berkata. Ia cuma yakin suaranya tak mengejutkan. Hanya jam itu, di
tanganmu, yang selamanya mengejutkan.
Ia memandangimu dari jauh: sebuah teleskop tua, yang tak akan kelihatan,
seseorang yang sedikit sok-tahu tapi maklum: pejalan cahaya yang sebenarnya takut
menyentuhmu.
Itu sebabnya, nak, pada suatu sore, ia bertekad pergi ke pohon tumbang itu, tempat
kau pada suatu hari duduk. Tak ada jejak di sana. Mungkin tubuhmu selamanya tak
menginjak bumi: seperti capung dengan mata yang tak tampak dan sayap yang
bergetar berulang kali.
Ia tahu tanganmu menanting jam. Berkeringat. Tapi ia tak akan berani menghambur
ke depan menawarkan akhir yang lain. Ia hanya akan kembali memandangimu dari
jarak yang tak tentu. Merasa makin tua, merasa makin jauh, dalam ruang yang
memuai, meskipun ia tetap sisipkan teleskop itu
di saku jaketnya. Sebenarnya sejak tahun itu, sejak ia melihatmu terdiam di depan
pintu itu, ia sudah ingin berkata: Lihat, aku tak menguntitmu. Tapi ia tak pernah yakin
kepada siapa ia berkata. Ia cuma yakin suaranya tak mengejutkan. Hanya jam itu, di
tanganmu, yang selamanya mengejutkan.
BERLIN, 1993
Berlin berteriak
dalam bengis sirene
Kau tersentak:
“Jangan tinggalkan aku di Friedrichstrasse”
Kucium pelupukmu, kelopak yang gelap
di kaca etalase:
Kenapa luka itu tak pernah nampak
seusai berita dan parade?
Pohon-pohon linden sebelum Mei
seperti rangka, seperti berdiri,
nyeri, di kamp tahun ‘42
pagi hari.
Kulihat rautmu yang turki,
rambutmu yahudi
Berlinmu yang lain,
setelah aku pergi
Aku pun bertanya, bisakah kita berlindung
pada senja yang tak memihak,
pada malam sejenak,
dan metamorfose?
Berlin hanya berteriak
hanya berteriak
dalam serak
dan bengis sirine.
Berlin berteriak
dalam bengis sirene
Kau tersentak:
“Jangan tinggalkan aku di Friedrichstrasse”
Kucium pelupukmu, kelopak yang gelap
di kaca etalase:
Kenapa luka itu tak pernah nampak
seusai berita dan parade?
Pohon-pohon linden sebelum Mei
seperti rangka, seperti berdiri,
nyeri, di kamp tahun ‘42
pagi hari.
Kulihat rautmu yang turki,
rambutmu yahudi
Berlinmu yang lain,
setelah aku pergi
Aku pun bertanya, bisakah kita berlindung
pada senja yang tak memihak,
pada malam sejenak,
dan metamorfose?
Berlin hanya berteriak
hanya berteriak
dalam serak
dan bengis sirine.
UNTUK FRIDA KAHLO
Frida Kahlo menulis dalam catatan hariannya: ”Hidup yang
diam, pemberi dunia, apa yang paling penting ialah tiada
harap.” Di sana disebutnya juga fajar, pagi, rekan-rekan merah,
ruang besar biru, daun-daun di tangan, burung yang gaduh …
Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi: kesederhanaan
lagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada tinta, darah dalam
dawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda, apa petanda?
Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang nampak adalah
lelaki, tamu-tamu, yang berdatangan, melalui beranda Rumah
Biru, menyapanya, duduk-duduk, minum teh, mencicipi kue,
dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi tentang tuhan
yang mereka ingkari dan kedatangan Trotsky
Mereka berkata, ‘Tidak, Frida, kau tak apa-apa’
Tapi di alis itu …
Frida Kahlo menulis dalam catatan hariannya: ”Hidup yang
diam, pemberi dunia, apa yang paling penting ialah tiada
harap.” Di sana disebutnya juga fajar, pagi, rekan-rekan merah,
ruang besar biru, daun-daun di tangan, burung yang gaduh …
Apakah yang kita mengerti sebenarnya, tadi: kesederhanaan
lagu tentang nasib, atau arus tak sadar pada tinta, darah dalam
dawat, deretan kata-kata murung? Apa penanda, apa petanda?
Frida tak pernah menjawab. Berhari-hari yang nampak adalah
lelaki, tamu-tamu, yang berdatangan, melalui beranda Rumah
Biru, menyapanya, duduk-duduk, minum teh, mencicipi kue,
dan berceloteh dan melucu, sambil berdiskusi tentang tuhan
yang mereka ingkari dan kedatangan Trotsky
Mereka berkata, ‘Tidak, Frida, kau tak apa-apa’
Tapi di alis itu …
PADA SEBUAH PULAU
Badai hanya pulang gema, di sini, seperti ratap pulau
dari karang-karang kambria
yang gelap.
Pantai mengangakan rahang, menelan waktu
yang datang bertubuhkan
gelombang
Tanah melulur
ekulaptus.
Sejarah menembus.
Pada batukapur tua ia menyusun sember itu – yang akhirnya tak ada
Beratus tahun kemudian ia pun kembali,
jejak, kerak, sisa, tanda: fana, barangkali tak fana
Badai hanya pulang gema, di sini, seperti ratap pulau
dari karang-karang kambria
yang gelap.
Pantai mengangakan rahang, menelan waktu
yang datang bertubuhkan
gelombang
Tanah melulur
ekulaptus.
Sejarah menembus.
Pada batukapur tua ia menyusun sember itu – yang akhirnya tak ada
Beratus tahun kemudian ia pun kembali,
jejak, kerak, sisa, tanda: fana, barangkali tak fana
MISALKAN KITA DI SARAJEVO
Buat B.B dan kawan-kawan
Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan mengetuk
dengan kanon sepucuk
dan bertanya benarkah ke Sarajevo
ada secelah pintu masuk.
Misalkan kita di Sarajevo: tembok itu,
dengan luka-luka peluru,
akan bilang “tidak”,
selepas galau.
Tapi kau tahu musim, di Sarajevo
akan mematahkan engsel,
dingin akan menciutkan tangan,
dan listrik lindap.
Orang-orang akan kembali
dari kedai minum,
dan memandangi hangus
di loteng-loteng.
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya
di Sarajevo: sebentang samun,
tanah yang redam?
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya?
Keyakinan dipasak
di atas mihrab dan lumbung gandung
dan tak ada lagi
orang membaca.
Hanya mungkin pada kita
masih ada seutas tilas,
yang tak terseka. Atau barangkali
sebentuk asli katahati?
Misalkan, misalkan, di Sarajevo: bulan
tak meninggalkan replika,
di dekat menara, tinggal warna putih
yang hilang dari azan
Misalkan angin juga kehilangan
perangai
di pucuk-pucuk poplar kuning
dan taman yang tak bergerak.
Pasti nenek peri, dengan suara kanker di perut,
akan berkata,
“Tinggal cobaan dalam puasa
di padang gurun, di mana kau tak bisa.”
Mengapa kita di Sarajevo?
Mengapa gerangan kita pertahankan kota ini?
Seperti dalam sebuah kisah film,
Sarajevo tak bisa takluk.
Kita tak bisa takluk
Tapi keluar dari gedung rapat umum,
orang-orang sipil
akan mengenakan baju mereka yang terbaik,
mencium pipi para isteri, ramah tapi gugup,
meskipun mereka, di dalam saku,
menyembunyikan teks yang gaib itu:
“Bukan roti, melainkan firman.”
Batu-batu di trotoar ini
memang tak akan bisa jadi roti
cahaya salju di kejauhan itu
juga tak akan jadi firman
Tapi misalkan kita di Sarajevo
Di dekat museum itu kita juga akan takzim
membersihkan diri: Biarkan aku mati
dalam warna kirmizi.”
Lalu aku pergi
kau pergi, berangkat, tak memucat
seperti awal pagi
di warna kirmizi
Buat B.B dan kawan-kawan
Misalkan kita di Sarajevo; mereka akan mengetuk
dengan kanon sepucuk
dan bertanya benarkah ke Sarajevo
ada secelah pintu masuk.
Misalkan kita di Sarajevo: tembok itu,
dengan luka-luka peluru,
akan bilang “tidak”,
selepas galau.
Tapi kau tahu musim, di Sarajevo
akan mematahkan engsel,
dingin akan menciutkan tangan,
dan listrik lindap.
Orang-orang akan kembali
dari kedai minum,
dan memandangi hangus
di loteng-loteng.
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya
di Sarajevo: sebentang samun,
tanah yang redam?
Apakah yang mereka saksikan sebenarnya?
Keyakinan dipasak
di atas mihrab dan lumbung gandung
dan tak ada lagi
orang membaca.
Hanya mungkin pada kita
masih ada seutas tilas,
yang tak terseka. Atau barangkali
sebentuk asli katahati?
Misalkan, misalkan, di Sarajevo: bulan
tak meninggalkan replika,
di dekat menara, tinggal warna putih
yang hilang dari azan
Misalkan angin juga kehilangan
perangai
di pucuk-pucuk poplar kuning
dan taman yang tak bergerak.
Pasti nenek peri, dengan suara kanker di perut,
akan berkata,
“Tinggal cobaan dalam puasa
di padang gurun, di mana kau tak bisa.”
Mengapa kita di Sarajevo?
Mengapa gerangan kita pertahankan kota ini?
Seperti dalam sebuah kisah film,
Sarajevo tak bisa takluk.
Kita tak bisa takluk
Tapi keluar dari gedung rapat umum,
orang-orang sipil
akan mengenakan baju mereka yang terbaik,
mencium pipi para isteri, ramah tapi gugup,
meskipun mereka, di dalam saku,
menyembunyikan teks yang gaib itu:
“Bukan roti, melainkan firman.”
Batu-batu di trotoar ini
memang tak akan bisa jadi roti
cahaya salju di kejauhan itu
juga tak akan jadi firman
Tapi misalkan kita di Sarajevo
Di dekat museum itu kita juga akan takzim
membersihkan diri: Biarkan aku mati
dalam warna kirmizi.”
Lalu aku pergi
kau pergi, berangkat, tak memucat
seperti awal pagi
di warna kirmizi
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga mengispirasi anda. Baca juga puisi Pramoedya Ananta Toer
14 KUMPULAN PUISI MENARIK GOENAWAN MOHAMAD
Reviewed by Unknown
on
7:14 AM
Rating:
No comments: