KUMPULAN PUISI OLEH D. ZAWAWI IMRON
image Macbeth |
MADURA AKULAH DARAHMU
Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling diatas duri hati tak kan luka
meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
Dari aku
anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
bahwa aku sapi karapan
yang lahir dari senyum dan airmatamu
Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
Sisi ini
Perkenankan aku berseru:
-madura, engkaulah tangisku
Bila musim labuh hujan tak turun
kubasahi kau dengan denyutku
HANYA SEUTAS PAMOR BADIK
Dalam tubuhku kau nyalakan dahaga hijau
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati malam
Bintang-bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika kau tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata aku bukan pengembara
Kata-kata dan peristiwa
Telah lebur pada makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari
Dalam tubuhku kau nyalakan dahaga hijau
Darah terbakar nyaris ke nyawa
Kucari hutan
Sambil berdayung di hati malam
Bintang-bintang mengantuk
Menunggu giliran matahari
Ketika kau tegak merintis pagi
Selaku musafir kucoba mengerti:
Ternyata aku bukan pengembara
Kata-kata dan peristiwa
Telah lebur pada makna
Dalam aroma rimba dan waktu
Hanya seutas pamor badik, tapi
Tak kunjung selesai dilayari
TEMBANG DAHAGA
airmata langit yang menetes perlahan
menghindar dari mulut bunga
dengan setia dijatuhinya sebongkah batu
hingga tertulis prasasti
sejak kapan dimulai gelisah
lantaran apa bunga mengidap rasa dahaga
sedang cuaca tak pemah dusta ?
bunga meludah dan terus meludah
sampai langit sempurna merahnya
bulan terlentang kematian warna
tak kuat lagi memukul dahaga
ia menolak tetek cucunya
airmata langit yang menetes perlahan
menghindar dari mulut bunga
dengan setia dijatuhinya sebongkah batu
hingga tertulis prasasti
sejak kapan dimulai gelisah
lantaran apa bunga mengidap rasa dahaga
sedang cuaca tak pemah dusta ?
bunga meludah dan terus meludah
sampai langit sempurna merahnya
bulan terlentang kematian warna
tak kuat lagi memukul dahaga
ia menolak tetek cucunya
SEBUAH ISTANA
Tepi jalan antara sorga dan neraka
Kumasuki sebuah istana
Tempat sejarah diperam
Menjadi darah dan gelombang
Lewat jendela sebelah kiri
Kulihat matahari menjulurkan lidah
Seperti anjing lapar
Aku makin tak’ ngerti
Mengapa orang-orang memukul-mukul perutnya
Jauh di batas gaib dan nyata
Kabut harimau menyembah cahaya
Kutarik napas dalam-dalam
Dan kupejamkan mata
Alangkah kecil dunia!
Tepi jalan antara sorga dan neraka
Kumasuki sebuah istana
Tempat sejarah diperam
Menjadi darah dan gelombang
Lewat jendela sebelah kiri
Kulihat matahari menjulurkan lidah
Seperti anjing lapar
Aku makin tak’ ngerti
Mengapa orang-orang memukul-mukul perutnya
Jauh di batas gaib dan nyata
Kabut harimau menyembah cahaya
Kutarik napas dalam-dalam
Dan kupejamkan mata
Alangkah kecil dunia!
DIALOG BUKIT KEMBOJA
Inilah ziarah di tengah nisan-nisan tengadah
di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah
Seorang nenek, pandangannya tua memuat jarum cemburu
menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu
“Aku anak almarhum,” jawabku dengan suara gelas jatuh
pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu
“Lewat berpuluh kemarau
telah kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku”
Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar pada lembar bunga basah
“Anakku mati di medan laga, dahulu
saat Bung Tomo mengibas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”
Jadi di lembah membias rasa syukur
Pada hijau ladang sayur, karena laut bebas debur
“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana ke mana
Tak kutemu. Tak ada yang tahu
Sedangkan aku ingin ziarah, menyampaikan terimakasih
atas gugurnya: Mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”
“Tapi ayahku sepi pahlawan
Tutur orang terdekat, saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”
“Apa salahnya kalau sesekali
kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku kepada musuh jadi luruh”
Sore berangkat ke dalam remang
Ke kelepak kelelawar
“Hormatku padamu, nenek! Karena engkau
menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku apa saja, kata atau senjata!”
“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku cuma minta:
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu!”
Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah palu
Bila dadamu kerontang
Kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
Kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
Aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-Madura, akulah darahmu.
Inilah ziarah di tengah nisan-nisan tengadah
di bukit serba kemboja. Matahari dan langit lelah
Seorang nenek, pandangannya tua memuat jarum cemburu
menanyakan, mengapa aku berdoa di kubur itu
“Aku anak almarhum,” jawabku dengan suara gelas jatuh
pipi keriput itu menyimpan bekas sayatan waktu
“Lewat berpuluh kemarau
telah kubersihkan kubur di depanmu
karena kuanggap kubur anakku”
Hening merangkak lambat bagai langkah siput
Tanpa sebuah sebab senyumnya lalu merekah
Seperti puisi mekar pada lembar bunga basah
“Anakku mati di medan laga, dahulu
saat Bung Tomo mengibas bendera dengan takbir
Berita itu kekal jadi sejarah: Surabaya pijar merah
Ketika itu sebuah lagu jadi agung dalam derap
Bahkan pada bercak darah yang hampir lenyap”
Jadi di lembah membias rasa syukur
Pada hijau ladang sayur, karena laut bebas debur
“Aku telah lelah mencari kuburnya dari sana ke mana
Tak kutemu. Tak ada yang tahu
Sedangkan aku ingin ziarah, menyampaikan terimakasih
atas gugurnya: Mati yang direnungkan melati
Kubur ini memadailah, untuk mewakilinya”
“Tapi ayahku sepi pahlawan
Tutur orang terdekat, saat ia wafat
Jasadnya hanya satu tingkat di atas ngengat
Tapi ia tetap ayahku. Tapi ia bukan anakmu”
“Apa salahnya kalau sesekali
kubur ayahmu kujadikan alamat rindu
Dengan ziarah, oleh harum kemboja yang berat gemuruh
dendamku kepada musuh jadi luruh”
Sore berangkat ke dalam remang
Ke kelepak kelelawar
“Hormatku padamu, nenek! Karena engkau
menyimpan rahasia wangi tanahku, tolong
beri aku apa saja, kata atau senjata!”
“Aku orang tak bisa memberi, padamu bisaku cuma minta:
Jika engkau bambu, jadilah saja bambu runcing
Jangan sembilu, atau yang membungkuk depan sembilu!”
Kelam mendesak kami berpisah. Di hati tidak
Angin pun tiba dari tenggara. Daun-daun dan bunga ilalang
memperdengarkan gamelan doa
Memacu roh agar aku tak jijik menyeka nanah
pada luka anak-anak desa di bawah
Untuk sebuah hormat
Sebuah cinta yang senapas dengan bendera
Tidak sekedar untuk sebuah palu
Bila dadamu kerontang
Kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
Kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi karapan
yang menetas dari senyum dan airmatamu
Aku lari mengejar ombak aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenekmoyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah
-Madura, akulah darahmu.
TELUK
Kaubakar gema di jantung waktu
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga berlayar
Berkendara seribu pencalang
Ke arah airmata menjelma harimau
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal dalamnya
Kaubakar gema di jantung waktu
Bibir pantai yang letih nyanyi
Sembuh oleh laut yang berloncatan
Memburu takdirmu yang menderu
Dan teluk ini
Yang tak berpenghuni kecuali gundah dan lampu
Memberangkatkan dahaga berlayar
Berkendara seribu pencalang
Ke arah airmata menjelma harimau
Pohon-pohon nyiur pun yakin
Janjimu akan tersemai
Dan di barat piramid jiwa
Berkat lambaian akan tegak mahligai senja
Senyum pun kekal dalamnya
HUTAN
Lagumu gemuruh
Menampilkan berpuluh elang berpuluh banteng
Di hutan-hutan sangsiku
Angin yang runtuh dari pohon-pohon
Menjelma permadani di lembah timur
Kuhitung tahun-tahun
Yang berjalan menghancurkan mega dan mega
Dan hujan yang menyerbu dari perut gua
Mengekalkan diamku di ketiak batu
Gemuruh itu ternyata miliku juga
Mengurai bulu-bulu mataku di pelupuk rimba
Dalam begini engkau sebagai seorang pertapa
Tempat sembunyi burung dan kupu-kupu
Tombak pun jadi tersenyum di dalam batu
Lagumu gemuruh
Menampilkan berpuluh elang berpuluh banteng
Di hutan-hutan sangsiku
Angin yang runtuh dari pohon-pohon
Menjelma permadani di lembah timur
Kuhitung tahun-tahun
Yang berjalan menghancurkan mega dan mega
Dan hujan yang menyerbu dari perut gua
Mengekalkan diamku di ketiak batu
Gemuruh itu ternyata miliku juga
Mengurai bulu-bulu mataku di pelupuk rimba
Dalam begini engkau sebagai seorang pertapa
Tempat sembunyi burung dan kupu-kupu
Tombak pun jadi tersenyum di dalam batu
MENYANDARKAN DIRI KE PILAR
Menyandarkan diri ke pilar
Langit pun menggelegar
Aku tak paham, mengapa layang-layang yang sobek itu
Masih kuasa menjatuhkan bintang
Titik dimana aku harus berdiri
Ternyata pusat semesta
Bahkan tangga ke sorga akan tegak di tempat ini
Memang aku terlambat tahu
Hingga jasad terasa hanyalah kelopak duka
Tapi aku masih punya sisa gerak
Meski bergerak mungkin bernilai dosa
Nyawa pun terasa kental tiba-tiba
Sesaat heningmu yang kencana
Merangaskan waswas yang lebat bunga
LOSARI TENGAH MALAM
Dengan Putera-puteri Arsal
Malam begini dingin pun diantar kecipak selat
Langit yang putih oleh keramahan
Masih juga dipertahankan bulan
Untuk menangkap kata-kata
Yang berkecimpung bersama ikan-ikan
Zaman memang telah bertukar
Yang dulu peluru
Sekarang pisang panggang, O, sejarah!
Kubiarkan diriku hanyut
Ke laut lain tempat bintang-bintang berlayar
Kami ingin bercakap sampai parau
Bukan karena risau
Pada sang waktu yang bagaikan lautan tenang
Kami harus menyalakan gelombang
Dengan Putera-puteri Arsal
Malam begini dingin pun diantar kecipak selat
Langit yang putih oleh keramahan
Masih juga dipertahankan bulan
Untuk menangkap kata-kata
Yang berkecimpung bersama ikan-ikan
Zaman memang telah bertukar
Yang dulu peluru
Sekarang pisang panggang, O, sejarah!
Kubiarkan diriku hanyut
Ke laut lain tempat bintang-bintang berlayar
Kami ingin bercakap sampai parau
Bukan karena risau
Pada sang waktu yang bagaikan lautan tenang
Kami harus menyalakan gelombang
PADANG HIJAU
Sejuk pun singgah
Memeluk nisan demi nisan
Gerimis sore memetik kecapi
Maka tebaklah dalam lautan!
Perahu-perahu tetap terkapar di pantai
Diamku membuat air laut tersibak
Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang!
Bersama Musa dan mereka yang beriman
Mencari sarang angin
Aku serasa terlambat tiba di padang
Di gigir langit, selendang-selendang merah
Berhinggapan di pundak bukit-bukit sejarah
Padang hijau berpusar telaga
Letaknya di jantung Bunda
Sejuk pun singgah
Memeluk nisan demi nisan
Gerimis sore memetik kecapi
Maka tebaklah dalam lautan!
Perahu-perahu tetap terkapar di pantai
Diamku membuat air laut tersibak
Penyair, lewatlah bertongkat sehelai benang!
Bersama Musa dan mereka yang beriman
Mencari sarang angin
Aku serasa terlambat tiba di padang
Di gigir langit, selendang-selendang merah
Berhinggapan di pundak bukit-bukit sejarah
Padang hijau berpusar telaga
Letaknya di jantung Bunda
SARANG
Cahaya senja yang merah
Sampai juga ke dalam kamar
Menjagakan kelewang yang tidur
Dari mesjid terdengar zikirmu
Maka perang pun mulai
Bayang-bayang yang kabur pada dinding
Melarikan berita ke ombak gasing
Aku hanyalah kegelapan
Yang mendesah ke hutan-hutan
Oleh bercak-bercak darah
Dalam sarang
Yang kau buat dari kabut
Kelewang itu diam
Menikmati madu di hati danau
Cahaya senja yang merah
Sampai juga ke dalam kamar
Menjagakan kelewang yang tidur
Dari mesjid terdengar zikirmu
Maka perang pun mulai
Bayang-bayang yang kabur pada dinding
Melarikan berita ke ombak gasing
Aku hanyalah kegelapan
Yang mendesah ke hutan-hutan
Oleh bercak-bercak darah
Dalam sarang
Yang kau buat dari kabut
Kelewang itu diam
Menikmati madu di hati danau
ZIARAH
Terkenang Sultan Hasanudin
Ah debu namanya
Yang menyayikan daunan gugur
Gelisah ranting-ranting terasa
Pada siang di pekuburan
Dan gadis-gadis datang
Menjelma selendang ungu
Sementara di perbukitan
Menderu burung derkuku
Ah, debu juga namanya
Yang mengabarkan Ziarah itu
Siang jadi berarti
Dalam busukan kembang-kembang
Badik yang tidur akan bangun
Hanya menunggu Sangkakala
Terkenang Sultan Hasanudin
Ah debu namanya
Yang menyayikan daunan gugur
Gelisah ranting-ranting terasa
Pada siang di pekuburan
Dan gadis-gadis datang
Menjelma selendang ungu
Sementara di perbukitan
Menderu burung derkuku
Ah, debu juga namanya
Yang mengabarkan Ziarah itu
Siang jadi berarti
Dalam busukan kembang-kembang
Badik yang tidur akan bangun
Hanya menunggu Sangkakala
KAFILAH NURANI I
Sesal dan lelah
Memang milik manusia
Menang dan kalah
Kita terima dengan senyum yang lega
Derap yang mengalir di dasar sungai purba
Sebut saja airmata arwah
Meminum jangan setetes
Sebab dahaga bisa juga menggelapkan mata
Tenggaklah sepuas-puasnya
Sampai senyummu mawar
Dan matamu sinar yang pijar
Saat langit dan bumi bersatu dalam Sabda
Tibalah saatnya
Kau hunus badik cahaya dari sarung sejarah
Sesal dan lelah
Memang milik manusia
Menang dan kalah
Kita terima dengan senyum yang lega
Derap yang mengalir di dasar sungai purba
Sebut saja airmata arwah
Meminum jangan setetes
Sebab dahaga bisa juga menggelapkan mata
Tenggaklah sepuas-puasnya
Sampai senyummu mawar
Dan matamu sinar yang pijar
Saat langit dan bumi bersatu dalam Sabda
Tibalah saatnya
Kau hunus badik cahaya dari sarung sejarah
PERCAKAPAN DI SATU DESA
Nanti malam, apa jadi engkau ke rumah?
Isteriku membuat dodol biji mangga
Kita makan di halaman
Berdua kita pecaahkan
Besok lusa, tolonglah aku menyabit lalang
Buat pengganti atap gubukku
Ajaklah Sidun, aku senang padanya
Lantaran ketawanya yang menggelegar
Dapat mengganjal jiwaku yang sedang lapar
Nanti malam, apa jadi engkau ke rumah?
Di bawah bulan yang mulai sembuh dari gerhana
Sambil menunggu gerhana bulan
Bagaimana bisa kutebus
Sawah ladangku yang masih tergadai
KUMPULAN PUISI OLEH D. ZAWAWI IMRON
Reviewed by Unknown
on
7:18 PM
Rating:
No comments: