loading...

HUJAN MULAI DERAS, MALAM! OLEH PALTI R TAMBA


ilustrasi seseorang berjalan saat hujan
image Abby Rose
TAMAN itu sepi. Berbeda dari malam-malam sebelumnya yang selalu menjadi rumah tidur para gelandangan. Hanya ada perempuan itu dan lelaki itu. Mereka telah lama duduk di pelataran patung pahlawan asal kota ini, di tengah taman. Berjarak tujuh meterlah. Tak bercakap. Sekilas saja perempuan itu melihat lelaki itu sejak tiba. Demikian pula, sebaliknya.

Perempuan itu, juga lelaki itu, melayangkan mata ke jam besar di perempatan jalan sana. Sudah pukul sebelas lewat! Mereka pun - masing-masing - menghela nafas.

Lalu, perempuan itu berniat lebih teliti melihat lelaki itu. Karena, ia takut kalau-kalau bukan lelaki itu yang hadir, melainkan lelaki asing. Tapi niat itu pun gugur. Ia malu kalau sampai tepergok lelaki itu. Yang berarti akan menunjukkan bahwa ia membutuhkan lelaki itu. Sementara, ia merasa bukan perempuan lemah. Namun ia meyakinkan dirinya bahwa lelaki itu memang satu dari tiga lelaki yang telah berjanji dengannya malam ini. Maka dengan tenang ia kembali menengadah. Kalaupun dia bukan lelaki itu, aku masih bisa menunggu dua laki-laki lainnya! pikirnya.

Demikian juga, lelaki itu ingin melihat lebih jelas perempuan itu. Ia takut kalau-kalau perempuan itu tertidur dan kedinginan karena kelamaan menunggu dua laki-laki lagi. Tapi, niatnya itu sengaja ia tahan. Ia mau perempuan itu yang datang mendekatinya, menyapanya, dan... dengan tenang ia pun melempar pandang ke gerbang utama taman. Alangkah baiknya kalau dua laki-laki itu tak datang! pikirnya.

"La-ngit ge-lap...!" suara perempuan itu mengiris malam, tiba-tiba.

Lelaki itu senang mendengarnya, segera menoleh perempuan itu.

"Kau kedinginan...?" Tak ada jawaban.

"Kau kedinginan...?" Lelaki itu mengulang, masih menoleh perempuan itu.

"Kedinginan? Huhh...!" kata perempuan itu ketus, tetap tak menoleh. Lelaki itu menghela nafas sambil memindahkan matanya dari perempuan itu. Kemudian. Tiba-tiba lagi.

"Aku akan menguburnya...!" Perempuan itu bergegas ke barat taman.

"Se-o-rang di-ri...?" suara lelaki itu mengejar. Tak ada jawaban.

"Kau bi-sa...?" suara lelaki itu terus mengejar. Tak ada jawaban.

Lelaki itu melongo. Matanya mengikuti perempuan itu. Ia tahu bahwa perempuan itu tak akan kuat membawa mayat itu. Ia yakin itu...

***

Sebelum subuh tadi, seorang lelaki kekar berpakaian dan bertopeng hitam membangunkan perempuan itu, lelaki itu dan dua lelaki lainnya. Merekalah yang berhasil dibangunkannya cepat-cepat di antara para gelandangan di taman itu. Dan ketika terbangun, mereka takut, lalu bermaksud melarikan diri. Bahkan perempuan itu sempat berteriak, "Hantu, hantu!"

Tapi lelaki berpakaian serba hitam itu menenangkan mereka. Sambil meletakkan mayat dari gendongan, ia berkata, "Kalian mau uang...?"

Tiga laki-laki dan perempuan itu terperangah, saling pandang, kemudian mengangguk berbarengan.

"Kalau begitu, kalian mau menguburkan mayat ini...!"


"Ma-yat? Mayat siapa...?" tanya mereka.

"Kalian akan tahu nanti...!" katanya sembari mengeluarkan segepok uang dan melambai-lambaikannya dekat di muka mereka. "Tapi tutup wajahnya jangan dilepas...!"

"Di mana dikubur...?" tanya seorang dari tiga lelaki itu.

"Terserah kalian...tapi jangan ketahuan orang-orang lain!...Bagaimana...?"

Perempuan itu dan para lelaki itu saling pandang. Mereka mengiyakan cepat-cepat dengan mata tertuju kepada uang segepok itu.

"Kau yang memegang uang ini," kata lelaki berpakaian dan bertopeng hitam pada perempuan itu. "Tapi ingat! Aku bunuh kalian kalau ingkar!...Baiklah, aku pergi..."

Lalu perempuan itu, dan ketiga lelaki itu mengamati mayat itu. Tingginya sedang dan tidak terlalu gemuk. Dadanya berlubang, darah mengering di sekitarnya. Mereka benar-benar tak berani membuka kantong plastik hitam tebal yang membungkus kepala mayat itu. Lelaki itu meraba-raba saku celana dan baju dari mayat itu.

"Ada uangnya...?" tanya lelaki kedua.

Lelaki itu menggelengkan kepala, lalu katanya, "Bagaimana kalau kita hanyutkan saja di sungai sana? Atau kita biarkan saja begini? Kita bagi uangnya dan tinggalkan tempat ini untuk selamanya..."

"Aku setuju...!" kata laki-laki lainnya bersamaan.

"Kalian tak takut dibunuhnya?" tanya perempuan itu.

"Ia tak mungkin menemukan kita lagi...!" jawab lelaki itu enteng.

Orang-orang yang baru bangun kaget melihat mayat itu, lalu pergi cepat-cepat.

"Bagaimana? Kita hanyutkan atau tinggalkan...?" kata lelaki itu mengulangi usulnya.

"Kita bagi uang itu. Beres kan...?"

"Lalu dia datang membunuhmu?"

"Biar saja... kalau dia menemukan aku..." dumal lelaki itu.

"Kalau begitu kau tak perlu uang ini! Aku tak mau dibunuhnya...!"

"Tapi, tapi... di mana ada peristiwa pembunuhan," kata lelaki ketiga, menimbang dan ragu, "di situ ada po-li-si...!"

"Po-li-si?" tanya perempuan itu dan lelaki itu bersamaan, takut.

"Kalau begitu kita mesti cepat memutuskan!" lelaki kedua memandangi yang lainnya. "Siapa tahu polisi berpatroli ke taman ini dan melihat mayat ini..."

"Ya, kita kubur sajalah. Kita pun aman...!" usul lelaki ketiga pelan.

"Benar...!" sambut perempuan itu.

Orang-orang yang baru bangun lagi kaget melihat mayat itu. Mereka meninggalkan taman itu. Mereka tak mau dipusingkan soal mayat itu.

"Pakai tangan menggali tanah?" tanya lelaki itu kepada lelaki ketiga sambil menunjukkan kedua tangannya. "Di mana...?"

"Di kuburan...!" kata perempuan itu.

"Apa kau punya uang mengurus izin dan...?" balas lelaki itu.

Lelaki kedua memotong. "Sebentar lagi terang. Jangan bicara izin sekarang. Nanti kita tertangkap petugas ketertiban...!"

"Mayat ini...?" tanya perempuan itu.

"Kita sembunyikan dulu di bawah rimbunan bunga-bunga itu!" lelaki ketiga menunjuk ke sebelah barat taman. "Nanti malam kita bicarakan untuk menguburnya. Bagi saja uangnya sekarang...!"

Orang-orang yang baru terbangun lagi kaget melihat mayat itu, lalu pergi cepat-cepat setelah mengemasi 'barang-barang' mereka. Sampai akhirnya tinggal mereka berempat di taman itu.

"Kalau kalian tidak datang, bagaimana...?" desak perempuan itu.

"Aku datang...!" lelaki kedua mengangguk. "Lihat! Sudah ada orang lari pagi...!"

"Aku datang...!" jawab lelaki ketiga.

"Kalau begitu nanti malam kita bagi uangnya...!"

Lelaki ketiga mengajak lelaki kedua mengangkat mayat itu ke rimbunan bunga-bunga di barat taman, lalu pergi.

"Kau...?" Perempuan itu melihat lelaki itu.

"Aku tak mau berjanji...!" tegas lelaki itu. "Kau sendiri bagaimana...?"

"Aku datang karena aku takut dibunuhnya...!"

***

"Dikubur di mana...?" tanya lelaki itu, saat tiba di rimbunan bunga-bunga.

"Terserah aku...!" sahut perempuan itu ketus.

Di bawah sinar kekuningan lampu taman, lelaki itu merasakan tatapan perempuan itu seperti pisau menyayat dadanya perlahan-lahan dan menyebabkan keperihan yang dalam. Namun, lelaki itu tidak marah. Ia memang perlu uang. Supaya bisa pulang kampung, setelah menggelandang selama limabulan karena kehilangan tas, uang dan kertas alamat sehingga tak berhasil bertemu anak perempuan pertamanya yang sebagai pekerja rumah tangga di kota ini. Tapi, ia tak mau merampok perempuan itu. Ia menghargai kesepakatan yang telah mereka buat. Dan lagi, ia pun menyadari, seandainya mayat itu adalah dirinya, betapa malangnya bila tak dikuburkan.

"Tunggu di sini ya...!" kata lelaki itu sembari mengingat-ingat dimana ia tadi melihat sebuah gerobak dorong. Entah gerobak siapa.

***

Perempuan itu berjalan di sisi gerobak yang didorong lelaki itu. Gemuruh terdengar satu-satu. Mereka mempercepat langkah. Di jalanan satu-dua mobil melaju.

Saat tiba di pemakaman, gemuruh menggelegar sambung-menyambung. Mereka pun cepat-cepat dan dengan sekuat tenaga mengangkat mayat itu ke sebuah pusara bermarmar. Lalu si lelaki pergi mencari alat-alat yang bisa dipakai menggali tanah. Si perempuan berjongkok di sebelah mayat itu.

Beberapa menit lewat. Terpikir perempuan itu untuk melihat muka si mayat. Tapi ia tak berani juga. Terpikirnya pula untuk membagi uang itu dengan si lelaki itu tanpa mengubur mayat itu. Sehingga ia akan bisa pulang kampung, meskipun dengan malu. Karena gagal bertemu abangnya -- pengusaha korup di kota itu. Yang membuatnya sampai ditipu orang dan menjadi gelandangan sejak empat bulan lalu. Tapi ia mau ide begini datang dari lelaki itu.

Beberapa menit lewat. Perempuan itu pun berdiri. Ia menatap ke sekitarnya. Gelap. Satu lampu TL -- 10 Watt -- ada di gerbang masuk pemakaman. Satu lagi, ada di teras rumah penjaga kuburan dekat gerbang itu juga. Hh! Ia tiba-tiba tersadar kalau lelaki itu mungkin saja telah mencuri uang itu dan pergi. Maka secara spontan ia meraba segepok uang di balik kutangnya. Ada! bisiknya. Kemudian ia tersenyum. Kalau ia kabur, aku tinggalkan saja mayat ini. Besok aku bisa ke kampung!...

"Pak...!" Suaranya mengiris malam. Tak ada jawaban.

"Pak...!" Tak juga ada jawaban. Maka bulat hati perempuan itu untuk pergi.

Dan...

"Aku menemukan cangkul. Ayo cepat...!"

"Hhhh...I-i-iya...!"

Lelaki itu menggendong mayat itu sekuat tenaga, tapi kemudian menyeretnya. Dan perempuan itu membawa cangkul di belakangnya. Mereka melangkah sambil membungkuk supaya dapat melihat jalan di antara kuburan-kuburan itu. Mereka berjalan ke arah barat. Ada kuburan bermarmar, ada yang disemen biasa saja dan ada kuburan baru dipenuhi karangan bunga.

Hujan menetes. Lelaki itu teringat kubangan air yang sempat ia lihat tadi. Berjarak enam petak kuburan dari sini. Ia cepat-cepat menyeret mayat itu dan mengajak perempuan itu berjalan lebih cepat.

***

"Di si-ni...?" tanya perempuan itu, sesaat tiba di tepi kubangan air itu.

"Benar," Lelaki itu menyeret mayat itu masuk ke dalam air, pelan-pelan. "Bantu dorong...!"

"I-i-iya...!"

"Mulailah...!"

"I-i-ya...?

"Pelan-pelan...!"

"Be-berat...!"

"Pelan-pelan...!"

"Ba-bagaimana ini...?"

Segepok uang kertas meloncat ke dalam air dari balik kutang perempuan itu. Perempuan itu tak mengetahuinya. Apalagi lelaki itu.

"Mari cangkulnya...!"

Plastik yang membungkus kepala mayat itu terlepas. Kalau saja lelaki itu dapat melihat dengan jelas, mayat itu adalah mayat majikan putrinya. Perempuan itu pun, kalau bisa melihat jelas, pasti mengenali mayat itu sebagai mayat abangnya -- pengusaha korup itu

Penjaga pemakaman dengan golok terhunus dan dengan senter menyala mendatangi mereka.

Hujan mulai deras.

Cikarang Selatan, 2007

Semoga cerita ini menginspirasi. Baca juga cerpen Gerimis yang Sederhana 
HUJAN MULAI DERAS, MALAM! OLEH PALTI R TAMBA HUJAN MULAI DERAS, MALAM! OLEH PALTI R TAMBA Reviewed by Unknown on 6:34 PM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.