loading...

MENCARI HERMAN OLEH DEE


Perempuan duduk di tengah senja
image Whitney Hopler
Seharusnnya ada pepatah bijak yang berbunyi: ‘Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan’ sekalipun ganjil terdengar, tapi itu penting. pepatah bukan sekadar kembang gula susastra. Dibutuhlkan pengalaman pahit untuk memformulasikannya. Dibutuhkan orang yang setengah mati berakit-rakit kehulu agar tahu nikmatnya berenang santai ke tepian. Dibutuhkan orang yang tersungkur jatuh dan harus lagi tertimpa tangga. Dibutuhkan sebelanga susu hanya untuk dirusak setitik nila. Dibutuhkan seorang Hera yang mencari Herman.

Gadis berumur tiga belas tahun itu favorit semua orang, termasuk aku, sekalipun dia bukan adik kandungku melainkan adi sahabatku. Hera yang manis dean manut. Tak ada pergolakan berarti dalam hidup remaja belasan tahun yang taat pada orang tua, negara, dan agama.

Sampai satu sore kami berbicara-bicara tentang Herman Felany di teras rumahnya; filmnya yang baru kami tonton; kumisnya yang mengagumkan; yang mengilhamiku beserta seluruh teman abangnya membuat kompetisi untuk dulu-duluan menumbuhkan kumis menyerupai Herman. Hera, yang Cuma menontoni kami bicara, dengan polos tahu-tahu berujar, dia belum pernah punya teman bernama Herman. Teman-teman abangnya yang lain tidak mengidahkan, kecuali aku. Kusempatkan berbisik di kupingnya: pasti ada di sekolah, kamu cari saja.

Seminggu kemudian Hera kembali padaku dan melaporkan bahwa ternyata tidak ada yang bernama Herman di sekolahnya, bahkan guru-guru sekalipun. Aku cukup tersentak. Ratusan siswa, puluhan guru, tidak ada yang bernama Herman? Budi banyak, Ahmad banyak, bahkan Ludwif juga ada, tapi tidak Herman. Aku jadi tersadar, aku juga tidka punya kenalan bernama Herman.

Hera melebarkan sayap, mencari Herman di lingkungan rumah. ia mendatangi Pak RT dan Pak Lurah. Tetap tidak ada Herman atau Paj Herman atau Dik Herman. Aku menawarkan RT dan kelurahanku, kami berdua mencari, dan tetap tidak kami temukan Herman. Hera mulai mencari tahu kesanak saudaranya, teman-temannya, adalah yang kenal seseorang bernama Herman? Ajaibnya, tidak ada. beberapa orang memiliki unsur Herman atau ke-‘herman-herman’-an dalam namanya: Feri Hermansyah, Dudi Hermanto, Indra Hermadi, Hermawan Adi, tapi Hera tak terpuaskan. Ia menginginkan seorang Herman sejati.

Tentu tak setiap hari kami disibukkan oleh pencarian Herman. Waktu berlalu dan Hera sudah siap lulus SMA. Hera, yang ingin jadi dokter anak, berpamitan akan kuliah di Jakarta. Semoga bertemu Herman demikian ucapan terakhirku sebelum Hera naik ke gerbong kereta.

Beberapa tahun kemudian anak pertamaku lahir. Baru saja kukhayalkan kunjungan kami ke Dokter Hera yang cakap, tiba-tiba kudengar kabar Hera drop out. Ternyata si anak sempurna itu sudah berbah jadi manusia biasa. katanya, Hera terkenal suka gonta-ganti pasangan. Sau kali, ia kena batunya. Hera hamil di luar nikah. Irunisnya, pengetahuannya sebagai calon dokter gagal menuntunnya untuk berbuat masuk akal. Karena taku diamuk, Hera ke dukun. Perutnya digilas dan digerus. Tak ada janin yang keluar, hanya darah dan kerusakan permanen di rahim. Hera sakit keras lalu terpaksa pulang.

Lama Hera mendekam seperti tahanan rumah. wajah manisnya berubah pahit sekian lama. ia lntas dikirim ke beberapa pesantren. Baru setelah ia dinilai sembuh luar-dalam-lahir-batin, Hera diizinkan punya cita-cita. Dan Hera memilih terbang. Aku menemuinya saat ia pamit mau penddikan pramugari. Supaya ketemu Herman di angkasa? Aku bercanda. Hera tertawa, entah itu berarti iya, atau tidak, atau menertawakanku. Seakan-akan pertanyaan tadi lansung mengklafikasikanku ke dalam kantong sampah bernama ‘masa lalu’ yang ingin ditinggalkannya secepat mungkin.

Pada pertemuan kami berikut, Hera sudah berseragam pramugari sungguhan. Canti sekali. Amu terbang sampai kapan, akapan ada niat menikah, tanyaku. Hera tersenyum setengah mengdengus sambil menggeleng kenes, seoalh merespons pertanyaan sekonyol ;adakah garam yang taka sin?’. Aku mengartikannya sebagai ‘tidak’. Hera telah bermetamorfosis menjadi perempuan modern yang tak terjangkau ukuran sosialku.

‘Sudah ketemu Herman?’ tanyaku lagi. kembali Hera tertawa lepas. Ia lalu bercerita, sejak tahunan lalu ia sudah stip mencari, apalagi menyusuri daftar nama, karena bukan itu yang Ia mau. Hera ingin langsung bertemu dengan seseorang, menjabat tangannya, lalu orang itu berkata: Herman. Kamu membuat pencarian ini tambah susah, kataku. Lebih alami lebih seru, jawabnya mantap. Dan tetap ia meninggalkan nomor telepon, kalau-kalau alam menentukan akulah yang menemukan Herman untuknya.

Tentuk tidak kupikirkan Herman setiap saat. Lebih sering aku berpikir tentang Hera. Sahabatku berceritak kalau adik perempuannya itu menjali hubungan dengan pak pilot yang sudah beranak lima. Namanya Herman? Aku bertanya, karena kalau iya, rasanya aku bisa sedikit maklum. Bukan, namanya Bajuri. Pak pilot Bajuri ini sebentar lagi akan menceraikan istrinya demi hidup menteram dengan Hera. Tak ada yang memberi restu termasuk aku, karena nama oran gitu Bajuri, bukan Herman.

Semakin sering aku berpikir tentang Hera. Kabarnya ia keguguran kandungan dua kali, dan akhirnya mogok hamil sama sekali. Tak lama, pak piot dan Hera bercerai atau putus cinta saja, tidak kutahu pasti. Hera, yang sudah berkorban pindah ke maskapai lain, tahu-tahu kehilangan pekerjaan karena perusahaannya gulung tikar. Lalu Hera sekarang di mana? Aku bertanya pada sahabtku. Di Jakarta, tidak pulang-pulang, mungkin malu, dia sudah tidak pernah sowan dengan bapak-ibu sejak kumpul kebo sama pilot gaek itu, demikian sahabat-sahabatku menjawab. Biarkan saja, katanya, nasib sialnya itu gara-gara tidak diberi restu.

Tak kusangka, justru akulah yang harus menemui Hera duluan. Sebenarnya keluarga Hera tahu dia di mana, tapi pura-pura tidak tahu. Hera berdagang kain batik dari pintu ke pintu, sesekali menyambi menjadi sales barang elektronok. Mukanya lelah dan cahaya matanya lenyap diisap kecewa. Saat kutemui, hera menghabiskan satu jam hanya untuk menangis, dan berjam-jam untuk berkesah dan berkeluh. Lama tak ada yang mendengarkannya. Hera bilang, ia kecewa dengan hidup. Hidup tidak adil. Hidup itu kejam. Hidup itu ini, hidup itu itu… sampai kosa katanya habis. Barulah aku berkesempatan bicara, bahwa telah kutemukan Herman untuknya.

Barangkali itu kabar baik pertama yang pernah ia terma selama bertahun-tahun. Tanpa berpiki, Hera ikut menemui teman mertuaku yang bernama Ny. Herman. Suaminyalah yang berna,a Herman. Tulen, tanpa campuran ‘to’, ‘syah’ atau yang lainnya. ditemukan secara alami sesuai pesanan. Bukan lihat buku telepon, atau daftar kelurahan.

Namun Ny. Herman yang kutemui sebualanan lalu sudah berubah. Tak lagi ceriwis dan murah senyum. Pak Herman baru saja meninggal seminggu lalu. Pergi meninggalkan istri yang tak punya siapa-siapa lagi didunia. Pergi meninggalkan Hera tanpa sempat berjabat tangan dan berkataL herman. Ny. Herman menangis, Hera menangis, dan aku ikut murung. Seolah ada dua janda yang ditinggal mati.

Sepulang dari sana, aku tak banyak bicara, hanya sekali sebelum kami berpisah: Bahkan untuk menemukan seorang herman buatmu, saya gagal.

Hera menundu, dan hampir berbisik kudengar ia berkata: Abang, daku aku kecil dulu, Cuma Abang yang selalu peduli padaku. Dan aku selalu sayang sama Abang. Tapi Abang seperti buta. Tolong jangan lagi mencarikan Herman. Jangan lagi bertanya sial Herman. Karena sebetulnya aku tidak butuhh Herman. Aku butuh orang seperti Abang.

Aku tidak langsung paham arti ucapannya, tapi tanganku refleks menjauh ketika Hera meraih jemariku. Sepertinya ada yang salah. Ia selalu kukenang sebagai Hera yang mencari Herman. Bukan mencari aku. Segalanyasalah hari itu. kakuku berjalan cepat meninggalkannya, yang lamat-lamat kudengar memanggil namaku.

Sejak hati itu, aku berusaha berhenti memikirkan Hera. Tidak gampang, sungguh. Aku begitu terbiasa memikirkannya. Saat Herman Felany sesekali muncul di telebisi, atau kubabca nama Herman di surat kabar, atau bersentuhan dengan segala yang berhubungan dengan Hera, maka kudengar lagu suaranya sore itu, memanggil namaku. Dan betapa pun punggung ini ingin berbalik, aku tahu lebih baik untuk terus berjalan. Terus berjalan.

Kini, sering aku bertanya, akankah segalanya berbeda, jika hari itu aku memilih menghadapi Hera dan isi hatinya? Bila aku terus berusaha mencarikan Herman sekalipun bukan itu sesungguhnya yang ia cari? Bila aku berani mengakui bahwa pencarian Herman adalah alasanku untuk sekadar menemuinya?

Seratus hari. kuselipkan cetakan surat Yasin itu ke dalam tas. bersalaman dengan sahabtku dan keluarganya seolah untuk yang terkahir kali. Karena rasa-rasanya aku tidak akan kuat kembali lagi. setiap malam seratus terakhir mataku basah, sejak mendengar kabar duka dari sahabatku tentang Hera yang satu hari pergi dan tak kembali.

v Teman Hera yang bersamanya terakhir kali bercerta bahwa dia dan Hera didatangi seorang pria yang tertarik pada wajah Hera dan menawarkannya jadi model iklan. Hera sama sekali tidak tertarik, ia terima kartu nama yang diberi pria itu dengan sebelah mata. Namun setelah beberapa lama, Hera seperti tersadar akan sesuatu. tepatnya, ketika benar0benar membaca kartu nama tadi. Ia berlari mengejar pria itu, dan tak pernah kembali. Jasad Hera ditemukan dua hari kemudian, tersangkut di tengah jurang. Dibuang dari mobil bernomor polisi Surabaya, demikian keterangan seorang saksi mata. Kubaca berita itu di pojok halaman depan sebuah koran merah.

Sahabatku bahkan sempat menunjukkan kartu nama yang menjadi petunjuk lenyapnya Hera. Saat kubaca nama tertera di sana, seketika aku dpat merasakan kaki Hera yang berlari, sekuat tenaga, mengejar satu-satunya impian yang terwujud dalam hidupnya yang bergelimang kecewa, mengajar pemilik kartu nama itu berkenalan sekali lagi. demi mendengar sepotong nama disebut: Herman.

Kubayangkan wajah cantik itu berseri. Herman Suherman.

Kebahagiaan Hera pasti berlipat dengan ditemukannya seorang Herman kuadrat, tanpa tahu bahwa satu Herman menggenapinya, tetapi dua dapat membunuhnya.

Aku juga tak tahu itu. Tidak ada yang tahu. Tak ada pepatah yang bisa jadi pemandu. Karena setidaknya, bila kudapatkan seorang Herman terlebih dahulu, Hera masih bernyawa. Ia mungkin ada di rumah ini, menemaniku melewati hari tua. Hingga tak perlu lagi aku berandai-andai tentang apa jadinya hidup memiliki dua cinta. Satu menggenapi, tetapi adakah dua akan membunuhku? Aku tak akan pernah tahu…

Untuk Fanny, Yang mencari Herman

MENCARI HERMAN OLEH DEE MENCARI HERMAN OLEH DEE Reviewed by Unknown on 7:05 PM Rating: 5

1 comment:

  1. Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
    Dalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
    Yang Ada :
    TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
    Sekedar Nonton Bola ,
    Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
    Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
    Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
    Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
    Website Online 24Jam/Setiap Hariny

    ReplyDelete

Powered by Blogger.