CERPEN HATI YANG MERONA ITU MENUNGGU-NUNGGU OLEH GUNTUR ALAM
image William |
Mungkin, ia tidak pernah menduga kalau di usia kepala tujuh orang bisa juga bergejolak hatinya. Seperti yang tengah mendera hatinya kini. Ah, betapa jari-jemarinya yang telah keriput itu menggigil saat meraba kulit pipinya yang telah mengendur. Memang terasa begitu ganjil debar yang menggelepar-gelepar dalam dadanya. Kalaulah saja ia masih gadis belia, berumur sekitar enam belas tahun, kali pertama ketar-ketir menunggu bujang pujaan lewat di depan pagar rumahnya, barangkali ia akan memaklumi dirinya sendiri. Oi, perasaan ini begitu ajaib.
Ia mematut wajahnya di cermin. Sesungguhnya, ia masih cantik. Tanda-tanda kecantikannya di masa muda itu masih terekam jelas di garis-garis pipinya yang telah mengendur. Menyadari itu, kian merona saja hatinya. Ia membayangkan dirinya di usia delapan belas tahun, kali pertama ia merasakan betapa mata tembaga lelaki yang ia puja sejak kelas satu SMA itu berbinar-binar. Ia tersenyum, berusaha mengibas usianya yang telah tua. Diam-diam ia berharap, lelaki bermata tembaga itu akan merasakan hal yang sama kalau saja lelaki itu menemukannya di teras dengan dandanan seperti ini. Ah, apakah lelaki itu akan memeluk dan mencium dirinya serupa dulu?
Debar-debar kian menggelinjang saja dalam dadanya. Membayangkan mata tembaga itu memeluk matanya dengan hangat, lalu mata itu akan memuja bibirnya yang tipis menawan. Ah, ia menghela napas. Teringat bibir, membuat ia merasa gamang. Betapa kering dan keriput bibirnya kini. Ragu-ragu, tangan keriputnya membuka dompet yang ada di atas meja rias. Dikeluarkannya sebuah lipstik dari dalam dompet itu. Berlahan ia buka penutupnya dan memutar pantat lipstik itu, mencuatlah sebatang pemerah bibir.
Ahai, berapa lamakah ia tidak mempergunakan benda ini? Sejak menjadi pengantin puluhan tahun silam, mungkin. Ingatan itu tentu saja kian membuatnya ragu.
Lima hari yang lalu, ia membeli lipstik itu secara diam-diam. Tentu tanpa sepengetahuan Lasmi, pembantu yang pagi-pagi bertugas ke pasar membeli sayur. Ah, ia ingat sekali mimik muka gadis pendiam itu ketika ia memaksanya untuk tidak pergi ke pasar karena ia yang akan pergi pagi itu. Kebingungan. Tapi, Lasmi memang pembantu yang baik, gadis itu menurut saja ketika ia mengatakan kangen membeli sayur sendiri. Di pasar itulah, ia mampir ke warung penjual lipstik. Pada gadis penjual yang berkerut kening saat ia mengutarakan niatnya membeli lipstik warna merah jambu itu, ia mengatakan akan membelikan cucunya yang duduk di bangku kelas dua SMP. Gadis penjual itu jadi tak bertanya-tanya, walau mungkin saja di batok kepalanya itu bergumul tanya yang begitu banyak. Selesai menyerahkan uang sepuluh ribu, untuk harga lipstik merah jambunya, gegas ia menyimpan benda itu di dasar dompetnya. Ia tak mau orang lain melihat lipstik itu, terutama Lasmi dan lelaki bermata tembaga itu.
Tangan keriputnya terlihat kikuk memoleskan ujung lipstik itu pada bibirnya. Mungkin juga lantaran bibirnya tak semulus dulu. Tentu keriput membuat lipstik itu tak mulus melicinkan bibirnya. Oh, betapa ia ingin tertawa saat memoleskan lipstik itu. Sungguh, terasa kikuk, asing, dan demikian lucu.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu saat matanya melihat pantulan jam dinding yang ada di belakangnya.
“Lasmi! Lasmi!” serunya, terdengar langkah kaki mendekat. Ia menjadi gugup, buru-buru diselipkannya lipstik merah jambu itu ke dalam dompetnya, daun pintu kamar berderit, seraut wajah menyembul di sana, tanpa suara.
“Tengok ke depan, apakah mobil biru itu sudah datang?” gadis itu mengangguk, lalu kembali menghilang di balik daun pintu. Ia tersipu. Ah, tentu Lasmi melihat warna bibirnya yang merah jambu ini. Ia tersenyum di dalam cermin, membayangkan Lasmi yang tengah bertanya-tanya.
Sesungguhnya, telinganya masih tajam mendengar bunyi. Sendari tadi, ia belum jua mendengar deru mobil yang demikian ia kenal. Hanya saja, hatinya tak yakin dan ingin memastikan, kalau cupingnya memang tak salah.
Langkah kaki Lasmi terdengar menuju teras depan, semakin lama semakin mengecil. Lalu senyap, diganti dengan suara derit daun pintu yang terkuak. Beberapa detik senyap kembali mengisi reruang. Ia menajamkan telinga, kalau-kalau terdengar deru mobil biru itu, atau terdengar ucapan salam, orang yang berkata-kata, mungkin pula sebuah percakapan. Tak ada. Tak ada perkataan apa-apa dari ruang depan, hanya terdengar kembali derit pintu yang ditutup dan suara langkah Lasmi yang kembali mendekat.
“Aku tahu, ia belum pulang,” ucapnya begitu terdengar daun pintu kamarnya dikuak berlahan, tanpa menoleh ia mengucapkan itu. Wajah Lasmi yang terpantul di cermin mengangguk kecil, “Siapkan saja makan siang. Jangan lupa atur seperti yang aku ajarkan kemarin. Pakai piring, gelas, sendok, dan garpu yang ada di dalam lemari,” perintahnya. Lagi-lagi gadis itu mengangguk. Dan menghilang kembali di balik daun pintu, dari derap langkahnya, ia tahu, gadis penurut itu tengah menjalankan perintahnya.
Ah, betapa dia menyukai gadis penurut itu. Ya, sejak kepergian satu-persatu anaknya, Lasmi menjadi satu-satunya orang yang ia andalkan. Sebenarnya, ia ingin menuruti keinginan anak-anaknya agar mau tinggal bersama salah satu dari mereka. Akan tetapi, lelaki bermata tembaga itu tak ingin meninggalkan rumah dan kota kecil mereka. Jadilah, ia mematuhi keinginan lelaki itu. Tetap di rumah yang menyimpan sejuta kenangan mereka.
Masa panjang yang tenggelam mudah sekali menghanguskan kenangan dan perasaan, kata lelaki bermata tembaga itu. Dan, lelaki itu tak ingin kehilangan semua itu. Lelaki itu tetap ingin menyegarkan semua itu dalam memorinya. Sesekali, anak-anaknya datang mengunjungi dirinya. Namun, tak rutin, hanya berbilang jemari, tentu mereka sibuk mengurus pekerjaan mereka, seperti ia dan lelaki tembaga itu sebelum pensiun dari pekerjaan. Cucunya? Libur sekolah adalah waktu yang ia tunggu-tunggu saban tahunnya.
***
Setelah memastikan bedak yang ia pergunakan tak terlampau tebal, lipstik merah jambu itu tidak terlalu menggumpal, dan baju yang ia pakai terlihat pantas. Ia berdiri dari duduknya, diputarnya sedikit badan di depan cermin rias. Ah, kibasan rok lebarnya serasa membuatnya menjadi gadis belia.
Dibiarkannya saja dompet, bedak, sisir, dan segala hal yang ia pergunakan untuk memoles wajahnya siang ini, berserakan di atas meja rias. Ia tak perduli lagi kalau Lasmi menemukan benda-benda itu di atas mejanya, atau lelaki bermata tembaga itu, semua boleh tahu kalau ia wanita tua yang sangat cantik siang ini. Sebelum keluar dari kamarnya, ia menjangkau kerudung yang ada di atas ranjang, lalu menutup rambut putihnya.
Ia membawa kaki ke ruang depan, disibaknya tirai hijau itu, mengintip ke arah jalan di depan rumah. Belum ada tanda-tanda mobil biru itu pulang.
Dua-tiga kali ia melakukan itu, mobil itu tak kunjung muncul. Untuk membuang cemasnya, ia menuju dapur. Memeriksa meja makan. Lasmi sudah melakukan semua yang ia perintahkan. Meja makan besar itu telah diganti dengan sebuah meja kayu kecil, hanya ada dua kursi yang berhadap-hadapan, di atas meja makan terlihat ikan bakar, secangkir besar jus yang diberi dua sedotan, nasi putih, sayur sup, piring, sendok, garpu, dan gelas yang ditata rapi. Ia tersenyum melihatnya. Dadanya kian menggelepar.
Setelah memastikan meja makan siap, ia kembali menuju ruang depan. Hatinya yang merona tak sabar menunggu lelaki bermata tembaga itu muncul bersama mobil birunya. Ah, lama sekali lelaki itu ke kantor pos. Apa mungkin antrian begitu panjang hingga lelaki itu lama menunggu giliran dan uang pensiunannya belum bisa dicairkan? Atau, jangan-jangan lelaki bermata tembaga itu bertemu dengan kekasih masa mudanya. Ia tiba-tiba merasa lebih cemas. Ada perasaan cemburu yang meluap begitu saja. Mengapa juga harus ke kantor pos di hari ulang tahun pernikahan? Desisnya, menyesali keputusan lelaki itu.
Terdengar deru mobil di halaman depan, seketika ia mendongak, matanya berlari begitu cepat dan berhenti pada satu sosok lelaki yang tengah membuka pagar. Terburu ia menjangkau daun pintu, mobil itu memasuki halaman dan berhenti di depan teras. Lelaki yang membuka pagar tadi berlari kecil menuju pintu belakang mobil, membukanya. Ia menyerbu ke sana.
Ah, betapa hatinya meronta-ronta saat ini, matanya semringah saat menemukan lelaki bermata tembaganya telah berdiri di samping mobil. Ia memeluk lelaki bermata tembaga itu. Tak perduli lagi ia dengan dandanannya yang begitu sempurna siang ini.
“Lama sekali,” desisnya, membuyarkan ketakjuban lelaki bermata tembaga itu.
“Aku ada urusan sebentar,” jawab lelaki itu dengan senyum manis.
“Ah, kau bertemu dengan mantan kekasihmu?” kejarnya.
Lelaki itu menggeleng, lalu menggandeng mesra wanita itu menuju ke dalam rumah. Lelaki yang membukakan pintu mobil biru itu tersenyum dikulum, menggeleng, sebelum akhirnya menutup pintu mobil dan membawa mobil itu menuju garasi.
***
“Honey, kau ingat dengan ikan bakar kesukaanmu? Tiap awal bulan di tahun pertama kita menikah, aku membuatkannya untukmu,” kenangnya, lelaki bermata tembaga itu tersenyum, ia meletakkan pantatnya di atas kursi. Kini, keduanya berhadap-hadapan.
“Ya, rasanya baru kemarin kita melewatinya, saat anak-anak belum ada dan kini kembali tiada,” jawab lelaki itu. Ia tersenyum hangat, rona di dadanya kian kentara. Betapa berbunga hatinya, merayakan pernikahan yang keempat puluh lima, menggelepar seperti malam pertama.
“Aku membelikanmu lipstik merah jambu sebagai hadiah pernikahan kita, maukah kau memakainya untukku?” pinta lelaki itu, ia tersipu. Ia lupa kalau ia telah menggunakan lipstik merah jambu. Mungkin lelaki bermata tembaga itu juga tak melihat warna bibirnya siang ini. Ia hanya mengangguk malu-malu, lelaki itu merogoh saku bajunya. Hati yang merona itu menunggu-nunggu, hadiah lipstik dari lelaki bermata tembaga itu. Ah, ia tidak pernah menduga kalau di usia kepala tujuh orang bisa juga bergejolak hatinya, seperti mereka.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Nisan Tak Bermakam
CERPEN HATI YANG MERONA ITU MENUNGGU-NUNGGU OLEH GUNTUR ALAM
Reviewed by Unknown
on
8:45 AM
Rating:
No comments: