CERPEN FROM GAZA WITH LOVE OLEH IRWAN KELANA
image |
Ketika Ismail menyatakan ingin menjadi wartawan, aku sebetulnya tidak setuju. Cukup aku saja yang jadi wartawan. Anak-anakku jangan ada yang mengikuti jejakku. Jadi wartawan tak akan bisa kaya. Aku jadi wartawan selama 25 tahun, tapi karierku tak lebih dari redaktur senior. Dan gajiku kalah dibandingkan anak muda yang baru kerja dua tahun di sebuah perusahaan BUMN.
Namun, putra sulungku itu bersikeras tetap ingin menjadi wartawan. Ia menegaskan, “Dahulu Ayah pernah berkata, jadi wartawan itu memang tidak kaya secara materi, tapi kaya hati, kaya jiwa. Jiwa kita akan terasa lapang dan lega manakala kita bisa membantu orang-orang yang tertindas, orang-orang yang teraniaya. Sebagai wartawan, kita mempunyai kesempatan untuk melakukan hal tersebut.”
***
“Yah, mohon izin dan doa, aku akan ikut rombongan relawan kemanusiaan yang akan berangkat ke Gaza minggu depan,” ujar Ismail melalui telepon.
Aku terkejut.
“Gaza? Tempat itu sangat berbahaya, Is. Pemerintah dan tentara Israel pasti tak akan membiarkan siapa pun melewati perairan tersebut menuju Gaza. Tempat tersebut diblokade sejak beberapa tahun terakhir.”
“Memang, Yah. Kami semua tahu itu. Tapi, akan tetap mencoba sebatas yang mungkin bisa dilakukan. Lagipula, rombongan kami jumlahnya ratusan orang dan berasal dari puluhan negara, termasuk Amerika dan Eropa. Di antara relawan itu banyak tokoh terkemuka, seperti peraih hadiah nobel, mantan senator, dan penulis novel terkenal. Tentu saja puluhan jurnalis dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia.”
“Sudah kau pikirkan masak-masak niatmu itu? Bagaimana dengan Sindy yang tengah hamil tua?” tanyaku khawatir.
“Ah, Ayah seperti lupa. Sembilan belas tahun lalu, Ayah meninggalkan ibu yang sedang mengandung Yusuf sembilan bulan demi meliput Perang Teluk yang pertama. Ayah tidak ragu sedikit pun. Sekarang aku pun begitu. Dan Sindy sudah siap lahir batin. Dia bahagia kalau aku pulang dengan selamat dan dia pun ikhlas kalau kelak aku pulang dalam peti mati sebagai seorang syahid. Lagipula dia masih muda, cantik, dan salehah pula. Kalau pun dia jadi janda, pasti banyak lelaki saleh dan insya Allah lebih kaya dari aku yang siap menyuntingnya.”
“Husss! Kamu kalau ngomong suka sembarangan!”
Terdengar tawa kecil di seberang sana. “Pokoknya Ayah doakan aku dan seluruh rombongan biar selamat dan misi kemanusiaan kami dapat membuat anak-anak Palestina tersenyum. Ibu mana, Yah?”
“Sebentar, Bu, ini anakmu mau bicara. Katanya dia mau ke Gaza untuk mengantarkan bantuan kemanusiaan sekaligus melakukan liputan di sana.”
***
Sejak rombongan dari Indonesia berangkat ke Gaza melalui Turki bersama dengan relawan lainnya, aku terus memantau perkembangannya. Ada lebih 600 relawan dari berbagai negara. Mereka membawa bermacam-macam bantuan untuk rakyat Palestina.
Ismail beberapa kali kirim SMS kepadaku. “Doain, Yah. Titip Sindy ya.”
Ketika kapal raksasa yang membawa rombongan relawan itu makin mendekati Gaza, aku makin khawatir akan reaksi Israel yang bertekad dan nekat menghadang rombongan relawan tersebut. Apalagi, selama ini, Israel sering tidak peduli apa kata dunia.
Akhirnya apa yang aku khawatirkan itu menjadi kenyataan. Pasukan Israel menyerbu dengan membabi buta saat kapal yang mengangkut relawan itu berada di perairan internasional. Penyerbuan yang biadab itu menyebabkan sembilan orang tewas. Ada pula yang luka tertembak.
Berita simpang siur. Aku berkali-kali mencoba menghubungi HP Ismail, tapi tidak ada nada sambung sama sekali. Aku sangat cemas kalau-kalau Ismail termasuk korban yang tewas atau luka tembak. Aku dan istriku segera ke Depok untuk menemani Sindy sambil terus mencari informasi tentang Ismail. Istriku sangat mengkhawatirkan Sindy, tapi istri Ismail itu tampak tenang dan pasrah. “Tenanglah, Bu. Kalau Allah mengizinkan Mas Ismail pulang dengan selamat, dia pasti pulang dengan selamat. Namun, kalau Allah menghendaki Mas Ismail meninggal di Gaza, dia tidak mati sia-sia. Dia gugur sebagai syuhada. Saya sudah ikhlas, Bu,” tuturnya mantap.
Betul-betul menantu yang luar biasa. Tidak salah Ismail memilih istri. Perempuan berjilbab bernama Sindy Mara’atush Shalihah! Lulusan sebuah pesantren tahfizh di Jawa Tengah itu hafal Alquran 30 juz.
Dua hari kemudian barulah ada informasi bahwa seluruh rombongan relawan dari Indonesia selamat. Ada dua orang yang tertembak dan dirawat di rumah sakit di Israel, sedangkan yang lainnya ditahan dan diinterogasi oleh tentara Zionis Israel. Melalui beberapa kontakku, aku mencari nomor telepon Dubes RI di Yordania. Aku kenal baik dengan beliau. Sewaktu dia menjabat dirut sebuah bank, aku sering mewawancarainya.
“Assalaamualaikum, Pak Dubes. Saya Abdurrahman, wartawan yang biasa meliput Bapak pada tahun 1990an.”
“Waalaikumsalam, Pak Rahman. Saya ingat. Apa yang bisa saya bantu, Pak?”
“Salah satu anggota rombongan relawan adalah anak saya. Seorang wartawan, namanya Ismail. Mohon bantuan, Pak Dubes, bagaimanakah keadaannya?”
“Pak Rahman tak perlu cemas. Alhamdulillah, sepuluh orang, semuanya selamat. Delapan orang sudah ada di Yordan, termasuk Ismail. Hanya dua orang yang masih dirawat di RS di Israel karena kena tembak tentara Israel.”
Dubes menjelaskan bahwa dia sudah ditelepon oleh Presiden, menanyakan kondisi seluruh relawan dari Indonesia. Presiden juga berpesan kepada Dubes agar memberikan pelayanan semaksimal mungkin kepada para relawan itu agar bisa segera kembali ke Tanah Air. Para tokoh dan masyarakat di berbagai negara mengutuk aksi barbar tentara Israel. Di Indonesia, demo digelar di berbagai tempat. Semuanya mengutuk zionis Israel. Keesokan harinya, akhirnya aku bisa berbicara dengan Ismail.
“Bagaimana keadaanmu, Nak?” tanyaku tak sabar.
“Alhamdulillah, berkat doa ibu, Ayah dan Sindy, aku dan rombongan dari Indonesia semuanya selamat.”
“Syukurlah. Kapan kamu pulang?”
“Tergantung pemerintah mengurusnya. Tapi, insya Allah secepatnya. Sindy bagaimana, Yah, apakah sudah ada tanda-tanda mau melahirkan?”
“Tadi pagi, dia mulai mulas-mulas. Makanya, ibumu sekarang lagi mengantar dia ke rumah sakit. Tapi, tadi ibumu menelepon, kata dokter mungkin masih dua atau tiga hari lagi. Mulas-mulas tadi mungkin lantaran tegang memikirkan kamu.”
“Syukurlah. Kalau anakku sudah keburu lahir sebelum aku tiba di rumah, tolong azankan dan ikamatkan ya, Yah.”
Baca: Cerpen Gadis Kupu-Kupu
“Tentu. Yang penting kamu pulang dengan selamat.”
Sejak peristiwa penyerbuan kapal bantuan tersebut, rumah kecil milik Ismail jadi ramai. Tiap hari banyak wartawan dari berbagai media datang untuk mewawancarai Sindy, istriku, bahkan juga aku. Biasanya, aku mewancarai orang, kini aku diwawancarai.
Para wartawan bertambah banyak yang datang ke rumah Ismail. Apalagi ketika dua hari kemudian Sindy melahirkan. Mereka seakan berlomba-lomba melakukan liputan yang penuh humanisme.
Akhirnya, Ismail pulang. Di bandara, ia disambut oleh ratusan penjemput. Begitu pula di rumah, ratusan orang tetangga dan puluhan wartawan sudah menunggunya. Ismail seperti pahlawan.
***
Lewat pukul sepuluh malam, para tetangga sudah pulang. Demikian pula para pemburu berita, baik dari media cetak, online, maupun elektronik.
Aku dan Ismail duduk di beranda rumah. Semburat purnama bertengger di langit. Angin malam membelai lembut.
“Sudah punya nama buat bayimu?”
“Sudah, Yah.”
“Siapa?”
“Muhammad Fatih El-Ghozi.”
“Artinya apa?”
“Muhammad Sang Pembebas Gaza. Aku berdoa, semoga 25 tahun lagi dia akan datang ke Gaza, meneruskan jejak ayahnya untuk membebaskan Gaza, membongkar segala blokade yang menyengsarakan rakyat Palestina, membuka jalan seluas-luasnya untuk kesejahteraan mereka, serta mengibarkan panji-panji cinta dan perdamaian di antara warga dan para pemimpin Palestina,” tutur Ismail penuh semangat.
Aku menepuk-nepuk bahunya. “Tak ada doa yang lebih pantas untuk aku ucapkan selain ‘Aamiin’,” kataku.
Ia memelukku. “Terima kasih, Yah. Tidak salah kan aku memilih profesi sebagai wartawan? Seperti pernah Ayah katakan bertahun-tahun lalu, jadi wartawan mungkin tidak kaya materi, tapi kaya hati,” bisiknya.
Aku hanya tersenyum.
Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Lelaki Sepi
CERPEN FROM GAZA WITH LOVE OLEH IRWAN KELANA
Reviewed by Unknown
on
11:14 PM
Rating:
No comments: