CERPEN KUPU-KUPU DAN DESING PELURU OLEH S. PRASETYO UTOMO
image Ann Jonnes |
Tubuh Sarmo gemetar mengikuti kupu-kupu yang terbang rendah seperti memberi arah langkah kakinya. Kupu-kupu itu membawanya ke sebuah lorong gang, senja hari, di daerah pantai. Di kejauhan terdengar pertarungan orang-orang yang murka, orang yang berteriak-teriak kalap, melemparkan apa saja yang mereka genggam.
Tanpa seragam dan pentungan, Sarmo merasa lebih ringan melangkah. Tak bermusuhan dengan siapa pun. Ia menyelinap diam-diam, terus berjalan, menghindarkan diri dari keriuhan. Terus berjalan. Mengikuti kupu-kupu yang terbang rendah. Hingga ia tak lagi melihat asap yang membubung ke langit. Tak mendengar lagi suara teriakan-teriakan orang marah.
Tak terusik hati Sarmo untuk kembali ke kamar kontrakannya. Ia mengikuti kepak sayap kupu-kupu kecokelatan yang terbang rendah. Melupakan suara-suara meminta tolong itu terus menghantuinya. Menepis suara rintihan. Melenyapkan bayang orang-orang yang dipukuli, diinjak-injak, memekik nyaring, mulut melelehkan darah.
***
Menyusup di antara pepohonan, meninggalkan hiruk-pikuk manusia yang saling pukul, Sarmo mencapai dataran tepi muara sungai. Tak didengar lagi suara teriakan-teriakan garang. Langkah lelaki muda itu mencapai rumah papan di tepi tanggul sungai. Tepian sungai dengan air menggenang, hijau kehitaman—muara yang dekat dengan pantai. Kupu-kupu kecoklatan itu menghilang.
Sarmo seperti tak sadar, mengapa ia mencapai rumah papan kusam di tepi sungai. Ia termangu di depan pintu yang sedikit terbuka. Seorang lelaki tua dia lihat sedang berjongkok di depan tungku kayu.
“Masuklah! Akan kusediakan secangkir kopi untukmu,” kata lelaki tua yang duduk di depan tungku.
Menghirup kopi kental, di depan tungku kayu, Sarmo merasakan tubuh yang menghangat. Tubuh yang semula gemetar, kini merasakan ketenteraman. Ia tak ingin kembali ke kamar kontrakan. Ia tak mau dipandangi orang-orang kampung di sekitar kontrakan dengan kebencian. Ia ingin berhenti mengenakan seragam dinas itu dan tak lagi ingin memukuli orang-orang dengan pentungan.
“Tinggallah di sini,” kata lelaki tua itu, yang menyatakan diri sebagai penggali kubur. “Aku sendirian di rumah ini.”
Memandangi cangkul dan linggis di sudut dapur, Sarmo teringat cangkul, sabit, dan caping yang sehari-hari dikenakan ke sawah dan ladang di desa—sebelum berangkat mencari pekerjaan ke kota. Dia mendekati tungku masak, seperti kebiasaannya membakar singkong dan jagung di ladang.
Penggali kubur itu makan, merokok, dan membiarkan bara tungku masak menghangati rumah papan. Bila malam tercium aroma garam yang merembes celah dinding papan.
“Besok pagi-pagi benar, makam keramat itu akan dipindahkan! Sekarang, tidurlah! Besok ikutlah denganku!” Si penggali kubur tak lagi mengatakan apa pun. Sarmo bertanya-tanya dalam hati, ia baru saja bentrok dengan orang-orang yang meminta pemindahan makam keramat diurungkan. Bagaimana mungkin makam keramat itu akan segera dibongkar besok pagi? Lelaki penggali kubur itu tertidur pulas, seperti tak mengenal kesedihan. Tak menghiraukan kesibukan di luar rumahnya.
Sarmo terus nyalang sepanjang malam. Teringat akan komandannya yang penuh perhatian. Tanpa sepengetahuan komandan, dia menghilang begitu saja.
***
Sepasang kupu-kupu bersayap kecokelatan hinggap di pusara makam keramat. Penggali kubur tak mengusirnya. Sarmo yang mengikuti lelaki penggali kubur menjadi takjub, ketika empat kupu-kupu terbang rendah, bersayap rapuh, dengan gerakan yang ringan. Kupu-kupu itu hinggap, terbang, hinggap lagi. Enam belas kupu-kupu terbang dari pepohonan liar di makam, mengitari pusara. Datang kian banyak kupu-kupu yang memenuhi langit. Di sepanjang jalan ke makam berderet lelaki-lelaki bersenapan, tank, dan mobil penyemprot gas air mata.
Kupu-kupu dari empat penjuru memenuhi langit di atas makam keramat itu digali. Tercium bau harum saat cangkul menggali tanah kubur keramat. Sarmo mengikuti lelaki penggali kubur, dan menemukan keperkasaan masa silamnya: mengolah tanah. Kian dalam makam digali, kian pekat bau harum tercium. Kupu-kupu kian berlipat-lipat memenuhi langit pagi menjelang matahari rekah.
Mayat yang berumur ratusan tahun masih utuh terbungkus kain kafan, tak tercabik sesobek pun. Mayat itu diangkat, dan kupu-kupu terbang rendah di atas pusara, dan pasukan bersenapan itu tergeragap. Mendadak serbuan orang-orang bersenjata tajam memburu beriringan, kalap menerjang pasukan bersenapan.
Rentetan tembakan ke langit berdesingan. Orang-orang yang mengamuk menghambur, meninggalkan makam keramat itu. Kembali sunyi. Hanya suara cangkul dan linggis membongkar kuburan. Beberapa pasang kupu-kupu masih beterbangan di atas makam keramat. Tak seorang pun berani mengusik berpasang pasang kupu-kupu kecokelatan itu.
Baca: Cerpen Salju Gurun
***
Sepulang dari memindah makam keramat dan beberapa jenazah lain, Sarmo mengikuti langkah penggali kubur menyusuri gang. Lelaki penggali kubur memanggul cangkul. Sarmo dengan tubuhnya yang kekar memanggul linggis. Tubuh mereka kotor berlumur tanah, keringat mengering, wajah Sarmo membersitkan keceriaan. Kupu-kupu kecokelatan terbang mengikuti langkah mereka. Kupu-kupu kecokelatan itu terbang menjauh menjelang mencapai rumah papan di tepi tanggul sungai.
Suara gemuruh bolduser, gemeretak rumah-rumah kayu yang dibongkar, suara jerit dan teriakan-teriakan marah orang-orang di tepi tanggul sungai kian riuh. Sarmo tercengang. Keriuhan orang-orang, teriakan, caci-maki, sumpah-serapah, dan jerit tangis yang mengapung sepanjang tepian sungai menggerakkan langkah Sarmo bergegas. Disaksikannya rumah penggali kubur sudah dibongkar buldoser.
Tak berani Sarmo mendekat. Ia melihat komandan dan teman-temannya: orang-orang berseragam dengan pentungan di tangan. Mereka berada di garis depan, dijaga pasukan bersenapan berjajar di sepanjang tanggul sungai. Wajah mereka sinis, dingin, dan menahan murka. Lelaki-lelaki berseragam dengan pentungan di tangan membakar reruntuhan rumah-rumah papan. Penghuni rumah-rumah papan itu tak berani menembus barisan lelaki-lelaki bersenapan. Mereka menjerit-jerit. Melolong-lolong. Berteriak-teriak.
Api surut perlahan-lahan. Cahaya senja semerah besi berkarat. Kupu-kupu kecokelatan terbang rendah di tanah bekas rumah penggali kubur. Datanglah sepasang kupu-kupu, empat, enam belas, dan kian berlipat kupu-kupu mengitari tanah-tanah yang terbuka. Lelaki-lelaki bersenapan terpana menyaksikan kupu-kupu kecokelatan beterbangan. Mendadak, tak terduga, muncul berbondong-bondong orang bersenjata tajam, berteriak bersamaan, menghambur dari lorong-lorong gang. Menyerbu lelaki-lelaki berseragam dan barisan lelaki bersenapan yang tergagap. Tembakan senapan beruntun berdesingan di langit senja.
***
Seekor kupu-kupu kecokelatan terbang mengikuti langkah Sarmo. Ia tak lagi menemukan penggali kubur. Tinggal cangkulnya. Tergeletak di antara orang-orang yang terluka. Berlumur darah. Dipungutnya cangkul penggali kubur dan dia meninggalkan kawasan tepi tanggul sungai yang kini terbuka kecokelatan tanpa rumah-rumah papan di atasnya. Dia melangkah menyusuri lorong gang. Terus melangkah. Tak ada jalan lain, ia mesti kembali ke kamar kontrakannya. Ia terus melangkah. Kupu-kupu itu menghilang dalam gelap.
Menjelang malam Sarmo mencapai kamar kontrakan. Mencari sebuah papan bekas, membeli cat dan kuas. Menulis sesuatu di papan itu. Memakukannya di dahan pohon nangka yang tumbuh di depan kamar kontrakannya. Kupu-kupu kecoklatan hinggap di papan. Sayapnya kuncup. Seorang anak kecil berlarian di lorong gang, berhenti, membaca terpatah-patah tulisan di papan yang dipakukan pada dahan pohon nangka: “Penggali Kubur”.
***
Ketukan pintu kamar kontrakan Sarmo terdengar gencar. Membangunkan lelaki muda itu dari tidur lelapnya. Hari masih gelap, meski angin fajar terhembus saat ia membentangkan pintu kamar. Harum buah nangka rekah tercium seketika. Seorang lelaki setengah baya, berpeci, bersarung, tak henti-henti menghisap rokok berdiri di depan pintu kamar. Sepasang matanya kuyu.
“Ikutlah denganku ke rumah duka. Ukur mayatnya,” kata lelaki setengah baya itu. “Dan galilah liang lahat pagi ini juga. Pemakaman dilakukan nanti siang.”
Pagi masih gelap di rumah duka. Sisa embun di rerumputan pelataran, endapan kopi pada gelas, puntung rokok berceceran pada asbak. Sarmo berhadapan dengan wajah kusut seorang ibu, dua putri di sisi jenazah yang terbujur. Foto lelaki bersenapan, berkumis, gagah, dengan sepasang mata bening, mengejutkan Sarmo.
“Dia membiarkan diri dihujani senjata tajam, dan tak mau menembak, hingga meninggal,” kata lelaki setengah baya yang menjemput Sarmo. “Kejadian ini di tepi tanggul sungai tepi pantai kemarin sore.”
Menggali tanah kubur, masih pagi, kupu-kupu kecokelatan mengitari tanah yang digali. Sepasang kupu-kupu datang, empat, enam belas, dan seperti kemarin, berdatangan kupu-kupu di atas kuburan. Liang lahat terasa gembur, dan suara cangkulnya tak pernah membentur bongkah batu.
Pelayat yang mengantar jenazah siang itu memenuhi makam. Kupu-kupu hinggap di daun dan bunga-bunga kamboja. Pasukan bersenapan mengiring pemakaman. Tembakan senapan beberapa kali dalam pemakaman, mengejutkan kupu-kupu yang hinggap di dahan, daun dan bunga-bunga kamboja.
Seekor kupu-kupu kecokelatan kembali mengikuti Sarmo. Ia belum ingin kembali ke kamar kontrakannya. Ingin dicarinya, di mana penggali kubur berada setelah rumahnya dirobohkan dan dibakar. Menuruni makam, ia disambut komandannya yang datang melayat dengan sergapan bahagia,
“Syukurlah, Sarmo. Kutemukan kau dalam keadaan selamat. Kembalilah bertugas besok pagi!”
Memandangi topi, seragam, pentungan, dan sepatu yang dikenakan komandannya, Sarmo masih sempat tertegun. Lama ia termenung. Hampir saja ia mengangguk. Tapi kupu-kupu kecokelatan yang hinggap di bibirnya, menyebabkannya kelepasan bicara, “Aku tak akan lagi bertugas. Akan kujalani hidupku sebagai penggali kubur.”
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga cerpen Sikat Gigi
CERPEN KUPU-KUPU DAN DESING PELURU OLEH S. PRASETYO UTOMO
Reviewed by Unknown
on
9:14 PM
Rating:
No comments: