FILOSOFI KOPI (chapter 2)
Wajah Ben langsung mengeras. Tamu kami
itu pun tersadar akan ketegangan yang ia ciptakan. ‘Aku bercanda kok, Dik.
Kopinya uenak, uenak! Sungguh!’
‘Memangnya Bapak pernah coba yang lebih
enak dari ini?’ Ben bertanya dengan otot-ott muka ditarik.
Tambah pak, bapak itu terkekeh-kekeh,
‘Tapi nduk jauhlah dengan yang Adik
bikin.’
‘Tapi tetap lebih enak, kan?’ Suara Ben
terus meninggi.
Jakun bapak itu bergerak gugup, ia
melirikku, melirik Ben, dan akhirnya mengangguk.
‘Di mana Bapak coba kopi itu?’
‘Tapi… tapi… ndak jauh kok enaknya! Bedanya sedikiiit… sekali!’
Usahanya untuk menghibur malah
memperparah keadaan. Beberapa pengunjung memanggili Ben, tapi tidak digubris
sama sekali. Kaki Ben tertanan di lantai. Seluruh keberadaannya terpusat pada
bapak itu. Dan bukan dalam konteks yang menyenangkan.
‘Di mana?’
‘Wah. Jauh tempatnya, Dik.’
‘DI-MA-NA?’
Belum pernah kulihat Ben seperti itu.
seolah tidak satu hal pun di dunia ini yang bisa mengalihkan energinya,
fokusnya. Aku memilih beringsut menjauh, memenuhi panggilan orang-orang yang
sudah resah karena tidak dilayani.
Tak lama kemudian, Ben menghampiriku.
‘Jo, tengah hari kita tutup. Temani aku pergi ke suatu tempat. Bawa
perlengkapan untuk beberapa hari.’
‘Kemana?’
Ben tidak menjawab. dan mulut it uterus
terkatup rapat . Tak sampai sejam, kedai kami ditutup.
Siapa yang menyangka kalau sisa hariku
akan dihabiskan dengan mengemudi, menyusuri jalan menunju pedesaan di Jawa
Tengah.
Mata Ben seperti sudah mau copot
mempelajari peta minimalis yang digambar oleh baoak malang itu, yang tentunya
dibuat dalam keadaan tertekan.
‘Ben, sudah tambah gelap. Sepertinyakita
tersasar. Cari penginapan saja dulu, besok pagi baru kita keluar lagi.’
Ben bersandar kelelahan. ‘Oke. Kita
kembali je Klaten.’
Aku lansung banting haluan, sesuatu yang
sudah ingin kulakukan sejak tadi, sejak punggungku rasanya remu diguncang-guncang
jalan berbatu.
Kami menginap di Klaten semalam.
Keesokan paginya Ben mengambil alih kemudi. ‘Aku sudah tahu kenapa kita nyasar
kemarin. Ada satu belokan yang tidak kulihat!’serunya berapi-api.
Aku mengiyakan saja. bagiku perjalanan
ini hanya kekonyolan belaka, pemenuhan obsesi Ben terhadap kopi yang katanya
lebih enak menurut pendapat subjektif seorang bapak yang tidak berpengalaman ke
kafe, yang kemungkinannya 99% tak ada akan terbukti apabila melihat lokasi kami
sekarang.
Dibelokan yang dimaksud Ben, kami
berhenti untuk bertanya pada seorang peremuan yang melintas.
‘Oh, barangkali yang sampean maksud itu warungnya Pak Seno?’
‘Pokoknya di sana ada kopi yang enak
sekali,’ jelas Ben.
‘Oh, iyo,
iyo!’ perempuan itu menjawab
semangat.
‘Pokoke
warung Pak Seno mlakune rweus rono,
tapi jalanannya jeelk lho Mas, alon-alon
wae.’
Ben buru-buru mengucapkan terima kasih,
siap tancap gas.
‘Jenenge
kopi tiwus, Mas,’ perempuan itu menambahkan.
Ben menginjak rem sekaligus. ‘Apa?’
‘Kopi tiwus iki lho… aku juga baru bawa dari sana.’ Ia menunjukkan isi bakul
yang dipanggulnya. Biji-biji kopi yang sudah kering terpanggang.
Ben langsung mengambil seraup. ‘Maaf
Mbak, saya ambil sedikit, ya,’ katanya seraya memberikan selembar lima ribuan.
Perempuan itu tampak terlongo. Dari
kejauhan kami mendengar ia berteriak, ‘Maaas… limang ewu iki entuk sak bakuuul!!
Ben seperti kerasukan setan. Jalanan
becek dan berlubang itu dilewatinya dengan kecepatan jalan tol. tinggallah aku
yang sekuat tenaga menahan mual.
Tepat di penghujung jalan, sebuah warung
reot dari gubuk berdiri di atas bukit kecil, ternaungi pepohonan besar. Di
halamannya terdapat tampi-tampi berisi biki kopi yang baru dipetik. Di sekitar
gubuk itu terdapat tanaman-tanaman perdu dengan bunga-bunga putih yang semarak
bermunculan di sana-sini. Aku baru tersadar. Seluruh bukit kecil itu ditanami
tanaman kopi.
‘Tidak mungkin…’ desis Bentak percaya.
‘Tempat dengan ketinggian seperti ini bukan tempat yang ideal ditanami kopi.
Dan, lihat, mana ada petani kopi yang menanam dengan kuantitas sekecil ini.’
Di dalam warung, seorang bapak tua
menyambut kami dengan senyuman ramah, ‘Dari kota ya, Mas?’
Aku mengangguk, ‘Dari Jakarta, Pak.’
‘Jauh sekali!’ Bapak itu geleng-geleng
takjub.
Ben langsung duduk di vangku panjang
yang tersedia, mukanya masih ruwer, ‘Kopi tiwusnya dua.’
‘Jarang-jarang ada orang Jakarta yang ke
mari. Paling-pa;ong dari kota-kota kecil dekat sini,’ tuturnya sambil meraih
dua gelas belimbing yang tertangkup di hadapan kami.
‘Baoak ini Pak Seno, ya?’ tanyaku.
‘Iya. Kok bisa tahu, toh?’
‘Bapak terkenal sampai ke Jakarta,’
jawabku sambil nyengir berusaha menyindir Ben yang sama sekali tidak merasa
tersindir. Matanya tidak lepas mengamati seluruh gerak-gerik Pak Seno membuat
kopi.
Pak Seno tertawa lepas. ‘Walaaah, ya
mana mungkin!’ Di hadapan kami kini tersaji dua gelas berisikan kopi kental
yang mengepul.
‘Gorengannya sekalian dicoba, Mas. Monggo.’
Aku menyomot satu pisang goreng. Masih
ada beberapa lagi piring-piring berisi gorengan beraneka macam.
Ben tak banyak bicara. Ia cuman
memandangi gelas di hadapannya, seolah menunggu benda itu bicara padanya.
‘satu gelas harganya berapa, Pak?’
‘Kalau gorengannya 50 perak satu. Tapi
kalau kopinya, sih, ya berapa saja terserah situ.’
‘Kenapa begitu, Pak?’ tiba-tiba Ben
bersuara.
‘Habis Bapak punya buanyaaak… sekali.
Kalau memang mau dijual biasanya langsung satu bakul. Kalau dibikin minuman
begini, cuma-Cuma juga ndak apa-apa.
Tapi, orang-orang yang ke mari biasanya tetap saja mau bayar. Ada yang kasih
150 perak, 100,200… ya, berapa sajalah.’
‘Mari, diminum, Pak,’ aku bersiap
menyeruput.
‘Oh, monggo,
monggo.’
Ternyata Ben sudah duluan meneguk.
Sejenak aku terpaku, menunggu reaksi yang muncul. Ben cuma membisu. Hanya
matanya diliputi misteri. Perlahan, aku ikut menenggak. Dan…
Kami berdua tak bersuara. Teguk demi
teguk berlalu dalam keheningan.
‘Tambah lagi, toh?’ Suara lembut Pak
Seno menginterupsi.
Baik aku maupun Ben tidak berkata
apa-apa, hanya membiarka saja gelas-gelas kami diisi lagi.
‘banyak sekali orang yang yang doyan
kopi tiwus ini. bapak sendiri ndak ngerti
kenapa. Ada yang bilang bikin seger, bikin tentrem, bikin sabar, bikin tenang,
bikin kangen… hahaha! Macem-macem! Padahal kata Bapak sih biasa-biasa saja
rasanya. Barangkali memang kopinya yang ajaib. Bapak ndak pernah ngutak-ngutik, tapi berbuah terus. Dari pertama kali
tinggal di sini, kopi itu sudah ada. kalau ‘tiwus’ itu dari nama almarhumah
anak gadis Bapak. Waktu kecil dulu, tiap dia lihat bunga kopi di sini, dia suka
ngomong ‘tiwus-tiwus’ gitu,’ dengan asyuk Pak Seno mendongeng.
Tiba-tiba Ben menghambur keluar.
Aku tak emnahannya. Kubiarka dia duduk
sendiria di bawah pohon besar di luar sana.
Matahari sudah menyala jingga. Aku
menghampiri Ben.
‘Apa lagi yang kamu cari? Kita pulang
sajalah.’
‘Aku kalah,’ desisnya lesu.
‘Kalah dari apa? Tidak ada kompetisi di
sini.’
‘Berikan ini pada Pak Seno,’ Ben
menyodorkan selembar kertas.
Mataku siap meloncat keluar ketika tahu
apa yang ia sodorkan. ‘Kamu sudah gula. Tidak bisa!’
‘Jo, kamu sendiri sudah mencoba rasa
kopi tadi. Apa itu tidak cukup menjelaskan?’
Setengah mati aku berusaha memahaminya.
‘Oke, kopi itu memang unik. Lalu?’
‘Kamu masih tidak sadar?’ Ben menatapku
prihatin.
‘Aku sudah diperalat oleh seseorang yang
merasa punya segala-galanya, menjebakku dalam tantangan bodoh yang cuman jadi
pemuas egonya saja, dan aku sendiri terperngkap dalam kesempurnaan palsu,
artificial!’ serunya gemas,
‘Aku malu pada diriku sendiri, pada
semua orang yang sudah kujejali dengan kegombalan Ben’s Perfecto.’
Gombal? Aku positif
tidak mengerti.
‘Dan kamu tahu apa kehebatan kopi tiwus
itu?’ dengan tatapan kosong, ‘Pal Seno bilang, kopi itu mampu menghasilkan
reaksi macam-macam. Dan dia benar. Kopi tieus telah membuatku sadar, bahwa aku
ini barista terburuk. Bukan cuman sok
tahu, mencoba membuat filosofi dari kopi lalu memperdagangkannya, tapi yang
paling parah, aku sudah merasa membuat kopi paling sempurna di dunia. Bodoh!
Bodoooh!’
‘Coba diingat-ingat, rencana
pengembangan Filosofi Kopi yang sudah kususun. Dan semuanya itu membutuhkan
kertas ini sebagai modal,’ bujukku.
‘Aku pension meramu kopi.’
Kali ini ketdakpahamanku meledak.
‘Kenapa kamu harus membuat urusan kopi ini jadi kompleks? Romantis overdosis?
Okelah, kamu cinta kopi, tapi tidak usah jadi berlebihan. Pakai rasiu…’
Ben bangkit berdiri. ‘Memang Cuma duit
yang kamu pikir! Profit, laba, omset… kamu memang tidak pernah mengerti arti
kopi buatku. Ambil saja Filosofi Kopi. Kamu sama dengan laki-laki goblok sok
sukses itu…’
Tinjuku sudha ingin mampir ke mukanya,
tapi kutahan kuat-kuat. ‘Ben, kamu masih kalut. Jangan asal ngomong. Kita
pulang ke Jakarta sekarang.’
‘Berikan dulu itu ke Pak Seno.’
‘Jangan tolol! Sampai kapan pun aku
tidak akan kasih. Itu jelas bukan haknya, uang ini kamu dapat karena kerja
kerasmu menciptakan Ben’s Perfecto.’
Namun nama itu seperti penghinaan sampai
kekupingnya, membuat Ben malah bergidik jijik. ‘Jo, ingat,’ ancamnya, ‘uang itu
hakku sepenuhnya.’
‘Tidak lagi, ketika kita sepakat
digunakan untuk pengembangan kedai,’ bantahku cepat.
Kuat-kuat Ben menggeleng. ‘Ambil saja
bagianku di kedai. Aku serius.’
‘Bukan begitu…’
‘Kalau kamu memang sahabatku, jangan
paksa aku apa-apa.’ Ia berkata lirih.
Mendengarnya, otakku seperti macet
berargumentasi. Namun sampai langkah gontai kami berdua akhirnya menggiring
kami masuk ke mobill, sampai lambaian Pak Seno mengantar kepergian kami kembali
ke Jakarta, secarik kertas itu tetap kugenggam erat-erat.
Ben bernar. Aku tak bisa memaksanya. Tak
ada yang bisa. Semangat hidupnya pupus seperti lilin tertiup angin, sama
nasibnya seperti kedai kami yang padam. Tutup.
Tinggal aku yang kerepotan melayani
telepon, surat-surat yang menanyakan kabar Filosofi Kopi, bahkan beberapa orang
menawarkan bantuan uang kalau memang kami kesulitan financial. Ada juga yang
mengirimkan bungan dan parsel! Buah-buahan karena dikiranya Ben jatuh sakit.
Ben sehat-sehat saja, ia hanya tak mau
mau berurusan dengan kopi, sekalipun setiap malam ia ada di sana, di dalam bar
yang dibekukan oleh kesunyian.
Kuurut kedua pelipisku pelan.
Sejujurnya, aku pun kalut, dan lama-lama meragukan sikapku sendiri. mungkin Ben
benar. Yang kipikirkan hanyalah uang, profit, dan nasib yang entah apa jadinya
tanpa Filosofi Kopi, benlah sesungguhnya tungku tempat ini, dan aku malah
memadamkannya dengan ketdakmengertianku.
Tiba-tiba perhatianku terusik. Sebuah
kantong plastik yang masih terikat di pojok meja tertangkap ekor mataku. Kopi
tiwus.
Tiba-tiba saja tanganku bergerak cepat
meraih kantong itu, membuka simpulnya, meraup secukupnya, lalu memasukkannya ke
dalam mesin penggiling. Tak lama kemudian, siap sudah secangkir kak kopi tiwus
panas. Untuk pertama kalinya aku membuat kopi sendiri.
Kuhirup tegukan tiwusku yang pertama… di
benakku membayang wajah Ben. Saat ia datang padaku bersama setumpuk ide
cemerlang mengenai kedai ini. dua tahun yang lali.
Kuhirup tegykanku yang kedua…
membayanglah potongan-potongan gambar, kerja keras kami berdua. Modal
pas-pasan. Uang nyaris tak tersisa. Semuanya dikorbankan habis-habisan untuk
tempat ini. membayang wajah Benyang seperti gelandangan ketika pulang dari tur
kopinya ke Eropa. Aku tersenyum, dia memang manusia gigih.
Tegukan yang ketiga… senyumku kian
melebar. Kenangan suka-duka melintas: satu hari tanpa pengunjung hingga kami
dengan frustasi meminum bercangkir-cangkir kopi sampai pusing… mesin penggiling
bekas yang sering ngandat… tamu yang lupa bawa uang dan akhirnya meninggalkan
sepatu sebagai jaminan… aku tertawa.
Teguk demi teguk berlalu. Semakin padat
kenangan yang terkilas balik. Dan ketika tinggal tetes-tetes terakhir yang
tersisa, ampas di dasar cangkirku ternyata sebuah perasaan kehilangan. Aku
kehingan sahabatku.
Dua hari sudha aku meninggalkan Jakarta.
Begitu tiba, aku singgah di kedai untuk mengambil kunci rumahku yang
tertinggal.
Tidak kuduga aku bertemu Ben ada di
sana, padahal waktu sudah hampir tengah malam. Ia duduk sendirian, tak bereaksi
apa-apa sekalipun telah mendengarku masuk dari tadi.
Dari dapur, aku keluar dan
menyuguhkannya secangkir kopi
‘Tidak, terima kasih,’ gumamnya.
‘Jangan begitu. Kapan lagi aku yang Cuma
tahu menyeduh kopi sachet ini nekat
membikinkan kopi segar untuk seorang barista?’ kelakarku.
Baen menyunggungkan senyum kecil, lalu
mencicipi sedikit kopi buatanku. Seketika air mukanya berubah.
‘Apa maksudnya ini?’ Ben setengah
menghardik.
Aku tak menjawab, hanya memberinya
sebuah kartu.
KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:
‘KOPI TIWUS’
Artinya
Walau tak ada
yang sempurna,
hidup ini indah
begini adanya.
‘Pak Seno nitip salam. dia juga titip
pesan, kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi
yang kamu buat, kopi tetap kopi, pinya sisi pahit yang tak mungkin kamu
sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi tiwus… memberikan sisi pahit yang
membuatmu melangkah mundur, dan berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya
pelajaran,’ napasku harus dihela agar lega dada ini, ‘bahwa uang puluhan juga
sekalipun tidak akan membeli semua yang sudah kita lewati. Kesempurnaan itu
memang palssu. Ben’s Perfecti tidak lebih dari sekadar ramuan kopi enak.’
‘Benar, kan,’ Ben menyunggingkan senyum
getir, ‘kita memang Cuma tukang gombal.’
‘Tapi masih banyak yang harus kamu
pikirkan. Seperti ini…’ kutumpahkan kartu ucapan dan surat-surat ke meja,
‘orang-orang ini tidak menuntut kesempurnaan seperti Ben;s Perfecto. Mereka
mencintaimu dan Filosofi Kopi, apa adanya.’
Ben menatapi berantakan kertas di
hadapannya. Kutunggu hingga tangan itu bergerak pelan, meraih satu per satu
kartu, surat: Sedikit demi sedikit
kehidupan Filosogi Kopi mengembus lewat tulisan mereka. ben kenal
semuanya. Wajah-wajah hangat oleh kepulan uap kopi yang meruap dari
cangkir-cangkir yang ia suguhkan setiap harinya dengan cinta.
Aku masih diam, menunggu Ben yang
meraupkan kedua tangannya menutupi muka. Kama sekali. Dan ketika kusangka
penantianku tak bakal usai, tiba-tiba Ben berdiri, tangannya mencengkeram
bahuku, ‘Uang itu?’ desisnya.
‘Ada di tangan yang tepat.’
Kulihat Ben mengangguk samar. Dan di
balik punggungnya, aku yakin ia akan tertawa lebar.
Pada kaca besar kedai, tampak siluet
tangan yang kembali menarik di dalam bar, menyiapka peralatan untuk esoh hari,
membangunkan Filosofi Kopu yang lama dia bagai bubuk kopi tanpa riak air. Seduhan
secangkir kopi tiwus malam ini mengawinkan lagi keduanya.
Ratusan
kilometer dari Jakarta…
‘Mbok, mau anak
sing njupuk kopi tiwus, aku dijoli iki…’ Pak Seno berkata pada istrinya dan
menunjukkan selembar kertas bertuliskan angka-angka.
‘Iki
opo, Mas? Istrinya garuk-garuk kepala tak mengerti.
FILOSOFI KOPI (chapter 2)
Reviewed by Unknown
on
11:10 PM
Rating:
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny