Tuesday, June 27, 2017

CERPEN KISAH SERUAS JALAN OLEH INDRIAN KOTO, SUNLIE THOMAS ALEXANDER



lelaki tua berjalan di ruas jalan taman
image Babro
Jalan Pembuka Begini mula-mula, kami sering berebutan jika bicara masa lalu yang lekang di ingatan. Mulai dari jenis mainan, kebiasaan ketika pulang sekolah, buku yang kami baca, hingga jalan-jalan yang menempel di kepala. Meski kami tinggal tidak satu kota, usia yang relatif berbeda dan memiliki perbedaan latar budaya, kami merasa sepakat, ada banyak persamaan di antara kami menghabiskan waktu pada masa kecil. 

Setiap kali membicarakan masa lalu, kami seperti sedang reuni, seolah lawan dan teman main. Kami merasa sama-sama mengumpulkan kertas rokok, lidi korek api, dan memainkan gambar umbul. Rasanya kami teman yang sama ketika bergerombol di rumah tetangga menonton televisi. Kami seperti kawan seperjalanan yang berombongan naik sepeda di sore hari atau pada hari Minggu yang cerah. Menjelajahi jalan-jalan bersimpang hingga jalan-jalan tikus dan merasa kami adalah penakluk dunia. 

Entah siapa di antara kami yang punya ide mengenai ini. Kami menuliskan bagian-bagian yang lekat di ingatan dan di mulai dari jalan. Dengan begitu, kami merasa akan mendapat porsi yang sama dalam bercerita. Dimulai dari jalan-jalan yang lekat di ingatan, siapa tahu, kelak kami akan sampai pada cerita-cerita yang lain pula. 

Belinyu, Jalan-jalan yang Menyesatkan Ingatan 

DI kota kecil kami, ada seruas jalan yang paling aku sukai layaknya jalan Parangtritis di Jogja dan Braga di Bandung. Jalan Depati Amir, begitulah ruas jalan itu diabadikan dengan nama seorang pahlawan pulau kecil kami—setelah entah berapa kali bersalin nama. Terbentang ia dari Rumah Sakit Timah hingga ke lapangan tenis dan tangsi. Sementara cabang-cabang jalannya dinamakan pula dengan nama tiga demangnya yang tak kalah kesohor: Demang Singayudha, Demang Batin Tikal dan Demang Suramenggala. 

Namun tetap saja orang-orang Tionghoa lebih suka menyebut jalan-jalan di kawasan ini sebagai Holland Kai, Jalan Belanda. Tentu lantaran di sana berdiri rumah-rumah berarsitektur Belanda peninggalan para pegawai timah di jaman kolonial. Pada masa kejayaan penambangan pada 70-an hingga 80-an, rumah-rumah di ketiga ruas jalan ini dihuni oleh para pejabat perusahaan timah setingkat kepala wilayah produksi dan para kepala biro. Dulu jalannya paling lebar di kota kecil kami, mulus tanpa lubang. Dan di malam hari, dominasi cat warna putih dengan tiang-tiang lampu neon membuat kawasan ini terang benderang. 

Tak pelak, sejenak aku pun merasa sedang menyusuri sebuah jalan di Eropa. Atau bila pikiranku sedikit liar, terkenanglah aku pada jalan-jalan di St Petersburg, kota khayalan di tepian Misouri dalam cerita petualangan Tom Sawyer dan Huck Finn karya Mark Twain—yang pada kemudian hari kutahu terinspirasi pada kota kelahiran pengarangnya sendiri yang bernama Hannibal! Ah, kota yang konon bermula dari gempa bumi dan seorang salesman yang bicaranya halus…. Mengantuk di bawah sinar matahari pagi pada musim panas, kata Twain. Membuat anganku terus membumbung, melambung. Demikian sore-sore aku gemar bersepeda sendirian melintas di ruas jalan itu, lantas berbelok ke Jalan Balar, terkadang masuk sampai ke kampung Wasre sembari terus membangun jalan-jalan khayalku sendiri. 

Sementara di sudut lain kotaku, Jalan Ali Seng yang dipenuhi jajanan—dari martabak, bakso, manisan, es kelapa muda, sampai kembang tahu dan berderet warung mi yang mengundang lapar—kerap pula kuamsal sebagai jalanan Kota Shanghai yang eksotik pada awal abad 20 sebagaimana dalam sebuah drama mandarin. Di ruas jalan inilah, pada malam hari pusat kota kecil kami berpindah dari pasar. Wajar, sebab di jalan ini tegak gedung Bioskop Gelora yang gemar memutar film-film lokal dan India. Dan tepat di seberang jalan, nyaris berpunggung Bioskop Belia yang lebih suka menayangkan film kungfu dan Hollywood. Sampai tahun sembilan puluhan, krismon melanda, Belia bangkrut lebih dulu dan menjelma tempat biliar. Gelora nasibnya tak lebih baik: dijadikan sarang walet! 

Entahlah apakah kota kelahiranku ini berkembang ke arah yang benar. Sebab kini setiap pulang, aku seakan tenggelam di antara amnesia dan arus kenangan. Ada banyak hal yang hilang dan berubah, tetapi banyak pula sisi yang bertahan. Toko-toko baru terus bermekaran di banyak ruas jalan, gedung-gedung walet tumbuh menjulang di setiap sudut kota. Tapi satu-dua ruko tua masih bertahan dalam keasingan, dan tersisa juga rumah-rumah papan yang berdiri dalam kemuraman. Ai, seolah kota Key West yang dihidupkan segenap cinta Hemingway dalam novel To Have and Have Not: Rumah-rumah kayu berhalaman sempit, cahaya yang masuk dari daun jendela, rumah-rumah siput, semua berlabur, tertutup rapat, kebajikan, kegagalan, ketabahan, dan gerutu yang meluap-luap, kekurangan pangan, prasangka, keadilan, kenyamanan beragama dan antarsuku…. 

Toh, kadang-kadang lanskap masa lalu itu—Jalan Sriwijaya yang dipenuhi ruko-ruko kayu merapuh oleh waktu-hadir lagi di pelupuk mataku bersama orang-orang yang bergerombol pergi ke bioskop di bawah cahaya lampu jalan yang dibangun perusahaan timah. Dengan toko elektronik, lima buah toko kelontong, dua toko jahit, tiga warung kecil dengan toples permen tersusun di meja panjangnya, seorang tukang cukur, dua kedai kopi dan sebuah toko obat merangkap optik, toko alat-alat tulis, dan sebuah bengkel sepeda dengan tempat biliar di lantai tiga. 

Oh, Sungguhlah benar Michael Pearson dalam catatan perjalanannya, Imagined Placed: bahwasanya jalan lebih terikat dalam waktu daripada ruang! Karena begitulah jalan-jalan pada masa kanak-kanak itu awet dalam ingatanku. Separoh menghantui. 

Setiap tahun aku memang selalu pulang, begitu juga setelah aku menikah. Tentu, karena ibuku yang sudah tua—sekarang hidup dengan seorang paman di ruko peninggalan kakek selepas ayahku wafat—perlu dijengguk. Biasanya dua sampai tiga minggu aku di rumah, kadang bisa sebulan. Kadangkala aku mengajak isteriku makan bakso di Jalan Mayor Safrie Rachman, atau belanja ke pasar baru melewati sebuah jalan baru yang memotong bukit karet—ya, bukit angker pada masa kanak-kanakku. Atau sesekali kami mengunjungi satu-dua kawan lama yang masih bertahan di kota kelahiran ini. Sebagian besar dari mereka, telah membangun jalan nasibnya masingmasing; ah, berserak di jalan-jalan berbagai kota rantau! 

Bulai misalnya, kawanku yang dulu mengenalkan kami pada banyak jalan rahasia, sekarang menjadi seorang guide di Bali, memandu turis-turis ke segala pelosok Pulau Dewata. Kami bertemu di facebook setelah belasan tahun tak berkabar. “Aku sudah hampir keliling Indonesia,” katanya bangga dan mengaku sudah menghafal seluruh sudut Pulau Bali. 

Adakah karena itu ia lupa jalan pulang ke kampung halaman? 

Selain haru-biru jalan-jalan kenangan, apalagi yang tersisa di kota kecilku? Kendati setiap kepulangan, Jalan Suramenggala masih kerap kubayangkan seperti Macondo. Kota imajiner Gabriel Garcia Marques sebelum Don Apoliener Mascote menyuruh para warga mengubah cat putih rumah mereka jadi biru usai pernikahan putrinya Remedios dengan Aureliano Buendia. Meski kini rumah-rumah di jalan itu tampak kusam tak terurus, dengan pagar-pagar besi berkarat dan sebagian roboh. Ya, aku harus mafhum, beginilah tipikal sebuah daerah pemukiman penambangan setelah kian menipis persediaan galiannya. 

Surantih, Seruas Jalan dengan Banyak Cabang 


DI Yogyakarta, kota kedua yang kuhafal lumayan baik, memiliki banyak simpang dan belokan. Tapi rasanya tak ada yang menyamai kemabukanku pada jalan-jalan di sekitar Kota Baru. Bagiku, jalan-jalan dengan rumah-rumah Belanda dan gereja itu didesain untuk memerangkap siapa pun yang lewat di dalamnya. Di jalan yang seperti labirin ini, aku menjadi demikian buta dan sering berputar-putar di jalan yang sama. Jalan-jalannya melingkar membentuk alamat sendiri dalam kepalaku. 

Di kampungku, jalan besar satu-satunya adalah jalan raya antarprovinsi. Jalan di depan rumahku itu terhubung dengan Padang di bagian utara dan jauh di Tapan, selatan sana bercabang dua. Ke kiri menuju Sungai Penuh, sampai ke Muaro Bungo, Jambi, ke kanan menuju Muko-Muko Bengkulu Utara. Di sana jalan-jalannya makin bercecabang. Mereka bergerak menuju nasibnya masing-masing. 

Jalan di depan rumahku itu merupakan jalur utama di Sumatera. Ke kerinci jalannya curam dan seringkali longsor. Hanya ada dua angkutan langsung yang bisa digunakan menuju Sungai Penuh tiga kali dalam sepekan, berbelok di ujung kecamatan sebelah setiap petang dan mengangkut penumpang yang tak seberapa dengan minibus tua itu. Dari Bengkulu bis hanya menumpang lalu. Ia lewat dinihari, saat kami sudah tertidur. Bis-bis besar itu merupakan angkutan dari Palembang menuju Medan. Ada Mawar Selatan, Palapa yang besar dan sama tuanya. Jalur itu mungkin dipilih karena lebih dekat ketimbang harus berputar ke jalur tengah. Sementara dari Padang tak ada bis langsung yang lewat di kampung kami menuju Bengkulu. Setiap lewat, rumah-rumah kami bergerak seperti dilanda gempa. 

Tak ada nama jalan yang pasti di kampung kami. Tak ada pahlawan yang dikekalkan. Orang bisa sesukanya menamai jalan raya padat, berlubang dan sempit itu. Untuk alamat dan tanda pengenal lebih sering ditulis Jalan Raya Padang-Sei Penuh, ketimbang Padang-Bengkulu. Atau untuk mempermudah orang-orang bisa menyebut Padang-Surantih, Padang-Kambang, Padang-Air Haji, sesuai nama daerah mereka. 

Jalan itulah satu-satunya penghubung kami dengan dunia luar. Ke Mentawai misalnya, kami tak punya pelabuhan. Pendirian pelabuhan di Muaro Sakai hanya sekedar rencana. Begitu pula jalan raya yang direncanakan menembus Muara Labuh, Solok Selatan. Jalan Raya tersebut kabarnya sudah tembus dan bisa dilewati, tetapi kembali menjadi hutan belantara. Sampai kini, jalan itu hanya tumbuh dalam ingatan anak negeri. Kabarnya, proyek ini selalu gagal dan tidak mendapat izin karena melewati Hutan Lindung Kerinci Seblat. 

Namun begitu setidak-tidaknya kami masih memiliki jalan-jalan kampung tak bernama, tersuruk di balik sawah, membentang sepanjang sungai, berliku di tebing curam, menuju jauh ke kampung hulu. Sekarang, aku melewatinya lebih dari sekadar mengenang. Jalan-jalan itu ada yang pendek terhampar di satu kampung saja, ada yang melintasi kampung demi kampung, dan ada pula jalan yang memanjang dan berujung di hulu sana. Jalan-jalan tersebut berupa jalan tanah, yang layaknya sawah di kanan kirinya. 

Jalan pertama adalah sebuah jalan yang membentang di satu kampung di Koto Taratak. Sebuah jalan yang memisahkan diri dari jalur utama di bagian utara dan bertemu lagi tak jauh di selatannya. Nama jalan ini tidak begitu pasti, ada yang menyebut Galanggang, ada yang menyebut Kampung Panai, kampung yang didiami oleh orang-orang bersuku Panai. Aku mengenal liku jalan ini karena teman-teman SD berasal dari sini. Dari jalan bersimpang ini akan sampai di sebuah simpang lain. Jalan itu membentang di hamparan sawah berujung di Lampanjang, kampung yang terbentang di hamparan sawah luas berada di belakang kampungku. Jalan utama tadi akan tembus lagi dengan jalan raya. 

Jalan kampung lainnya merupakan penghubung banyak jalan dari satu kampung menuju kampung lainnya. Petang hari, aku dan kawan-kawan sering melewati jalan ini, terutama di hari libur dan bulan puasa. Jalan ini punya tiga pintu masuk di desa Lansano. Pintu masuk pertama ada di sebuah lapangan bola dekat SD. Jalan ini tak ada nama, kami menyebut kampung di jalan ini hanya Belakang. Maksudnya kampung yang ada di belakang. Pintu masuk kedua ada di depan kuburan desa. Jalannya berbelok ke dalam. Ke kanan sampai di Jembatan Panjang, muara sungai menuju Pasar Surantih, ke kiri ke Sarik dan menembus Lampanjang dan Taratak tadi. Di Sarik punya dua simpang lagi. Simpang pertama akan membawa kita ke kampung tersuruk di pinggir sungai, sampai di Jembatan Babuai yang punya simpang lagi. Simpang yang lain menukik menuju Tabek Tinggi dan Tabek Rendah yang berada di kaki gunung. Jalan ini menembus Sialang dan berujung di kaki bukit. Tapi simpang-simpangnya akan membawa kita menembus sungai besar lewat Jembatan Babuai tadi. 

Jika masuk dari Pasar Surantih kita akan bertemu simpang tiga ke Pasir Nan Panjang, terus ke Timbulun, bertemu pertigaan ke Sarik tadi. Lurus ke mudik ada Koto Marapak dan Koto Panjang. Di Koto Panjang ada pertigaan menuju Sianok dan kampung lain di Amping Parak. Dari Koto Panjang kita menjelang Kayu Gadang, menembus terus ke Ganting, Ampalu. Jalan berbatu sejauh 45 kilometer berakhir di ujung kampung. Langgai namanya. Kampung hulu yang seolah asing bagi ingatan kami yang tinggal di pinggir jalan raya. 

Jalan-jalan itu sama buruknya dengan penghuni rumah di kiri-kanan jalannya. Penduduk mengangkut nasib ke tanah seberang. Sebagian lain naik ke hutan dan berladang jauh dari kampung. Jalan-jalan itu terus hidup di kepalaku dan ingin selalu kujelang setiap pulang. Ajaibnya, setiap kali kukunjungi, nyaris tak ada yang berbeda dengan rupa jalannya seakan dunia tidak pernah berputar di tempat ini. 

Ada banyak jalan-jalan tak bernama lainnya di kampungku. Jalan yang diciptakan sebagai pemintas jarak. Nama-namanya disesuaikan dengan kampung di dalamnya. 

Jalan Paling Ujung 

Jika akhirnya kami menulis kisah ini, tentu tidak sebatas mengingat yang lampau-lampau. Kampung kami yang jauh, secara fisik nyaris tak pernah berubah. Ingatan ini barangkali sekadar pemancing, sebab kami paham, siapa pun punya kenangan mengenai ruas jalan di masa kecilnya. 

Tentu Anda, pembaca yang budiman, juga punya kenangan di ruas jalan.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Mbak Mendut

No comments:

Post a Comment