image |
Lapangan yang tak adil, kata Aswin. Bek kanan yang tangguh, tapi mudah terpancing emosi. Ia tidak membenarkan, tak juga menyangkal. Pemain lawan juga sering mengeluh jika bertanding di lapangan sepak bola kampungnya itu. Kesebelasan yang mendapat giliran menempati sisi lapangan yang landai mesti berjuang lebih keras. Bola bakal bergulir lebih liar dan lawan menyerbu seperti air bah. Setiap kali bola datang, Aswadi kiper timnya, terpontang-panting mengamankan gawang. Sebaliknya, alangkah sulitnya menggiring si kulit bundar ke gawang sebelah.
Usianya kala itu baru belasan tahun. Mereka patungan menyablon kaus. Biru cerah seperti kostum Les Bleus, tim nasional Prancis. Ia kebagian nomor punggung tujuh. Gelandang kiri. Sebetulnya ia lebih suka bermain sebagai penyerang dan selalu yakin ia pemain haus gol. Serangan-serangannya tajam, menusuk langsung ke jantung pertahanan lawan. Namun, Bang Amran berkeras ia harus main di sayap.
“Tendanganmu kurang akurat, tapi umpan-umpanmu bagus!” kata kakak iparnya yang menjadi pelatih kesebelasan kampungnya itu. Tak ada gunanya berbantah. Toh, ia melakukan tugas-tugasnya dengan baik. Bola mengalir deras dari kakinya. Umpan demi umpan dengan gemilang disorongkannya. Ferdiansyah dan Fuad selalu mampu memanfaatkan umpan-umpannya dengan cukup baik.
Berkali-kali mereka menjuarai turnamen 17 Agustusan dan berhasil merebut Camat Cup dua tahun berturut-turut. Bahkan sekali menjadi runner-up Piala Bupati. Namun, justru di kejuaraan memperebutkan trofi Kepala Desa mereka sendiri, di kandang sendiri, kesebelasannya mesti tersingkir di babak penyisihan!
Ya, tidak mungkin ia melupakan pertandingan itu kendati telah lewat bertahun-tahun.
Berdesakan, nyaris tergencet, di antara ribuan calon penonton yang berteriak-teriak marah, bayangan masa silam itu merambat dalam kepalanya, seperti tayangan ulang di layar televisi. Digenggamnya erat-erat tangan Riko, anaknya yang baru 10 tahun, agar tidak ikut terseret arus massa yang kian kehilangan kesabaran. Tak ada lagi antrean. Terjadi dorong-mendorong, saling sikut.
“Holid turuun! Holid turuuunn…!” suara kemarahan itu membahana di langit siang yang terik. Ia mencoba membawa Riko menepi. Namun itu pun bukan hal mudah. Oh, betapa wajah-wajah lelah yang tampak beringas di sekelilingnya saat ini serta-merta mengenangkannya pada orang-orang kampungnya sendiri, yang tiba-tiba saja jadi pemberang tatkala berdiri di pinggir lapangan sebagai suporter sore itu.
Sampai sekarang, ia selalu berpikir hari itu terlampau awal mereka datang ke lapangan. Para penonton juga bertandang terlalu dini. Pertandingan akan dilangsungkan pukul empat sore, tapi jam dua warga kampungnya yang menjadi suporter telah tumpah ruah di pinggir lapangan. Begitu bisingnya. Para pemuda berteriak-teriak dan berseloroh ribut. Kaum ibu dan anak-anak tidak kalah gaduhnya. Tak perlu tiket, tapi bandar judi berkeliaran, kupon-kupon putih diam-diam diedarkan dari tangan ke tangan. Tukang bakso, penjual kacang goreng, tukang es, gerobak nasi goreng, dan penjaja mainan anak-anak ikut meramaikan suasana di luar lapangan.
“Kami sudah kehabisan dana!” teriak Pak Burdin, ketua panitia penyelenggara, seperti kebakaran jenggot ketika warga memprotes minimnya fasilitas di lapangan. Mikrofon soak dengan suara cempleng, papan skor yang seadanya, dan lapangan jelas tak dibenahi dengan semestinya. Warga hanya bisa bersungut-sungut.
Betapa suasana menjelang pertandingan yang panas itu seolah masih dapat ia rasakan. Telinga mereka sampai terasa pekak oleh suara teriakan. Maklum, kendati merupakan laga pertama kesebelasannya dalam turnamen, lawan yang akan dihadapi hari itu adalah kampung tetangga yang menjadi musuh bebuyutan selama bertahun-tahun.
Toh, tak ada alasan menyalahkan lapangan jelek atas kekalahan. Ia tahu itu, semua teman-temannya tahu. Apalagi bermain di kandang sendiri, di hadapan orang-orang kampung yang tiba-tiba menganggap sepak bola sebagai bagian dari pertaruhan harga diri mereka.
Baca: Cerpen Andai-Andai Kajut
Di lapangan buruk itu, tim yang lebih dulu menempati gawang berumput lebat tentu tak menyia-nyiakan kesempatan mencetak angka sebanyak mungkin. Dan biasanya memang hampir selalu keluar sebagai pemenang. Maka ketika wasit melemparkan koin Rp100, ia pun berdoa dengan sungguh-sungguh agar Pudin tak salah memilih gambar gunungan wayang. Doa itu terkabul. Mereka bersorak kegirangan saat melihat sisi koin yang terbuka di telapak tangan wasit, seakan-akan sebuah gol baru saja tercipta. Wajar saja jika suara cemooh dari suporter lawan pun terdengar begitu Aswadi berdiri di muka gawang pilihan. Suasana menegang karena para pemuda kampung mereka membalas cemooh itu dengan garang. Tampak nyata rasa cemas di wajah orang-orang yang menjadi petugas keamanan. Apalagi lapangan itu hanya dipagari tiga utas tali tambang.
Tapi kedudukan tetap saja berubah jadi 2-3. Jeritan pendukung lawan bergemuruh keras. Ia terhenyak. Panasnya pertandingan itu membuat tubuh mereka seperti meleleh, tak juga mampu disejukkan oleh gerimis yang mulai menetes satu-satu lantas membesar. Hingga memasuki menit ke 74, satu gol kembali menjebol gawang Aswadi. Kali ini dari titik penalti! Membuat kedudukan jadi imbang 3-3. Kebahagiaan suporter lawan meledak. Menyusul saling ejek dan lempar-lemparan yang tak terhindarkan. Botol minuman, potongan kayu, dan batu mulai melayang.
Lalu, bencana itu datang! Ia berdiri di sana, ia ingat, di pojok kiri gawangnya sendiri. Semua pemain turun membantu pertahanan. Bahkan Ferdi tak pernah lagi naik melewati garis tengah lapangan sejak gol penalti lawan tercipta. Ooh, bagaimana mungkin bisa ia lupakan serangan yang datang begitu bertubi-tubi itu, membuat mereka nyaris kocar-kacir.
Ya, seolah-olah baru kemarin peristiwa itu berlangsung. Jelas sekali dalam ingatannya: bola itu datang dari depan, menggelinding lurus ke tengah gawang. Aswadi tersungkur di luar kotak penalti setelah berjumpalitan menahan dua tembakan beruntun Salim. Aswin berusaha menyapu bola namun luput. Hanya dirinya, satu-satunya orang yang bisa menghentikan laju bola itu, menyelamatkan gawang mereka dari kebobolan.
Tetapi entah sudah takdir, atau semata-mata kesialan. Ah, malapetaka itu seperti diputar ulang dalam benaknya: Kakinya terpeleset oleh licinnya mulut gawang. Ia kehilangan keseimbangan tepat di saat ujung sepatu kanannya menyentuh bola! Demikianlah. Berlawanan dengan kehendaknya menendang bola jauh-jauh ke luar lapangan, si kulit bundar justru terpelanting keras ke sudut kanan gawang. Tanpa ampun langsung merobek jaring!
Keributan pecah di luar lapangan. Sorak-sorai suporter lawan seketika teredam oleh teriakan-teriakan marah. Sebagian penonton bubar berhamburan. Polisi dan petugas keamanan sama sekali tak berdaya ketika dengan beringas para pemuda kampungnya merangsek ke arah suporter lawan. Sebagian menyerbu masuk ke dalam lapangan. Belum juga sempat ia beranjak bangkit, ia merasa bagian belakang kepalanya dihantam benda keras.
Bagaimana mungkin ia melupakan pertandingan itu? Kepalanya yang mendapatkan pukulan batang kayu harus menerima lima jahitan dan diperban lebih dari seminggu. Tak pernah diketahui siapa pemukulnya, bahkan malam harinya rumahnya sempat dilempari orang tak dikenal.
Itulah terakhir kalinya ia bermain bola. Karena dua minggu berselang, hanya tiga hari setelah ia menerima ijazah kelulusan SMA-nya, ayahnya memanggilnya selepas magrib.
“Paman Hanif menanyakanmu,” kata ayahnya ketika itu, sambil menatapnya cemas. “Ada salam dari bibimu,” ibunya menambahkan. Perempuan itu memperhatikan perban di kepalanya dengan sedih. Ia ingat, bagaimana ia hanya bisa tertunduk di sisi meja ruang tengah.
“Kau mau kuliah?” tanya sang ayah kemudian. Ia cuma mengangguk kecil. Sejak itu, kakinya tak pernah lagi menyentuh bola. Tak pernah sekalipun ia datang ke lapangan atau stadion.
Ai, kalau bukan karena Riko merengek terus-menerus sehingga membuat istrinya sewot, takkan pernah ia menginjakkan kaki di stadion ini, pikirnya getir. Meskipun ia tahu, anak semata wayangnya sangatlah menyukai sepak bola.
Suasana di depan stadion besar itu semakin tegang, semakin panas. Langit siang seakan ikut memerah.
No comments:
Post a Comment