image |
Minggu, jam empat sore, dua perempuan akan bertamu ke rumahku. Salah satu dari mereka bernama Kinoli, teman baikku, sudah bertunangan lima bulan lalu. Harapan yang paling sering kudengar darinya adalah keinginannya memiliki dua anak perempuan. Persis seperti yang dimiliki ibunya. Anak perempuan bisa menjadi teman di berbagai suasana, anak lelaki kadang memiliki selera yang jauh berbeda, begitu Kinoli beralasan.
Sebelum Kinoli bertunangan aku pernah menyatakan rasa suka padanya, dan ia menolakku, “Kau tampan, juga baik hati. Sayang sekali kau bukan tipe lelaki yang kuinginkan untuk sebuah pernikahan.” Kinoli menggenggam tanganku, “Paling tidak kita tetap berteman,” ujarnya kemudian.
Pertemanan tentu tidak memerlukan jawaban seperti ketika seseorang menyatakan cinta, maka aku tidak mengangguk atau menggeleng. Aku hanya merasa bahwa kami memang hanya akan berteman sampai kapan pun.
***
Seminggu sebelum pertunangan Kinoli, aku datang membawa sekantong bola-bola cokleat. Bibir merah mudanya amat merekah atas kejutan itu.
“Jangan begini,” bisiknya berusaha kuat menahan suara.
“Apa yang salah,” aku menatapnya.
“Ini menjadi berbeda jika diberikan pada perempuan yang akan menikah dengan lelaki tidak romantis yang bahkan tidak terbiasa memberi kejutan pada hari spesial. Ini bisa mengganggu perasaanku selama berpuluh-puluh tahun.”
“Tidakkah ini sesuatu yang pantas,” ujarku.
Ia menggelengkan kepala, “Ayolah, aku tetap merasa ini berlebihan.”
Aku tertawa. “Untuk terakhir kali,” kataku meyakinkan.
Ia terharu. Bibirnya sedikit gemetar. Ia pun bergerak mundur membawa sekantong bola-bola cokelat yang terus ia tempel di dadanya. Wajahnya tidak tersenyum, namun tidak juga cemberut. Ia hanya mencoba menenangkan diri.
Setelah Kinoli bertunangan, kami tidak pernah lagi bertemu. Paling tidak kami tetap berkirim email. Kadang aku menelepon sekali-sekali. Atau sebulan lalu ia kirim pesan pendek saat aku ulang tahun, dan aku membalas dengan menelepon pukul dua belas malam. Ia bertanya mengenai hadiah ulang tahun apa yang paling kuinginkan, aku bilang: kamu dan senyummu yang manis pada saat hujan. Cukup itu saja. Tawa Kinoli berderai-derai. Ia mengaku sudah agak lama tidak tertawa.
Aku bertanya, apa lelaki itu tidak marah bila ia tahu aku menelepon tengah malam.
Ia berkata, tunanganku sedang dinas keluar kota, dan ia tidak akan tahu apa-apa jika aku tidak memberitahu.
Aku bertanya lagi, apa aku boleh meneleponmu pukul dua belas malam jika nanti kau sudah menikah.
Ia meminta, jangan.
Kenapa, tanyaku.
Pokoknya jangan.
Aku berujar, baiklah kalau aku tidak boleh meneleponmu pukul dua belas malam saat kau menikah nanti maka aku tidak akan juga meneleponmu lagi pada waktu yang sama setelah malam ini.
Kami sama-sama diam. Bahkan aku tidak ingat siapa persisnya di antara kami yang berinisiatif mematikan telepon malam itu saat titik hujan menyerbu atap rumahku. Aku sempat mendengar Kinoli bertanya pelan: di sana hujan?
Kemudian hening sangat panjang.
Beberapa minggu kami tidak saling menyapa, baik lewat email, telepon, atau pesan pendek sampai akhirnya aku memecah kebekuan itu. Aku mulai berkirim email lagi. Aku bercerita mengenai beberapa macam tanaman hias yang baru saja kukembangkan bersama teman-teman. Ia menanggapi dengan antusias. Surat balasannya sangat panjang. Semuanya berisi tentang pertanyaan seputar tanaman itu. Aku kira ia agak memaksakan diri. Semua orang-orang dekatnya tahu ia malas sekali mengurus halaman rumah, apalagi berkebun. Aku menikmati kebohongannya.
Kemudian seminggu lalu ia mengirim pesan pendek: Boleh aku ke rumahmu minggu depan, sore hari. Aku balas: Kau tahu sekarang musim hujan, terutama sore. (padahal sebenarnya aku mau bilang: apa tunanganmu tidak marah).
Ia kirim pesan pendek lagi: apa kau akan sibuk sekali pada musim hujan hingga tidak mau bertemu denganku.
Aku tulis: Jangan salah sangka. Kutunggu, kamu dan hujan.
Ia tidak membalas lagi. Aku tidak tahu apa ia benar-benar berani datang bersama turunnya hujan. Semoga saat itu terjadi hujan turun tidak terlalu deras. Aku tidak ingin melihat make up-nya rusak atau rambutnya sedikit berantakan. Rambut itu, masihkah tetap sebahu?
***
Baca: Cerpen Lara Lana
Kinoli dan temannya sudah berdiri di teras saat aku muncul dari samping rumah dengan tubuh lumayan kotor. Hal pertama yang kuperhatikan dari Kinoli bahwa ia tidak berdandan. Dan ia terlihat lebih cantik dari saat terakhir kami bertemu, kurang lebih lima bulan lalu. Ia tetap kurus. Rambutnya masih sebahu. Pakai poni sedikit tebal. Satu tangannya memegang payung. Di belakangnya titik hujan menyempurnakan imajinasiku mengenai perempuan dan hujan.
“Apa aku tampak kacau?” Kinoli menggoyangkan rambutnya.
“Kau tampak cantik,” kataku.
Kinoli memandangku, sedikit memelas. “Ini temanku,” ia berujar.
Aku melambai pada teman Kinoli.
“Mau kubuatkan teh panas?” tanyaku.
“Sedikit gula,” ujar Kinoli.
Sementara teman Kinoli memberi kesan: Apa saja boleh.
***
Aku membawa tiga cangkir teh panas. “Apa sebaiknya kita duduk di dalam,” aku menawarkan.
“Tidak. Di sini saja,” timpal Kinoli.
“Sempurna,” ujarku.
“Apa?”
“Sore ini.”
Aku meletakkan tiga cangkir teh di atas meja bambu. Kinoli dan temannya tengah menatap hujan.
“Temanku, Hening, juga suka hujan.”
Aku sedikit bisa menebak tujuan Kinoli membawa teman bernama Hening itu, yang ternyata suka hujan. Tampaknya Kinoli berusaha keras mempertemukan aku dengan seseorang, dan lalu menjadikan hujan sebagai alasan kenapa kami cocok menjadi pasangan.
Hening agak risih. Ia mengambil secangkir teh dan meminumnya satu tegukan. “Oh ya, Hening juga ingin sekali melihat koleksi tanamanmu,” Kinoli belum berhenti. Aku dan Hening bertatapan.
“Aku keluar dulu,” Kinoli mendadak berdiri.
“Ada apa?” aku bertanya heran, “Kau belum minum teh-mu dan kita belum melihat tanaman yang kuceritakan.”
“Aku akan kembali. Kutitip temanku sebentar ya.”
Kinoli mengambil payung dan memandang ke arah Hening, seakan mereka tengah merencanakan sesuatu. Kemudian Kinoli telah bergerak dalam hujan. Tubuhnya menyerupai bayang-bayang dalam guyuran hujan itu. Kalau tidak ada Hening yang tertinggal di teras rumah, aku pasti mengejar Kinoli. Pasti.
Selama satu jam Kinoli belum kembali. Selama itu pula aku dan Hening berbincang mengenai hujan, tanaman, film, musik. Perlahan aku menyadari Kinoli sengaja membiarkan kami berdua saja. Aku mau tertawa. Aku bisa saja menghubungi HP Kinoli, tapi itu pasti tampak kanak-kanak di hadapan Hening.
Aku mengajak Hening ke kebun di samping rumah saat langit menyisakan gerimis. Wajahnya terlihat senang saat aku menunjukkan adenium, aglaonema, anthurium, euphorbia, dan begonia. Ia juga tidak henti tersenyum saat aku memperlihatkan jenis-jenis bunga potong yang kebetulan sedang kembang, seperti krisan dan aster.
“Waktu kecil aku ingin sekali menjadi penjual bunga potong.” Wajah Hening berseri.
“Kemudian kau membuang impian itu?”
“Ia pergi sendiri dariku perlahan-lahan.”
Aku dan Hening tertawa.
“Apa ini bisnis?” tanya Hening.
“Tidak,” kataku.
“Oh, cuma hobi,” Hening menyimpulkan.
“Kurang lebih.”
Hening bercerita kalau ia seorang guru TK.
Tentunya ia menyukai anak-anak. Bisa terbaca dari bahasa tubuhnya yang keibuan. Dan aku telah berjanji pada Hening untuk belajar bersama anak-anak tentang tanaman di kebunku minggu depan.
Aku mengantar Hening sampai ke ujung gang. Ia memutuskan pulang tanpa menunggu kepastian dari Kinoli. Sesungguhnya aku curiga Hening tahu betul kalau Kinoli tidak akan kembali sore itu.
Setelah mengantar Hening, aku menuju rumah yang terasa lebih kosong dari jam-jam sebelumnya. Hening, ia perempuan cukup manis kalau saja mau mengubah potongan rambut sepinggang itu. Aku suka perempuan rambut sebahu. Itu tidak adil, hatiku berkata. Mana bisa Hening menjadi seorang Kinoli.
***
Sekarang aku masih saja mengingat sore hujan itu. Kinoli memang tidak pernah kembali ke teras rumahku—bahkan ia juga mengganti nomor HP dan tidak membalas emailku.
Hening datang lagi bersama anak-anak. Hanya sekali saja. Kami tidak terlalu berminat membuat pertemuan berikutnya. Hening memang sempurna, tapi ternyata aku tidak tertarik perempuan yang demikian. Hening teramat hati-hati dalam banyak hal, dan itu sedikit menakutkan bagiku.
Aku justru menyukai perempuan (tentunya karena perempuan itu Kinoli) yang pemalas dalam hal berkebun dan berantakan. Atau perempuan yang bisa mengeluarkan apa pun yang ia rasakan secara lepas dan spontan.
Dan sore terakhir datang ke rumahku, ia benar-benar memperlihatkan kecantikan alaminya. Rambutnya yang selalu sebahu seakan sengaja ingin menggodaku. Atau poni lucu yang baru pertama kulihat. Ia lebih sederhana dari Kinoli yang kukenal dulu. Aku sering merasa Kinoli sengaja menciptakan kesan yang bisa membuatku terus mengingatnya dalam berbagai pecahan warna.
***
Lalu tibalah hari itu. Aku mendapat undangan pernikahan. Tentunya dari Kinoli. Aku tidak tahu siapa yang mengantar. Kebetulan aku tidak di rumah. Bisa jadi Kinoli sendiri yang datang. Undangan itu ditinggalkan di bawah pintu. Aku tidak membuka undangan itu, sebab aku sudah memutuskan tidak akan datang dari jauh-jauh hari. Aku tak bisa melihat Kinoli memakai gaun pengantin.
Ah, kau pasti terlihat manis, Kinoli. Terutama jika kau membiarkan ponimu lepas di keningmu saat kau berjalan menuju altar, menjalani pemberkatan di gereja.
***
Satu tahun setelah menikah, Kinoli memberiku kejutan dengan mengirim email: Dalam kehidupan setiap lelaki hanya ada satu perempuan, dan bersama perempuan itu ia menjadi sempurna. Dalam kehidupan setiap perempuan hanya ada satu laki-laki dan bersama lelaki itu ia menjadi lengkap. Tapi pasangan yang demikian hanya ada satu dalam sepuluh juta. Sisanya hanya pasangan-pasangan hasil dari kompromi, ketertarikan dangkal, daya tarik fisik, atau sekadar kebiasaan.*
Aku balas email-nya: Va’ Dove Ti Porta Il Cuore Susanna Tamaro? Dan kau termasuk yang mana?
Kinoli tidak pernah membalas email-ku. Tidak pernah. Namun aku bisa merasakan kalau ia sering menikmati hujan dari kamar sambil membaca berulang-ulang Va’ Dove Ti Porta Il Cuore yang kukirim pada hari pernikahannya. Sesekali bisa jadi Kinoli menangis, seperti sore ini aku memandang hujan dengan kesedihan yang sama.
Kemudian seseorang berkata di belakangku, “Hujan begini membuatku ingat Kinoli. Dialah yang mempertemukan kita sore itu.”
Aku bergumam pelan, hmmm. (*)
*) dikutip secara bebas dari novel Va’ Dove Ti Porta Il Cuore(terjemahan) karya Susanna Tamaro, GPU, 2004.
Terima kasih sudah membaca, semoga mengispirasi. Baca juga cerpen Buddha Bar
No comments:
Post a Comment