image WhoDeeHoDee |
Denting- denting demayup ku dengar, seperti ujung musik yang meluncur dalam malam. Tak biasa kudengar musik seperti itu di Balikpapan atau Jakarta, tidak juga di Yogyakarta. Bunyinya aneh berirama tetap dalam petikan yang rapat. Ada selingan diantara nada tambur, bunyi-bunyian yang melengking, seperti bunyi logam tuangan, genjrengannya menyebar seirama ketukan yang tidak merata.
Samar suara itu menyapu dasar alat pendengaranku. Seberkas cahaya berenang dalam kamar yang mengapungkan aroma khas padudunan yang berair payau. Aku merasa ada sesuatu yang seperti bergoyang, serasa menuntun iramaku ke masa kanak disuatu ketika di dusun berumah panggung di atas tunggul kayu yang tinggi. Tiang-tiang kayunya yang kecil bergoyang, jika angin kencang memukul dinding kulit kayu yang bongkah-bongkah sana-sini. Ternyata aku memang berada di atas dipan, membuat suasana seperti dalam oplet tua di Jakarta.
Berkasan cahaya menandakan kehadiran matahari. Kusadari bahwa aku sedang tidur di suatu kawasan yang bukan di rumah di Jakarta. Tak ku dengar suara anak-anak yang menangis meminta susu, tak ada haruman dan kehangatan istri yang selalu memanggil kerinduan, tak ada musik khas yang selalu menyusup dari sela-sela kamar yang menyenandungkan suara rohani, tak ku dengar deru kota yang selalu bersaing dengan waktu. Yang terdengar hanya denting-denting yang ganjil, iramanya yang sayup seperti permainan angin, timbul tenggelam, seperti dipetik gelombang sungai.
Aku sadar aku sedang dalam perjalanan.
Pulang?
Lima belas tahun aku tidak sehari pun pulang ke rumah kelahiran. Tahun-tahun kuliah yang sibuk di Kota Budaya, tahun-tahun kemudiannya aku seperti burung terbang dari pulau ke pulau, dari benua ke benua sebagai “kuli tinta”. Pernah kutunjuk dengan jariku dari angkasa, saat kami melayari udara menuju Eropa, nun jauh di sana di jantung Pulau Hijau kampung lahirku, di sana rindu bunda menunggu, hamparan huma dalam musim menuai, di sana sampan menanti pengayuh, dan kekasih tersia dalam tahun-tahun yang lama dilupa.
“Ditengah hutan tutupan begini lebat?” kawanku orang Amerika menuju ke sana. “Dusun terisolasi?”
“Lahirku di landu yang tinggi sepohon kelapa!”
Kawanku orang Jerman. “Bualmu jangan terlalu kentara,” ia memandang pada penumpang yang berada di sisinya. “Kalau gedung tinggi tak terhitung di kota saya.”
“Lamin adalah rumah tradisi. Rumah kami yang dianggap primitif,” aku pandang ia sambil tertawa. Aku suka kalau kawan-kawan pada menghina. Lima belas tahun terasa begitu singkat.
Aku gapai tepi dipan dan mencoba bangkit. Ujung musik yang baru saja meningglakan gemanya di pucuk-pucuk kayu hutan. Aku sadar, aku telah menumpang tidur di rumah Tante Syarifah di kota kecamatan. Musik yang semayup tadi adalah petikan belian yang datang dari desa sebelah, seperti dahulu, lima belas tahun yang lalu, musik itu menggema bila tiba musim pancaroba. Apalagi bila ada tangis kuyang sehingga banyak anak menjadi sawan, bila wabah tiba, sehingga orang-orang desa berupacara menolak bala. Musik itu juga yang menggema.
Pada kaca kulihat menjadi lusuh dengan rambut yang awut-awutan. Berhari-hari aku telah menyusuri sungai, sampai tiba di rumah Bunda di Rinding. Aku bersaing dengan waktu dan alat pengangkutan yang sukar, sesuka dahulu, semasa aku masih menempuh sekolah dasar dua puluh tahun yang lalu. Badanku yang sering dimanja kota menjadi rentan terhadap angin dan cuaca khatulistiwa.
Kebiasaan kanak menuntunku ke jamban air sungai. Kayu-kayu yang gelondong yang berdiameter dua tiga meter dijajar menjadi rakit berpapan dengan dua ruang wc yang bertutup atap. Biasanya para pemandi hanya menggunakan kain dan celana saja, jika membuang hajat barulah menggunakan ruang wc ruang tertutup.
Aku menjadi kaku dengan kebiasaan yang telah kutinggalkan sekitar lima belas tahun. Kebiasaanku di Jawa bahkan di kamar-kamar mandi hotel yang mewah, yang tinggal menekan kran panas atau dingin. Kenanganku menjadi melayang pada keceriaan dan kepolosan sebagai anak desa. Kampungku yang jauh di udik, walaupun telah disediakan ruang terisolasi itu, membuat aku harus mengayuh berhari-hari di sepanjang sungai untuk mencapai ibu kota kecamatan. Kalau tidak lewat sungai, aku harus bertarung dengan pecat, nyamuk, ular, dan duri-duri hutan belantara sepanjang ratusan kilometer dari kampungku untuk mencapai ibu kota kecamatan. Harus pula berani menyeberangi sungai beberapa kali, sungai yang cukup lebar antara 50-60 meter dengan kedalaman.......barulah tiba di tempat yang dituju.
Aku menjadi sedih saat kawan-kawanku bergurau, tak mampu menganggung derita hanya untuk meraih selembar surat tamat belajar yang dapat digunakan untuk membuat lamin, tak juga dapat digunakan untuk memancing buaya. Lebih cepat anak-anak ..., karena mereka ... ... menemukan suami, dan tak lama anak-anak bergelendot pada dada mereka yang baru mekar. Anak-anak lelaki biasanya menghabiskan waktu di ladang, sesekali berburu, menoreh karet, atau menyadap nira enau untuk dijadikan gula aren yang dapat dipasarkan di kota. Disela berhuma mereka menghabiskan waktu untuk merotan di bulan-bulan musim kemarau. Yang kadang menyedihkan dari mereka adalah kegilaan pada judi dimusim belian dan kwangkey dan para gadis yang tertangkap kawin kontrak oleh pelajar ... dan ...
Kurasa air masih hangat sesuam yang baru dijerangkan dalam kuali. Ruap air yang naik membentuk gugusan kabut yang melayang di atas kali, menyusur di sepanjang bentangan, menuntun mataku pada kebun buah-buahan yang rimbun di seberang, pohon ... yang tinggi, yang dahulu sering bergelantungan sarang madu. Masih seperti dahulu tepian sungai yang diikat dengan akar-akar waru untuk menjaga erosi dan longsor, ke hilir masih teluk dan Tanjung Belida, ke hulu, sungai masih berkelok ke kanan membentuk teluk dan Tanjung Ipu.
Saat aku mengguyur tubuhku dengan air, aku seperti diguyur oleh kenangan-kenangan masa silam. Diantara banyak teman wanitaku, ada seorang yang selalu membuatku berdesir. Ku kenal ia sejak lama, semenjak sama masih kanak-kanak, sama-sama dengan teman-teman lainnya, di pasir pantai Teluk Ipu itu kami bermain dan mandi, berenang, selama bertahun-tahun, sampai tiba-tiba kami sama-sama menyadari bahwa kami telah telanjang. Begitu saja ia tersipu, dan aku merasa diriku seperti Adam yang terusir dari Firdaus, seperti cerita yang pernah ku baca dalam sebuah buku tua, kami merasa sama-sama kikuk dan risi seperti kami telah melakukan suatu dosa. Aneh ku rasa bahwa mata kami tiba-tiba terbuka, dan kami menyadari ada sesuatu yang kami sembunyikan. Ia meraup pakaiannya, dan aku meraup pakaianku kami sama-sama meninggalkan kawan-kawan yang lain ke arah yang berlawanan.Esok harinya, di sekolah kutulis surat,
“Maafkan Inas, ya In?” Lewat Asnah ku terima balasannya, “Maafkan aku juga, Ine, In?” Semenjak itu hatiku selalu gemetar.
Tak ku tahu kecengenganku sebagai anak desa membuat jiwaku gemeletar ataukah kekuatan diam dari pesona karena kejelitaan seorang wanita yang membikin hatiku hangat dalam menimbun cinta. Hari-hariku berbunga dengan langkah-langkah yang kukuh, bahkan dengan surat-surat kasih yang ku tuliskan dengan hati dan jiwa yang gemetar. Sampai akhirnya aku harus mengambil keputusan untuk pergi melanjutkan studi ke kota, dengan genggaman yang kuat, karena aku terpilih sebagai siswa teladan yang akan mendapatkan beasiswa.
“Ine bersamamu, sebagai juara kedua,” Bapak Kepala Sekolah menerangkan di depan Pak Camat
“Beasiswa ini akan berlaku untuk tiga tahun” Camat Nehemia menjelaskan.
“Oleh karena itu, jaga prestasi kalian karena pilihan ini seperti jatuh dari langit, karena hanya dua wakil dari satu Kebupaten. Kalian berdua jadi duta kabupaten kita, duta dari kecamatan kita.” Camat itu menjelaskan.
Aku ternganga, tak menduga. Berhari-hari aku sibuk dengan hatiku sendiri, dengan perasaan, dan cintaku. Tak seluruh perhatian dapat kucurahkan pada pelajaran, akan tetapi hasilnya aku menjadi duta untuk kabupaten kami, akan berlaga di kota provinsi. Sungguh, sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang seperti tumpukan mutiara menyembul dari kedalaman lautan. Kini aku telah meraup berkantung-kantung benda berharga. Sesuatu yang berlebihan kurasa, Ine pun akan bersamaku. Fantastis!
Tak kutampakkan segala yang membuat hatiku melambung ke langit. Yang ku kerjakan adalah mengurus surat-suratku sendiri hingga ke kota kabupaten, ke provinsi dan hingga masuk sekolah yang kutuju. Tak kuurus Ine, ia putri seorang saudagar, punya kapal segala bekal, dan keperluan, juga surat-menyurat yang diperlukan, gampang saja dikerjakan, karena pamannya seorang pejabat yang bolak-balik ke kabupaten dan provinsi. Hanya kutulis surat, kuselipkan dicabang pohon mangga di samping rumahnya selalu surat-suratku ku selipkan di situ – kukatakan,
“Aku berangkat lebih dahulu, sampai kita berjumpa di kota. Kita dapat kembali belajar bersama, atau bertemu seperlunya. Aku akan melamarmu setelah lulus dari universitas”.
Aku tergagap saat Tante Syarifah menyapaku, “Kok melamun, In? Sudah ditunggu sarapan.”
“Terasa dingin, Tante,” aku berdalih. “Lain rasanya mandi di kali.”
“Itulah...kamu terlalu sombong. Sampai lupa sehari pun pulang ke desa!”
Dengan cepat aku mengguyur tubuhku dengan air dan kusabuni diriku secara kilat juga. Memang aku merasa bergerak cepat, bahkan aku terbiasa bekerja di pesawat
atau di dalam kereta, bahkan di dalam kapal. Tak mungkin aku menunggu , karena kerjaku terikat jadwal. Dengan laptop yang selalu ku bawa, aku dapat mengetik dan menyusun laporan dari perjalanan. Pun soal makan, mandi dan tidur, semuanya seperti dilakukan mesin, harus berkejaran dengan waktu! Dalam segala hal, aku merasa bersyukur, karena kebiasaanku bekerja keras sebagai anak desa membuat aku menjadi terlatih dengan segala kerja yang membutuhkan kecepatan.
Segala menerpaku, juga kenang-kenangan.
Aneh rasanya, setelah bertahun aku melupakan kemanisan kenang dan rasa suka di kala remaja, semalam aku bermimpi bertemu lagi dengan Ine. Ku tahu ia tak mungkin menunggu ku, ayahnya tewas oleh pamannya sendiri yang berusaha merebut warisan dan Ine membatalkan beasiswa yang seharusnya diterimanya.
Namun dua tahun kemudian ku dengar kabar ia telah disunting oleh seseorang yang telah berumur. Lama hatiku menjadi runtuh sampai aku masuk universitas, sampai aku lulus dan sampai aku menemukan seorag gadis Jawa yang dapat memahami hidup miskin seorang sarjana dari desa. Aneh, malam tadi aku seperti melihat Ine di dalam dandanan kala ia menyanyi disaat perpisahan sekolah. Bertahun kejadian itu sudah berlalu, tapi saat hatiku merasa aku telah memeluk suaranya, aku telah mengikat kekasihku dalam kasih seorang bidadari yang sedang melagukan “Kasih Tak Sampai”. Dengan rasa gentar yang aneh, kusalaminya, dan ku minta izinnya satu kecupan pertama. Hatiku benar-benar menggigil, dan kecengenganku tumpah dalam hujan keberanian untuk satu kasih sayang kepada seorang pujaan.
Dimeja sarapan aku masih bertanya-tanya tentang Ine. Dari tante aku tahu kalau suaminya sedang tidak berada di tempat, dan Ine sendiri telah melahirkan empat orang anak. Mereka punya toko besar di kota kecamatan itu, beberapa kapal pengangkut dan sejumlah kapal kecil yang dijadikan taksi air untuk menghubungkan kota-kota di pinggiran sungai, hingga ibu kota provinsi. Tak kutampakkan apa yang sedang berkecamuk di dalam hatiku. Akan tetapi, rasanya aku bersyukur juga, bahwa gadis yang pernah kucintai menemukan hidup yang wajar dan baik. Mungkin ia tak tahan bersuamikan sarjana yang hanya bekerja sebagai kuli tinta? Atau memang tak dipertemukan Allah tali cinta yang kami jalin dengan kekuatan jiwa muda remaja? Karena pada akhirnya kami sama-sama menemukan pautan kasih di dalam rumah tangga yang kami bina masing-masing dengan anak-anak yang jadi buah perkawinan?
“Jadi hari ini tak ada kapal yang berangkat?” aku bertanya pada Tante.
“Atau besok ada?”
“Inas tahu kan sekarang musim kemarau. ...ada yang kecil pun amat sulit melewati...”, Tante manatapku.
“Bagaimana sewaktu engkau mudik kemari?”
“Tidak terlalu sulit. Karena taksinya hanya berisi tujuh orang. Kecil dan tak ada muatan lainnya. Lagi lewat jalan kanan, lewat Mahakam.”
Baca: kumpulan Puisi Cucuk Espe
“Atau kau tanyakan pada Ine. Kalau-kalau ada kapal mereka yang menghilir ke muara. Sebab hari ini bukan memang bukan jadwal kapal taksi menghilir.”
Tak ada sedikitpun yang kesulitan yang kutemui di kota kecamatan yang hanya memiliki beberapa buah rumah. Jalan yang dahulu hanya membentang di sepanjang sungai, kini jalan itupun masih seperti yang dahulu.
Masih jalan tanah, sedikit berpasir, dan masih dahulu kuingat kalau banjir tiba, jalan itu hanya dipenuhi sampan yang hilir mudik. Jika banjir surut, lumpur yang tebal manghalangi jalan, membuat orang-orang enggan berjalan dan bertandang kecuali pergi mandi dan mengambil air dari kali di depan rumah sendiri. Rumah Ine tampak besar walaupun memang tidak begitu teratur. Seperti umumnya rumah para saudagar di kampung di sepanjang sungai, ada bagian rumah yang dijadikan gudang, ada bagian yang dijadikan toko, ada pula bagian yang dijadikan tempat tinggal pemiliknya. Lima belas tahun yang lalu rumah itu belum ada, dan memang baru dibangun oleh saudagar, suami Ine.
Kenang-kenangan ku bersibauran. Tadi aku lewati gedung sekolah tempat aku dididik, gedung itu masih berdiri seperti dahulu, tak ada perubahan dilakukan. Memang gedung itu gedung lama, peninggalan penjajah Belanda, dibuat seluruhnya dari kayu ulin. Bahkan ayahku pun ikut memperbaiki sekolah itu. Ada juga gedung sekolahan yang baru didekat lapangan sepak bola, akan tetapi gedung sekolah itu membuat hatiku bergetar. Ia menyimpan sejumlah kenang-kenangan hidupku khususnya kenang-kenangan cinta pertamaku. Disitu selalu aku bersaing dengan Ine. Disitu juga aku merasa telah melatih diriku dan anak desa tanpa harapan untuk menjadi anak yang kenal dengan ilmu pengetahuan. Cintaku pada Ine dan cintaku pada sekolah membuat jiwaku jadi perkasa, hatiku menjadi tegap melangkah kedepan, kakiku selalu berlari dengan tanganku menggapai harapan yang nun jauh di cakrawala. Segalanya membuat kegentaran seperti disapu banjir yang menderu dari gunung!
“Pak Lincang ada?” aku bertanya pura-pura kepada seseorang yang sedang mengepak rotan di depan, di halaman penjemuran. Kulihat jajaran rotan jahap dan rotan sega beririsan dengan rotan pulut yang memerah di bawah matahari pagi.
Orang-orang itu memandang padaku. “Ibu ada, bapak lagi ke sungai Lawa. Bapak dari mana?” tak kukenal ia, sembari orang itu meneliti wajahku.
“Aku orang sini, ingin bertemu Bapak. Kalau ada Ibu juga boleh,” aku melangkah ke arah depan rumah. “Sekarang lagi musim merotan?”
“Ya, Pak” orang itu melangkah ke depan, kemudian berkata kembali “Ingin ketemu Ibu.”
Kudengar ada gegas langkah. Jauh di arah belakang, mungkin di bagian dapur, ada terdengar suara yang bising. Kupikir mungkin suara pompa air yang lagi dihidupkan. Mungkin juga suara mesin listrik. Masih aku menunduk, seperti tenaga gaib kurasa ada seseorang memandangku.
“Inas!” Suara Ine seperti dahulu. Kukenal benar jika Ine yang berbicara. Suara itu terdengar khas, lembut, dan seperti musik yang selalu memanggil kenangan.
“Kapan kau datang ke sini, In?”
“Aku dari rumah Ibu di Rinding. Dari samarinda, lewat Melak dan Barong Tongkok, aku naik ojek lalu berjalan kaki. Baru tiba semalam dari klotok.”
“Lama di Rinding? Dan kau akan lama di sini?” suara itu mirip sebuah lagu. Wajah itu seperti wajah lima belas tahun yang lalu, mirip wajah saat redup di bawah pohon mangga seusai perpisahan sekolah.
“Inas nginap di mana?”
“Di rumah Tante Syarifah. Hari ini aku berencana pulang ke Samarinda. Adakah taksi yang akan menghilir hari ini?”
“Hari ini? Eh, masuk dulu, In. Maaf, tempatnya begini. Lain dengan rumah Inas di Jakarta. Maklum di kampung, lagi tak pernah berhenti dari tamu…”
“Jadi ada taksi hari ini?” aku sudah terhenyak di sofa. Di depanku ada foto keluarga, kupikir pasti saudagar Lincang, memang sudah berumur menilik dari foto yang ada.
“Atau ada kapal Ine yang akan berangkat ke hilir?”
“Taksi rasanya tak ada, dan kapal kami sedang ke luar semua. Bapak anak-anak pun lagi ke sungai Lawa. Tapi besok mungkin ada kapal yang masuk, dan Inas akan dapat diantar.”
“Terima kasih, Ine. Aku sebenarnya ingin secepatnya berangkat.”
“Kita ke dalam saja, In? Yah, tempatnya serba tidak teratur begini. Inas tak akan betah di sini. Ini kamar khusus untuk tamu, dan sekarang khusus untuk Inas. Mudah-mudahan besok ada kapal kami datang.”
“Bahaya kalau sekarang kapal berlabuh .”
“In, duduk dulu, Ine buatkan minuman. Mau minum apa?”
“Dingin atau panas, sama saja,” aku berkata sebenarnya. Yang kuhendak, sesungguhnya, hanya mendengar suaranya, hanya menikmati senyumnya, hanya ingin mengibaskan rindu yang tertahan selama lima belas tahun, “Jangan repot-repot,” aku melanjutkan ucapann. Walaupun Ine tak kulihat lagi, ia sudah berjalan ke dapur.
“Anakmu berapa?” Ia meletakkan baki yang berisi teh ...dan penganan.
“Kudengar engkau menikah dengan gadis Yogya, hatiku bersuka walaupun, sesungguhnya aku terluka.”
Terima kasih sudah terdampar disini. Semoga bermanfaat. Baca juga Cerpen Rico De Coro Oleh Dee
Karna Di ERTIGAPOKER Sedang ada HOT PROMO loh!
ReplyDeleteBonus Deposit Member Baru 100.000
Bonus Deposit 5% (klaim 1 kali / hari)
Bonus Referral 15% (berlaku untuk selamanya
Bonus Deposit Go-Pay 10% tanpa batas
Bonus Deposit Pulsa 10.000 minimal deposit 200.000
Rollingan Mingguan 0.5% (setiap hari Kamis
ERTIGA POKER
ERTIGA
POKER ONLINE INDONESIA
POKER ONLINE TERPERCAYA
BANDAR POKER
BANDAR POKER ONLINE
BANDAR POKER TERBESAR
SITUS POKER ONLINE
POKER ONLINE
ceritahiburandewasa
MULUSNYA BODY ATASANKU TANTE SISKA
KENIKMATAN BERCINTA DENGAN ISTRI TETANGGA
CERITA SEX TERBARU JANDA MASIH HOT
TEBARU DAN MUDAH UNTUK DIAPLIKASIKAN, NONTON DRAMA KOREA. DOWNLOAD SEKARANG JUGA APLIKASI MYDRAKOR, TERBARU DAN MUDAH DIGUNAKAN, sekarang nonton drama korea bisa di smartphone. Download sekarang juga aplikasi MYDRAKOR di googleplay gratis, film dan drama terbaru.
ReplyDeletehttps://play.google.com/store/apps/details?id=id.mydrakor.main&hl=in
https://www.inflixer.com/