HARIMAU LEPAS (Indriani Asfa)
image femina |
“Masih belum ditandatangani juga?!” teriakku tertahan. Aku tidak bisa lagi menahan diri.
“Apa ada masalah dengan kelengkapan permohonan kami, Bu?” Setelah menenangkan diri beberapa jenak, aku baru mampu mengendalikan intonasi suara kembali ke normal kepada lawan bicaraku di telepon.
Aku mendengarkan jawaban dari seberang sana sambil memejamkan mata, sekuat tenaga berusaha mengendalikan bibit-bibit kepanikan yang menanduk-nanduk batas ketenanganku. Jawaban yang kuterima intinya sama, surat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan untuk perpanjangan surat izin tinggal Michael, manajer proyek kami, masih belum ditandatangani. Ibu Maya, kontak proyek kami di kementerian yang sudah membantuku menangani masalah perizinan tenaga ahli asing selama tiga tahun terakhir, mungkin sudah hilang akal dan sebal luar biasa karena kuhubungi tiga kali sehari sejak dua minggu terakhir.
Bagaimana tidak panik, surat izin tinggal Michael akan berakhir tiga hari lagi. Jika rekomendasi perpanjangan izin tinggal dari kementerian terkait tidak dilengkapi, permohonan perpanjangan izin tinggal Michael akan ditolak imigrasi; kemudian Michael harus meninggalkan Indonesia dan di saat pekerjaan menumpuk begini.
“Sinta, surat rekomendasi dari kementerian sudah keluar, ‘kan?”
Aku terpekik, sepenuhnya tidak menyadari Michael yang sudah berdiri di depan mejaku. Bule yang satu ini bisa berbicara dalam bahasa Indonesia dengan amat baik. Logat bulenya pun tidak kentara. Jika berbicara di telpon, akan dengan mudah kecele mengira berbicara dengan orang Indonesia asli.
Aku berdiri dari kursi, dengan agak gugup menjawab, “Belum, Michael. Saya sudah menghubungi Ibu Maya setiap hari. Mengingatkan beliau dan memohon bantuannya agar surat rekomendasinya sudah OK paling lama hari ini.”
“Saya ada meeting dengan bupati di Balikpapan empat hari lagi membicarakan rencana kerja sama tahun depan dan bertemu lembaga donor di Jakarta minggu depan. Kalau laporan lapangan masuk besok, saya juga ingin langsung turun untuk monitoring. I can not afford not to be in Indonesia for the next two weeks.
Work on it!”
Lututku lemas. Jantungku berdebar. Firasatku mengatakan ada sesuatu yang salah. Benar-benar salah. Belum pernah kantor kami mendapatkan masalah dalam pengurusan izin tinggal tenaga ahli asing. Biasanya, sebulan sebelum izin tinggal habis, aku sudah mengirimkan semua dokumen yang diperlukan untuk perpanjangan izin tinggal dan tanpa perlu aku follow up, surat perpanjangan itu akan dikirim ke kantor kami di Balikpapan dari Kementerian Kehutanan di Jakarta. Sesederhana itu.
Setelah berpikir keras, aku bangkit dari kursiku dan ke ruangan Michael.
“Saya harus ke Jakarta untuk mencari tahu apa masalah sebenarnya dengan perpanjangan izin tinggal itu.” Michael memandangiku beberapa saat sebelum bertanya, “Kamu benar-benar harus ke sana?”
“Yes. Saya sudah berusaha membereskannya dari bulan lalu. Jawabannya masih sama saja. Ada yang salah sepertinya. Saya harus ke sana untuk mencari tahu sebabnya.”
“Ini soal uang?”
Aku terdiam.
“Mengapa baru sekarang? Mereka ‘kan sudah bekerja sama dengan kita selama tiga tahun terakhir secara profesional.”
Aku segera pulang ke rumah dan menyiapkan barang bawaan untuk dua hari, kemudian bergegas menuju Bandara Sepinggan berharap bisa mendapatkan kursi di penerbangan pukul 10.55 ke Jakarta.
Perlu dua jam naik taksi dari bandara Soeta ke Jalan Gatot Subroto. Begitu sampai, aku langsung menuju ruangan Ibu Maya di lantai tiga. Ruangannya kosong. Aku duduk di kursi di koridor yang ada di depan ruangan Ibu Maya. Berselang sepuluh menit beliau muncul.
“Astaga, Mbak Sinta! Tadi pagi, kok, tidak bilang bakalan ke sini?” serunya sambil menyalamiku. Aku tersenyum dan mengikuti beliau.
“Sibuk banget, ya, Bu?” aku mencoba berbasa-basi.
“Ya, gini, deh. Enggak ada habisnya.”
“Ini oleh-oleh dari Balikpapan, Bu,” kataku sambil menyodorkan bungkusan mantau isi sapi lada hitam ke arah beliau. Bu Maya terlihat kikuk.
“Waduh, sampai repot-repot bawa oleh-oleh segala.”
“Ini lagi tren di Balikpapan, lho, Bu. Masuk TV segala. Maknyus, deh, pokoknya,” promosiku layaknya petugas penjualan andal.
Telepon berdering dan Ibu Maya segera menyambar teleponnya. Sepertinya beliau berbicara dengan petugas administrasi dari lembaga program konservasi alam di Sumatra. Beliau berkata bahwa surat yang diminta sudah dikirim tadi pagi.
Begitu telepon ditutup, merasa ada kesempatan, aku langsung bertanya, “Bu Maya, ada masalah apa sebenarnya dengan permohonan perpanjangan izin tinggal Pak Michael?”
“Ya, itu, Mbak Sinta, belum ditandatangani di atas.”
Sabar... sabar... sabar... tenang... tenang... tenang. Aku mengucapkan mantra yang sudah kuulang-ulang sejak seminggu lalu.
“Bu, saya jauh-jauh terbang dari Balikpapan karena ingin tahu apakah ada yang bisa kami lakukan agar surat perpanjangan itu ditandatangani. Masa berlaku izin tinggal yang sekarang habis tiga hari lagi. Jika Pak Michael harus datang ke sini untuk itu, mohon beri tahu kami, akan segera saya sampaikan kepada beliau agar ke sini.”
“Dia datang sendiri ke sini juga enggak akan ditandatangani, Mbak.”
Apa???
“Maksudnya apa, Bu?” Darah rasanya cabut semua dari mukaku. Kubayangkan aku pasti pucat pasi sekarang. Ternyata firasatku benar. Ada masalah.
Ibu Maya sepertinya agak menyesal sudah keceplosan.
Setelah mengalihkan pandangannya, akhirnya Ibu Maya menoleh ke arahku dan tampak menimbang-nimbang apa yang akan disampaikannya padaku.
“Begini,” Ibu Maya mulai, sambil mengajakku pindah ke sofa. Jantungku berdebar kencang. “Kopi?” Ibu Maya bertanya. Aku sama sekali tidak ingin, tapi sepertinya aku butuh sedikit pengalihan agar tidak terlalu tegang. Aku mengangguk lemah dan berusaha tersenyum.
“Terima kasih,” bisikku.
“Mbak Sinta pernah bertemu dengan Bapak Gubernur?” tanya Ibu Maya.
Gubernur? Lho? Aku sedikit kebingungan dengan arah pembicaraan yang tidak terduga ini.
“Gubernur mana, bu?” aku meminta penegasan.
“Yang di Kalimantan, tempat pelaksanaan program-program kantornya Mbak Sinta.”
“Secara langsung belum pernah, Bu.”
“Apalagi anaknya beliau, ya? Sama sekali tidak tahu, ‘kan?”
Anak gubernur? Jadi, bukan gubernurnya? Maksudnya apa, sih?
Ibu Maya sepertinya sadar aku kebingungan dengan arah pembicaraan. Ia menghela napas panjang dan tersenyum.
“Omongan saya bertele-tele, ya? Maaf. Ceritanya memang berbelit-belit, sih. Hmm, saya cerita berdasarkan kronologi saja, ya? Biar Mbak Sinta tidak kebingungan lagi dan saya juga gampang ceritanya.”
Di dalam kebingunganku, aku sadar bahwa Ibu Maya tidak nyaman dengan kenyataan bahwa ia akan jadi pembawa kabar buruk bagiku.
“Begitu Mbak Sinta kirim kelengkapan dokumen permohonan perpanjangan izin tinggal Michael sebulan yang lalu, saya langsung proses. Saya cek seminggu kemudian. Biasanya kan sudah beres. Tapi ternyata belum. Saya pikir mungkin karena antrean yang panjang, saya cek lagi minggu berikutnya. Masih belum selesai juga. Saya jadi curiga ada masalah dan bertanya kepada kepala bagian. Ternyata nama Michael di-black list atas permintaan Pak Gubernur.”
Di-black list? Permintaan Pak Gubernur? Apa salah Michael? Pertanyaan di dalam otakku pasti membayang di wajahku, karena tanpa bertanya, Ibu Maya lalu melanjutkan.
“Beberapa bulan yang lalu, anak Pak Gubernur sedang kongkow dengan teman-temannya di Cafe Paris di Kemang. Di meja sebelahnya, sekelompok bule duduk sambil minum bir. Makin malam, suara para bule itu makin keras. Anak Pak Gubernur dan teman-temannya bisa mendengarkan dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Begitu paham bahwa yang mereka bicarakan adalah program-program konservasi alam di Kalimantan, anak Pak Gubernur meminta teman-temannya tenang agar ia bisa mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Ternyata, salah satu dari mereka mengatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak bisa menolak permintaan pihak luar karena mereka sudah memberikan banyak bantuan dan kita harus berterima kasih untuk itu. Anak Pak Gubernur memotret kelompok bule itu dan menandai khusus yang mengatakan soal berterima kasih itu.”
“Michael-kah yang mengatakanitu?” bisikku.
Ibu Maya mengangguk.
“Pak Gubernur menghubungi Kementerian dan meminta izin tinggal Michael di Kalimantan tidak diperpanjang.”
“Apakah ia sedang mabuk waktu berkata seperti itu, Bu?”
“Katanya, kalau sedang mabuk orang biasanya tidak bisa bohong. Mungkin itulah pendapat Michael sebenarnya tentang Indonesia.”
Aku terdiam. Aku sudah membayangkan bahwa kami mendapatkan masalah, tapi tidak pernah terlintas dalam bayanganku masalahnya berakar dari Michael sendiri. Aku sedih dan kecewa.
Bekerja bersama Michael dalam tiga tahun terakhir, aku tahu dia adalah pekerja keras dan atasan yang baik. Kami sudah melalui banyak masalah selama pelaksanaan program konservasi yang didanai konsorsium asing ini. Banyak pencapaian yang sudah diraih yang akan dipertaruhkan jika pemimpin program yang selama ini memimpin tim tidak berada di tempat secara fisik.
Aku memikirkan petugas lapangan kami yang berada nun jauh di tengah hutan. Mereka melaksanakan tugasnya dengan dedikasi yang mengagumkan. Buat orang yang tidak mengerti arti pentingnya penyelamatan keadaan lingkungan mereka akan dianggap sebagai orang aneh yang terpesona oleh gaya hidup Tarzan. Selama ini Michael sering mengunjungi tempat-tempat mereka berada dan menjelaskan pentingnya kontribusi mereka terhadap program kami.
Aku memikirkan hutan Kalimantan yang terus mengerut seiring bertambahnya waktu. Hutan lebat berganti barisan pohon sawit dan lubang besar penambangan batubara dan batu berharga. Hatiku sakit.
Usaha tim kami yang berjumlah tiga puluhan orang yang sebagian besar adalah anak negeri selama tiga tahun terakhir akan menghadapi sandungan karena kata-kata yang diucapkan Michael pada saat ia mabuk.
Aku tidak berani mengakui pada diriku sendiri bahwa hal yang paling mengecewakan dari semuanya adalah kemungkinan bahwa di dalam hati kecilnya yang paling dalam Michael merasa bahwa Indonesia berutang pada dunia karena sudah menerima bantuan dalam menjaga kelestarian alamnya.
Aku bertanya-tanya dalam hati, seandainya kami berhasil menemukan pemecahan masalah ini, sanggupkah aku bekerja dengan Michael dengan cara dan perasaan yang sama. Seandainya yang terburuk yang terjadi, apakah ini akan memberikan kesempatan bagi anak negeri yang kompeten untuk menjadi komandan penyelamat lingkungan Indonesia? Inikah hikmah dari insiden ini? Haruskah sebenarnya aku bersyukur?
Aku tepekur lama, tenggelam dalam alam pikirku. Ibu Maya duduk diam di depanku. Akhirnya aku mengangkat wajah dan sekuat tenaga berusaha menyunggingkan senyum terbaik dalam suasana hati sekacau ini.
“Apakah insiden seperti ini pernah terjadi sebelum ini, Bu?” tanyaku.
Ibu Maya menatapku lama, kemudian mendongakkan kepala dan memejamkan matanya. Setelah beberapa saat beliau membuka matanya dan memandangku dengan lembut.
“Tidak pernah selama saya bekerja di sini, Mbak. Saya rasa hanya diplomasi tingkat tinggi yang mungkin berhasil meluluhkan hati para petinggi di sini. Walaupun kita memang sering membutuhkan bantuan pihak asing, kita masih punya harga diri. Jika itu disinggung, lebih baik kita mencari pihak lain yang lebih bisa menghargai posisi kita.”
Pikiranku sama dengan Ibu Maya. Tanggung jawabku berhenti sampai di sini. Langkah selanjutnya bukan lagi ada di pundakku. Dengan pelan aku bangkit dari dudukku dan mengulurkan tangan ke arah Ibu Maya dan tersenyum.
“Terima kasih sudah memberi tahu saya, Bu. Semoga masalah ini tidak menghentikan program kami dan hasil yang sudah diraih sejauh ini.”
“Iya, Mbak. Semoga.”
Ibu Maya mengantarkanku sampai ke lift. Kami bersalaman lagi dan aku masuk ke lift dengan gundah, sekaligus lega karena kebingunganku selama dua minggu terakhir terjawab.
Aku langsung mengambil taksi untuk kembali ke Bandara Soekarno-Hatta. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku harus segera meneruskan apa yang disampaikan Ibu Maya kepada Michael; selanjutnya terserah dia.
Syukurlah masih ada kursi untukku di pesawat terakhir ke Balikpapan malam ini. Aku tidak bisa berhenti memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi pada kantor kami akibat insiden ini. Batinku tidak berhenti berdoa agar hal ini tidak berdampak luas bagi petugas-petugas lapangan kami. Aku berdoa agar hasil kerja keras kami tidaklah sia-sia.
Aku tidak bisa tidak teringat pepatah yang berulang-ulang diajarkan di kelas Bahasa Indonesia di SD dulu. Mulutmu harimaumu; terutama kalau engkau mabuk, tambahku dengan pahit dalam hati. Harimaunya akan lepas dan menerkam pembebasnya.
Keesokan harinya aku masuk kantor seperti biasa. Aku menunggu beberapa saat setelah Michael sampai di kantor sebelum mengetuk pintu ruangannya, menghela napas panjang dan masuk setelah kudengar ia menyahuti ketukanku.
Ia terkejut melihatku. “Saya pikir kamu ke Jakarta.”
“Saya langsung berangkat setelah kemarin minta izin dan kembali ke sini tadi malam.”
Ia mengangguk. “Jadi, perpanjangan surat izin tinggal saya sudah beres? Kamu memang bukan main.”
Ia tersenyum lebar, namun senyumnya berangsur-angsur lenyap setelah ia melihat ekspresiku yang nanar. “Tidak?” tanyanya heran.
Dengan menghela napas panjang yang kesekian kalinya, aku mulai bercerita dan melihat harimaunya pelan-pelan menerkam Michael.
No comments:
Post a Comment