Tuesday, April 11, 2017

KUMPULAN PUISI ACEP ZAMZAM NOOR


gambar kupu-kupu
image anne
KUPU-KUPU

Tidur dalam pelukan bunga layu
Memimpikanmu melayarkan bintang-bintang
Ke ranjangmu. Sungai-sungai
Air mata yang mengering dalam doa-doaku
Aku menulis semua yang dibidikkan angin
Membaca semua yang dituliskan semilirnya padaku
Bercakap dengan udara yang dingin:
Betapa cepat kuda ajal merebut semua jalanku
Lautan itu mengandung bulan
Kaulah yang memompa perut gelombangnya!
Ikan-ikan yang minum dari matamu
Burung-burung mabuk dalam kejaran pandanganmu
Kembali pada debu. Kupu-kupu
Merontokkan lembar demi lembar rambutku

KASIDAH SUNYI 3

Aku letih menjengkal kesamaranmu
Menyusuri terowongan-terowongan panjang
Waktu ternyata sebuah gurun pasir
Yang menelanku. Tapi kematian kutahan
Hingga tenggorokanku terbakar sunyi
Di antara erangan dan jeritanku yang terpendam
Gunung batu hanya menyimpan kedamaianmu
Aku letih memahami rahasiamu
Menghirup kepulan pasir dan debu
Langkahku telah menuruni jurang dan suaraku
Ditenggelamkan batu karang. Kematian masih kutahan
Tapi waktu terus membentangkan gurun demi gurun
Dari keluasan tak bisa kujengkal jarak lagi
Matahari hanya mengisyaratkan keagunganmu yang jauh

ZIKIR

Aku mengapung
Ringan
Meninggi padamu.
Bagai kapas menari-nari
Dalam angin
Jumpalitan bagai ikan
Bagai lidah api

Bau busuk mulutku, Anne
Seratus tahun memanggi-manggil
Namamu

Inilah zikirku:
Lelehan aspal kealpaanku, cairan timah
Kekeliruanku, gemuruh mesin keliaranku
Tumpukan sampah keterpurukanku
Selokan mampat kesia-siaanku

Aku tak tidur padahal ngantuk, tak makan
Padahal lapar, tak minum padahal haus
Tak menangis padahal sedih, tak berobat
Padahal luka, tak bunuh diri
Padahal patah hati

Anne! Anne! Anne!


Zikirku seribu sepi menombakmu
Menembus lapisan langitmu, membongkar
Gumpalan megamu, membakar pusaran
Kabutmu, menghanguskan jarak
Ruang dan waktu

Aku mencair
Bagai air
Mengalir padamu. Bagai hujan
Tumpah ke bumi
Menggelinding bagai batu
Bagai hantu

Anne! Anne! Anne!

Inilah rentetan tembakan kerinduanku, lemparan
Granat ketakutanku, dentuman meriam kemabukanku
Luapan minyak kegairahanku, kobaran tungku kecintaanku
Semburan asap kepunahanku

Aku tak mengemis padahal miskin, tak mencuri
Padahal terdesak, tak merampok padahal banyak utang
Tak menipu padahal ada kesempatan, tak menuntut
Padahal punya hak, tak memaksa
Padahal putus asa

Anne! Anne! Anne!

Zikirku seribu sunyi mengejarmu
Menggedor barikade pertahananmu, menerobos
Dinding persembunyianmu, mengobrak-abrik ruang
Semadimu, menghancurkan singgasana
Kekhusyukanmu

Bau busuk mulutku, Anne
Seratus tahun memanggil-manggil
Namamu

RUE DE RIVOLI

Kita melaju dalam rintik gerimis
Yang menghapus semua alamat
Dari ingatanku.
Udara seperti berombak
Sungai memantulkan gema
Napasmu gemetar
Di ranting-ranting poplar
Jembatan itu mengangankan rahang
Menyeret musim
Yang meluncurkan perahu
Dalam cuaca dingin.
Senja menjadi ajaib
Di tengah kebisuanmu
Dan redupnya angin
Ke sudut-sudut kafe
Tak ada yang perlu dilabuhkan
Kecuali jejak matahari.
Sementara kau dan aku
Mungkin tak akan mengubah arah sunyi
Dengan mencari kehangatan
Pada gelas dan ciuman

PERNYATAAN CINTA

Kau yang diselubungi asap
Kau yang mengendap seperti candu
Kau yang bersenandung dari balik penjara
Tanganmu buntung karena menyentuh matahari
Sedang kakimu lumpuh

Aku mencintaimu
Dengan lambung yang perih
Pikiran yang dikacaukan harga susu
Pemogokan serta kerusuhan yang meletus
Di mana-mana. Darah dan airmataku tumpah
Seperti timah panas yang dikucurkan ke telinga

Kubayangkan tanganmu yang buntung serta kakimu
Yang lumpuh. Tanpa menunggu seorang pemimpin
Aku mereguk bensin dan menyemburkannya ke udara
Lalu bersama mereka aku melempari toko
Membakar pasar, gudang dan pabrik
Sebagai pernyataan cinta

Betapa menyedihkan mencintaimu tanpa kartu kredit
Tanpa kamar hotel atau jadwal penerbangan
Para serdadu berebut ingin menyelamatkan bumi
Dari gempa dahsyat.

Kuda-kuda menerobos pagar besi
Anjing-anjing memercikkan api dari sorot matanya
Sementara aku melepaskan pakaian dan sepatu

Ternyata mencintaimu tak semudah turun ke jalan raya
Menentang penguasa atau memindahkan gunung berapi
ke tengah-tengah kota
Aku berjalan dengan membawa kayu di punggungku
Seperti kereta yang menyeret gerbong-gerbong kesedihan
Melintasi stasiun-stasiun yang sudah berganti nama
Kudengar bunyi rel yang pedih tengah menciptakan lagu

Gumpalan mendung meloloskan diri dari mataku
Menjadi halilintar yang meledakkan kemarahan
Pada tembok dan spanduk. Aku mencintaimu
Dengan mengerat lengan dan melubangi paru-paru

Aku mencintaimu dengan menghisap knalpot
Dan menelan butiran peluru
Wahai kau yang diselubungi asap
Wahai kau yang mengendap seperti candu
Wahai kau yang terus bersenandung meskipun sakit dan miskin
Wahai kau yang merindukan datangnya seorang pemimpin
Tunggulah aku yang akan segra menjemputmu
Dengan sebotol minuman keras

LOUVRE

Cahaya remang yang melumuri trotoar berbatu
Menyentuh juga tiang-tiang lampu yang berukir indah
Sepanjang jembatan itu.
Seperti jemari senja yang lentik
Cahaya merayapi tubuh jalanan, memanjati dinding-dinding pualam
Lalu mengaburkan diri pada pusaran kabut yang berwarna:
Paris berkilauan dalam sebuah piramida kaca

FIRENZE

Ingin kulepaskan hasratku
Ke pusat gairahmu
Seperti peristiwa-peristiwa biasa
Yang dikekalkan waktu
Menjadi patung dan lukisan.

Begitu pula jalan-jalan
Kaki lima yang berliku
Sungai besar, jembatan-jembatan tua
Patung-patung serta lampu-lampunya

Sejak kulewati sebuah kastil dengan taman bunganya
Kebun anggur tumbuh di dadaku
Aku berjalan dengan lonceng di telinga
Mendirikan menara bagi pendengaranku
Lalu membayangkan sepasang air mancur
Di kedua tanganku.

Kumasuki semua butik dan museum
Hingga aku menjadi sepatu di halaman toko buku
Angka-angka tahun berloncatan
Hari-hari meloloskan diri
Dari perangkap kesementaraan

Sungguh ingin kulekatkan gairahku
Pada bunyi lonceng Katedralmu.
Seperti adegan-adegan pertobatan
Sepanjang dinding marmar yang kekal
Atau dilumuri ambar dan kemiri
Lalu aku berjalan sendiri
Ke deretan bangku-bangku kosong itu
Duduk, tersedu dan membusuk
Bersama sajak-sajakku


Baca juga cerpen Sikat Gigi


COLOMBELLA

Aku masih digayuti kabut yang semalam melaju dalam tidurku
Melewati petak-petak ladang, tangki air dan lengkung biru pebukitan.
Rumah-rumah kotak yang kecoklatan
Jalan-jalan kecil yang melingkar serta sebuah sungai
Yang berliku membelah perkampungan
Semuanya bermuara di mataku

Ini masih awal musim semi,
Kreguk hangatnya kopi serta bait-bait pendek Ungaretti
Betapa angin telah menggemburkan permukaan
Tanah dengan lidahnya.

Topan mengkilapkan wajah bebatuan
Sebuah lapangan kota lama yang lahir kembali
Dengan katedralnya yang lain
Ini masih awal musim semi
Semburat matahari menerobos kaca dan sayup-sayup
Kudengar dengus pepohonan yang menahan
Getar birahi akar-akarnya.
Ladang-ladang menghamparkan tikar pandan
Sungguh musim semi telah membangunkan
Tidur bum yang panjang.

Ketika langit menguraikan rambut ikalnya
Sebuah kastil putih muncul dari balik pebukitan
Dengan air mancurnya yang menyemburkan kilatan cahaya

RUMAH YANG TERBUKA

Jarum pengelihatanku memasuki seluruh pori-pori
Dalam tubuhmu. Keindahan yang kugali sering menjelma api
Yang menyalakan sumbu urat-urat darahku
Aku memintal lagu sepanjang lorong rahasiamu
Untuk kunyanyikan diam-diam. Tanganku meraba ayat-ayat
Tapi setiap kunaiki tangga ke langit terjauh
Aku selalu ditenggelamkan sinar bulan
Mengupas kemolekanmu dengan pisau pikiran
Adalah sia-sia. Keindahan hanya bisa kurasakan getarnya
Seperti cinta yang membakarku tiba-tiba
Aku menggali cahaya dari kuburan-kuburan kenanganmu
Untuk kunyalakan dalam jiwa. Dengan kaki telanjang
Kumasuki rumah batinmu yang terbuka
Di lantai pualam aku bergulingan sepanjang malam

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi karya salah satu penyair berbakat Indonesia Acep Zamzam Noor. Baca juga puisi Mata Hitam

No comments:

Post a Comment