Friday, April 21, 2017

KUMPULAN PUISI NANA RISHKI SUSANTI (NANA ERNEST)


perempuan menunggu disaat hujan
image Misty
HUJAN

Sudah berbilang bulan
ia pun pergi ke dalam hujan
lalu mekar
di embun pagi terlalu bersinar
cintaku, cintaku burung undan
layar putih sebelum hujan

MENGAJAKMU PULANG

Tak ada yang beda
pada hujan
dan kemarau
jeda diantaranya menguraikan doa
pada lengan sunyi

Aku tak pernah lagi
mengirim rindu padamu
pada hujan
atau kemarau
sebab aku mau menidurkanmu
di atas semak perdu

Aku ingin mengajakmu pulang
ke asal mula hatimu
Aku

PHINISI PUISI

Layar Pertama:
Lelaki Platonik
ada yang menuntunmu mendatangiku
sudah terbuka kelopak bunga
ada yang menuntunku menemuimu
lihatlah malam berganti warna
disini pohon-pohon cemara berjajar
sepasang lebah mengulum madu dan menjatuhkannya ke tanah
disini rindu sudah tersulam dan terpagar
nyeri aku merajuk pada rasa manis dan dalam dirimu aku merajah
datanglah, o, lelaki berperahu phinisi
menurunkan siang pada lubuk risauku yang hitam
memuaikan tiang-tiang pada angkasa senyapku yang legam
jemputlah aku di bukit sajak, pagi-pagi
sesungguhnya, o, empedu kegembiraan di hati tuan
adalah selembar sungai tergelar di siangku yang ungu
meski sampai kini belumlah aku paham, tuan
sekeramat takdir atau bebatu nasibkah itu yang menuntunmu menujuku

Layar Kedua:
Kedatangan Nila
takkan rusak cinta sebelanga
bila tak kau bubuhkan nila pura-pura

Layar Ketiga:
Perih Yang Mulia
jangan kau gosok lagi luka lama
senyampang ia mulai sembuh serupa kuning subuh
tapi, ah, karena kau nakal juga menggosoknya
bertambah ia kemana-mana, menjalarlah
ke ruang paling riang nyawa mulai meregang
ia akan berkembang sembunyi-sembunyi
serupa ketabah-jelian ganggang
di pucuk batu-batu di hulu hati ini

Layar Keempat:
Pisau Pencinta
adalah pisau paling kilau
mencari-cari kegempalan batinmu, yang galau
sebilah pisau paling pukau
menyimak bunyi serak sepatumu, kejutan penuh ranjau
pulanglah luka lama, o, luka menganga dari tusuk si pendusta
kuhalau engkau dari wangi mawar sia-sia
sebab batinmu dan batinku adalah satu telaga
kemarilah, menangislah sepuas-puasnya di pundak dinda
masuklah suka cita, o, suka cita yang kukirimkan dalam peti pesan
dalam dirimu kuikatkan sesimpul keyakinan
bahwa kepedihan di dahan jantungmu mulai kugugurkan
tanpa silau pisau yang membuatmu gemetaran

KUTULIS PUISI DI PASIRMU

Hanya doa
Sembunyi di batubatu
Di mawar sunyi
Di pagar rindu
Di langit sengit

Aku menyebut
membawa benang-benang baru
untuk hidupku
hidupmu

Ia tertulis di telapak tangan
Lihatlah garis-garisnya!
Ia tak bisa diubah
bahkan oleh kenangan

Kutulis puisi pada pasirmu

Ingatkah kau pada lampu tua itu
Bangku rotan coklat penuh rayap kayu
Dinding putih penuh kaligrafimu
Tirai hijau berderaiderai
mendengar rinduku yang tak sampai padamu
Karna kupilih mawar sedang aku berduri
Kusembah tiangtiang sedang aku bambu
Kubaca zikir sedang aku sihir
Kuhiba laut sedang aku lembah takut

Kutulis puisi pada pasirmu

Betapa sakit doaku yang menunggu sampai
di antara doa karang
ikan
ombak
nelayan
para pemabuk di laut itu

Aku ingin mengurai cinta
seperti puisi pasir pejalan sunyi
Meski terhapus gelombang
yang dikirimkan doa ikan ikan
Meski impian
tak cukup untuk dituliskan

Anak anak surau
membaca hurufmu
di antara tiangtiang perahu
ketika matahari mulai sembunyi

Dan aku masih
Menulis puisi di pasirmu

Baca: Puisi Madura Akulah Darahmu

PERKABUNGAN CINCIN

Untuk ia
yang merajai seluruh kerdip mata
yang mengalungkan keraguan di dada
telunjuk kananku

-Aku percaya-
bisa menuntunmu ke tempat semula
jalan dimana kau bisikkan sesuatu hal dengan hatihati
sesuatu hal yang membawa kita ke panggung sederhana ini
sebelum melewati rel-rel penuh gumam
menjumpai benturan-benturan keras di kepalaku
dan tak perlu berkabung
jika cincin ini mengusikmu
membangunkanmu
dari mimpi yang kau susun sendiri
pastilah ada api menyala dari kayu hijau
kayu yang akan kau hanguskan suatu malam nanti
saat kau tak mampu menampung lenguhku
aku sudah bercermin sebelum kau menyuruhku
dan dengan amat sadar kupuja-puja kesenyapanmu
seperti puisi-puisiku
membenam-benamkan keningmu yang salju

HARI SENIN

Tepat di hari senin
aku katakan padamu
lewat daun daun berguguran
di telapak kakiku
Inilah mimpiku yang cuma
di pertemuan kita yang sempurna
di menit-menit yang sempit

“Kampus tanpa buku
Bagai pohon tanpa bunga
Rumah tanpa istri
Meja tanpa makanan
dan taman tanpa bunga”

Kau tau, aku kembali
ke dongeng masa kecilku
dulu ibuku bilang:
Kau akan menemui hari ini lagi
lengkap dengan bunyi yang sama
lirikan mata
petikan gitar
wangi tanah
kembang pagi dan sore
bau tubuh
rambut
hela nafas
dan kacamataku
tak beda dari asal mula
pun bukan untuk hari seperti ini saja
Tapi untuk hari-hari terpilih lain
sebab Tuhan ingin memberi
sebuah mimpi
dalam hari itu untukmu
untuk kau wujudkan
bahkan kau pun akan mengira
bahwa kau pernah ada di hari ini
jauh sebelum hari ini
tanpa tau kenapa

Itu misteri hari, sayang,
Dan sial,
aku bertemu dengan dongeng itu lagi
Masa kecilku itu lagi:
Apakah aku pernah menyimpanmu
dengan sepotong rindu
sebelum ini
atau memang kita dipertemukan Tuhan
lewat mimpi
dan kembali jadi hari yang pasti
ketika kau, di perpustakaan itu,
menunjukkanku dengan angkuh
pada buku-buku
yang lelah berbincang bersama debu

LANGGAM BOCAH

Hari ini kau memaksaku
ke kampungmu

Debu merayuku
di pagutan rumah
ranum sempurna:
Dua tiang besi di sisi,
Ubin kuning di kanan kiri
menyambutku sebelum pintu

”Disini aku bisa jadi siapa saja”

Dan mataku berkilat melihatmu
kau bocah ayu
bisa membangun rumah kayu
di tanah-tanah
di kampung rekah

Dewasalah kau
di tangan hangat perempuan
dan lelaki tabah
dengan akar gelisah
dengan mantra
yang terlanjur ditebarkan
mimpi di hunian

Lalu kau bercerita:
ibuku perempuan ayu
dengan keranjang dan sepeda
tiap pagi ia bergegas
ke pabrik seberang desa
betapa wangi bau tubuhnya!
melebihi wangi teh yang ia bawa
di guratan kulitnya
yang menua

Ayahku sudah tua
betapa bersahaja ia
di kayuh roda tiga!
bacalah keakrabannya
pada becak dan jalan berdebu
pada keringat dan kelu

“Tiap pagi aku menyambut terbit matahari
dengan tanganku
yang mengangkat timba di sumur itu

Kuambil air
kucuci diriku

Tuhan tak pernah lelah mengisi sumur kami
dan bila mataku menatap tajam ke bawah
sebelum meraih seember air lagi
maka gema dari dalamnya
membisikkan doa di telingaku:
Dewasalah sebelum kau jadi payah.”

DI MATA NENEK

Kudekap boneka kusam
kupandang teduh nenekku
dan kudengar dongengnya tentang surga
di kelambu itu kusimpan segala lagu
serupa ingatan-ingatan penuh pertikaian
di rumah;
wajah ibu dan lori-lori tua di pabrik gula
kadang pula kekosongan di tangan ayah
aku menangis keras di sudut ladang
dan kadang mengerang
aku tak pernah tahu
seperti apa rasa gula, Tuhan
apa kau tega mencuri sisa kenangan
yang tertanam di mata nenek;
jika matanya menunjuk pagi
bisa kucium harum bunga, berkejaran di kebun pandan,
menatap jalanan, pohonan, dan takjub pada langit fajar
ketika senja berubah warna
dan malam menampakkan keangkuhannya
pada mata nenek kubaca huruf-hurufmu
kukenali sejarah, kitab, doa, nabi, dan wali
sekarang, mata nenek hilang
aku tak bisa lagi membaca segala-galanya
ia tak mau bercerita
ia belum pulang sampai sekarang
bukankah kau curi
lengkap dengan kelambunya?
kuminta kau mengirimi malaikat
tapi bukan untuk meruntuhkan mimpi

PEREMPUAN KEDUA
Bagi Faisal Kamandobat

Serupa bulan
merawat bumi
pelan-pelan sengaja diredupkan
dan terbitlah kepedihannya tiap pagi

Aku
perempuan kedua
bertahun-tahun menunggui kata
dari rapal mantra si pecinta

Malam hari
kutuliskan pengakuanku
mungkin saat itu kau sedang melamunkan kenangan di La mama
atau di antara debu-debu jalan Victoria
dan masih saja memuja cerita Hellen Collins
ketika gerimis mengetik-ngetik genting rumahmu
Diam- diam malaikat menyampaikannya padamu

pertama,
bagaimana kau akan menggambarkan rambutku
apakah seindah benang sari kembang melati
serupa tikar di taman kota, arak-arakan awan,
atau rintik hujan?

kedua,
bagaimana kesunyianku memabukkan engkau yang riuh
padahal mataku bukan benih matahari
ia tak bisa membuat pejalan silau dan tersesat ke barat;
tempat segalanya tersimpan di kerinduan
serupa nabi dan kitab suci yang dinanti-nanti

ketiga,
aku paham sempurnanya pura-pura
terlebih bagi cinta;
seperih kerikil dan paku di jalan berdebu
maka
kupinjam pagi dari matamu
untuk membangun siang
saat paling tepat bagi mimpi yang hendak kumatikan

dari bibir perempuan kedua
lahirlah setiap kecemasanmu

Semoga kumpulan puisi ini dapat memberi inspirasi. Baca juga cerpen Celana Kargo

No comments:

Post a Comment