Friday, March 31, 2017

SURAT YANG TAK PERNAH SAMPAI OLEH DEE


photo surat
image the charcoal universe
Suratmu itu tidak akan pernah terkirim, karena sebenarnya kamu hanya ingin berbicara pada dirimu sendiri. kamu ingin berdiskusi dengan angin, dengan wangi sebelas tangkai sedap malam yang kamu beli dari tukang bunga berwajah memelas, dengan nyamuk-nyamuk yang cari makan, dengan malam, dengan detik jam… tentang dia.

Dia, yang tidak pernah kamu mengerti. Dia, racun yang membunuhmu perlahan. Dia, yang kamu reka dan kamu cipta.

Sebelah darimu menginginkan agar dia datang, membencimu hingga muak dengan dia mendekati gila, menertawakan segala kebodohannya, kekhilafannya untuk sampai jatuh hati padamu, menyesalkan magis yang hadir naluriah setiap kali kalian berjumpa. Akan kamu krimkan lagi tiket bioskop, bon restoran, semua tulisannya dari mulai nota sebaris sampai doa berbait-bait. Dan beceklah pipinya karena geli, karena asap dan abu dari benda-benda yang ia hanguskan, bukti-bukti bahwa kalian pernah saling tergila-gila beterbangan masuk ke matanya. Semoga ia pergi dan tak pernah menoleh lagi. Hidupmu, hidupnya, pasti akan lebih mudah.

Tapi, sebelah dari kamu menginginkan agar dia datang, menjemputmu, mengamini kalian, dan untuk kesekian kali, jatuh hati lagi, sefila-hilanya, sampai batas gila dan waras pupus dalam kesadaran murni akan Cinta. Kemudia mendampatkan dirilah kalian di sebuah alam tak dikenal untuk membaca ulang semua kalimat, mengenang setiap inci perjalanan, perjuangan, dan ketabahan hati. Betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersanding sejajar dengan cakrawala... dan itulah tujuan kalian.

Kalau saja hidup tidka ber-evolusi, kalau saja sebuah momen dapat selamanya menjadi fosil tanpa terganggu, kalau saja kekuatan kosmik mampu stagnan di satu titik, maka… tanpa ragu kamu akan memilih satu detik bersamanya untuk diabadikan. Cukup satu.

Satu detik yang segenap keberadaannya dipersembahkan untuk bersamamu, dan bukan dengan ribuan hal lain yang menanti untuk dilirik pada detik berikutnya. Betapa kamu rela membantu untuk itu.

Tapi hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali.

Kamu takut.

Kamu takut karena ingin jujur. Dan kejujuran menyudutkanmu untuk mengakui kamu mulai ragu.

Dialah bagian terbesar dalam hidupmu, taoi kamu cemas. Kata ‘sejarah’ mulai menggantung hati-hati di atas sana. Sejarah kalian. Konsep itu menakutkan sekali.

Sejarah memiliki tampuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi melekat untuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat bersi tapi ketika di sentuh menjadi embun yang rapuh.

Skenario perjalanan kalian mengharuskanmu untuk sering menyejarahkannya, merekamnya, lalu memainkannya ulang di kepalamu sebagai Sang Kekasih Impian, Sang Tujuan, Sang Inspirasi bagi segala mahakarya yang termuntahkan ke dunia. Sementara dalam setiap detik yang berjalan, kalian seperti musafir yang tersesat di padang. Berjalan dengan kompas masing-masing, tanpa ada usaha saling mencocokkan. Sesekali kalian bertemu, berusaha saling toleransi atas nama Cinta dan Perjuangan yang Tidak Boleh Sia-sia. Kamu sudah membayar mahal untuk perjalanan ini. Kamu pertaruhkan segalanya demi apa yang kamu rasa benar. Dan mencintainya menjadi kebenaran tertinggimu.

Lama baru kamu menyadari bahwa pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutuan.

Lama bagi kamu untuk berani menoleh ke belakang, menghitung, berapa banyakkah pengalaman nyata yang kalian alami bersama?

Sebuah hubungan yang dibiarkan tumbuh tanpa keteraturan akan menjadi hantu yang tidak menjejak bumi, dan alasan cinta yang tadinya diagungkan bisa berubah menjadi utang moral, inbestasi watu, perasaan, serta perdagangan kalkulatif dua pihak.

Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam sepak-terjang-nya yang serba mengejutkan, cinta ternyata masih butuh mekanisme agar mampu bertahan.

Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkanmu-entah kapan dan kenapa. cinta yang sudah dipilih sebaiknya diikutkan setiap langkah kakim merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan… karena cinta adalah mengalami.

Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia terpantau agar tetap harmonis. Karena cinta pun hidup bukan Cuma mascot untuk disembah sujud.

Kamu ingin berhenti memencet tombol tunda. Kamu ingin berhenti menyumbat denyut alami hidup dan membiarkannya bergulir tanpa beban.

Dan kamu tahu, itulah yang tidak bisa dia berikan kini,. Hingga akhirnya…

Di meja itu, kamu dikelilingi tulisan tangannya yang tersisa (kamu sadar betapa tidak adilnya dokumentasi dan arsip, sehingga Cuma kamulah yang tersiksa?).

Jangan heran kalau kamu menangis sejadi-jadinya.

Dia, yang tidak pernah menyimpan gambar rupaamu, pasti tidak tahu apa rasanya menatap lekat-lekat satu sosok, membayangkan rasa sentuh dari helain rambut yang polos tanpa busa pengeras, rasa hangat uap tubuh yang kami hafal betul temperaturnya.

Dan kamu hanya bisa berbagi kesedihan itu, ketidakrelaan itu, kelemahan itu, dengan wangi bunga yang melangu, dengan nyamu-nyamuk yang putus asa, dengan malam yang pasrah digusur pagi, dengan detik jam dinding yang gagu karena habis daya.

Sampai pada halaman kedua suratmu, kamu yakin dia akan paham, atau setidaknya setengah memahami, betapa sulitnya perpusahan yang dilakukan sendirian.

Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaki beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama.

Atau sebaliknya, tidak ada sergahan yang membuatmu berubah pikiran, tidak ada kata ‘jangan’ yang mungkin, apabila diucapkan dan ditindakkan dengan tepat, akan emmbuatmu menghambur kembali dan tak mau pergi lagi.

Kamu pun tersadar, itulah perpisahan paling sepi yang pernah kamu alami.

Ketika surat itu tiba di titiknya yang terakhir, masih aka nada sejumput kamu yang bertengger tak mau pergi dari perbatasan usai dan tidak usai. Bagian dari dirimu yang merasa paling bertanggung jawab atas semua yang sudah kalian bayarkan bersama demi mengalami perjalanan hati sedahsya itu. dirimu yang mini, tapi keras kepala, memilih untuk tidak ikut perfi bersama yang lain, menetap untuk terus menemani sejarah. Dan karena waktu semakin larut, tenagamu pun sudah menyusut, maka kamu akan membiarkan si kecil itu bertahan semaunya.

Mungkin, suatu saat, apabila sekelumit dirimu itu mulai kesepian dan bosan, ia akan berteriak-teriak ingin pulang. Dan kamu akan memjemputnya, lalu membiarkan sejarah membentengi dirinya dengan tembok tebal yang tak lagi bisa ditembus. Atay mungkin, ketika sebuah keajaiban mampu menguak kekeruhan ini, jadilah ia semacam mercusuar, kompas, Bintang Selatan… yang menunjukkan kalan pulang bagi hatimu untuk, akhirnya, menemuiku.

Aku yang merasakan apa yang kau rasakan. Yang mengdamba untuk mengalami. Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta padamu. Suarat-surat yang tak pernah sampai.

Baca juga biografi Eka Kurniawan  dan biografi Dee...

REVIEW SABTU BERSAMA BAPAK

cover buku Sabtu Bersama Bapak
image mega
Gunawan ayah dari Satya dan Cakra yang biasa dipanggil Saka oleh ibunya, Itje. Setelah periksa ke dokter Gunawan tahu usianya akan bertahan hanya selama setahun. Tanpa kawatir dan takut segalanya dipersiapkan dengan baik, untuk istri dan anaknya agar tidak merepotkan orang lain kelak kalau dia sudah tidak ada. Melalui handycam dia ingin tetap mendampingi pertumbuhan anaknya walaupun dia tidak ada. 30 rekaman yang Itje berikan seiring pertumbuhan putranya, jadi nostalgia kuch kuch hota hai nih yang mereka tonton setiap hari sabtu.

Usia 30 tahun Cakra yang sudah mapan, mungkin kelewat matang. Bahkan sudah memiliki rumah hasil jerih payah cicilannya. Tepat hari syukuran rumah, selama 3 jam harus melewati masa neraka Jomblo. Yah, bisa dikata sisi minus Cakra, dia kalah gagah dari Satya. Mungkin bukan hanya Satya, tapi lelaki pada umumnya.

“Guys, beneran, jangan khawatir. Jomblo itu pilihan.”

“Bener banget, Kang, gak ada yang milih Kakang.”

Sebenarnya yang jadi pikiran Cakra belum ingin menikah atau mencari seorang pacar. Dia ingin berada pada keadaan benar-benar mapan seperti dikatakan ayahnya dalam video yang diberikan saat usia 18 tahun.

Saat ini Satya sudah menikah dengan Rissa, dan memiliki tiga buah hati. Satya bekerja di kilang minyak membuatnya tidak memiliki banyak waktu untuk keluarga. Jarang pulang ke rumah, sekalipun pulang yang ditonjolkan hanya emosi, bahkan lewat telepon. Pribadi yang sangat temperamen membuat tiga anaknya takut, dan tertekan setiap bertemu atau mengobrol dengan Satya.

Rissa lelah dengan prilaku suaminya yang tidak pernah menghargai usahanya, dan selalu membuat anak-anak takut. Pemicu amarahnya pun persoalan sepele. Dani, putranya yang tidak bisa berenang, masakannya yang kurang enak. Lewat e-mail Rissa mengirim pesan pada Satya. Mengutarakan semua alasan yang selalu membuat dia marah. Di titik akhir kalimat Rissa menyarankan Satya tidak pulang ke rumah.

Melirik keadaan si jomblo sejati. Cakra sudah menyiapkan amunisi sendiri untuk membalas pertanyaan-pertanyaan dari bawahannya yang terkadang mereka diskusikan lewat e-mail.


From: Cakra Garnida
To: +all sales micro finance POD
Subject: Stop it!

Dear all,
Terima kasih atas waktu dan usaha kalian yang habiskan mencarikan saya jodoh. Memang saya akui, saya rada kering beberapa tahun terakhir ini. Pun demikian, saya ingin mengingatkan bahwa ada yang jauh lebih penting dari nasib saya seperti contohnya, achieve target 2016. Memang sudah growing 13% dari tahun lalu, tapi masih 95% dari target tahun ini. Jadi mohon konsentrasi ke sana. Atau mencoba menjawab soal matematika di bawah.

Jika kalian bertanya selama tiga tahun, kapan saya punya pacar, maka coba hitung berapa penurunan gaji kalian tahun depan.

Mari kita renungkan.

CG.


Isi e-mail masih membayang dalam benak Satya. Sepanjang beberapa hari bahkan dikala kerja, dia berusaha merenungkan kejadian dan prilakunya selama ini. Barulah disadari kehangatan dalam keluarganya tidaklah sama seperti dulu.

Satya menyadari kesalahan yang telah dilakukan dalam mendidik anak-anaknya, dan memperlakukan istrinya. Dia bertekad memperbaiki semua, akan lebih respek lagi pada anak dan istri. Tidak lagi mengandalkan emosi. 

Dilain hal tidak ada yang tahu kalau Itje sedang sakit. Gunawan pernah berpesan agar tidak merepotkan anak-anaknya. Dengan meninggalkan bekal berupa asset dan uang agar bisa hidup mandiri. Kalimat Gunawan terus mengingatkan ‘Belum tentu anak-anaknya kelak mampu menangani dirinya sendiri apalagi ibunya’. Intinya jangan jadi beban.  

Lama menanti, akhirnya Cakra telah menemukan wanita yang bisa mendampinginya dunia akhirat. Namanya Ayu, secantik namanya. Dia harus bersaing ketat dengan Salman. Lelaki yang tidak pantas dikatakan saingan. Tampang fisik terlebih keahlian menggaet wanita dialah pakarnya. Tapi Cakra benar-benar tidak ingin mundur, dia sangat menginginkan Ayu. Ditengah persaingan, mendadag Cakra dapat tugas ke Makassar selama sebulan. Pupus sudah rasanya harapan. Saat pulang dari tugas karyawannya mengabarkan Salman sudah menyatakan perasaannya pada Ayu. Selama ini setiap Cakra melemparkan pendekatan, Ayu selalu menjauh bahkan jika ingin jalan berdua, Salman selalu dia ajak. Daripada tidak sama sekali, Cakra tetap memberanikan diri mengatakan perasaannya walaupun akan ditolak.

Membaca judulnya, sampai menilai covernya, dalam pikiran saya lansung terbesit kayaknya ini sedih. Diluar dugaan, humor of sense penulis mampu membuat saya sakit perut. Khususnya pencarian cinta Arjuna, eh, Cakra masudnya benar-benar lucu. Sangat disarankan untuk lelaki dan wanita yang ingin berkeluarga maupun yang sudah berkeluarga membaca buku ini. Ada banyak pembelajaran yang bisa di peroleh dan menjadi renungan dalam berumah tangga. Utamanya konflik yang diangkat dalam cerita, merupakan kejadian umum dalam rumah tangga.

Bagian kekurangannya, ada sedikit tidak tepat menurut saya. Percakapan Cakra dan Ayu saat mengatakan ‘mencari pacar yang kuat agamanya’. Seandainya Cakra mengatakan ‘mencari pacar yang pribadinya baik’ menurut saya ini baru pas. Karena orang yang agamanya kuat tidak seharusnya mencari pacar. Tapi ya, tergantung sudut pemahaman masing-masing orang. Setelah membaca tuntas buku ini, sepertinya penulis memiliki pemahaman ‘orang yang shalat tepat waktu adalah orang yang sudah kuat agamanya’. Dipikir-pikir lagi, sebenarnya tidak bisa mengklaim orang ini agamanya kuat atau tidak karena tidak ada tolak ukur yang pasti, cuman tuhan yang tahu. Apa dinilai dari mata manusia belum tentu sama sama dengan tuhan. Terlepas ketidak tepatan yang ada, buku ini tetap recommended.  

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga memberi inspirasi. Baca juga review buku The Girl on The Train

BIOGRAFI BERNARD BATUBARA


photo Bernard Batubara
image Jody
Lelaki yang menyukai hal-hal yang berhubungan dengan seni terutama tulisan dan fotografi. Lahir di Pontianak, 9 Juli 1989. Bernard Batubara yang biasa dipanggil Bara mendalami dunia menulis sejak pertengahan 2007. Beberapa tulisannya pernah di muat di majalah budaya, surat kabar lokal maupun nasional, portal-portal daring, dan antologi bersama penulis lain.

Kumpulan puisi yang berjudul Angsa-Angsa Ketapang diterbitkan pada tahun 2010. Saat Bara masih duduk di bangku mahasiswa jurusan Teknik Informatika Universitas Islam Indonesia. Dikuti dari blog www.bintang.com Bara mengakui mulai tertarik dengan menulis saat masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Keinginannya semakin kuat untuk lebih mendalami menulis setelah membaca tulisan dari J.K Rowling yang terkenal dengan series Harry Potter-nya.

Waktu mengenyam pendidikan di bangku kelas satu SMA, untuk pertama kalinya Bara telah menyelesaikan satu novel yang berjudul Cross Road of Love. Untuk merampungkannya butuh waktu 2 tahun. Namun naskahnya menuai penolakan dari penerbit, hingga memilih untuk menyimpannya sendiri.

Selain J.K Rowling, salah satu penulis yang telah menginspirasinya untuk tetap berjuang menjadi penulis adalah Haruki Murakami, penulis asal Jepang yang sudah dikenal dunia. Dimana Bara mendapatkan ilmu tentang tentang teknik menulis. Dan juga sudut pandang tentang aktivitas menulis itu sendiri.

"Haruku Murakami sering mengibaratkan menulis itu seperti lari marathon. Tidak perlu buru-buru memulai karena jarak yang kamu tempuh masih panjang. Itu yang aku contoh ketika menulis novel," kata Bara di kantor Bintang.com, Kamis (19/1/17).

Dalam memulai suatu tulisan Bara akan menyusun rencana lebih dulu. Dengan langkah awal tidak terburu-buru dan begitu memforsir tenaga. Memulai dari berapa halaman yang harus diselesaikan hari ini. Lalu sisa energinya disimpan untuk besok, dan begitu seterusnya sampai novelnya selesai. Konsistensi menulis jauh lebih penting ketimbang semangat yang berapi-api.

Bara mengaku sempat memiliki sebuah ambisi untuk menerbitkan 40 buku sampai usianya 40 tahun, namun ambisi tersebut memudar berkompromi dengan dengan waktu. Kini ia hanya ingin terus menulis, meski apa yang dia tuliskan dan sebagai apa ia menulis belum menyentuh imajinasinya. "Aku belum menemukan cara lain untuk mengenal diriku sendiri, untuk mengenal orang-orang, selain dengan cara menulis. Jadi sampai aku menemukan cara lain itu, aku akan terus menulis," tutupnya.

Bara menjadi pembicara di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2013, penulis terpilih Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2013, dan menjadi pembicara di Asean Literary Festival (ALF) 2015. Selain bekerja sebagai penulis penuh-waktu, Bara mendirikan kelas menulis bernama Kopdar Fiksi, dan sesekali memenuhi undangan untuk bicara tentang penulisan kreatif di kampus-kampus dan komunitas-komunitas.

BIBILIOGRAFI

Angsa-Angsa Ketapang (2010)
Radio Galau FM (2011)
Kata Hati (2012)
Milana (2013)
Cinta dengan Titik (2013)
Surat untuk Ruth (2014)
Jatuh Cinta Adalah Cara Terbaik untuk Bunuh Diri (2014)
Jika Aku Milikmu (2015)
Metafora Padma (2016)
Elegi Rinaldo (2016)

Buku Radio Galau FM dan Kata Hati telah jadi film layar lebar, diproduksi oleh Rapi Films.

Buku terbaru Bara terbit Maret 2017, Luka Dalam Bara.

Bara cukup aktif di social media. Jika ingin mengetahui lebih banyak aktivitas dan perkembangan karyanya kunjungi akun resminya. Bernard Batubara blog, twitter.

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menambah semangat berkarya. Baca juga biografi Eka kurniawan 

KUMPULAN PUISI DARI EDISI ANGSA-ANGSA KETAPANG OLEH BERNARD BATUBARA

cover kumpulan puisi Angsa-Angsa Ketapang
image Wiraga

TEMPIAS

sebelumnya aku pernah mendamba rincikMu
kota-kota ini, tuan, adalah kota yang berasal dari senja

di dalam lembar-lembar kosong kitab suciMu
hangat, sebentar, melelehkan, dan melelahkan

tapi kematian terlahir sebagai harakat yang panjang
ia harus panjang pula diucapkan, ia telampau jauh

namun menyala
demikian dekat
demikian terang

kota-kota ini tumbuh dari kealpaan, aku adalah napasMu
napasMu telah larut dalam hampa udara dalam doa-doa

sebelumnya aku pernah begitu mendamba rincikMu
sebelum engkau menjelma tempias yang halus

namun amat basah

demikian lekat
demikian erat


KAMAR

kata-kata yang sudah tua
tinggal di dalam kamar

rindu menekuk lutut di sudut
luka bergelantungan di pintu

tidak ada lampu untuk masa lalu
atau cinta yang terbaring dan dendam

cuma kenangan tersangkut di sarang laba-laba
dan ingatan membungkus tubuhnya yang biru

tidak ada kita di atas kasur
atau sisa napas di pinggir bantal

cuma kepergian yang membekas di jendela
dan selembar tirai yang masih menunggu


Kedua puisi diatas diterbitkan pada tahun 2010 dalam kumpulan puisi Bernard Batubara yang berjudul Angsa-Angsa Ketapang. Baca biografi Bernard Batubara

Thursday, March 30, 2017

FILOSOFI KOPI (chapter 1) OLEH DEE

cover buku Filosofi Kopi
image Grant
Filosofi Kopi (1996)

Kopi… k-o-p-i.
Sudah ribuan kali aku mengeja sembari memandangi serbuk hitam itu. memikirkan kira-kira sihir apa yang dimilikinya hingga ada satu manusia yang begitu tergila-gila: Ben… B-e-n.

Ben pergi berkeliling dunia, mencari koresponsden di mana-mana demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri. Dia berkonsultasi dengan pakar-pakar peramu kopi dari Rima, Paris, Amterdam, London, New York, bahkan Moskow.

Ben, dengan kemampuan berbahasa pas-pasan, mengemis-ngemis agar bisa menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar saji, mengorek-ngorek rahasia namun kopi dari barista-barista caliber kakap demi mengetahui takaran paling pas untuk membuat café latte, cappuccino, espresso, Russian coffee, macchiato, dan lain-lain. sampai tibalah saatnya Ben siap membuka kedai kopinya sendiri. Kedai kopi idealis.

Setahun lalu aku resmi menjadi partner kerjanya. Berdasarkan asas saling percaya antarsahabat ditambah kenekatan berspekulasi, kuserahkan seluruh tabunganku menjadi saham di kedainya. Selain modal dalam bentuk uang dan ilmu administrasi, aku tak tahu apa-apa tentang kopi. Itu menjadi modal Ben seutuhnya.

Sekarang, boleh dibilang Ben termasuk salah satu peramu kopi atau barista terandal di Jakarta. Dan ia menikmati setiap detik kariernya. Di kedai kami ini, Ben tidak mengambil tempat di pojok, melainkan dalam sebuah bar yang terletak di tengah-tengah sehingga pengunjung bisa menontoni aksinya membuat kopi. Dengan seleksi kopi yang kami miliki, kebanyakan pelanggan kedai memang penggemar kopi sejati yang tak henti-hentinya mengagumi daftar menu kami. Benar-benar mengagumi karena mereka mengerti.

Lantai dan sebagian dinding kedai terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar, poster-poster kopi berbagai macam pose di sepanjang dinding terbingkai rapi dalam pigura berlapis kaca. Puncaknya, sebuay jendela kaca besar, bertuliskan nama kedai kopi kami dalam huruf-huruf dicat yang mengangatkanmu pada tempat pangkas rambut zaman Belanda.

Kedai Koffie
B E N & J O D Y

Jody… J-o-d-y. kau dapat menemuinya di tempat yang kurang menarik, yakni di belakang mesin kasir atau di pokolan bersama kalkulator. Sementara di pusat orbir sana, Ben mengoceh tanpa henti, kedua tangannya menari berswama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir, gelas, dan segala macam perkakas di meja panjang itu.

Tempat kami tidak besar dan sederhana dibangdingkan kafe-kafe lain di Jakarta. Namun di sini, setiap inci dipersiapkan dengan intensitas. Ben memilih setiap kursi dan meja yang semuanya berbeda dengan mengetesnya satu-satu, paling tidak seperempat ham per barang. Ia mencobanya sambil menghirup kopi, dan merasa-rasa dengan instingnya, apakah furniture itu cukup “sejiwa” dengan pengalaman minum kopi. Begitu juga dengan gelas, cangkir, bush kettle, poci, dan lain-lain. tidak ada yang tidak melalui tes kompatibilitas Ben terlebih dulu. Dengan ia menjadi pusat, dikelilingi mereka yang duduk di susunan rapat meja-kursi beraneka model, aku seolah menyaksikan sebuah perhelatan pribadi. Pesta minum kopi, kecil dan akrab, dengan Ben sebagai tuan rumah.

Tapi, yang benar-benar membuat tempat ini istimewa adalah pengalaman ngopi-ngopi yang dicuptakan Ben. Ia tidak sekadar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang ia buat. Ben menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filose untuk setiap jenis ramuan kopi.

‘Itu yang membuat saya mencintai minuman ini. kopi itu sangat berkarakter.’ Kudengar sayup-sayup Ben berkata pada salah satu pengunjung perempuan yang duduk di bar.

‘Seperti pilihan Anda ini, cappuccino. Ini untuk orang yang menyukai kelembutan sekaligus keindahan.’ Ben tersenyum seraya menyorongkan cangkir. ‘Anda tahu, cappuccino ini kopi paling genit?’

Perempuan itu tertawa kecil.
‘berbeda dengan café latte, meski penampilannya cukup mirip. Untuk cappuccino dibutuhkan standar penampilan yang tinggi. mereka tidak boleh kelihatan sembarangan, kalau bisa terlihat seindah mungkin.’

‘Oh, ya?’

‘Seorang penikmat cappuccino sejati, pasti akan memandangi penampilan yang terlihat di cangkirnya sebelum mencicip. Kalau dari pertama sudah kelihatan acak-acakan dan tak terkonsep, bisa-bisa mereka nggak mau minum. Sambil menjelaskan, dengan terampil Ben membentuk buih cappuccino yang mengapung di cangkir itu menjadi bentuk hati yang apik.

‘Bagaimana dengan kopi tubruk?’ seseorang bertanya iseng.

‘Lugu, sederhana, tapi sangat memimikat kalau kita mengenalnya lebih dalam,’ Ben menjawab cepat. ‘Kopi tubruk tidak peduli penampilan, kasar, membuatnya pun sangat cepat. Seolah-olah tidak membutuhkan skill khusus. Tapi, tunggu sampai Andai emncium aromanya,’ bak pemain sirkus Ben menghidangkan secangkir kopi tubruk, ‘silahkan, komplimen untuk Anda.’

Dengan wajah terpukau, orang itu menerima cangkir yang disorongkan Ben, siap menyeruput.’

‘Tunggu dulu!’ tahan Ben. ‘Kedahsyatan kopi tubruk terletak pada temperature, tekanan, dan urutan langkah pembuatan yang tepat. Semua itu akan sia-sia kalau Anda kehilangan tujuan sebenarnya: aroma. Coba hidup dulu aromanya. Ini kopi spesial yang ditanam di kaki gunung Kilimanjaro.’

Orang itu mengembangkan cuping hidung, menghirup dalam-dalam kepulan asap yang membubung dari cangkirnya. Matanya itu tampak berbinar puas.

Melihat reaksi tersebut, Ben mengangguk sama puas. Sejekap kemudian dia sudah berpindah tempat, berbincang-bincang dengan pengunjung lain, dengan semangat dan atensi yang sama.

Ketika kedai tutup dan semua pulang, tinggallah kami berdua berbincang-bincang di salah satu sudut. Satu-satunya kesempatan kami untuk akhirnya minum kopi.

‘Tidak terasa, kita sudah punya kedai ini setahun lebih.’ Mataku berputar bersama putaran kayu manis, lamunanku terisap pusaran kopi dalam cangkirku sendiri.

‘Sekian banyak manusia sudah datang dan pergi…’ nada bicara Ben tiba-tiba melonjak, seolah sesuatu menyengatnya, ‘dan kamu tahu apa kesimpulanku?’

‘Kita akan kaya raya?’

‘Belum tentu. Tapi semua karakter dan arti kehidupan ada di sini.’

‘Di dalam daftar menuman ini?’ Aku menunjuk buku tipis yang tergeletak di meja.

Mantap, Ben mengangguk,
‘Bagaimana kam bisa mengkondens jumlah yang tak terhingga itu ke dalam sebuah daftar minuman?’ aku menatapnya geli, ‘Ben… Ben…’

‘Jody… Jody…’ ia malah ikutan geleng-geleng. ‘Buku ini adalah buku yang hidup, daftar yang akan terus berkembang. Selama masih ada yang namanya biji kopi, orang-orang akan menermukan dirinya di sini.’ Ben mengacungkan daftar ramuan kopinya tepat di depan hidungku.

Air muka itu meletup-letup seperti didihan air. Ben beroleh ide baru. Aku berandai-andai kapan ia terpikir untuk akhirnya membangun berhala dari biji kopi, karena sepertinya hanya masalah waktu.

Susudah pembicaraan kami malam itu, Ben melakukan berbagai terobosan baru.

Dalam daftar minuman, kini ditambahkan deskripsi singkat mengenai filosifi setiap ramuan. Puncaknya, dia mengganti nama kedai kopi kami menjadi:

F I L O S O  K O P I
Temukan Diri Anda di Sini

Nama kedai kami berikut slogannya ternyata menjadi sangat popular. Kuamati semakin banyak orang yang berhenti, membaca, kemudian dengan wajah ingin tahu mereka masuk ke dalam, waswas sekaligus harap-harap cemas, seperti memasuki tenda peramal. Dan tanpa perlu bola krisal. Omset kedai kami meningkat pesar.

Kini, bukan para kopi mania saja yang datang, bahkan mereka yang tidak suka kopi sama sekali pun ada yang berkunjung. Golongan terakhir ini adalah orang-orang penasaran dan akhirnya rela mencicipi kopi demi rasa ingin tahu. Ada juga grup gila filsafat, yang lebih menikmati diskusi mereka dengan Ben daripada kopi yang  mereka pesan, tapi ujung-ujungnya menjadi langganan tetap juga.

Tak sampai di situ, Ben juga membuat karu kecil yang dibagikan kepada setiap orang sehabis berkunung. Kartu berutliskan. ‘KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: …’ dan ketengan filosifisnya. Mereka sisipkan itu  ke dalam saku, tas, dompet, bagai tanda keberuntungan yang menyumbangkap harap untuk menjalani hari. kadang-kadang aku mendengar mereka amulai menyebut kedai kopi kami dengan panggilan sayang bersi masing-masing Fil-Kop, So-Pi, Filo, FK, dan lain-lain.

Semua terobosan yang dilakukan Ben menjadikan kedai kopi ini memiliki magnet baru, yakni kehadirannya sebagai filsuf kecil, teman curhat. Kedai kami bukan sekadar persinggahanm tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan personal mereka, layaknya seorang teman.

Dan uang kupikir sudah luar biasa ternyata belum apa-apa. Malam itu Ben mengungkapkannya padaku, saat kami menghidup kopi panas pertama kami, larut malam di kursi bar.

‘Jody, hari ini aku mendapat tantangan besar.’

Aku, yang sedang sibuk berhitung dengan mesin hitung, hanya tergerak untu mengangkat alis, ‘Oh, ya?. Tantangan apa?’

Ben menggeser mesin  hitung itu jauh ke ujung meja.

‘Dengar dulu baik-baik…’
Dia mulai bercerita. Sore tadi dia kedatangan seorang pengunjung, pria perlente berusia 30 tahun-an. Melangkah mantap masuk ke kedai dengan mimik yang hanya bisa ditandingin pemenang undian satu miliar. Wajah penuh kemenanga. Mungkin saja benar dia baru dapat satu miliar, karena tanpa ujung pangkal dia mentraktir semua orang yang duduk di bar.

Di hadapan mereka, ia bertanya pada Ben, tepatnya, mengumumkan keras-keras: ‘Di kedai ini, ada tidak kopi yang punya arti: kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup! Ada tidak? Kalau ada, saya pesan satu cangkir besa.’

Ben menjawab sipan, ‘Silahkan lihat saja di daftar, barangkali ada yang cocok.’

Proa itu menggeleng. ‘Barusan sudah saya baca. Tidak ada yang artinya itu.’

‘Yang mendekati, mungkin?’

Ucapan Ben justruk memancingnya tertawa. ‘Maaf, tapi dalam hidup saya tidak ada istilah mendekati. Saya ingin kopi yang rasanya sempurna, tidak bercacat.’

Ben mulai menggaruk kepalanya yang tak gatal.

‘Berarti Anda belum bisa pasang slogan seperti itu di depan,’ pria itu menunjuk kaca jendela. ‘Saya ke mari karena ingin menemukan diri…’. Selanjutnya dia bercerita panjang lebar mengenai kesuksesan hidupnya sebagai pemilik perusahaan importer mobil, istrinya seorang artis cantik yang sedang di pucak karier, dan di usianya yang masih di bawah 40 dia sudah menjadi salah satu pebisnis paling berpengaruh versi beberapa majalah ekonimi terkenal.

Kepalaku terasa pening. Entah karena tonjokan kafein atau cerita sukses itu.

Ben lanjut bercerita tentang pria itu untuk membuat kopi dengan rasa sesempurna mungkin. ‘Kopi yang apabila diminum akan membuat kita menahan napas saking takjubnya, dan Cuma bisa berkata: hidup ini sempurna.’ pria itu menjelaskan dengan ekspresi kagum yang mendalam, kemungkinan besar sedang membayangkan dirinya sendiri. Dan, gongnya, ia menawarkan imbalan sebesar 50 juta.

Seketika mataku terbeliak. Ini baru menarik. ’50 juta?!’

‘Dan aku menerima tantangannya.’

‘Sebentar, ini bukan taruhan, kan?’

‘Bukan. Kalau aku ternyata mampu, aku dapat uanganya, kalau tidak, ya sudah. Tanpa risiki.’

‘Kalau begitu, buat apa pikir-pikir lagi, sikaaat!’ seruku berkobar-kobar. Terbayang pengembangan apa saja yang bisa dibuat dengan 50 juta di tangan.

Ben hanya mengangguk kecil, keningnya berkerut. Aku tahu pasti, bukan uanga 50 juta yang menarik minatnya.

‘Berarti, aku harus kerja keras. Mulai sekarang!’ Sekonyong0konyong Ben berdiri, meninggalkanku dan kopinya yang baru diminum seteguk. Entah apa yang dimaksud ‘kerja keras’.

Belakangan aku baru tahu maksudnya. Tak ada lagi bincang-bincang malam hari seperti yang biasa kami lakukan. Ketika kedai sudah tutup, Ben tetap tak beranjak dari dalam bar. Pemandanganku setiap malam kini berganti menjadi Ben dikelilingi gelas-gelas ukur, tabung-tabung teaksi, timbangan, sendok takar, dan aneka benda yang rasanya lebih cocok ada di laboratorium kimia daripada di kedai kopi.

Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya kasar karena kelupaan bercukur, lingkaran hitam mebundari matanya akibat terlelu banya begadang, tubuhnya menipis karena sering lupa makan. sahabatku bermutasi menjadi versi lain dari dokter Frankenstein. The Mad Barista.

Mingu-minggu berlalu sudah. Sekitar tengah malam, Ben tahu-tahu meneleponku, memaksaku datang ke kedai.

Aku tiba sambil bersungut-sungut. ‘Urusan apa yang sebegitu pentingnya sampai tidak bisa menunggu besok?’

Ben tidak menjawab. namun kutangkap kilau mata yang menyala terang, terpancar dari wajahnya yang kusut berantakan.

Ke depan batang hidungku, ia menyodorkan sebuah gelas ukur. Ada kopi hangat di daldamnya. ‘coba cium…’

Aku mengendus. Wangi. Sangat wangi.

‘Coba minum…’

Dengan sedikit ragu aku menyeruput. Sebuah kombinasi rasa merambati lidahku. Hmm… ini… ‘Ben, kopi ini…’ aku mengangkat wajahku, ‘SEMPURNA!’

Kujabat tangan Ben keras-keras sampai badannya terguncang-guncang. Kami berdua tertawa-tawa. Lama sekali. Seakan-akan ada beban berat yang tahu-tahu terangkat. Seolah-olah sudah tahunan kami tidak tertawa.

‘Ini kopi yang paling enak@’ seruku lagi, takjub.

‘… di dunia,’ sambung Ben. ‘Aku sudah keliling dunia dan mencoba semua kopi terenak, tapi belum ada yang rasanya seperti ini. akhirnya aku bisa berkata bahwa ada ramuan kopi yang rasanya ‘SEMPURNA’/

Aku mengangguk setuju/ ‘Mau diberi nama apa ramuan ono?’

Ben mematung, sampai akhirnya sebuah senyum mengembang, senyum bangga seorang ayah yang menyaksikan bayinya lahir ke dunia. ‘BEN’s PERFECTO,’ tandasnya mantap.

Pagi-pagi sekali Ben menelepon penantangnya. Tepat pukul empat sore, orang itu datang lengkap bersama pacarnya. Siapa pun akan mau bertukar nasib dengannya. Dari langkah pertama ia masuk kedai, auranya menyuarkan kesuksesan, kekayaan, dan pacarnya itu, tidak butuh lagi fiti aura untuk menangkap kecantikannya.

Disaksikan semua pelanggan yang sengaja kami undang, Ben menyuguhkan secangkir Ben’s Perfecto pertamanya dengan raut tegang.

Pria itu menyeruput, menahan napas, kemudian mengembuskannya lagi sambil berkata perlahan, ‘Hidup ini sempurna.’

Kedai mungil kami gegap gempita. Semua orang bersorak.

Pria itu mengeluarkan selembar cek. ‘Selama. Kopi ini perfect. Sempurna.’

Sebaga ganti, Ben memberikan kartu. Filosofi Kopi. Kartu itu bertulisjan:

KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:
BEN’S PERFECTO

Artinya:
Sukses adalah
Wujud Kesempurnaan Hidup

Pria itu tertawa lebar membacanya. ‘Setuju! Akan selalu saya simpan kartu ini,’ ujarnya, lalu memasukkan kartu itu ke balik kantong jasnya yang tampak mahal.

Sore itu berlalu dengan sempurna. kami membagikan sampel Ben’s Perfecto pada semua pengunjung, dan minuman itu mendapat sambutan yang luar biasa.

Demikian pula dengan hari-hari selanjutnya. Sejak diciptakannya Ben’s Perfecto, keuntungan kami meningkat, bahkan berlipat ganda.

Minuman itu menjadi menu favorit semua langganan sekaligus menjadi daya pikat yang menarik orang-orang baru untuk datang. Walau harganya lebih mahal dibandingkan minuman lain, kepuasan yang didapat dari Ben’s Perfecto memang tak bisa didapat di mana pun. Kesohoran minuman itu juga menarik perhatian banyak orang asing, dan mereka semua tercengang-cengang ketika mencobanya.

Tak ada yang menyangka akan menemukan ramuan kopi sedahsyat itu di kota Jakarta, di kedai kecil bernama Filosofi Kopi.

Hari ini, aku iseng mendampingi Ben di bar. Ingin sekali-kali kunikmati kepuasan bercakap-cakap dengan para pelanggan setia, atau sekadar menontoni ekspresi orang-orang baru saat mencicip ramua kopi spektakuler Ben.

First timer,’ Ben yang hafal semua muka pelanggannya berbisik ketika seorang pria setengah baya masuk.

Dengan ekstra ramah aku lansung menyambut. ‘Selamat pagi, pak.’ Sapaku seraya membungkukkan badan.

‘Selamat pagi.’ Tampak terkesan dengan sambutanku, ia kemudian duduk di salah satu bangku bar “Bisa pesan kopinya satu, Dik?’

‘Jelas bisa, Pak. Namanya juga kedai kopi.’

Dia ikut tersenyum. Agar canggung dia membenarkan posisi duduknya, celingak-celinguk mempelajari tempat kami, lalu perlahan membuka Koran yang ia kempit. Dari gelagatnya, aku menduga bapak satu itu tidak biasa minum kopi di kafe.

‘Silahkan, Pak. Mau pesan yang mana?’ Aku menyodorkan daftar minuman.

Bapak itu anya memandang sekilas, membaca pun tidak.

‘Ah, yang mana saja terserah Adik. Pilihkan saja yang enak,’ jawabnya kalem.

Dengan cepat aku berseru pada Ben, ‘Ben! Perfecto satu!’

Dalam waktu singkat, Ben sudah menyuguhkan secangkir Ben’s Perfecto.

‘Nah, yang ini bukan sekadar enak, Pak. Tapi ini yang paaliiing… enak! Nomor satu di dunia,’ aku berpromosi.

 ‘Vapak memang hobi minum kopi?’ tanya Ben ramah.

Pertanyaan rutinnya pada setiap pengunjung baru.

‘Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap hari. aku tahu bener, mana kopi yang enak dan mana yang tidak. Kata temenku, kopi di sini enak sekalo,’ tuturnya bersemangat dalam logat Jawa kental.

Setelah meminum seteguk, bapak itu meletakkan cangkir dan kembali membuka halaman korannya.

Ben segera bertanya antusias, ‘Bagaimana, Pak?’

Bapak itu mendongak.’Apanya?’

‘Ya, kopinya.’

Dengan ekspresi sopan, bapak itu mengangguk-angguk.

‘Lumayan,’ jawabnya singkat lalu terus membaca.

‘Lumayan bagaimana?’ Ben mulai terusik.

lanjut chapter II...

Baca juga cerpen Salju di Gurun dan biografi Dewi Lestari

FILOSOFI KOPI (chapter 2)


Wajah Ben langsung mengeras. Tamu kami itu pun tersadar akan ketegangan yang ia ciptakan. ‘Aku bercanda kok, Dik. Kopinya uenak, uenak! Sungguh!’

‘Memangnya Bapak pernah coba yang lebih enak dari ini?’ Ben bertanya dengan otot-ott muka ditarik.

Tambah pak, bapak itu terkekeh-kekeh, ‘Tapi nduk jauhlah dengan yang Adik bikin.’

‘Tapi tetap lebih enak, kan?’ Suara Ben terus meninggi.

Jakun bapak itu bergerak gugup, ia melirikku, melirik Ben, dan akhirnya mengangguk.

‘Di mana Bapak coba kopi itu?’

‘Tapi… tapi… ndak jauh kok enaknya! Bedanya sedikiiit… sekali!’

Usahanya untuk menghibur malah memperparah keadaan. Beberapa pengunjung memanggili Ben, tapi tidak digubris sama sekali. Kaki Ben tertanan di lantai. Seluruh keberadaannya terpusat pada bapak itu. Dan bukan dalam konteks yang menyenangkan.

‘Di mana?’

‘Wah. Jauh tempatnya, Dik.’

‘DI-MA-NA?’

Belum pernah kulihat Ben seperti itu. seolah tidak satu hal pun di dunia ini yang bisa mengalihkan energinya, fokusnya. Aku memilih beringsut menjauh, memenuhi panggilan orang-orang yang sudah resah karena tidak dilayani.

Tak lama kemudian, Ben menghampiriku. ‘Jo, tengah hari kita tutup. Temani aku pergi ke suatu tempat. Bawa perlengkapan untuk beberapa hari.’

‘Kemana?’

Ben tidak menjawab. dan mulut it uterus terkatup rapat . Tak sampai sejam, kedai kami ditutup.

Siapa yang menyangka kalau sisa hariku akan dihabiskan dengan mengemudi, menyusuri jalan menunju pedesaan di Jawa Tengah.

Mata Ben seperti sudah mau copot mempelajari peta minimalis yang digambar oleh baoak malang itu, yang tentunya dibuat dalam keadaan tertekan.

‘Ben, sudah tambah gelap. Sepertinyakita tersasar. Cari penginapan saja dulu, besok pagi baru kita keluar lagi.’

Ben bersandar kelelahan. ‘Oke. Kita kembali je Klaten.’

Aku lansung banting haluan, sesuatu yang sudah ingin kulakukan sejak tadi, sejak punggungku rasanya remu diguncang-guncang jalan berbatu.

Kami menginap di Klaten semalam. Keesokan paginya Ben mengambil alih kemudi. ‘Aku sudah tahu kenapa kita nyasar kemarin. Ada satu belokan yang tidak kulihat!’serunya berapi-api.

Aku mengiyakan saja. bagiku perjalanan ini hanya kekonyolan belaka, pemenuhan obsesi Ben terhadap kopi yang katanya lebih enak menurut pendapat subjektif seorang bapak yang tidak berpengalaman ke kafe, yang kemungkinannya 99% tak ada akan terbukti apabila melihat lokasi kami sekarang.

Dibelokan yang dimaksud Ben, kami berhenti untuk bertanya pada seorang peremuan yang melintas.

‘Oh, barangkali yang sampean maksud itu warungnya Pak Seno?’

‘Pokoknya di sana ada kopi yang enak sekali,’ jelas Ben.

‘Oh, iyo, iyo!’ perempuan itu menjawab semangat.

Pokoke warung Pak Seno mlakune rweus rono, tapi jalanannya jeelk lho Mas, alon-alon wae.’

Ben buru-buru mengucapkan terima kasih, siap tancap gas.

Jenenge kopi tiwus, Mas,’ perempuan itu menambahkan.

Ben menginjak rem sekaligus. ‘Apa?’

‘Kopi tiwus iki lho… aku juga baru bawa dari sana.’ Ia menunjukkan isi bakul yang dipanggulnya. Biji-biji kopi yang sudah kering terpanggang.

Ben langsung mengambil seraup. ‘Maaf Mbak, saya ambil sedikit, ya,’ katanya seraya memberikan selembar lima ribuan.

Perempuan itu tampak terlongo. Dari kejauhan kami mendengar ia berteriak, ‘Maaas… limang ewu iki entuk sak bakuuul!!

Ben seperti kerasukan setan. Jalanan becek dan berlubang itu dilewatinya dengan kecepatan jalan tol. tinggallah aku yang sekuat tenaga menahan mual.

Tepat di penghujung jalan, sebuah warung reot dari gubuk berdiri di atas bukit kecil, ternaungi pepohonan besar. Di halamannya terdapat tampi-tampi berisi biki kopi yang baru dipetik. Di sekitar gubuk itu terdapat tanaman-tanaman perdu dengan bunga-bunga putih yang semarak bermunculan di sana-sini. Aku baru tersadar. Seluruh bukit kecil itu ditanami tanaman kopi.

‘Tidak mungkin…’ desis Bentak percaya. ‘Tempat dengan ketinggian seperti ini bukan tempat yang ideal ditanami kopi. Dan, lihat, mana ada petani kopi yang menanam dengan kuantitas sekecil ini.’

Di dalam warung, seorang bapak tua menyambut kami dengan senyuman ramah, ‘Dari kota ya, Mas?’

Aku mengangguk, ‘Dari Jakarta, Pak.’

‘Jauh sekali!’ Bapak itu geleng-geleng takjub.

Ben langsung duduk di vangku panjang yang tersedia, mukanya masih ruwer, ‘Kopi tiwusnya dua.’

‘Jarang-jarang ada orang Jakarta yang ke mari. Paling-pa;ong dari kota-kota kecil dekat sini,’ tuturnya sambil meraih dua gelas belimbing yang tertangkup di hadapan kami.

‘Baoak ini Pak Seno, ya?’ tanyaku.

‘Iya. Kok bisa tahu, toh?’

‘Bapak terkenal sampai ke Jakarta,’ jawabku sambil nyengir berusaha menyindir Ben yang sama sekali tidak merasa tersindir. Matanya tidak lepas mengamati seluruh gerak-gerik Pak Seno membuat kopi.
Pak Seno tertawa lepas. ‘Walaaah, ya mana mungkin!’ Di hadapan kami kini tersaji dua gelas berisikan kopi kental yang mengepul.

‘Gorengannya sekalian dicoba, Mas. Monggo.

Aku menyomot satu pisang goreng. Masih ada beberapa lagi piring-piring berisi gorengan beraneka macam.

Ben tak banyak bicara. Ia cuman memandangi gelas di hadapannya, seolah menunggu benda itu bicara padanya.

‘satu gelas harganya berapa, Pak?’

‘Kalau gorengannya 50 perak satu. Tapi kalau kopinya, sih, ya berapa saja terserah situ.’

‘Kenapa begitu, Pak?’ tiba-tiba Ben bersuara.

‘Habis Bapak punya buanyaaak… sekali. Kalau memang mau dijual biasanya langsung satu bakul. Kalau dibikin minuman begini, cuma-Cuma juga ndak apa-apa. Tapi, orang-orang yang ke mari biasanya tetap saja mau bayar. Ada yang kasih 150 perak, 100,200… ya, berapa sajalah.’

‘Mari, diminum, Pak,’ aku bersiap menyeruput.

‘Oh, monggo, monggo.’

Ternyata Ben sudah duluan meneguk. Sejenak aku terpaku, menunggu reaksi yang muncul. Ben cuma membisu. Hanya matanya diliputi misteri. Perlahan, aku ikut menenggak. Dan…

Kami berdua tak bersuara. Teguk demi teguk berlalu dalam keheningan.

‘Tambah lagi, toh?’ Suara lembut Pak Seno menginterupsi.

Baik aku maupun Ben tidak berkata apa-apa, hanya membiarka saja gelas-gelas kami diisi lagi.

‘banyak sekali orang yang yang doyan kopi tiwus ini. bapak sendiri ndak ngerti kenapa. Ada yang bilang bikin seger, bikin tentrem, bikin sabar, bikin tenang, bikin kangen… hahaha! Macem-macem! Padahal kata Bapak sih biasa-biasa saja rasanya. Barangkali memang kopinya yang ajaib. Bapak ndak pernah ngutak-ngutik, tapi berbuah terus. Dari pertama kali tinggal di sini, kopi itu sudah ada. kalau ‘tiwus’ itu dari nama almarhumah anak gadis Bapak. Waktu kecil dulu, tiap dia lihat bunga kopi di sini, dia suka ngomong ‘tiwus-tiwus’ gitu,’ dengan asyuk Pak Seno mendongeng.

Tiba-tiba Ben menghambur keluar.

Aku tak emnahannya. Kubiarka dia duduk sendiria di bawah pohon besar di luar sana.

Matahari sudah menyala jingga. Aku menghampiri Ben.

‘Apa lagi yang kamu cari? Kita pulang sajalah.’

‘Aku kalah,’ desisnya lesu.

‘Kalah dari apa? Tidak ada kompetisi di sini.’

‘Berikan ini pada Pak Seno,’ Ben menyodorkan selembar kertas.

Mataku siap meloncat keluar ketika tahu apa yang ia sodorkan. ‘Kamu sudah gula. Tidak bisa!’

‘Jo, kamu sendiri sudah mencoba rasa kopi tadi. Apa itu tidak cukup menjelaskan?’

Setengah mati aku berusaha memahaminya. ‘Oke, kopi itu memang unik. Lalu?’

‘Kamu masih tidak sadar?’ Ben menatapku prihatin.

‘Aku sudah diperalat oleh seseorang yang merasa punya segala-galanya, menjebakku dalam tantangan bodoh yang cuman jadi pemuas egonya saja, dan aku sendiri terperngkap dalam kesempurnaan palsu, artificial!’ serunya gemas,

‘Aku malu pada diriku sendiri, pada semua orang yang sudah kujejali dengan kegombalan Ben’s Perfecto.’

Gombal? Aku positif tidak mengerti.

‘Dan kamu tahu apa kehebatan kopi tiwus itu?’ dengan tatapan kosong, ‘Pal Seno bilang, kopi itu mampu menghasilkan reaksi macam-macam. Dan dia benar. Kopi tieus telah membuatku sadar, bahwa aku ini barista terburuk. Bukan cuman sok tahu, mencoba membuat filosofi dari kopi lalu memperdagangkannya, tapi yang paling parah, aku sudah merasa membuat kopi paling sempurna di dunia. Bodoh! Bodoooh!’

‘Coba diingat-ingat, rencana pengembangan Filosofi Kopi yang sudah kususun. Dan semuanya itu membutuhkan kertas ini sebagai modal,’ bujukku.

‘Aku pension meramu kopi.’

Kali ini ketdakpahamanku meledak. ‘Kenapa kamu harus membuat urusan kopi ini jadi kompleks? Romantis overdosis? Okelah, kamu cinta kopi, tapi tidak usah jadi berlebihan. Pakai rasiu…’

Ben bangkit berdiri. ‘Memang Cuma duit yang kamu pikir! Profit, laba, omset… kamu memang tidak pernah mengerti arti kopi buatku. Ambil saja Filosofi Kopi. Kamu sama dengan laki-laki goblok sok sukses itu…’

Tinjuku sudha ingin mampir ke mukanya, tapi kutahan kuat-kuat. ‘Ben, kamu masih kalut. Jangan asal ngomong. Kita pulang ke Jakarta sekarang.’

‘Berikan dulu itu ke Pak Seno.’

‘Jangan tolol! Sampai kapan pun aku tidak akan kasih. Itu jelas bukan haknya, uang ini kamu dapat karena kerja kerasmu menciptakan Ben’s Perfecto.’

Namun nama itu seperti penghinaan sampai kekupingnya, membuat Ben malah bergidik jijik. ‘Jo, ingat,’ ancamnya, ‘uang itu hakku sepenuhnya.’

‘Tidak lagi, ketika kita sepakat digunakan untuk pengembangan kedai,’ bantahku cepat.

Kuat-kuat Ben menggeleng. ‘Ambil saja bagianku di kedai. Aku serius.’

‘Bukan begitu…’

‘Kalau kamu memang sahabatku, jangan paksa aku apa-apa.’ Ia berkata lirih.

Mendengarnya, otakku seperti macet berargumentasi. Namun sampai langkah gontai kami berdua akhirnya menggiring kami masuk ke mobill, sampai lambaian Pak Seno mengantar kepergian kami kembali ke Jakarta, secarik kertas itu tetap kugenggam erat-erat.
Ben bernar. Aku tak bisa memaksanya. Tak ada yang bisa. Semangat hidupnya pupus seperti lilin tertiup angin, sama nasibnya seperti kedai kami yang padam. Tutup.

Tinggal aku yang kerepotan melayani telepon, surat-surat yang menanyakan kabar Filosofi Kopi, bahkan beberapa orang menawarkan bantuan uang kalau memang kami kesulitan financial. Ada juga yang mengirimkan bungan dan parsel! Buah-buahan karena dikiranya Ben jatuh sakit.

Ben sehat-sehat saja, ia hanya tak mau mau berurusan dengan kopi, sekalipun setiap malam ia ada di sana, di dalam bar yang dibekukan oleh kesunyian.

Kuurut kedua pelipisku pelan. Sejujurnya, aku pun kalut, dan lama-lama meragukan sikapku sendiri. mungkin Ben benar. Yang kipikirkan hanyalah uang, profit, dan nasib yang entah apa jadinya tanpa Filosofi Kopi, benlah sesungguhnya tungku tempat ini, dan aku malah memadamkannya dengan ketdakmengertianku.

Tiba-tiba perhatianku terusik. Sebuah kantong plastik yang masih terikat di pojok meja tertangkap ekor mataku. Kopi tiwus.

Tiba-tiba saja tanganku bergerak cepat meraih kantong itu, membuka simpulnya, meraup secukupnya, lalu memasukkannya ke dalam mesin penggiling. Tak lama kemudian, siap sudah secangkir kak kopi tiwus panas. Untuk pertama kalinya aku membuat kopi sendiri.

Kuhirup tegukan tiwusku yang pertama… di benakku membayang wajah Ben. Saat ia datang padaku bersama setumpuk ide cemerlang mengenai kedai ini. dua tahun yang lali.

Kuhirup tegykanku yang kedua… membayanglah potongan-potongan gambar, kerja keras kami berdua. Modal pas-pasan. Uang nyaris tak tersisa. Semuanya dikorbankan habis-habisan untuk tempat ini. membayang wajah Benyang seperti gelandangan ketika pulang dari tur kopinya ke Eropa. Aku tersenyum, dia memang manusia gigih.

Tegukan yang ketiga… senyumku kian melebar. Kenangan suka-duka melintas: satu hari tanpa pengunjung hingga kami dengan frustasi meminum bercangkir-cangkir kopi sampai pusing… mesin penggiling bekas yang sering ngandat… tamu yang lupa bawa uang dan akhirnya meninggalkan sepatu sebagai jaminan… aku tertawa.

Teguk demi teguk berlalu. Semakin padat kenangan yang terkilas balik. Dan ketika tinggal tetes-tetes terakhir yang tersisa, ampas di dasar cangkirku ternyata sebuah perasaan kehilangan. Aku kehingan sahabatku.

Dua hari sudha aku meninggalkan Jakarta. Begitu tiba, aku singgah di kedai untuk mengambil kunci rumahku yang tertinggal.

Tidak kuduga aku bertemu Ben ada di sana, padahal waktu sudah hampir tengah malam. Ia duduk sendirian, tak bereaksi apa-apa sekalipun telah mendengarku masuk dari tadi.

Dari dapur, aku keluar dan menyuguhkannya secangkir kopi

‘Tidak, terima kasih,’ gumamnya.

‘Jangan begitu. Kapan lagi aku yang Cuma tahu menyeduh kopi sachet ini nekat membikinkan kopi segar untuk seorang barista?’ kelakarku.

Baen menyunggungkan senyum kecil, lalu mencicipi sedikit kopi buatanku. Seketika air mukanya berubah.

‘Apa maksudnya ini?’ Ben setengah menghardik.

Aku tak menjawab, hanya memberinya sebuah kartu.

KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI:
KOPI TIWUS’

Artinya
Walau tak ada yang sempurna,
hidup ini indah begini adanya.

‘Pak Seno nitip salam. dia juga titip pesan, kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, pinya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi tiwus… memberikan sisi pahit yang membuatmu melangkah mundur, dan berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya pelajaran,’ napasku harus dihela agar lega dada ini, ‘bahwa uang puluhan juga sekalipun tidak akan membeli semua yang sudah kita lewati. Kesempurnaan itu memang palssu. Ben’s Perfecti tidak lebih dari sekadar ramuan kopi enak.’

‘Benar, kan,’ Ben menyunggingkan senyum getir, ‘kita memang Cuma tukang gombal.’

‘Tapi masih banyak yang harus kamu pikirkan. Seperti ini…’ kutumpahkan kartu ucapan dan surat-surat ke meja, ‘orang-orang ini tidak menuntut kesempurnaan seperti Ben;s Perfecto. Mereka mencintaimu dan Filosofi Kopi, apa adanya.’

Ben menatapi berantakan kertas di hadapannya. Kutunggu hingga tangan itu bergerak pelan, meraih satu per satu kartu, surat: Sedikit demi sedikit  kehidupan Filosogi Kopi mengembus lewat tulisan mereka. ben kenal semuanya. Wajah-wajah hangat oleh kepulan uap kopi yang meruap dari cangkir-cangkir yang ia suguhkan setiap harinya dengan cinta.

Aku masih diam, menunggu Ben yang meraupkan kedua tangannya menutupi muka. Kama sekali. Dan ketika kusangka penantianku tak bakal usai, tiba-tiba Ben berdiri, tangannya mencengkeram bahuku, ‘Uang itu?’ desisnya.

‘Ada di tangan yang tepat.’

Kulihat Ben mengangguk samar. Dan di balik punggungnya, aku yakin ia akan tertawa lebar.

Pada kaca besar kedai, tampak siluet tangan yang kembali menarik di dalam bar, menyiapka peralatan untuk esoh hari, membangunkan Filosofi Kopu yang lama dia bagai bubuk kopi tanpa riak air. Seduhan secangkir kopi tiwus malam ini mengawinkan lagi keduanya.
Ratusan kilometer dari Jakarta…

‘Mbok, mau anak sing njupuk kopi tiwus, aku dijoli iki…’ Pak Seno berkata pada istrinya dan menunjukkan selembar kertas bertuliskan angka-angka.

Iki opo, Mas? Istrinya garuk-garuk kepala tak mengerti.

Aku ya ora ngerti…’ Pak Seno pun mengangkat bahu.

Chapter 1


Baca juga cerpen  dan biografi Dewi Lestari