Kopi… k-o-p-i.
Sudah ribuan kali aku mengeja sembari
memandangi serbuk hitam itu. memikirkan kira-kira sihir apa yang dimilikinya
hingga ada satu manusia yang begitu tergila-gila: Ben… B-e-n.
Ben pergi berkeliling dunia, mencari koresponsden
di mana-mana demi mendapatkan kopi-kopi terbaik dari seluruh negeri. Dia
berkonsultasi dengan pakar-pakar peramu kopi dari Rima, Paris, Amterdam,
London, New York, bahkan Moskow.
Ben, dengan kemampuan berbahasa
pas-pasan, mengemis-ngemis agar bisa menyelusup masuk dapur, menyelinap ke bar
saji, mengorek-ngorek rahasia namun kopi dari barista-barista caliber kakap demi mengetahui takaran paling pas
untuk membuat café latte, cappuccino,
espresso, Russian coffee, macchiato, dan lain-lain. sampai tibalah saatnya
Ben siap membuka kedai kopinya sendiri. Kedai kopi idealis.
Setahun lalu aku resmi menjadi partner
kerjanya. Berdasarkan asas saling percaya antarsahabat ditambah kenekatan
berspekulasi, kuserahkan seluruh tabunganku menjadi saham di kedainya. Selain
modal dalam bentuk uang dan ilmu administrasi, aku tak tahu apa-apa tentang
kopi. Itu menjadi modal Ben seutuhnya.
Sekarang, boleh dibilang Ben termasuk
salah satu peramu kopi atau barista terandal
di Jakarta. Dan ia menikmati setiap detik kariernya. Di kedai kami ini, Ben
tidak mengambil tempat di pojok, melainkan dalam sebuah bar yang terletak di
tengah-tengah sehingga pengunjung bisa menontoni aksinya membuat kopi. Dengan
seleksi kopi yang kami miliki, kebanyakan pelanggan kedai memang penggemar kopi
sejati yang tak henti-hentinya mengagumi daftar menu kami. Benar-benar
mengagumi karena mereka mengerti.
Lantai dan sebagian dinding kedai
terbuat dari kayu merbau yang berurat kasar, poster-poster kopi berbagai macam
pose di sepanjang dinding terbingkai rapi dalam pigura berlapis kaca.
Puncaknya, sebuay jendela kaca besar, bertuliskan nama kedai kopi kami dalam
huruf-huruf dicat yang mengangatkanmu pada tempat pangkas rambut zaman Belanda.
Kedai Koffie
B E N & J O D Y
Jody… J-o-d-y. kau dapat menemuinya di
tempat yang kurang menarik, yakni di belakang mesin kasir atau di pokolan
bersama kalkulator. Sementara di pusat orbir sana, Ben mengoceh tanpa henti,
kedua tangannya menari berswama mesin, deretan kaleng besar, kocokan, cangkir,
gelas, dan segala macam perkakas di meja panjang itu.
Tempat kami tidak besar dan sederhana
dibangdingkan kafe-kafe lain di Jakarta. Namun di sini, setiap inci
dipersiapkan dengan intensitas. Ben memilih setiap kursi dan meja yang semuanya
berbeda dengan mengetesnya satu-satu, paling tidak seperempat ham per barang.
Ia mencobanya sambil menghirup kopi, dan merasa-rasa dengan instingnya, apakah
furniture itu cukup “sejiwa” dengan pengalaman minum kopi. Begitu juga dengan
gelas, cangkir, bush kettle, poci,
dan lain-lain. tidak ada yang tidak melalui tes kompatibilitas Ben terlebih
dulu. Dengan ia menjadi pusat, dikelilingi mereka yang duduk di susunan rapat
meja-kursi beraneka model, aku seolah menyaksikan sebuah perhelatan pribadi.
Pesta minum kopi, kecil dan akrab, dengan Ben sebagai tuan rumah.
Tapi, yang benar-benar membuat tempat
ini istimewa adalah pengalaman ngopi-ngopi yang dicuptakan Ben. Ia tidak
sekadar meramu, mengecap rasa, tapi juga merenungkan kopi yang ia buat. Ben
menarik arti, membuat analogi, hingga terciptalah satu filose untuk setiap
jenis ramuan kopi.
‘Itu yang membuat saya mencintai minuman
ini. kopi itu sangat berkarakter.’ Kudengar sayup-sayup Ben berkata pada salah
satu pengunjung perempuan yang duduk di bar.
‘Seperti pilihan Anda ini, cappuccino. Ini untuk orang yang
menyukai kelembutan sekaligus keindahan.’ Ben tersenyum seraya menyorongkan
cangkir. ‘Anda tahu, cappuccino ini
kopi paling genit?’
Perempuan itu tertawa kecil.
‘berbeda dengan café latte, meski penampilannya cukup mirip. Untuk cappuccino dibutuhkan standar penampilan
yang tinggi. mereka tidak boleh kelihatan sembarangan, kalau bisa terlihat
seindah mungkin.’
‘Oh, ya?’
‘Seorang penikmat cappuccino sejati, pasti akan memandangi penampilan yang terlihat
di cangkirnya sebelum mencicip. Kalau dari pertama sudah kelihatan acak-acakan
dan tak terkonsep, bisa-bisa mereka nggak mau minum. Sambil menjelaskan, dengan
terampil Ben membentuk buih cappuccino
yang mengapung di cangkir itu menjadi bentuk hati yang apik.
‘Bagaimana dengan kopi tubruk?’
seseorang bertanya iseng.
‘Lugu, sederhana, tapi sangat memimikat
kalau kita mengenalnya lebih dalam,’ Ben menjawab cepat. ‘Kopi tubruk tidak
peduli penampilan, kasar, membuatnya pun sangat cepat. Seolah-olah tidak
membutuhkan skill khusus. Tapi, tunggu sampai Andai emncium aromanya,’ bak
pemain sirkus Ben menghidangkan secangkir kopi tubruk, ‘silahkan, komplimen
untuk Anda.’
Dengan wajah terpukau, orang itu menerima
cangkir yang disorongkan Ben, siap menyeruput.’
‘Tunggu dulu!’ tahan Ben. ‘Kedahsyatan
kopi tubruk terletak pada temperature, tekanan, dan urutan langkah pembuatan
yang tepat. Semua itu akan sia-sia kalau Anda kehilangan tujuan sebenarnya:
aroma. Coba hidup dulu aromanya. Ini kopi spesial yang ditanam di kaki gunung
Kilimanjaro.’
Orang itu mengembangkan cuping hidung,
menghirup dalam-dalam kepulan asap yang membubung dari cangkirnya. Matanya itu
tampak berbinar puas.
Melihat reaksi tersebut, Ben mengangguk
sama puas. Sejekap kemudian dia sudah berpindah tempat, berbincang-bincang
dengan pengunjung lain, dengan semangat dan atensi yang sama.
Ketika kedai tutup dan semua pulang,
tinggallah kami berdua berbincang-bincang di salah satu sudut. Satu-satunya
kesempatan kami untuk akhirnya minum kopi.
‘Tidak terasa, kita sudah punya kedai
ini setahun lebih.’ Mataku berputar bersama putaran kayu manis, lamunanku
terisap pusaran kopi dalam cangkirku sendiri.
‘Sekian banyak manusia sudah datang dan
pergi…’ nada bicara Ben tiba-tiba melonjak, seolah sesuatu menyengatnya, ‘dan
kamu tahu apa kesimpulanku?’
‘Kita akan kaya raya?’
‘Belum tentu. Tapi semua karakter dan
arti kehidupan ada di sini.’
‘Di dalam daftar menuman ini?’ Aku
menunjuk buku tipis yang tergeletak di meja.
Mantap, Ben mengangguk,
‘Bagaimana kam bisa mengkondens jumlah
yang tak terhingga itu ke dalam sebuah daftar minuman?’ aku menatapnya geli,
‘Ben… Ben…’
‘Jody… Jody…’ ia malah ikutan
geleng-geleng. ‘Buku ini adalah buku yang hidup, daftar yang akan terus
berkembang. Selama masih ada yang namanya biji kopi, orang-orang akan
menermukan dirinya di sini.’ Ben mengacungkan daftar ramuan kopinya tepat di
depan hidungku.
Air muka itu meletup-letup seperti
didihan air. Ben beroleh ide baru. Aku berandai-andai kapan ia terpikir untuk
akhirnya membangun berhala dari biji kopi, karena sepertinya hanya masalah
waktu.
Susudah pembicaraan kami malam itu, Ben
melakukan berbagai terobosan baru.
Dalam daftar minuman, kini ditambahkan
deskripsi singkat mengenai filosifi setiap ramuan. Puncaknya, dia mengganti
nama kedai kopi kami menjadi:
F I L O S O K
O P I
Temukan Diri Anda di Sini
Nama kedai kami berikut slogannya
ternyata menjadi sangat popular. Kuamati semakin banyak orang yang berhenti,
membaca, kemudian dengan wajah ingin tahu mereka masuk ke dalam, waswas
sekaligus harap-harap cemas, seperti memasuki tenda peramal. Dan tanpa perlu
bola krisal. Omset kedai kami meningkat pesar.
Kini, bukan para kopi mania saja yang
datang, bahkan mereka yang tidak suka kopi sama sekali pun ada yang berkunjung.
Golongan terakhir ini adalah orang-orang penasaran dan akhirnya rela mencicipi
kopi demi rasa ingin tahu. Ada juga grup gila filsafat, yang lebih menikmati
diskusi mereka dengan Ben daripada kopi yang
mereka pesan, tapi ujung-ujungnya menjadi langganan tetap juga.
Tak sampai di situ, Ben juga membuat
karu kecil yang dibagikan kepada setiap orang sehabis berkunung. Kartu
berutliskan.
‘KOPI YANG ANDA MINUM HARI INI: …’ dan ketengan filosifisnya.
Mereka sisipkan itu ke dalam saku, tas,
dompet, bagai tanda keberuntungan yang menyumbangkap harap untuk menjalani
hari. kadang-kadang aku mendengar mereka amulai menyebut kedai kopi kami dengan
panggilan sayang bersi masing-masing Fil-Kop, So-Pi, Filo, FK, dan lain-lain.
Semua terobosan yang dilakukan Ben
menjadikan kedai kopi ini memiliki magnet baru, yakni kehadirannya sebagai
filsuf kecil, teman curhat. Kedai kami bukan sekadar persinggahanm tetapi juga
menjadi bagian dari kehidupan personal mereka, layaknya seorang teman.
Dan uang kupikir sudah luar biasa
ternyata belum apa-apa. Malam itu Ben mengungkapkannya padaku, saat kami
menghidup kopi panas pertama kami, larut malam di kursi bar.
‘Jody, hari ini aku mendapat tantangan
besar.’
Aku, yang sedang sibuk berhitung dengan
mesin hitung, hanya tergerak untu mengangkat alis, ‘Oh, ya?. Tantangan apa?’
Ben menggeser mesin hitung itu jauh ke ujung meja.
‘Dengar dulu baik-baik…’
Dia mulai bercerita. Sore tadi dia
kedatangan seorang pengunjung, pria perlente berusia 30 tahun-an. Melangkah
mantap masuk ke kedai dengan mimik yang hanya bisa ditandingin pemenang undian
satu miliar. Wajah penuh kemenanga. Mungkin saja benar dia baru dapat satu
miliar, karena tanpa ujung pangkal dia mentraktir semua orang yang duduk di
bar.
Di hadapan mereka, ia bertanya pada Ben,
tepatnya, mengumumkan keras-keras: ‘Di kedai ini, ada tidak kopi yang punya
arti: kesuksesan adalah wujud kesempurnaan hidup! Ada tidak? Kalau ada, saya
pesan satu cangkir besa.’
Ben menjawab sipan, ‘Silahkan lihat saja
di daftar, barangkali ada yang cocok.’
Proa itu menggeleng. ‘Barusan sudah saya
baca. Tidak ada yang artinya itu.’
‘Yang mendekati, mungkin?’
Ucapan Ben justruk memancingnya tertawa.
‘Maaf, tapi dalam hidup saya tidak ada istilah mendekati. Saya ingin kopi yang
rasanya sempurna, tidak bercacat.’
Ben mulai menggaruk kepalanya yang tak
gatal.
‘Berarti Anda belum bisa pasang slogan
seperti itu di depan,’ pria itu menunjuk kaca jendela. ‘Saya ke mari karena
ingin menemukan diri…’. Selanjutnya dia bercerita panjang lebar mengenai
kesuksesan hidupnya sebagai pemilik perusahaan importer mobil, istrinya seorang
artis cantik yang sedang di pucak karier, dan di usianya yang masih di bawah 40
dia sudah menjadi salah satu pebisnis paling berpengaruh versi beberapa majalah
ekonimi terkenal.
Kepalaku terasa pening. Entah karena
tonjokan kafein atau cerita sukses itu.
Ben lanjut bercerita tentang pria itu
untuk membuat kopi dengan rasa sesempurna mungkin. ‘Kopi yang apabila diminum
akan membuat kita menahan napas saking takjubnya, dan Cuma bisa berkata: hidup
ini sempurna.’ pria itu menjelaskan dengan ekspresi kagum yang mendalam,
kemungkinan besar sedang membayangkan dirinya sendiri. Dan, gongnya, ia
menawarkan imbalan sebesar 50 juta.
Seketika mataku terbeliak. Ini baru
menarik. ’50 juta?!’
‘Dan aku menerima tantangannya.’
‘Sebentar, ini bukan taruhan, kan?’
‘Bukan. Kalau aku ternyata mampu, aku
dapat uanganya, kalau tidak, ya sudah. Tanpa risiki.’
‘Kalau begitu, buat apa pikir-pikir
lagi, sikaaat!’ seruku berkobar-kobar. Terbayang pengembangan apa saja yang
bisa dibuat dengan 50 juta di tangan.
Ben hanya mengangguk kecil, keningnya
berkerut. Aku tahu pasti, bukan uanga 50 juta yang menarik minatnya.
‘Berarti, aku harus kerja keras. Mulai sekarang!’
Sekonyong0konyong Ben berdiri, meninggalkanku dan kopinya yang baru diminum
seteguk. Entah apa yang dimaksud ‘kerja keras’.
Belakangan aku baru tahu maksudnya. Tak
ada lagi bincang-bincang malam hari seperti yang biasa kami lakukan. Ketika
kedai sudah tutup, Ben tetap tak beranjak dari dalam bar. Pemandanganku setiap
malam kini berganti menjadi Ben dikelilingi gelas-gelas ukur, tabung-tabung
teaksi, timbangan, sendok takar, dan aneka benda yang rasanya lebih cocok ada
di laboratorium kimia daripada di kedai kopi.
Rambut Ben gondrong berantakan, pipinya
kasar karena kelupaan bercukur, lingkaran hitam mebundari matanya akibat
terlelu banya begadang, tubuhnya menipis karena sering lupa makan. sahabatku
bermutasi menjadi versi lain dari dokter Frankenstein. The Mad Barista.
Mingu-minggu berlalu sudah. Sekitar
tengah malam, Ben tahu-tahu meneleponku, memaksaku datang ke kedai.
Aku tiba sambil bersungut-sungut.
‘Urusan apa yang sebegitu pentingnya sampai tidak bisa menunggu besok?’
Ben tidak menjawab. namun kutangkap
kilau mata yang menyala terang, terpancar dari wajahnya yang kusut berantakan.
Ke depan batang hidungku, ia menyodorkan
sebuah gelas ukur. Ada kopi hangat di daldamnya. ‘coba cium…’
Aku mengendus. Wangi. Sangat wangi.
‘Coba minum…’
Dengan sedikit ragu aku menyeruput.
Sebuah kombinasi rasa merambati lidahku. Hmm… ini… ‘Ben, kopi ini…’ aku
mengangkat wajahku, ‘SEMPURNA!’
Kujabat tangan Ben keras-keras sampai
badannya terguncang-guncang. Kami berdua tertawa-tawa. Lama sekali. Seakan-akan
ada beban berat yang tahu-tahu terangkat. Seolah-olah sudah tahunan kami tidak
tertawa.
‘Ini kopi yang paling enak@’ seruku
lagi, takjub.
‘… di dunia,’ sambung Ben. ‘Aku sudah
keliling dunia dan mencoba semua kopi terenak, tapi belum ada yang rasanya
seperti ini. akhirnya aku bisa berkata bahwa ada ramuan kopi yang rasanya
‘SEMPURNA’/
Aku mengangguk setuju/ ‘Mau diberi nama
apa ramuan ono?’
Ben mematung, sampai akhirnya sebuah
senyum mengembang, senyum bangga seorang ayah yang menyaksikan bayinya lahir ke
dunia. ‘BEN’s PERFECTO,’ tandasnya mantap.
Pagi-pagi sekali Ben menelepon
penantangnya. Tepat pukul empat sore, orang itu datang lengkap bersama
pacarnya. Siapa pun akan mau bertukar nasib dengannya. Dari langkah pertama ia
masuk kedai, auranya menyuarkan kesuksesan, kekayaan, dan pacarnya itu, tidak
butuh lagi fiti aura untuk menangkap kecantikannya.
Disaksikan semua pelanggan yang sengaja
kami undang, Ben menyuguhkan secangkir Ben’s Perfecto pertamanya dengan raut
tegang.
Pria itu menyeruput, menahan napas,
kemudian mengembuskannya lagi sambil berkata perlahan, ‘Hidup ini sempurna.’
Kedai mungil kami gegap gempita. Semua
orang bersorak.
Pria itu mengeluarkan selembar cek.
‘Selama. Kopi ini perfect. Sempurna.’
Sebaga ganti, Ben memberikan kartu.
Filosofi Kopi. Kartu itu bertulisjan:
KOPI YANG ANDA
MINUM HARI INI:
BEN’S
PERFECTO
Artinya:
Sukses
adalah
Wujud
Kesempurnaan Hidup
Pria itu tertawa lebar membacanya.
‘Setuju! Akan selalu saya simpan kartu ini,’ ujarnya, lalu memasukkan kartu itu
ke balik kantong jasnya yang tampak mahal.
Sore itu berlalu dengan sempurna. kami
membagikan sampel Ben’s Perfecto pada semua pengunjung, dan minuman itu
mendapat sambutan yang luar biasa.
Demikian pula dengan hari-hari
selanjutnya. Sejak diciptakannya Ben’s Perfecto, keuntungan kami meningkat,
bahkan berlipat ganda.
Minuman itu menjadi menu favorit semua
langganan sekaligus menjadi daya pikat yang menarik orang-orang baru untuk
datang. Walau harganya lebih mahal dibandingkan minuman lain, kepuasan yang didapat
dari Ben’s Perfecto memang tak bisa didapat di mana pun. Kesohoran minuman itu
juga menarik perhatian banyak orang asing, dan mereka semua tercengang-cengang
ketika mencobanya.
Tak ada yang menyangka akan menemukan
ramuan kopi sedahsyat itu di kota Jakarta, di kedai kecil bernama Filosofi
Kopi.
Hari ini, aku iseng mendampingi Ben di
bar. Ingin sekali-kali kunikmati kepuasan bercakap-cakap dengan para pelanggan
setia, atau sekadar menontoni ekspresi orang-orang baru saat mencicip ramua
kopi spektakuler Ben.
‘First
timer,’ Ben yang hafal semua muka pelanggannya berbisik ketika seorang pria
setengah baya masuk.
Dengan ekstra ramah aku lansung
menyambut. ‘Selamat pagi, pak.’ Sapaku seraya membungkukkan badan.
‘Selamat pagi.’ Tampak terkesan dengan sambutanku,
ia kemudian duduk di salah satu bangku bar “Bisa pesan kopinya satu, Dik?’
‘Jelas bisa, Pak. Namanya juga kedai
kopi.’
Dia ikut tersenyum. Agar canggung dia
membenarkan posisi duduknya, celingak-celinguk mempelajari tempat kami, lalu
perlahan membuka Koran yang ia kempit. Dari gelagatnya, aku menduga bapak satu
itu tidak biasa minum kopi di kafe.
‘Silahkan, Pak. Mau pesan yang mana?’
Aku menyodorkan daftar minuman.
Bapak itu anya memandang sekilas,
membaca pun tidak.
‘Ah, yang mana saja terserah Adik.
Pilihkan saja yang enak,’ jawabnya kalem.
Dengan cepat aku berseru pada Ben, ‘Ben!
Perfecto satu!’
Dalam waktu singkat, Ben sudah
menyuguhkan secangkir Ben’s Perfecto.
‘Nah, yang ini bukan sekadar enak, Pak. Tapi
ini yang paaliiing… enak! Nomor satu di dunia,’ aku berpromosi.
‘Vapak
memang hobi minum kopi?’ tanya Ben ramah.
Pertanyaan rutinnya pada setiap
pengunjung baru.
‘Kopi itu ibarat jamu sehatku setiap
hari. aku tahu bener, mana kopi yang enak dan mana yang tidak. Kata temenku, kopi
di sini enak sekalo,’ tuturnya bersemangat dalam logat Jawa kental.
Setelah meminum seteguk, bapak itu
meletakkan cangkir dan kembali membuka halaman korannya.
Ben segera bertanya antusias,
‘Bagaimana, Pak?’
Bapak itu mendongak.’Apanya?’
‘Ya, kopinya.’
Dengan ekspresi sopan, bapak itu
mengangguk-angguk.
‘Lumayan,’ jawabnya singkat lalu terus
membaca.