Friday, July 7, 2017

CERPEN SETAN MURAT OLEH AYU UTAMI


setan murat
image
Tak lama setelah tiba di kota itu, ia mendengar tentang Setan Murat. Ia baru tamat SMA, berniat cari kerja, dan numpang di kota kerabatnya. Pada satu malam Jumat para penghuni pondokan itu bercerita tentang Setan Murat. Jika kau lapar di tengah malam, lalu kau mendengar di ujung lapangan ada gaung kentongan tukang bakso, berhati-hatilah. Jangan terkecoh nafsu makanmu. 

Pernah terjadi pada seseorang di antara penghuni rumah kos sebelum kita. Ia sedang mengerjakan tugas kuliah dan terjangkit lapar selewat jam nol. Seolah menjawab jerit perutnya, terdengar toktok di kejauhan, dari seberang lapangan, dan ia mencium kuah bakso. Liurnya terbit, seolah lidahnya telah menjilat mangkok kaldu panas lumeran gajih. Ia melongok dan melihat seorang tukang bakso mangkal di kejauhan lahan terbuka. Tak mau mengganggu orang-orang yang tidur, ia tidak berteriak memanggil. 

Ia mendatangi gerobak dan bertanya pada tukangnya yang memakai topi jerami, bakso apa saja yang tersedia, sambil membayangkan bola-bola daging berisi sumsum, urat, ataupun telur. Lelaki itu tidak menjawab. Sambil tetap menunduk sehingga wajahnya tertutup topi jerami, si tukang bakso membuka sungkup kuali dan mengaduk. Samar-samar, di singkap kepulan uap seperti kawah, ia merasa melihat mata, mulut, hidung, timbul-tenggelam dalam kuah. 

Ia menetap jeri pada si tukang bakso. Saat itulah orang itu mengangkat wajahnya dan memperlihatkan mukanya yang rata. Tanpa mata, mulut, maupun hidung…. 

“Setan Murat. Itu adalah singkatan dari Muka Rata.” 

“Itu bukan setan, tetapi hantu,” kata tokoh kita menanggapi cerita. 

“Apa bedanya!” 

“Setan adalah yang menghuni neraka. Hantu itu ada di dunia, menakut-nakuti kita. Setan tidak menakut-nakuti kita, tetapi menggoda agar kelak kita masuk neraka. Apa yang terjadi dengan anak yang melihat setan-hantu itu?” 

“Ia pingsan. Ketika bangun ia jadi gila.” 

“Bagaimana dia bisa cerita kalau dia gila?” 

“Ya begitulah cerita yang kita dengar dari orang gila.” 

Tak berapa lama berselang, krisis ekonomi melanda negeri itu. Semua penghuni koskosan kehilangan pekerjaan. Induk semang terjerat utang. Rumah yang ternyata digadaikan itu diambil alih bank dan semua pemondoknya diusir. Termasuk tokoh kita. Sepupunya pindah ke ujung negeri, untuk mata pencaharian baru. Tokoh kita bertahan di kota itu, menetap di sudut kumuh yang tak jauh. Bersama Mat Bakso. 

Ia telah menjadi akrab dengan si tukang bakso sejak ia langganan jajan di gerobak yang mangkal di ujung jalan di belakang tangsi militer, sebelum krisis terjadi. 

Lelaki itu sebaya ayahnya dan belum lama kehilangan putra tunggal oleh suatu sebab yang tak jelas. Anaknya hilang. Mungkin pergi, mungkin bunuh diri, sebuah rahasia keluarga—di zaman ini banyak anak muda bunuh diri karena tak bisa bayar uang sekolah dan ditolak kekasih hati. Tukang bakso dan tokoh kita saling menemukan pengganti ayah dan anak. 

Ia ikut dengan Mat Bakso. Sebagai asisten. Tugasnya mengambil bahan-bahan dari pemasok langganan dan menggerusnya. Bawang putih, bawang bombay, lada, garam, telur, dan yang terutama adalah daging. 


“Tapi harga daging sapi asli sekarang mahal sekali, Nak,” kata ayah angkatnya. “Kita terpaksa mencampur dengan daging KW.” Barangkali perlu dijelaskan bagi pembaca yang naif: itu adalah daging “kwalitas” rendah. 

Pergilah ia ke jagal langganan, yang kini memberinya paket murah. Sambil mengedipkan mata, orang itu mengeluarkan suara grok dari dalam rongga hidungnya. Bunyi hewani itu membuat tengkuknya meremang seperti kuduk celeng. Ada sedikit rasa najis ketika ia menenteng buntalan itu pulang. Ia ingin bertanya, tapi bukankah jawaban tak akan mengubah hidupnya? Ia cacah daging paha merah itu seperti biasa. Tapi tak seperti biasa, setelah selesai ia mencuci tangannya tujuh kali. Lalu ayah angkatnya mengadon cincangan itu dengan bumbu-bumbu, mengaliskannya dengan kanji, menjadikannya bola-bola besar dan kecil. Ada yang berisi sumsum, ada yang telur. Di antara itu terdengar suara grok rongga hidung. 

Kali berikut mengambil daging, ia mendapat paket lembar-lembar yang lebih tipis. Ketika hendak melirik curiga, ia seperti mendengar suara menggeram dasar leher. Itu membuatnya mundur selangkah. Ia ingin bertanya, tapi akankah jawaban mengubah hidupnya? Sesekali ayah angkatnya terciprat kuah panas saat memasak. Tapi, kali itu ia merasa mendengar suara terkaing. Tengah malam itu ia mendengar lolong anjing di dalam rumah. 

Hari-hari berikutnya ia mendapat paket yang berbeda-beda. Potongan-potongan yang kecil setipis ikan asin. Yang warnanya kehitaman dan berbau busuk. Daging cincang seperti sisa makanan. Ia dihantui suara tikus, kucing, kelelawar. Ia digerayangi mulut ikan sapu-sapu dan bermimpi tentang bocah gendut yang memuntahkan daging cincang saking kekenyangan. Ia ingin bertanya tapi apakah jawaban mengubah nasib? 

Gerobak ayah angkatnya yang mangkal di belakang tangsi tak kehilangan pelanggan. Orang-orang percaya bahwa masakan Mat Bakso tak turun mutu meski harga daging melonjak. Jaminannya, Bapak Komandan dari kompleks militer serta keluarganya terus menjadi pembeli tetap. Mana berani orang kecil menipu Pak Komandan! Bisa-bisa pistol meledakkan kepalanya. Tapi, sesungguhnya tukang bakso itu telah mengatur kualitas daging. Untuk Pak Komandan dan relasinya diberinya KW super. Untuk para perwira KW 1. Untuk para bintara KW 2. Para tamtama KW 3. Dan untuk pembeli umum, ah… sungguh tergantung pasokan daging yang ada. 

Pelanggan bertambah banyak. Keduanya kini mendirikan kios semi permanen. Dengan tenda biru, meja-meja kayu bertaplak plastik, dan televisi 12 inci untuk menonton bola. Jika tak ada pertandingan, orang menonton sinetron dan berita. Suatu hari tokoh kita melihat di televisi, Menteri Urusan Kedagingan ditangkap karena korupsi daging sapi. Ia menggosok-gosok matanya, sebab Pak Menteri itu sungguh mirip dengan pemasok yang dari tenggorokannya terdengar suara geram dan grok. Sosok tambun dengan rambut-rambut hitam di kepala, dagu, dan barangkali di kuduknya. Lelaki itu menunjuk ke atas sambil berkata demi Allah. Jari-jarinya begitu gemuk, tak seperti milik manusia lagi: dua jari di depan, dua di telapak, mirip celeng…. 

Tangsi itu tampak seperti benteng. Warnanya hijau kelabu. Gerbang-gerbangnya dijaga serdadu. Jika matahari terbenam, warnanya jadi semu belerang. Menara-menaranya seperti tanduk hitam. Tokoh kita dan ayah angkatnya suka memandang ke sana sambil ngobrol manakala kios sepi. Konon di dalam benteng itu ada “sekolah” rahasia. Di sana “anak-anak nakal” dikursuskan. Yaitu anak-anak yang melawan pemerintah. Yang lulus pendidikan akan dapat pekerjaan. Tokoh kita membayangkan senangnya jadi pegawai: di badan intelijen, di partai politik, di organisasi massa. Yang tidak lulus akan dikirim ke Sukabumi. “Ada apa di Sukabumi?” ia bertanya sebab pertanyaan itu begitu sepele. Ia sekarang hanya bisa menanyakan perkara remeh. 

Tapi… barangkali terpaksa dijelaskan bagi pembaca yang naif seperti tokoh kita. Tukang daging menyebut daging celeng, anjing, kucing, dan tikus sebagai “daging sapi KW”. Pun militer menyebut “di-Sukabumi-kan” untuk dikebumikan. Ya, Tuhan! Masa kau masih tak faham juga bahwa dikebumikan itu sama dengan dimakamkan? Apa yang dimakamkan, masa harus kuterangkan? Jadi, anak-anak yang lulus “sekolah” dalam benteng itu dikembalikan ke dunia, dan yang tidak lulus dikembalikan ke bumi! 

Si ayah angkat termenung, teringat anak kandungnya yang hilang. 

Pada saat itulah datang dua orang serdadu. Dari tanda pangkatnya kita tahu bahwa mereka adalah tamtama—artinya, yang selama ini mendapat bakso KW 3. Entah kenapa, kali ini cara mereka membusungkan dada dan mengembangkan lengan membuat ayah dan anak angkat itu menahan kencing. 

“Kami tahu bahwa selama ini kamu memberi kami makan bakso sapi palsu. Apakah kau hendak mengikuti nasib anakmu, dikirim ke Sukabumi?” 

Tak perlu diceritakan lagi bagaimana orang-orang kecil yang bersalah itu buang air seketika.  

Mereka mencoba membela diri, mengatakan bahwa semua ini hanya ujung dari korupsi Pak Menteri Urusan Kedagingan. Lagipula daging itu bukan palsu, melainkan KW. Tapi sia-sia. 

Yang terjadi kemudian terlalu mengerikan untuk dikisahkan dengan rinci. Dua serdadu itu membawa si ayah angkat ke dalam benteng. Tiga hari kemudian, mereka kembali kepada si anak angkat dengan pilihan sandi baru: “dikecualikan” atau “di-KW-kan”. Semuanya berhubungan dari bunyi “kuali” atau “kwali”. Dikecualikan artinya dikekualikan atau dikualikan. Di-KW-kan artinya di-“kwalitas”-kan atau dibuat sebagai KW. Mereka menepuk bahu si anak angkat dan menganjurkan ia meneruskan bisnis itu. Benteng akan menjual daging KW jika pasokan sedang tersedia seperti hari ini. 

Seluruh tubuh si anak angkat gemetar. Tapi ia lakukan juga semua yang mereka biasa lakukan. Menggerusnya bersama bawang putih, bawang bombay, garam, merica; mengaliskannya dengan kanji dan telur, membuat kaldu. Rasa mual pertama memuntahkan hatinya ke dalam kuali. Tapi, separuh gemetar itu hilang ketika ia kehilangan hatinya. Ia mengaduk. Lalu satu per satu mata, hidung, dan mulutnya berjatuhan ke dalam kuali…. 

Pada satu malam Jumat para penghuni sebuah pondok bercerita tentang Setan Murat. Jika kau lapar di tengah malam, lalu kau mendengar di ujung lapangan ada gaung kentongan tukang bakso, berhati-hatilah. Kau memang membayangkan bola-bola daging berisi sumsum, urat, ataupun telur, dalam kuah gajih. Tapi jangan terkecoh oleh lelaki yang wajahnya tertutup topi jerami. Ia akan membuka sungkup kuali dan mengaduk: mata, mulut, hidung, dan hatinya sendiri. Ketika orang itu mengangkat wajahnya kau akan melihat mukanya yang rata. 

Setan Murat. Itu adalah singkatan dari Setan Muka Rata. 

Setan. Bukan hantu.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Pelajaran Pertama 

2 comments: