image Favim |
Kupandangi telegram yang barusan kubaca,
Batinku galau.
Ibu sakit Diah, pulanglah!
Begitu satu-satunya kalimat yang tertera di sana. Mbak sri menyuruhku pulang? Tapi …. Benarkah Ibu sakit? Bayangkan Ibu, dengan penampilannya yang tegar berkelebat. Rasanya baru kemarin aku masih melihatnya berjalan memberi makan ternak-ternak kami sendirian. Melalui padang rumput yang luas. Berputar-putar di sana berjam-jam. Mengawasi rumah kecil kami yang hanya berupa noktah dari balik bukit.
Tidak. Ibu bahkan tak pernah kelihatan lelah dimalam hari. Saat semua aktivitas seharian yang menguras kekuatan fisiknya berlalu. Ibu selalu kelihatan sangat kuat.
Tak hanya kuat, dari mulutnya pun masih kerap terdengar ungkapan-ungkapan pedas, khususnya yang ditujukan kepadaku.
“Jadi perempuan jangan terlalu sering melamun Diah! Bekerja, itu akan membuat tubuhmu kuat!”
komentarnya suatu hari padaku. Padahal, saat itu aku sama sekali tidak menganggur. Sebuah buku berada dipangkuanku. Tapi, Ibu tak pernah menghargai kesukaanku membaca. Di mata beliau, itu hanyalah kegiatan tak berguna yang tak menghasilkan.
Di waktu yang lain Ibu mengecam kebiasaanku rapat dengan para pemuda desa. Ibu sama sekali tak mau mengerti kalau rapat-rapat yang kulakukan bukan tanpa tujuan. Kalau kami, anak-anak muda yang berkumpul disana sedang mencoba menyumbangkan pemikiran bagi kemajuan desa. Bagi wanita sederhana itu, menghalau ternak lebih berguna daripada bicara panjang lebar, dan adu pendapat.
“kau pikir bicara bisa membuatmu mendapatkan uang?”
Ingin sekali saat itu aku mengangguk dan menantang matanya yang sinis. Tak tahukah Ibu, di kota sana, banyak sekali pekerjaan yang mementingkan kemampuan bicara. Seharusnya Ibu melihat kegiatan pemilihan lurah desa, dan tak hanya berkutat dengan ternak – ternaknya di padang rumput.
Pak Kades takkan terpilih kalau dia tak punya kemampuan meyakinkan dan menenangkan rakyatnya!
Akan tetapi, kalimat itu hanya ketelan dalam hati. Tak satu pun kumuntahkan di hadapannya.
Caraku berpakaian pun tak pernah benar dimatanya. Ada saja yang salah. Yang tak rapilah, kelihatan kelaki-lakianlah dan segalanya. Sebetulnya aku heran, kenapa tiga mbakku yang semuanya perempuan itu bisa melalui hari dengan keterpasungan pemahaman Ibu. Mereka bisa sekolah, paling tidak sampai es em pe dan es em a tanpa banyak bertengkar dengan Ibu.
Lulus sekolah, menikah dan punya anak … dan sekali lagi, tanpa mengalami pertentangan dengan Ibu. Sedangkan aku? Rasanya tak ada satu hal pun, yang pernah kulakukan, yang dianggapnya benar. Selalu saja ada yang kurang.
Dahulu sekali aku pernah mencoba menyenangkan hati wanita itu. Kucoba memasakkan sesuatu untuknya. Meski semua saudaraku tahu, aku benci kegiatan dapur itu. Hasilnya? Aku menyesal telah mencoba karena Ibu sama sekali tak menghargai usahaku.
“beginilah jadinya kalau anak perempuan Cuma bisa belajar. Tak tahu bagaimana memasak! Siapa yang mau menikahimu nanti kalau begini Diah?”
Dan saat itu aku makin tersungkur dalam ketidakberdayaanku menghadapi Ibu. Perlahan aku malah berhenti berusaha menenangkan hatinya.
Aku capek.
Maka saat ada kesempatan pergi meninggalkan rumah, dan meneruskan pendidikan ke bangku kuliah, dengan peluang bea siswa, kegempur habis kemampuanku, agar kesempatan itu tidak lepas dari tangan.
Aku harus pergi, menjauh dari Ibu, dari komentar – komentarnya yang menyakitkan.
Masih terngiang di telingaku suaranya yang bernada mengejek waktu melihat aku mempersiapkan diri menghadapi tes bea siswa itu.
“Kau tak kan berhasil Diah! Tak usah capek-capek! Wanita akan kembali ke dapur, apapun kedudukannya!”
Tak kuhiraukan kalimat Ibu. Seperti biasa aku selalu berusaha menahan diri. Setidaknya hingga saat itu. Kala pertahanan diriku roboh ke tanah. Dan untuk pertama kali aku berani menantang matanya yang selalu bersinar sinis, dan kurasakan tanpa kasih.
Saat itu aku merasa begitu yakin. Wanita tua yang kupanggil Ibu selama ini, tak pernah dan tak akan pernah mencintai diriku!
“Diah … kok melamun?”
Aku mengusap air mata yang menitik. Laila yang menangkap kesedihanku menatapku lekat. Ada nuansa khawatir pada nada suaranya kemudian.
“ada apa? Tulisanmu ada yang ditolak? Mana mungkin!” ujarnya mencoba melucu.
Aku tertawa pelan, mencoba mengurangi beban dihatiku, kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabat baikku itu memancar di balik kerudung coklat yang dikenakannya.
Aku berdehem berat.“Li … percayakah kamu kalau aku bilang, ada Ibu yang tak pernah mencintai anaknya?”.
Laili menatapku bingung. Pertanyaan ini mungkin aneh di telinganya. Apa lagi aku tahu keluarganya adalah keluarga terhangat yang pernah kutemukan. Ibu Laili tak hanya bijaksana, tapi juga selalu melimpahinya dengan banyak kasih dan perhatian. Jauh sekali bila dibandingkan Ibu!
“Aku rasa, mencintai adalah naluri yang muncul otomatis saat seseorang menjadi Ibu, Diah! Itu karunia Allah yang diberikan pada setiap Ibu. Rasa kasih, mengayomi, dan melindungi!” jawab Laili hati-hati.
Aku mengalihkan pandangan dari matanya. Kami sudah tinggal satu kos selama hampir lima tahun. Kupercayakan seluruh kegembiraan dan saat-saat sulitku padanya. Tapi, tak pernah sekalipun aku bercerita tentang Ibu, dan ketidakadilan yang diberikan wanita itu padaku.
Sekali lagi airmataku menitik. Ingat, selama kurun lima tahun ini, aku tak pernah menjenguk Ibu. Ya, tidak sama sekali pun! Meski batinku terasa kering. Bagaimanapun sebagai anak, aku punya kasih yang ingin bisa kupersembahkan pada wanita yang melahirkanku.
Sayangnya, tak pernah ada kesempatan bagiku untuk mewujudkannya itu. Ibu tak pernah menangkap sinar kasih dimataku, apalagi membalasnya dengan pelukan hangat. Ibu tak pernah peduli!
Bagaimana aku tidak mulai membencinya secara perlahan? Mungkin tidak dalam artian kata benci sesungguhnya. Terus terang, aku mulai menghapus namanya dalam kehidupanku.
Dalam tahun-tahun yang telah kulalui aku hanya mengirim surat dan foto pada semua kakak dan keponakanku. Tak satu pun kualamatkan untuk Ibu. Kalaupun secara rutin kusisihkan uang honor menulisku untuk Ibu, itu pun tak pernah kukirimkan langsung. Selalu lewat salah satu kakakku. Paling sering lewat mbak Sri.
Aku belajar menyingkirkan kebutuhanku akan kasih sayang dan sikap keibuan darinya. Aku belajar … melupakan Ibu!
“Diah … kenapa kamu menanyakan itu?” suara Laili kembali terdengar. Batinku makin kisruh.
Apa pendapatnya kalau tahu, teman baiknya, selama ini telah melupakan Ibunya? Padahal dalam Islam tertera jelas keutamaan untuk berbakti dan menghormati Ibu. Selama ini aku selalu berdalih di hadapan-Nya dalam shalat – shalat yang kulalui.
Bukan aku tak mencintainya. Tapi … sepertinya itu kehendak Ibu sendiri untuk dilupakan!
“Ibuku sakit Li! Apa yang harus kulakukan?”
tanyaku akhirnya tanpa daya.
Laili tersenyum. Tangannya kembali menggenggam jemariku.
“Itu aja kok, bingung! Barangkali dia kangen padamu. Tengoklah Ibu, Di! Eh, kapan terakhir kali bertemu?”
Teman baikku itu seperti teringat saat-saat libur kuliah yang tak pernah kumanfaatkan untuk pulang kampung, sebaliknya malah berkunjung ke tempatnya atau menghabiskan waktu di kos, merentang hari.
“Aku tak pernah pulang, Laili. Sudah lima tahun!”
jawabanku membuat Laili tersedak. Pantas saja gadis itu kaget. Lima tahun bukan waktu yang singkat.
“Kamu harus pulang secepatnya, Di! Biar aku yang memesankan tiket kereta. Jangan lupa bawa oleh-oleh untuk Ibumu. Hm…apa ya, kesukaan beliau?”
Tiba-tiba Laili dilanda kesibukan dan kepanikan luar biasa. Seakan membayangkan mengunjungi ibunya sendiri, yang tak pernah ditemuinya selama lima tahun!
“Tak perlu repot-repot Laili! Biar kuurus sendiri!” tolakku halus, tetapi Laili tetap bersikeras.
“Hey … jangan begitu dong, Di!selama ini kamu selalu repot-repot saat mengunjungi kami. Jadi .. biarkan aku yang mengurus perjalananmu kali ini. Lagi pula, kamu masih harus mempersiapkan presentasi skripsimu, kan?”
Aku menyerah.
Sebelum Laili pergi, aku menatapnya sekali lagi,“Kamu yakin aku harus pulang, Li?”
Pertanyaanku hanya disambut senyum hangatnya.
“Tentu, pulanglah, Ibu pasti kangen kamu Diah!”
Ahh… andai Laili tahu, perempuan macam apa Ibuku itu! Beliau lebih keras dari karang Laili, karang masih bisa terkikis air laut, tetapi Ibuku?
Rumah mungil kami tak banyak berubah. Juga rumah petak-petak kecil disampingnya. Dimana ketiga mbakku dan keluarganya tinggal.
Saat aku masuk kedalam, kulihat ruangan tampak tidak serapi biasanya. Barangkali kehilangan sentuhan tangan Ibu. Mbak Sri bilang, setahun belakangan ini Ibu beberapa kali jatuh sakit. Akan tetapi, beliau tidak pernah mengijinkan mereka mengabarkan padaku.
Karena Ibu tak butuh kehadiranku, bisikku dalam hati.
Mbak Ningsih yang melihat kecanggunganku menjelaskan. Di pangkuannya duduk dua bocah cilik bergelayut manja.
“Ibu tak ingin aku mengganggu kuliahmu, Diah!”
Aku tersenyum sinis mendengar perkataan kakak tertuaku itu. Sejak kapan Ibu memikirkan kuliahku? Bukankah baginya anak perempuan Cuma akan ke dapur?
<<
Mbak Rahayu yang lebih banyak diam pun ikut menambahkan, “Ibu sering bertanya pada kami Diah, berkali-kali malah. Sudah tahun ke berapa kuliahmu? Berapa lama lagi selesai.”
“Sebetulnya Ibu sangat kangen kepadamu Diah, tapi Ibu lebih mementingkan kuliahmu.” Mbak Sri menambahkan di tengah aktivitas menyusui anaknya.
Tapi, aku tak merasa perlu diyakinkan. Aku kenal Ibu. Dan selama jadi anaknya, tak pernah Ibu bersikap kasih padaku. Tidak sekali pun, perkataan kakak-kakakku barusan semata-mata untuk menyenangkan hatiku. Agar aku tak merasa kejadian lima tahun yang lalu, pertengkaran hebatku dengan Ibu. Pertengkaran yang makin memantapkan hatiku untuk pergi.
Malam itu Ibu berkali-kali menumpahkan kalimat-kalimat pedas padaku. Tujuannya satu, agar aku tak pergi.
Bagiku, sikap Ibu saat itu sangat egois dan kekanak-kanakan. Sementara orang lain akan menyambut gembira keberhasilan anak-anaknya meraih bea siswa macam ini, beliau sebaliknya. Tak tahukah Ibu, kalau aku harus menyingkirkan ribuan orang untuk meraih prestasi ini?
Kucoba menuliskan telinga, tetapi kalimat-kalimat pedasnya tak berangsur surut. Malah bertambah keras.
“Pergi ke kota bagi perempuan macam kau Diah, hanya akan menjadi santapan laki-laki! Tak ada tempat aman kecuali di kampung sendiri. Ibu tak ingin kau membuat malu keluarga. Pulang dengan membawa aib!”
Astagfirullah … Ibu kira perempuan macam apa aku? Mulutku sudah setengah terbuka siap membantahnya, tetapi ketiga saudaraku mencegahku. Melihat sikapku yang menantang, kemarahan Ibu makin tak terbendung.
“Jangan coba membantah! Kurang baik dan terpelajar apa si Retno? Lalu Sumirah? Bahkan anak pak Haji Tarjo? Pulang-pulang malah jadi perempuan jalang! Aku tak ingin punya anak jalang!”
cukup! Aku tak bisa menahan kesabaranku lebih lama. Darahku seperti mendidih mendengar kalimat-kalimat Ibu. Kalau saja Ibu cukup mengenalku, kalau saja Ibu punya sedikit kepercayaan pada anaknya sendiri!?? Ibu Cuma percaya pada dirinya sendiri. Seakan semua orang akan mengalami nasib buruk.
Saat ditinggal Bapak! Ya, Bapak memang meninggalkan kami. Janjinya, bahwa, lelaki itu akan kembali dari kota dengan membawa perubahan pada nasib kami, cuma omong kosong. Di sana Bapak justru menikah lagi. Dan Ibu yang menganggap dirinya sempurna sebagai wanita, merasa sakit hati. Setelah itu semua yang berbau pembaruan dan kemajuan dimusuhinya habis-habisan. Termasuk niatku ke kota untuk mencari ilmu.
Kutatap mata Ibu dengan sikap menantang. Suaraku bergetar saat berkata-kata padanya.
“Seharusnya Ibu bangga padaku! Seharusnya Ibu menyemangati, bukan malah terus-terusan mengejekku, Bu! Sekarang Diah tahu kenapa Bapak meninggalkan Ibu!” kataku berani.
Di depanku, Ibu menatap mataku tajam. Matanya diliputi kemarahan atas kelancanganku.
“Kenapa Bapak meninggalkan Ibumu? Ayo jawab, kenapa?!!!
Sia-sia usaha mbak-mbakku yang lain untuk mengerem mulutku. Dalam kemarahan, kulontarkan luka yang mungkin akan melekat selamanya di hati Ibu.
“Karena Ibu picik! Itu sebabnya!”
Kubanting pintu kamarku dan mengurung diri semalaman. Menangis. Batinku puas, telah kukatakan apa yang menurutku harus didengar Ibu.
Besoknya, pagi-pagi sekali, hanya berpamitan pada mbak-mbakku, aku pergi, dengan bongkahan luka di hatiku. Barangkali juga di hati Ibu. Tapi, aku tak peduli.
Saat aku mengenal Laili dan teman-teman Muslimah lain. Baru kusesali sikapku. Seharusnya aku tak bersikap sekasar itu pada Ibu. Tak membalas kekasarannya dengan tindakan serupa.
Meski begitu, penyesalanku tak bisa mengubah perasaan yang kadung hampa terhadap Ibu. Aku masih tak menyukai wanita yang melahirkanku itu. Seperti juga beliau tak menyukaiku.
“Diah … Ibu sudah bangun.”
Mbak Sri menyentuh tanganku. Mengembalikanku dari kenangan masa lalu.
Kubuka pintu kamar Ibu. Suara derit engsel yang berkarat terdengar. Kulihat Ibu terbaring lemah di dipan. Keperkasaannya selama ini, kulihat nyaris tak tersisa. Tangan kurusnya mengajakku mendekat.
Di bawah cahaya lampu teplok, kurayapi wajahnya yang penuh guratan-guratan usia. Ibu tampak begitu tua.
“Apa kabarmu Diah?” suaranya nyaris berupa bisikan.
“Baik, Bu.” Kusadari suaraku terdengar begitu datar. Barangkali mewakili kehampaan perasaanku.
Ibu tak memandang kaget penampilanku, yang pasti merupakan pemandangan baru baginya. Atau Ibu terlalu sakit untuk mencela busana muslimah yang kukenakan? Sekali lagi hatiku berkomentar sinis, tanpa bisa dicegah.
“Kamu kelihatan kurusan Nduk!” ujar Ibu setelah beberapa saat kami terdiam.
Aku tak menanggapi. Sebaliknya, mataku mengitari ruangan kecil itu. Semuanya hampir tak berubah. Kenapa Ibu bertahan dalam kesederhanaan ini? Bukankah seharusnya dengan ternak – ternak itu Ibu mampu hidup lebih layak? Belum lagi ketiga mbakku, mustahil mereka tidak memberikan tambahan masukan, biarpun sedikit, untuk Ibu.
Aku memperhatikan ranjang Ibu. Kasur tipis diatas dipan yang pasti tak nyaman untuknya. Cahaya penerangan pun tidak memadai. Padahal, di rumah ketiga saudara perempuanku sudah diterangi cahaya listrik. Lalu … uang kirimanku yang rutin meski tak seberapa mestinya cukup meringankan Ibu. Tapi kenapa?
Kulihat meja jati tua disamping Ibu. Ada beberapa botol obat di sana. Kertas-kertas dan beberapa foto yang dibingkai. Kudekatkan tubuhku untuk melihat jelas. Mendadak mataku nanar … masya allah! Aku tak sanggup berkata-kata. Segera kutahan diriku sebisanya untuk tak menangis.
Ibu yang menyadari arah pandanganku menjelaskan, “Jangan salahkan mbakmu Diah. Foto-foto itu Ibu yang maksa minta. Kadang Ibu pandangi, jika Ibu kangen kamu. Lihat, itu pasti waktu kamu masih tingkat satu, ya? Belum pakai jilbab! Yang lainnya sudah rapih berjilbab.”
Kulihat ibu tersenyum. Dimatanya ada kerinduan yang mendalam. Batinku kembali terguncang. Ibu kangen padaku? Betulkah? Apa yang membuat Ibu begitu berubah? Usia tuanyakah? Waktu lima tahunkah? Hatiku terus bertanya-tanya. Kemana larinya sikap keras dan ketus Ibu?
“Tolong Ibu, Nduk, Ibu ingin duduk di beranda,” pintanya sekonyong-konyong.
Kupapah tubuh ringkihnya keluar. Diatas sana langit mulai gelap. Beberapa bintang meramaikan rembulan yang mulai muncul. Langit jingga tampak terbias indah menyambut malam.
Bersisian kami duduk di beranda. Beberapa waktu berlalu dalam keheningan. Tanpa kata-kata, tetapi bisa kulihat wajah Ibu tampak cerah menatap langit yang dihias purnama. Lalu …
“Ning … Ningsih….” Tergopoh-gopoh mbakku muncul mendengar panggilan dari Ibu.
“Dalem Bu…”
“Tolong ambilkan kotak kayu Ibu di bawah tempat tidur, ya…”
Tak lama Mbak Ning sudah muncul lagi. Sebuah kotak kayu yang terlihat amat tua diserahkannya kepada Ibu.
“Bukalah Diah, itu untukmu. Ibu selalu takut tak sempat memberikannya kepadamu. Ibu sudah tua Diah,” suara Ibu. Matanya masih menatap langit.
Meski tak mengerti, kuturuti permintaan orang tua itu. Dan tanpa bisa kucegah, kedua belah mataku terbelalak melihat isinya. Uang! Dimana-mana uang! Begitu banyak, darimana Ibu mendapatkannya?
Ibu terkekeh sendiri melihat keterkejutanku.
Beberapa giginya yang sudah ompong terlihat.
“Itu untukmu Diah..”
aku menutup kembali kotak kayu itu, kuserahkan kepada Ibu.
“Diah ndak butuh uang Ibu. Beberapa tahun ini sudah ada kerja sambilan. Jaga toko sambil nulis-nulis,” ujarku berusaha menolak.
“Ibu tahu .. Ibu baca surat yang kirimkan kepada mbak-mbakmu .. tapi itu uangmu. Kau membutuhkannnya. Mungkin tak lama lagi.” Suara Ibu memaksa.
Ahh..wisudaku…itukah yang Ibu pikirkan?
“Wisuda tak perlu biaya sebanyak ini, Bu ….” Tolakku lagi.
“Tapi kau harus menerimanya Diah, itu uangmu. Uang yang kirimkan selama ini untuk Ibu lewat mbakmu. Sebagian ada juga hakmu dari penjualan ternak,” jelas wanita itu lagi.
Aku melongo. Teringat dipan tua yang kasurnya tipis, lampu templok, kursi diruang tamu yang sudah jelek dan bufet yang kusam. Bukankah dengan uang itu Ibu bisa hidup lebih layak?
‘Kenapa tak Ibu pakai untuk keperluan Ibu?” tanyaku heran.
Ibu hanya tersenyum. Matanya mencari-cari rembulan yang setengah tertutup awan.
“Ibu tak butuh uang sebanyak itu, Diah! Lagi pula .. Ibu khawatir tak bisa lagi memberimu uang.”
“Diah kan sudah jelaskan ke Ibu, Diah sudah bisa cari uang sendiri meski sedikit-sedikit. Ibu tak perlu repot memikirkan aku,” ujarku keras kepala.
Tapi, lagi-lagi Ibu memaksaku.
“Kau akan membutuhkannya Diah, untuk pernikahanmu nanti. Semua mbakmu hidup sederhana. Anak mereka banyak, mungkin tak kan banyak bisa membantumu jika hari itu tiba!”
Deg! Hatiku berdetak. Untuk pernikahanku? Sejauh itukah Ibu memikirkanku?
Kata-kata Ibu berikutnya bagai telaga sejuk mengaliri relung – relung hatiku.
“Maafkan Ibu jika selama ini keras padamu Diah! Kau benar … ibu memang picik! Itu karena Ibu tak ingin kau terluka. Ibu tak ingin kau kecewa. Itu sebabnya Ibu tak pernah memujimu. Kau harus punya hati sekeras baja untuk menapaki hidup. Ibu ingin anak bungsu Ibu menjadi sosok yang berbeda. Seperti rembulan merah jambu, bukan kuning keemasan seperti yang biasa kita lihat.”
Ibu menunjuk purnama yang benderang. Aku mengikuti telunjuknya. Batinku terasa lebih segar.
Rembulan merah jambu … itukah yang di inginkan Ibu, menjadi seseorang. Menjadi orang dalam arti sebenarnya. Punya karakter dan prinsip yang berbeda. Siap mengarungi kerasnya selama ini?
Hatiku berbunga-bunga. Semua kehampaan, kebencian, dan kekesalanku pada wanita tua itu tiba-tiba terbang ke awan. Aku tak lagi membencinya! Ternyata aku cukup punya arti dimata Ibu. Aku rembulan di hatinya! Tanpa ragu, kepeluk Ibu erat.
Bersama-sama, kami menghabiskan waktu yang tak terlupakan di beranda memandangi langit, dan … rembulan yang kini merah jambu dalam pandanganku!…
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga cerpen Menghidu Warna
Yuk Merapat Best Betting Online Hanya Di AREATOTO
ReplyDeleteDalam 1 Userid Dapat Bermain Semua Permainan
Yang Ada :
TARUHAN BOLA - LIVE CASINO - SABUNG AYAM - TOGEL ONLINE ( Tanpa Batas Invest )
Sekedar Nonton Bola ,
Jika Tidak Pasang Taruhan , Mana Seru , Pasangkan Taruhan Anda Di areatoto
Minimal Deposit Rp 20.000 Dan Withdraw Rp.50.000
Proses Deposit Dan Withdraw ( EXPRES ) Super Cepat
Anda Akan Di Layani Dengan Customer Service Yang Ramah
Website Online 24Jam/Setiap Hariny
kerennn
ReplyDeleteSedih sekali ceritanyaπ
ReplyDeleteBest ever
ReplyDeleteSubhanallah terharu saya membacanya
ReplyDeleteKerennn,mengandung pelajaran yang baik
ReplyDeleteKayak game rpg lama to the moon
ReplyDeletewkkwkwk ajg
Deleteceritanya bagus dapat mudah dimengerti dan kayak game rpj lama to the moon wkwkwk
ReplyDeleteceritanya sedih sekali, aku sampai habis 3 pak tisu πππππππππππππππ
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletehayo sudah selesai belum ya membacanya, saya perhatikan kok malah pada ngobrol
ReplyDeleteMaaf bu, kami sedang diskusi π
DeleteIlham itu bu
DeleteSedih bangetπ
ReplyDeleteEndang ππ’
ReplyDeletetop 3 cerita tersedih yang pernah aku baca πππ
ReplyDelete