image |
Percayakah kau bahwa di dunia ini tidak ada kebahagiaan? Setiap kebahagiaan yang aku petik, harus kubayar mahal dengan siksaan penderitaan? Benarkah hidup sekejam itu? Hidup hanya bisa menguliti, menyamak, juga menuangkan beragam racun ke seluruh napasku. Juga ke pori-pori darah. Lalu, di mana harus aku cari kebahagiaan?
Adakah seseorang telah menanam pohon kebahagiaan? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengepung masa kanak-kanakku. Aku tumbuh dan tetap hidup, berharap menemukan pohon kebahagiaan. Mungkin seseorang telah menanamnya, sementara aku tidak tahu di mana pohon itu ditanam? Kalau aku temukan pohon itu, aku akan cabut, lalu kutanam di jantungku, agar akar-akarnya mampu mengaliri darahku. Dan, beragam pastu, kutukan yang mengaliri pori-pori darah perempuanku akan lenyap.
Belakangan ini aku hobi sekali berdiri di depan cermin. Rumah kecilku pun kusulap penuh kaca. Aku hobi sekali memandang diriku melakukan beragam aktivitas.
Di ruang tamu kupasang kaca besar. Aku bisa menyaksikan tubuhku, tampangku yang bermalas-malasan di sofa sambil minum teh atau kopi, lengkap dengan camilan.
Di ruang makan, kupasang juga kaca besar. Aku bisa menonton diriku menghirup jus buah setelah senam atau yoga.
Di ruang tidur justru lebih parah! Sekeliling dinding kamar tidur kupasangi kaca. Jadi aku suka melihat diriku tertidur santai, kadang sampai terkantuk-kantuk.
Dinding kamar mandi pun kupasangi kaca semua. Aku bisa melihat seluruh tubuhku yang telanjang. Ternyata masih indah untuk usia menjelang 40 tahun.
“Kamu kan gak pernah beranak, tidak heran tubuhmu indah. Kamu bisa menghabiskan banyak waktu untuk merawat tubuh. Gaji di kantor besar. Rumah ada. Mobil ada. Kurang apa?” Aku terdiam. Setiap sahabatku berkata dengan penuh nada iri pada kehidupan yang sedang kunikmati. Apakah aku bahagia denga kelajanganku? Aku juga pernah bertanya pada karibku itu, “Apakah perkawinan membuatmu bahagia?”
“Aku yang bertanya padamu,” jawabnya ketus.
Kalau sahabat perempuanku sudah merengut seperti itu, aku hanya diam, sambil mengunyah salad buah pelan-pelan. Aku tahu, belakangan ini dia pasti baru diteror. Penyakit musiman yang kunamakan “terror rumah perkawinan”. Sebetulnya mau kunamakan “teror cinta”. Terror yang membuatnya sedih, gelisah. Kecemburuan, ketidakpuasan, putus asa, entah menu apalagi yang terus keluar dari mulutnya. Sepertinya bagi si lajang model aku ini, perkawinan itu jadi makhluk buas yang siap mencabik dan memakanku hidup-hidup. Iiiih!
Kalau dia dalam kondisi seperti itu, akulah korbannya. Seharian dia hanya merokok saja. Atau datang pagi-pagi sambil membawa minuman alkohol dosis tinggi, lalu maboklah dia! Namun, meski seminggu dia kost di rumahku, suaminya tak pernah meneleponnya. Juga tidak mencarinya. Aneh sekali, kan?
Aku menyayanginya. Bagiku, pertemananku dengannya yang sudah kami mulai sejak duduk di bangku SMP begitu tulus. Tak tergantikan.
Namanya Cok Ratih, putri tunggal seorang pemilik hotel di Kuta, Ubud, dan entah di mana lagi. Yang pasti, sejak mengenalnya, aku pun ikut mapan karena Cok Ratih menganggapku sebagai saudara satu-satunya. Bagiku, kehadiran Cok Ratih dalam hidupku membuat aku percaya bahwa ada hal yang layak dipercaya dalam hidup ini. Persahabatan.
Kata orang-orang, Cok Ratih egois. Bagiku tidak. Dia memberikan apa saja yang dia punya untukku. Cok Ratih mengajari aku berbagi. Hubungan kami ters terjalin begitu erat. Saking eratnya, banyak teman mengira ada yang salah dengan hubungan kami. Tapi kecurigaan mereka terbantahkan ketika Cok Ratih terlihat sering menggandeng I Made Pasek Wibawa. Semua orang pun mengira, Pasek (begitu aku dan Cok Ratih memanggil lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu), akan berbagi cinta. Aku dan Cok Ratih hanya tertawa. Hubungan mereka berdua begitu a lot. Keluarga besar Cok Ratih menentang hubungan itu. Orangtuanya juga. Tetapi Cok Ratih nekat.
“Hari gini masih ada sekat-sekat manusia. Kasta, derajat. Memuakkan! Hidup ini sudah rumit, kenapa masih dibuat rumit?” papar Cok Ratih santai. Cok Ratih memang bangsawan. Keluarganya tidak kurang harta, juga tidak kurang martabat. Perempuan itu keras kepala. Akhirnya dia pun hamil diluar nikah. Terpaksalah orangtuanya mengawinkannya.
“Kalau nggak hamil dulu, pasti ortuku nggak setuju,” katanya terkekeh. Bagi Cok Ratih, hidup begitu ringan dan tenang. Tak ada beban. Mungkin karena itulah persahabatan kami langgeng. Menurut orang-orang, aku perempuan yang terlalu serius. Bagiku, itu penilaian yang salah. Aslinya aku hanyalah perempuan yang takut melakukan kesalahan. Karena setiap kesalahan yang kuperbuat akan menimbulkan dampak psikologis yang begitu dalam bagi pertumbuhanku menjadi perempuan.
Tiga bulan sudah menikah, Cok Ratih mengalami keguguran hebat. Usia kandungannya hamper tujuh bulan. Perdarahan yang tidak ada hentinya. Satu bulan dia dirawat di rumah sakit khusus. Berkali-kali tidak sadar.
Hyang Jagat, begitu luar biasanya tubuh perempuan. Hanya untuk memuntahkan seorang manusia saja begitu sulitnya? Aku menggigil. Kubayangkan tubuhku digelendoti gumpalan daging hidup yang siap memakan seluruh isi tubuhku. Hyang Jagat. Hyang Jagat!
Di tengah situasi berat seperti ini, Pasek diam-diam mulai merayuku. Dia terlihat genit. Menjijikkan. Berkali-kali dia menawarkan diri untuk mengantar pulang, menjemput, atau makan siang denganku. Aku tidak melihat keprihatinan di matanya. Lelaki apakah yang telah dikawini sahabatku itu? Sementara Cok Ratih telah meninggalkan kebangsawanannya. Hubungan baik dengan keluarga besarnya pun putus karena dia mnikah dengan lelaki yang tidak sederajat. Begitu banyak yang dikorbankan untuk cinta.
Aku pernah menyiramkan segelas besar wine ke wajah Pasek ketika dia berusaha memepetkan tubuhnya ke tubuhku pada acara gala dinner di sebuah perusahaan milik sahabatku. Semua orang menatap kami. Aku pun meninggalkan ruangan itu.
Yang membuat aku panas, Pasek menyebar gossip bahwa akulah yang tertarik padanya. Ya. Hyang Jagat. Senista itukah aku? Tertarik pada lelaki menjijikkan seperti Pasek? Aku memang lajang, kadang-kadang rindu memiliki kekasih. Pengalaman hidup mengajarkanku, jangan pernah mengusik dan bermain api denga lelaki milik perempuan lain. Bagaimana kalau Cok Ratih tahu? Siapa yang akan percaya? Aku atau suaminya? Aku memejamkan mata. Makin hari, keinginanku utuk kawin makin jauh.
Namaku Dayu Cenana. Cenana berarti kayu cendana. Kayu yang keras. Entah bagaiman dan kenapa keluarga besarku memberi nama Cenana. Kupikir nama itulah yang membuat hidupku jadi pelik. Keras. Aku jarang sekali merassa puas pada apa pun yang telah dan akan kulakukan. Aku udah pattah dan kecewa.
Semua bermula dari Aji, ayahku. Sejak ditugaskan mengambil spesialis mata, lelaki itu tidak pernah pulang ke rumah. Dia kecantol seorang janda beranak dua. Ibuku, Dayu Westri jadi stress berat. Dia sering menjerit-jerit tengah malam, lalu memesan arak, mabuk, muntah. Akhirnya ibuku bunuh diri dengan menyilet nadinya menggunakan pisau tatah milik Kakiang, kakekku, ayah dari ibuku.
Kakiang adalah seorang lelaki tua yang sangat dihormati. Dia ahli membuat pratima, benda-benda suci yang disakralkan di pura-pura. Kematian ibu membuat Kakiang linglung. Makin hari kesehatannya menurun. Aku pun kemudian kehilangan Kakiang. Lelaki tua yang pandai menyanyikan kidung-kidung indah itu lebih suka berbicara sendiri, juga menjadi penyendiri. Kakiang pun akhirnya mati gantung diri di kamarnya.
Tinggallah aku dengan Nini, perempuan sudra kebanyakan yang dikawini Kakiang. Nama asli perempuan itu Ni Luh Made Ragi. Karena menikah dengan Kakiang, bangsawan dari kasta tertinggi, Brahmana, Nini pun berganti nama menjadi Jero Tunjung.
Aku memanggil perempuan tua cantik itu Nini, yang berarti nenek. Dari dialah aku belajar banyak bahwa semua harus diselesaikan sendiri, tidak boleh mengeluh, tidak boleh menunda pekerjaan, selalu bersyukur pada leluhur. Dan yang membuatku
berpikir, Nini berkali-kali menasihati, menjadi perempuan itu jangan pernah menyakiti perempuan lain. Sekecil apa pun tidak boleh!
“Kalau Tugeg menyakiti perempuan lain, Hyang Widhi akan memuntahkan seluruh pastu, kutukannya padamu!” kata-katanya selalu terdengar penuh amarah. Makin dewasa aku makin paham arti kata-kata itu. Pengalamnku juga mengajarkan betapa sakitnya dikhianati. Makanya, jangan mengkhianati.
Perempuan sudra itulah yang membuatku mandiri. Dia hidupi aku, satu-satunya cucu miliknya dengan cinta yang aneh. Bagiku dia terlalu keras mendidikku. Setelah dia mati, baru kusadari bahwa perempuan itulah yang membuatku berani bertanngung jawab pada pilihan-pilihan hidup yang kuambil. Dia yang membiayai sekolahku, karena sejak kecantol janda itu, Aji tidak pernah pulang lagi. Aku telah kehilangan figur Aji pada usia 6 tahun, kehilangan Ibu pada usia 7 tahun, kehilanganKakiang pada 8 tahun.
Begitu banyak kematian memberi aroma bagi pertumbuhanku sebagai Dayu Cenana. Belum lagi kematian binatang peliharaanku, bunga-bungaku, juga beberapa teman bermain dan sekolahku. Aku tumbuh dari kematian yang datang hampir setiap tahun.
Aku terus dikepung rasa sunyi. Tetapi Nini telah membekaliku dengan kehidupan yang, setelah kupikir-pikir, luar biasa. Aku dibesarkan lahir-batin hanya oleh seorang perempuan. Perempuan tua cantik itu senang sekali melakukan ritual-ritual yang tidak biasa. Mandi bunga setiap purnama, bulan terang dan penuh. Tidur dengan kain kafan bila datang tilem, bulan mati dan langit jadi gelap, seolah mati. Setiap Selasa-Kamis, biasanya dia hanya makan nasi putih dan minum air putih. Kadang-kadang pada hari tertentu, Kajeng Kliwon, dia mandikan tusuk kondenya, keris, dan beragam batu-batu antik, lalu airnya dipakai untuk memandikan aku. Mungkin karena beragam pantangan yang dilakoninya, dia tumbuh makin kuat, makin cantik, dan bagiku dia luar biasa. Perempuan yang sangat menikmati hidupnya dengan kebenaran miliknya.
“Jadi perempuan itu harus bisa menghormati diri sendiri,” katanya suatu hari sambil menghaluskan bata menjadi serbuk. Nini tidak pernah gosok gigi dengan odol. Setiap pagi dia menumbuk bata merah. Juga kumur dengan air garam. Giginya kuat. Kelak, ketika kematian menggiringnya, giginya masih utuh.
Aku tidak pernah tahu berapa usianya ketika mati. Karena dialah satu-satunyapelingsir, perempuan yang dituakan di Griyaku, mati paling akhir.
Bisik-bisik sempat kudengar, Niniku memiliki ilmu pengeleakan, ilmu hitam. Bagiku gosip itu murahan. Nini tidak pernah mengajariku hal-hal aneh. Yang kutahu, entah benar entah tidak, seseorang yang memiliki ilmu pengeleakan bisa menjelma jadi api, babi, angsa, atau binatang lainnya. Aku hidup dengan Nini berpuluh-puluh tahun. Bahkan aku paham betul lekuk tubuhnya karena kami sering mandi di kali atau pancuran sawah. Airnya bening dan membuatku betah berlama-lama. Nini dengan sabar menunggui aku mandi sambil menggosok tubuhnya yang sawo matang dengan lumpur sawah, atau menggosok daki-dakinya dengan batu kali. Nini tidak suka mandi dengan sabun. Katanya aneh, licin, dan membuat badannya gatal.
Ketika Nini mati, aku pun memilih tinggal dan berkarier di luar rumah keluarga besar. Aku tidak pernah menginginkan perkawinan. Aku hanya menginginkan persahabatan yang tulus. Sampai kini, aku masih virgin. Memang terdengar kampungan. Aku menikmati hari-hari yang terus berjalan dengan menguras usiaku. Bagitulah aku hidup. Sejak muda, aku tidak tahu rassanya patah hati. Memulai mencintai lelaki pun aku tahu. Setiap ada lelaki yang mengatakan cinta padaku, aku demam. Seminggu aku migren. Apalagi kalau lelaki itu telah kuanggap sahabat baik. Tak ada cinta yang bisa kurasakan. Yang kubutuhkan adalah perhatian yang tulus, teman dialog, juga sesekali bermanja. Bagiku, cinta lelaki dan perempuan sama dengan seks. Aku tak mau hamil, melahirkan anak, karena aku takut anak yang lahir dari rahimku mengalami nasib seperti aku. Atau bahkan jadi lebih buruk! Aku menggigil. Dibunuh oleh pikiran-pikiranku sendiri. Keingat mengalir dari dahi, ketiak, dan seluruh tubuh.
Telepon genggamku bordering.
“Apa?! Kapan?!” Aku berteriak histeris. Tubuhku limbung. Menjelang tengah malam, aku tersadar. Aku terbaring di lantai dekat pintu masuk kamar mandi, hanya ditutupi handuk. Cahaya bulan membangunkanku. Hari ini purnama? Aku bergegas bangun, menyalakan lampu. Aku takut dikepung gelap.
Tak ada upacara ngaben, pembakaran mayat. Hari ini, Cok Ratih dititipkan di ibu pertiwi, tanah lembab. Tubuh perempuan itu hamper tak kukenali lagi. Membengkak dan busuk. Cairan terus menetes dari tubuhnya. Tak ada lagi rona kecantikan di mayatnya. Sudah seminggu dia terbujur kaku di dalam kamar mandi kamar tidurnya. Tanpa diketahui lelakinya. Lelaki yang konon dicintainya.
Sahabatku mati. Berkorban untuk cinta, tanpa pernah mendapatkan cinta yang sesungguhnya. Lelaki itu tak ada di rumah, bahkan tak pernah tahu istrinya telah menjerat lehernya dengan tali. Polisi yang menemukan tubuh Cok Ratih yang telah membusuk.
Desa Adat memberinya sanksi, mayatnya tak boleh diaben karena Cok Ratih mati salah pati, mati bunuh diri. Mati yang salah! Menurut konsep agama. Kutelan kegetiran itu. Apakah Tuhan tahu? Apa alasannya sahabatku yang riang dan bersemangat itu menjerat leher dan mengiris nadinya? Apakah Tuhan mau mengerti dan menerima alasannya?
Aku tak lagi bisa menangis. Ketika upacara penguburan itu selesai. Apakah Tuhan masih mau menghukum Cok Ratih? Perempuan yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk mendapatkan cinta dari seorang lelaki? Lelaki yang tak pernah cukup dengan satu cinta?
Selama ini Cok Ratih terus-menerus berusaha menyembuhkan lukaku. Katanya, kehidupan perempuan baru disebut sempurna jika sudah kawin. Perkawinan membuat perempuan sadar arti menjadi istri, juga arti menjadi ibu. Tapi kalau nyatanya kawin malah bikin susah dan rumit, apakah perkawinan masih bisa dijadikan alasan bahwa pohon kebahagiaan itu hanya bisa ditemukan di dalam rumah perkawinan?
Aku bertambah menggigil. Menatap langit yang makin muram. Apakah ini pertanda suassana kematianku kelak semuram warna langit petang ini?
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Rumah Masa Kecil
No comments:
Post a Comment