image Tom Song |
Namaku Mawar
Tetapi teman-temanku lebih sering memanggil Mai, entah kenapa, mungkin lebih gampang diucapkan. Aku lahir dari keluarga yang kurang beruntung. Maaf, terpaksa aku ceritakan semua ini karena aku tak ingin ada orang lain yang mengalami liku hidup seperti aku. Bapakku—yang baru tiga bulan lalu keluar penjara—tadi malam ditangkap lagi. Ibuku sempat menangis melihat Bapak melambaikan tangan memasuki mobil polisi. Sedangkan aku hanya berani mengintip dari balik jendela kamar. Paginya, ibuku cerita kalau Bapak difitnah temannya terlibat penipuan.
Aku hanya bisa meneteskan air mata menahan sesak. Sambil sesekali melihat adik-adikku bermain di teras. Mereka tertawa lepas, berlari, dan saling dorong, membuatku iri. Apakah memang semua persoalan hidup ini hanya milik orang dewasa saja? Aku menghibur diri sambil membujuk batinku sendiri. Namun sia-sia sebab hati tak bisa dibujuk walau sedetik pun.
Itulah sekilas peristiwa yang mendera keluargaku. Tetapi siapa pun yang melihat aku, tentu tak akan percaya kalau aku berasal dari keluarga kurang beruntung, terutama secara ekonomi. Bapakku yang menjadi tulang punggung keluarga, kini harus berada di balik jeruji membawa persoalan yang tak dimengerti. Sebenarnya aku ingin bekerja sekadar meringankan beban keluarga, tetapi semua pekerjaan yang kudapatkan sangat bertentangan dengan nuraniku.
Seperti terjadi sebulan yang lalu.
“Mai … kamu mau bekerja?” kata Karta, lelaki yang rumahnya tak jauh dari rumahku. Dia pendatang, baru beberapa bulan menjadi tetanggaku.
“Tentu saja mau … kerja apa? Di mana?” tanyaku bersemangat. “Tapi aku cuma lulusan SMA,” lanjutku.
“Bisa … kalau mau, besok pagi ikut aku ke Surabaya,” kata Karta meyakinkan.
“Kerja apa dulu, Mas?”
“Besok kamu tahu. Kalau pekerjaannya tak cocok dengan kamu, yaa … tak apa-apa,” celetuk Karta.
“Baiklah, Mas. Mai bilang dulu sama ibu.”
Begitulah, tawaran itu sangat menggiurkanku. Hampir semalam aku tak bisa tidur memikirkan pekerjaan yang akan kulakukan di Surabaya nanti. Pikiranku sudah melayang tak karuan. Jika benar aku bekerja, tentu dapat meringankan beban ibu. Akan kubelikan ibu dan adik-adikku beberapa baju serta sisanya aku berikan ibu untuk belanja sehari-hari. Pikiranku melayang hingga ke sudut pengharapan. Semalam berjuta impian membetot akal sehatku.
Tetapi semua pengharapan tersebut buyar. Hancur! Ketika kutemui kenyataan pahit di Surabaya. Memang oleh tetanggaku, aku dipekerjakan di sebuah restoran. Tapi itu hanya kedok belaka. Restoran itu tempat mangkal lelaki-lelaki nakal yang siap membeli wanita berapa pun yang diminta. Untung saja aku berhasil lolos dengan alasan pura-pura belanja. Tapi aku ke terminal Bungurasih lantas pulang. Ibuku nyaris pingsan mendengar ceritaku. Kini Karta tetanggaku tak kelihatan lagi. Rupanya dia pergi karena kedoknya—sebagai pencari perempuan untuk dijual—telah terbongkar.
Namaku Mawar.
Kini nasibku kian tak karuan. Hampir semua pekerjaan yang kulakukan berujung dengan penipuan. Apakah aku diciptakan hanya untuk ditipu? Aku tersenyum sinis sambil bersujud menanti keadilan. Mawar … itu nama yang indah, begitu kata ibu suatu malam. Orang tuaku memberi nama begitu—menurut cerita ibu—agar aku bisa hidup seperti bunga mawar. Harum dan menyenangkan semua yang melihatnya. Tetapi nasibku tak seharum bunga mawar. Aku sama sekali tak menyalahkan kedua orang tuaku. Tak salah mereka menamaiku Mawar. Hanya peruntunganku saja yang jeblok. Tak seelok sekuntum mawar. Hingga usia menginjak 25 tahun tetap menjadi beban keluarga.
Sebenarnya aku malu. Bukan aku tak mau berusaha tetapi hampir semua pekerjaan yang kumasuki selalu berakhir dengan tragis. Tiga kali aku bekerja, tiga kali harga diriku sebagai perempuan dilecehkan. Pertama, ketika lepas SMA dulu, aku bekerja di salon kecantikan cukup besar di kotaku. Empat bulan pertama berjalan normal, memasuki bulan kelima, aku merasa ada gelagat tak baik dari salah seorang lelaki pelanggan salon. Dia mendekati dan merayuku lantas ingin mengajakku kencan. Terang saja aku tolak. Tetapi tante pemilik salon malah mendampratku. Aku dikatakan tak bisa melayani pelanggan dengan baik. Bahkan dituduh sebagai biang larinya sebagian pelanggan salon.
Baca: Cerpen Menunggu Imam
Berikutnya, setelah cukup lama menganggur, aku menemukan lowongan kerja sebagai sekretaris di sebuah kantor pengacara di kotaku juga. Karena tak disebutkan syarat detailnya, iseng-iseng aku melamar. Tanpa menunggu terlalu lama, aku diterima dan tiga hari kemudian mulai bekerja. Ibu dan adik-adikku mulai senang. Karyawan di kantor pengacara tempatku bekerja banyak berasal dari Batak. Hingga perilakunya terkadang kasar jika dibandingkan denganku yang Jawa asli. Tugasku hanya mengetik dan membuat pembukuan ringan. Hampir empat bulan semuanya berjalan lancar. Hingga suatu ketika saat aku lembur karena harus mengetik berkas tuntutan untuk sidang keesokan harinya.
“Mai, bisa berhenti dulu ngetiknya?” tanya Pak Joni, asisten Pak Simbolon, bosku.
“Ada apa, Pak?” balasku sopan. Sejenak kulihat Pak Joni mulai tersenyum. Saat itu aku merasa ada yang ganjil. Aku sangat kikuk dan sedikit takut.
“Kita ke ruangan saya?” ajak Pak Joni.
“Maaf masih banyak yang harus saya kerjakan, Pak,” tolakku. Namun Pak Joni semakin memaksa. Rupanya lelaki itu sedang hilang akal sehat. Dia semakin memaksaku. Dan aku yakin apa yang sedang terlintas di pikiran Pak Joni tentangku. Rasa hormatku kepada Pak Joni mendadak hilang. Aku meronta. Lantas tanpa ingat pekerjaan lagi, aku berlari keluar kantor dan pulang dengan keringat dingin membasah di sekujur tubuh.
Keesokan harinya, Pak Simbolon marah besar. Dia batal sidang akibat berkas ketikanku belum selesai. Tetapi ketika kuceritakan peristiwa yang sebenarnya, dia tak percaya. Malah balik menuduhku yang teledor. Tak disiplin serta entah apa lagi perkataannya. Aku lupa.
“Mana mungkin Joni begitu! Dia itu asisten utama … wakilku di sini. Tak mungkin!” kata Pak Simbolon membela Pak Joni. Aku tersudut. Dan sejak itu, aku mundur dari kantor pengacara itu tanpa selembar surat pengunduran diri. Aku lari!
Terakhir, aku bekerja di sebuah mini café masih juga di kotaku. Pekerjaan ini aku dapatkan tak berselang lama setelah hengkang dari kantor pengacara itu. Awalnya tak sengaja, ketika aku diajak teman SMA-ku minum di café itu, ada salah seorang menghampiriku, dan menawarkan pekerjaan. Ternyata dia adalah pemilik café. Kesempatan itu tak kusia-siakan, langsung aku iyakan tawarannya. Dan aku diberikan posisi waitress. Cukup lama aku bekerja di café itu hingga naik posisi menjadi chief of waitress. Bertemu dengan banyak pelanggan membuatku tidak bosan. Aku cukup senang karena suasana kerja di café itu begitu nyaman. Semua karyawan ramah dan sopan. Bahkan Mas Aji—begitu kami semua memanggil pemilik café itu—sering memberi bonus tambahan kepada karyawan. Menurutnya, jumlah pengunjung semakin meningkat.
Tidak bermaksud menyombongkan diri, café itu menjadi ramai sejak aku masuk menjadi karyawan. Pendeknya, aku menjadi primadona di café itu. Mas Aji sendiri mengakui dan secara diam-diam sering memberi bonus lebih ketimbang karyawan lainnya. Awalnya aku rikuh. Tetapi aku sikapi semua itu sebagai bagian dari profesionalitas kerja. Hingga akhirnya aku terbiasa dan tidak jumawa dengan perlakuan itu.
Rupaya, nasib baik benar-benar tak boleh hinggap pada makhluk Tuhan bernama Mawar. Suatu malam, ada seorang perempuan setengah baya, datang melabrak dan nyaris merusak beberapa meja café. Untung saja satpam di luar cepat tanggap.
“Ada yang bernama Mawar? Kalau memang dia perempuan baik-baik kenapa merebut suami orang!” teriaknya. Waktu itu pengunjung café sedang ramai sekali. Aku yang duduk di meja bartender kontan merinding dan gemetar. Karena semua teman dan sebagian pengunjung melihatku, perempuan itu langsung menghampiriku.
“Eh … rupanya ini yang membuat suamiku keranjingan tiap malam kelayapan ke café ini!” katanya sambil menjambak kerah bajuku. Beberapa teman melerai dibantu satpam. Aku sangat malu, takut, sedih, dan tak tahu semua membaur.
Aku sama sekali tak merasa punya hubungan apa pun dengan siapa pun. Mungkin suami itu pelanggan setia café ini tetapi apakah lantas aku yang disalahkan? Peristiwa itu benar-benar membuat aku malu. Kepada Mas Aji aku mengatakan untuk berhenti sementara. Karena aku tak mau usahanya ambruk hanya gara-gara aku. Awalnya Mas Aji menolak dan membujukku. Tetapi aku tetap ngotot untuk berhenti sementara. Sebab aku merasa telah ditampar dan dipermalukan di depan orang banyak. Semua kenal aku!
***
Namaku Mawar.
Wajahku memang bersinar, secantik bunga mawar. Tetapi duri pada batangnya siap melukai siapa pun yang mendekat dan memegangnya. Kupandangi di depan cermin, cukup lama. Aku sadar perempuan secantik aku tak gampang mencari nasib baik. Maksudku yang benar-benar baik. Orang hanya ingin mendekat karena aku cantik. Banyak yang menawari aku … apa pun! Tetapi ujungnya ada pamrih, karena aku cantik. Semua orang ingin cantik tetapi justru aku benci dengan kecantikan ini. Seandainya aku ditakdirkan tidak cantik, mungkin tidak akan menjadi petualang seperti sekarang. Ibuku berkali-kali sakit hanya karena memikirkanku. Kenapa semua yang mendekati aku hanya ingin meraih kecantikanku?
Aku pasrah. Aku kalah!
Tak ada gunanya lagi aku mencari pekerjaan hanya berbekal kepintaran yang pas-pasan. Kini aku mencoba membalik semua keinginan dan arti sebuah kecantikan. Justru kecantikan itu aku jadikan sarana untuk memperbaiki nasib. Tak perlu pintar! Tak perlu gelar! Tak perlu keterampilan hebat! Hanya dengan kecantikan ini aku akan membalas semua kekalahan di masa lalu. Mungkin telah menjadi pola pikir orang di masa kini, kecantikan adalah segalanya. Siapa pun yang memiliki wajah cantik wajib dikejar, dimiliki, dan dibanggakan di hadapan teman serta kolega bisnis. Siapa pun yang bisa menggandeng wanita cantik dalam pertemuan-pertemuan dengan rekan bisnis, itu prestasi tersendiri. Menjadi cantik memang menyenangkan.
Namaku Mawar.
Kini aku masih hidup dengan menjadi istri simpanan seorang anggota dewan di kotaku.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Bulir-Bulir Rindu
No comments:
Post a Comment