image |
Biarkan aku!” seru gadis itu sekali lagi sambil menatapku tajam.
Aku memandangnya lama, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Ini ketiga kalinya ia berada di tempat ini. Melakukan hal yang sangat tidak wajar. Ia bicara pada batu-batu! Ya, pada batu! Ia bisa tampak serius, lalu tiba-tiba tertawa atau menangis sendiri. Ia membelai batu-batu. Menggendongnya seperti menggendong bayi, memasukkan batu-batu tersebut ke dalam tas kainnya yang kusam.
“Bukankah kalian telah merampas semua? Sekarang, biarkan aku bicara pada batu-batu itu!” teriaknya lagi.
Dan seperti hari-hari kemarin, aku pun berlalu begitu saja dari hadapan gadis itu sambil membetulkan letak senapan laras panjang yang kusandang. Namun sampai di pos penjagaan, beberapa meter dari tempat perempuan itu berada, mataku masih lekat padanya.
Aku tak tahu siapa perempuan itu. Diakah? Sejak pindah tugas bulan lalu dari Tel Aviv ke tanah kelahiranku, Yerusalem, tepatnya di sekitar Al Aqsha dan Dinding Ratapan ini, hampir setiap hari aku, juga tentara yang lain melihatnya.
“Suatu hari aku akan bersenang-senang dengannya!” ujar David, teman bertugasku di sini yang senantiasa memproklamirkan dirinya sebagai Lohamei Herut Israel sejati. Ia menyeringai, menampakkan gigi-giginya yang kecoklatan. “Lihat saja nanti!” serunya.
“Ya, setelah itu kita akan menghabisi perempuan gila itu!” sambung Goldstein, temanku yang lain dengan nada dingin, sambil melipat koran Yediot Aharonot, yang sejak tadi dibacanya.
Perempuan itu memang masih muda. Mungkin usianya sekitar dua puluh sampai dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik, seperti kebanyakan gadis Palestina, hanya sedikit lebih runcing. Matanya kelabu, bulat dan bening. Kedua alisnya yang hitam dan tebal hampir menyatu di atas hidung yang mencuat. Ia tinggi namun sangat kurus dan tampak semakin tenggelam dalam abaya dan kerudung hitamnya yang besar, longgar dan lusuh. Dari jauh sosok- nya mengingatkanku pada tiang-tiang abu-abu dan hitam yang sering kami pancangkan di perbatasan daerah pemukiman.
“Apa yang dibicarakannya dengan…,” David tak sanggup menahan tawa,
“batu-batu itu…?”
Aku mengangkat bahu. Membuka helm ‘perang’ dengan kaca plastik yang kerap menutupi wajahku. Kini aku dapat memandang gadis itu lebih jelas. Wajah pasinya tak wajar. Kulihat ia komat kamit, berbicara pada batu-batu itu. Tangannya cekatan menyusun bebatuan tersebut dalam satu barisan panjang. Lalu ia memberi aba-aba, layaknya seorang komandan mempersiapkan para prajuritnya. Perempuan itu menghentak-hentakkan kaki ke bumi, berjalan di tempat, berulangkali. Wajahnya lurus ke depan, tepat ke arah kami. Namun pandangannya kosong. Beberapa saat kemudian ia sudah duduk begitu saja di tanah. Menyusun batu-batu lain, me- numpukkannya ke atas dan tersenyum-senyum sendiri. Pernah pula aku melihatnya sedang melakukan gerakan-gerakan sembahyang. Sementara batu-batu besar dan kecil berjajar rapi di belakang- nya.
Gila, batinku. Dan sama gilanya bila aku masih memperhatikannya.
“Selama ia cuma bicara pada batu, biarkan saja. Kita juga butuh hiburan kan?” Goldstein mendengus, kemudian meludah.
“Kau tak akan percaya, tetapi batu-batu ini memang bicara padaku!” Gadis itu berusaha meyakinkanku. “Kau mau tahu apa katanya?” Aku mengangguk bodoh.
Mata gadis itu berubah liar. Bibirnya melengkung ke bawah. Penuh keyakinan ia berkata, “Mereka, batu-batu itu akan membinasakan kalian, sebagaimana kalian membinasakan bangsa kami!” Ia tertawa-tawa, sambil mengusap batu-batu itu. Makin lama makin keras. Mengikik, menukik-nukik. Menyeramkan. Lalu tiba-tiba dingin. Angin! Tawa itu menjelma angin puyuh yang berputar, terus berputar menggulungku…, lalu menghempaskanku ke sebuah tepian.
Tiba-tiba saja aku telah berada di tempat lain. Sekelilingku gelap. Aku berada dalam lorong panjang yang pekat. Bulu kudukku berdiri. Aku merasakan tangan dan kakiku dingin, namun hawa panas juga menyergapku. Keringat menetes, membasahi baju seragamku.
Hati-hati sekali aku berjalan. Aku tersesat dalam labirin sunyi tanpa nama. Aku meraba-raba mencari cahaya. Tertatih-tatih. Rasanya aku telah berjalan beratus-ratus jam, sampai kulihat setitik sinar.
Detak jantungku makin keras. Setengah memicingkan mata, perlahan aku menghampiri sumber cahaya tersebut. Tiba-tiba kudengar suara-suara isakan. Erangan-erangan yang memenuhi segenap ruangan. Lalu tangisan, jerit kesakitan dan teriakan his- teris yang tak putus-putus.
Dan… aku nyaris terpekik. Aku biasa melihat mayat, namun tak sebanyak ini! Di hadapanku kini kulihat ratusan mayat bergelimpangan. Semakin lama semakin banyak. Menjadi ribuan dan terus bertambah lagi. Mayat-mayat itu berjejalan, seperti ikan-ikan sardin dalam kaleng. Darah terus menetes-netes dari tubuh-tubuh itu. Anyir. Mengental, menganak sungai. Beberapa kali aku terpeleset, dan jatuh di atas mayat-mayat itu.
Baca: Cerpen Teh dan Kopi
“Negeri kami! Di mana negeri kami?”
“Tanah, kembalikan tanah kami!”
Suara-suara itu menggema, bergelombang, berulang-ulang. Meninggalkan pedih. Seperti pisau yang mengerat-ngerat sanubari. Badanku gemetar, menggigil. Kepalaku pening. Rasanya aku akan pingsan, saat sayup-sayup kudengar suara ayah, ”Ingat Joshua I,3: Setiap tempat yang akan kami injakkan dengan telapak kakimu, sudah Aku berikan padamu….”
Suara ayah, para rabbi dan erangan-erangan tadi seperti berebutan menarik-narik kedua kupingku. Aku merasa kupingku meleleh. Pandanganku kabur.
Samar, kulihat gadis itu. Wajahnya beku. Ia tak bicara. Hanya buliran bening di matanya jatuh menetes membasahi tanah dan batu-batu di sekitar yang telah meresap darah.
Aku mengucek kedua mataku. Apa aku tak salah lihat?
Batu-batu itu! Batu-batu itu bergerak, perlahan membubung ke atas. Aku terperanjat! Batu-batu itu beterbangan! Mereka menuju ke arahku! Mereka berlomba-lomba mengejarku. Aku berlari di atas mayat dan tulang-tulang berserakan. Tenagaku tinggal sisa-sisa. Kakiku perlahan membeku. Semakin kaku.
Aku terjatuh. Terjerembab di atas mayat para kanak-kanak yang membusuk. Dan sebuah batu yang paling besar sekonyong-konyong akan menimpa kepalaku. Aku terbelalak. Tak percaya, kulihat kedua mata yang tiba-tiba tampak pada batu itu. Mata! Batu itu punya mata! Juga mulut! Ia bahkan bersuara! Ia terus memanggil-manggil namaku.
“Aaaaaaaaaaaa!”
Aku berteriak sekeras-kerasnya!
Aku terbangun! Sekujur tubuhku peluh. Penuh ngilu.
Belum pukul dua dini hari. Gadis itu. Gadis yang berbicara dengan batu-batu. Mengapa aku memimpikannya? Aku mengusap peluh di dahi. Mimpi-mimpi seram telah memilihku menjadi tempat persemayaman sejak aku berada di tanah ini dan semakin menjadi-jadi sejak aku mulai bertugas lima tahun lalu. Sungguh, kami telah begitu karib. Tak pernah ada hal buruk yang terjadi padaku sesudah mimpi-mimpi seram itu datang. Jadi…, secara logika, aku harus meneruskan tidurku. Meneruskan hidupku.
Namun gadis itu…dan batu-batu yang berterbangan, kini berpindah dari dalam mimpi ke langit-langit kamarku. Membentuk bayang-bayang aneh bersama lambaian pepohonan yang dibawa cahya rembulan masuk, melalui celah jendela.
Aku terjaga. Aku terus berjaga!
“Kami tak dapat menjagamu lagi, Hanan….”
Aku melihat seorang lelaki bersimbah darah, merangkak tertatih mendekati mayat seorang perempuan sebayanya. Di sisi mayat perempuan tersebut, seorang gadis kecil seusiaku menangis sesenggukan. Ia membuang boneka kain yang sejak tadi bersamanya dan memeluk jasad ibunya yang kaku dengan segenap jiwa. Lalu ia menatap ayahnya, meratap parau.
“Jangan menangis, Hanan? Ja… ngan… menangis…, kau masih ingat cerita ayah tentang batu-batu…itu?” Lelaki itu berusaha tersenyum sambil terus merayap. Perlahan ia menjatuhkan badannya di samping mayat istrinya. Sebelah tangannya meng- genggam tangan sang istri. Sebelah lagi, yang luka dan berlumuran darah membelai wajah gadis kecil bernama Hanan itu.
“Lelaki utama itu sudah mengatakannya, bannatii…, kiamat tak akan datang sampai tiba pertempuran kita dengan mereka. Hingga…seluruh batu berbicara dan memberitahu kita: ya hamba Allah, ini Yahudi di belakangku! Mereka tak akan… bisa sembunyi, Nak. Batu-batu dan semua tentara Allah di alam ini akan membantu kita….”
“Abi!”
“Jaga dirimu baik-baik….”
Dari balik pintu yang rapuh, aku melihat lelaki itu tak bergerak lagi. Dan Gadis delapan tahunan itu menjatuhkan kepalanya di dada sang ayah.
“Yatom! Yatom!”
Aku terperanjat. Lututku gemeretak. Sekilas kulihat gadis itu memandang ke arah pintu dan menemukan wajahku di sana. Matanya sembab. Kedua pipinya yang merah jambu, kini benar-benar merona darah ayahnya.
“Anak nakal!” Suara ayah menggelegar. Ia menjewer dan nyaris menendangku dengan sepatu larsnya.
“Tapi…, Ayah…,” aku mengusap keringat dingin di dahiku. Sementara gadis kecil itu menatap kami dengan pandangan penuh tanya yang menusuk.
“Setelah dibersihkan, besok rumah ini bisa kita tempati. Ayo, beritahu ibumu!”
seru Ayah tak peduli.
Aku menatap gadis itu lagi dan menemukan diriku yang masih gemetar, tenggelam dalam bulat matanya. Dan wajah runcing kanak-kanaknya memperlihatkan garis-garis tegar, tarikan-tarikan keras. Aku merasa nyeri dan teriris-iris. Betapa pedih ditinggal ayah dan ibu. Bahkan bila kau tak menyukai mereka!
Ya, aku menyaksikan sendiri! Ayahku telah membunuh ayah gadis itu. Teman-teman ayahku menelanjangi sebelum membongkar tubuh ibunya, hingga darah bercipratan di mana-mana dan tentara yang lain mengobrak abrik tempat ini dengan bengis.
“Mengapa… kita… harus tinggal… di sini, Ayah?” tanyaku ketika berlalu. Ah, aku selalu gagap bila berbicara dengan Ayah.
“Sebab ini tanah yang dijanjikan untuk kita dan besok rumah ini menjadi milik kita, “Ayah mengusap kumisnya yang lebat. “Yatom, apa pun yang terjadi kau harus jadi seperti aku dan membela tanah ini. Sekarang coba sebutkan satanim atau harar!” perintahnya.
“A…a…a…takkim, shada…, parokim, libarim…, babill, onan, protokolat…,aa…gorgah, plotisme, qornun….”
Ayah terbahak-bahak. Menyentak-nyentak. “Hilangkan gagapmu!” serunya kemudian, masih menggelegar. “Aku tak suka mendengarnya!” Aku menunduk. Mengangguk-angguk.
Setiap kali bicara, Ayah selalu menjelma raksasa yang menelanku bulat-bulat. Ketika aku menjadi tentara lima tahun lalu, ia masih seorang raksasa. Hingga kini. Bagiku, tak seorang pun mampu menghadapinya!
Keluargaku mulai menempati rumah itu dua hari kemudian. Kami membuat rumah tersebut tampak lebih bagus dan nyaman. Pintu rapuh itu telah berganti dengan pintu baru yang kokoh. Ibu menghias semua ruangan, diantaranya dengan perabotan yang diplitur mengkilap. Tetapi tetap saja aku sering bergidik membayangkan bahwa pernah ada mayat yang terkapar di sana.
Sementara itu si gadis kecil entah ke mana. Aku menemukan boneka kainnya dalam keadaan kotor dan lapuk, di samping rumah. Beberapa kali, kala senja, aku memergokinya tengah memandangi tempat tinggal kami dari jauh. Ia tampak kurus, kumuh dan tak terurus. Bajunya campang-camping, wajahnya penuh debu. Samar, kulihat sebongkah batu dalam genggaman tangannya yang mungil.
Keterangan:
Bannatii : anakku
Lohemei Herut Israel: Pejuang-pejuang kemerdekaan Israel
Satanim/harar: sepuluh program freemansory Yahudi Internasional, berlambangkan gurita berkaki sepuluh, ular berbisa berkepala sepuluh dan hantu penerkam berkuku baja.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Relikui Ibu
LIVECASINO338 HOT GAMES :
ReplyDelete? Baccarat ? Roulette ? Sic bo ? Dragon Tiger ? Slot Game ?
BBM : 2AD88032
WA : +855965922558
YM : cs_livecasino338