Thursday, June 29, 2017

CERPEN YANG DATANG DARI DUNIA PIKIRAN ANAK-ANAK OLEH YETTI A. KA


sketsa anak perempuan
image Julesplace.com
Menjelang sore Deori berpikir tentang mama yang kembali menjadi seorang bocah. Dalam pikirannya itu, hujan baru saja reda, menyisakan gerimis halus yang cantik. Ia duduk di sudut halaman, sejajar dengan batang mangga apel yang ada di sudut lain, sedang menulis nama salah seorang teman kelas—Maora yang pendiam—di tanah lembab saat dilihatnya sesuatu melayang dari pohon mangga apel sedang berbunga, dan ternyata itu mama yang menjelma seorang bocah. Melihat mama jatuh melayang dari pohon mangga apel, seketika Deori berdiri. Mama? desisnya. Mama? Pipi mama yang bulat, mirip Tinker Bell, memancarkan cahaya berkilau. Rambut panjangnya terurai melewati bahu. Bola mata besar, hitam. Bibirnya tampak merah kenyal. Mengingatkan ia pada permen Yupi. 

Mama melambaikan tangan sekilas. Deori mengembangkan senyum lebar seakan mereka sudah pernah bertemu sebelum ini hingga ia sama sekali tidak merasa canggung atas kemunculan mama sebagai seorang bocah yang terkesan tiba-tiba itu. 

“Hai….” Deori mengangkat tangan yang begitu kotor karena ia baru saja menulis dengan jari-jari tangan yang, biasanya, bila ia melakukannya, membuat mama mengomel seraya menyalahkan bibi Maris kenapa sampai membiarkan ia bertingkah laku liar layaknya anak kampung di belakang perumahan. “Lihat, kuku-kuku ini kotor sekali.” kata mama kemudian, “Jangan ulangi lagi. Kau bukan anak kecil berumur tujuh tahun. Lebih baik kau manfaatkan waktu untuk latihan piano. Nilai bahasa Inggrismu di tempat les juga belum terlalu bagus kemarin, kau harus lebih konsentrasi belajar. Pokoknya prestasimu mesti kaupertahankan. Peringkat kelas mesti kau tingkatkan. Ingat, papamu pasti menyalahkanku kalau kau gagal. Aku bosan berdebat dengan papamu yang sering menyindir kenapa aku harus sibuk-sibuk bekerja di luar. Ada yang salah kalau perempuan ingin maju seperti laki-laki? Papamu kadang picik sekali. Karena itu kau harus mematahkan pendapat papamu.” 

Deori memang paling senang menulis atau menggambar sesuatu dengan jari-jari tangan, terutama jari telunjuk, di tanah yang lembab kala ia sedang merasa kesepian. Paling sering ia menulis nama mama, lalu papa. Kadang-kadang Deori menulis semua nama teman kelasnya. Sebanyak tiga kali ia menulis nama wali kelas ketika ia duduk di kelas dua. Ibu guru paling baik dan tidak pernah marah. Ibu guru itu sering menenangkan Deori bila ia menangis karena bertengkar dengan teman. Selanjutnya, meski jarang, ia juga menggambar matahari lengkap dengan gumpalan-gumpalan awan di sekitarnya. Awan yang ia gambar itu lebih mirip ombak. Deori pernah juga menggambar bunga, burung dan kupu-kupu—ia menyukai semua binatang yang bersayap. 

Selama ini, di rumah, Deori sama sekali tidak punya kawan seumuran. Pintu rumah lebih sering terkunci. Tidak ada anak-anak tetangga yang berani datang. “Kita hidup di kota yang dipenuhi orang-orang jahat,” ujar mama saat Deori katakan ia rindu rumah kakek di kampung, rumah yang pintunya lebar sekali, seperti dua daun raksasa, dan pintu itu lebih sering terbuka. 


Maka kedatangan mama sebagai seorang bocah benar-benar membuat Deori merasakan hari yang berbeda. Bayangkan, betapa itu luar biasa dan siapa yang berani menduga ini bisa terjadi dalam hidupnya. Mereka sama-sama berumur sepuluh tahun. Dalam banyak hal mereka tentu mirip sekali. Tubuh mereka juga sama tinggi. Cara tersenyum mereka sama persis. Mereka bahkan seperti kembar saja. Juga gerakan mama yang lincah—melompat-lompat kecil di bawah mangga apel. Sama persis dengan kebiasan Deori; suka melompat-lompat kecil kala berjalan. 

Dari jarak sepuluh meter Deori dapat melihat kalau mama tidak memakai jam di pergelangan tangannya, juga tentu alarm kecil di saku baju (sebab gaun peach yang ia pakai tidak terlihat memiliki saku). Mama benar-benar membuang semua yang tidak ia sukai darinya saat ia menjadi orang dewasa, menjadi seorang ibu yang kelewat sibuk dengan jam kerja, jam pertemuan, jam keluar kota, dan mama sering tidak sempat menunggu ia keluar dari kamar mandi saat berangkat ke kantor, padahal ia ingin sekali mencium mama yang selalu wangi kayu-kayuan, terutama di pagi hari. Itu menyedihkan sekali bagi seorang anak—bagi Deori.

Tapi kesedihan itu tidak perlu ia rasakan sekarang. Kini mama sungguh-sungguh sedang berdiri tidak jauh darinya. Mama masih melompat-lompat kecil. Tampak riang. Tampak asyik sendiri. Rambutnya yang panjang ikut bergoyang. Dan Deori tetap juga berdiri di tempatnya. Ia senang memerhatikan mama yang seolah-olah baru saja jatuh dari planet lain, kemudian di bumi ia sedikit kebingungan akan melakukan apa, lalu memutuskan bermain-main saja sebagaimana kanak-kanak yang polos. Deori juga suka memerhatikan tiap kali bunga mangga apel berjatuhaan di atas kepala mama, beberapa nempel di rambut, beberapa yang lain terhempas ke tanah. 

Sampai akhirnya mama berhenti melompat-lompat. Melambaikan tangan untuk kedua kali. Deori kembali membalas. Kembali mengembangkan senyum, selebar-lebarnya. 

“Ke sini,” teriak mama. 

Deori tergeragap. Wajahnya bersemu. Ia berjalan mendekat. Setelah dekat, Deori terpesona pada bola mata bocah mama yang sebening sungai perawan (tentang sungai perawan ia hanya pernah menontonnya di televisi, di acara petualangan anak). Deori bisa melihat ikan-ikan kecil melompat, berkejaran, membentuk barisan panjang di sana. Juga daun-daun tua berenang tenang. 

“Kau sendirian ya?” 

“Sering sendirian.” 

“Itu terdengar menyedihkan.”

“Iya. Menyedihkan.”

“Aku mau menjadi temanmu.”

“Pasti menyenangkan.” Deori tertawa, menampakkan gigi-giginya yang putih berkilau. Ia lalu ingat buku hariannya. Buku berwarna biru tua yang ia beri hiasan di pinggir-pinggirnya dan ia simpan di lemari pakaian, di bawah lipatan baju. Dalam buku itu Deori menulis apa saja yang ia bayangkan tentang hari-harinya bersama mama. Tentang ia yang ingin sekali mempunyai semacam kotak di mana ia bisa menyimpan cerita apa pun yang ia lakukan bersama mama. 

Deori membayangkan, dan ditulis di buku itu, di akhir pekan ia pergi ke toko buku bersama mama. Ia mau tahu pendapat mama tentang novel anak-anak karangan siapa yang harus lebih dulu ia beli jika pilihannya Kate Di Camillo, Astrid Lindgren, dan Georgia Bying. Sehabis dari sana, mereka makan ice cream di kafe yang tidak terlalu jauh dari toko buku itu. Deori ingin makan ice cream dengan cokelat yang melimpah. Mama seperti biasa akan memilih rasa vanilla kesukaannya. Kemudian Deori dan mama bercerita macam-macam, dan tidak tentang sekolah. Deori ingin saat-saat seperti itu mereka membicarakan sesuatu yang berbeda dari pembicaraan formal di rumah. 

Deori juga mau mengajak mama pergi nonton bioskop saat ada tayangan film anak-anak. Ia pernah iri sekali mendengar sekelompok anak di sekolah yang membahas tentang pohon cita-cita dalam film Serdadu Kumbang. Berhari-hari ia memikirkannya, membawanya ke tempat tidur, membuatnya ingin menangis. 

Ia juga sering berharap mama menemaninya jalan kaki pagi-pagi pada hari Minggu. Habis berjalan-jalan mereka bisa duduk santai di bangku taman. Seorang pengamen akan datang mendekat, lalu mereka minta pengamen itu menyanyikan beberapa lagu. 

Namun sesungguhnya sesuatu paling sederhana yang sangat ia inginkan adalah mama mau menjadi seorang teman di rumah. Mama memberinya kesempatan memperlihatkan hasil kerajinan tangan yang ia pelajari di sekolah dan ia coba buat sendiri di rumah. Mama mau mendengarkan pendapatnya mengenai bibi Maris yang membosankan dengan segala peraturannya. Mama mau menjadi seseorang yang mengasyikkan. Mama tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk itu, cukup bagian kecil saja dari begitu banyak waktu yang mama punya.

“Aku menulis daftar panjang keinginanku dalam sebuah buku.” Deori menatap mata mama dalam-dalam. Deori belum pernah memandang mata mama sedekat hari ini, setidaknya sejak ia mulai bisa mengingat apa-apa yang ia lalui dalam hidupnya. “Kita bisa melakukannya dari sekarang. Satu demi satu.” Mama meraih tangan Deori. 

“Kita akan pergi ke toko buku? Setelah itu kita pergi makan ice cream? Lalu kita nonton di bioskop?” 

Mata kanak-kanak mama berbinar, “Itu seru sekali.” 

Satu menit Deori seperti terseret dalam mimpi. Perasaan Deori mengapung dan pecah di udara. Kita hidup di kota yang dipenuhi orang-orang jahat, terngiang kembali kata-kata mama. Terbayang juga wajah mama yang selalu tegang, selalu mengisyaratkan kalau mama tidak bisa diganggu, apalagi mengajaknya bermain-main. Waktu mama terlampau berharga, ia harus mengerti itu. Ia tidak boleh membuatnya repot. Tidak boleh meminta sesuatu yang tidak mungkin ia berikan. 

“Sekarang, yuk!” Mama segera menyeret tangan Deori yang dingin. 

Tahu-tahu mereka sudah berada di luar pagar, di jalan yang nanti akan membawa mereka ke jalan yang lebih besar. Mereka bertemu orang-orang. Termasuk juga serombongan anak bertubuh kurus yang tidak suka pakai alas kaki, sedang mengintai layang-layang putus (mungkin anak-anak itu tinggal di kampung belakang perumahan). Mereka meninggalkan anak-anak itu. Mereka berlari-lari kecil. Terus-menerus tertawa. Sebentar lagi kita akan sampai di jalan besar, mama berkata. Deori mulai tidak sabaran tiba di jalan besar yang akan membawa mereka ke toko buku, kafe yang menyediakan ice cream, dan bioskop yang sedang memutar film anak-anak. Jalan yang sebenarnya terlalu sering dilewati mobil yang mengantarkannya ke sekolah atau pergi les atau pergi ke acara ulang tahun teman kelas yang tidak pernah membuatnya gembira (sebab teman-teman di sana sering bercerita tentang mama yang membantu memilihkan kado yang mereka bawa, dan itu terdengar menyakitkan bagi Deori), namun baru sekali ini ia benar-benar akan menapakkan kaki di sana, kemudian berdiri lama-lama di pinggirnya. Melihat kendaraan yang lalu lalang. Menyetop taksi atau angkutan umum. Bersama mama. Bersama mama yang sengaja datang sebagai bocah menyenangkan dari dunia pikirannya. 

“Nah, kita sudah sampai di jalan besar.” Mama menghembuskan napas. Pipi bulatnya memerah. 

Deori terbelalak. Lututnya sedikit bergetar, dan itu membuat ia tidak bisa bergerak beberapa sesaat. Terdiam di tempat. 

Bukan. Bukan padatnya kendaraan yang ia temui, melainkan begitu banyak bocah seusianya di jalan besar itu. Di antara mereka ada Maora, juga beberapa teman kelas lainnya. Semua berwajah merah lembut. Semua sedang bergembira bersama mama yang kembali menjadi bocah. Semua mungkin saja tengah menuju toko buku, lalu akan pergi ke kafe yang menjual ice cream, terus ke bioskop yang sedang memutar film anak-anak. 

Deori segera memutuskan berbalik, pulang—meninggalkan jalan itu. 

Ia berlari kencang dengan air mata berlinang-linang. (*) 

Jalan Enam Mei, 2012
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Tiga Cerita Tentang Lidah

No comments:

Post a Comment