Saturday, June 24, 2017

CERPEN TEBARKAN ABU JENAZAHKU KE TELAGA OLEH S. PRASETYO UTOMO


perahu di telaga
image Maya
Bagaimana caraku menebar abu jenazah Steven ke telaga? Ia berwasiat, jauh sebelum buta matanya dan meninggal dunia, menghendaki abu jenazahnya ditaburkan ke telaga yang tak jauh dari rumahnya. Tapi bagaimana aku bisa melakukannya? Telaga itu telah beberapa tahun ini dikeringkan. Telaga, yang diyakini orang-orang sekitar, tempat bidadari mandi, berubah menjadi hamparan lahan dipetak-petak. Selalu dikisahkan Steven saat mengail di telaga: bidadari turun dari lengkung pelangi untuk berendam dan bersenda gurau, saat dilihatnya gadis-gadis desa menceburkan diri dalam bening air, membasuh tubuhnya sehabis mencuci pakaian. 

Hampir sepuluh tahun Steven tinggal di desa sunyi di tepi telaga. Ia mengikuti Karti, pembantu rumah tangganya yang kembali ke desa, ketika ia pensiun dari Kedutaan Besar Inggris di Ibu Kota. Lelaki yang aneh. Dia membeli rumah kayu di dekat telaga, tidak jauh dari rumah Karti. Hidup menyepi. Tinggal sendirian. Melukis dan mengail ke telaga. 

Kukenal Steven ketika aku tengah mancing di tepi telaga. Lambat dan tanpa disadari, kabut memudar di bawah pohon joho tua. Kami duduk di atas akar yang melata. Lelaki bule itu mengail dengan tenang, suntuk, hampir tanpa gerak. 

Ketika hangat cahaya matahari mulai memantul di atas permukaan telaga, Steven beranjak pulang, mengangguk ke arahku. Menenteng ikan-ikan menggelepar hasil pancingannya. Langkah kakinya ringan. 

Suatu pagi, Steven mengundangku ke rumahnya. Kami minum teh di ruang tamunya yang luas. Lukisannya tentang ikan-ikan, bangau, pohon joho, dan ratu siluman penunggu telaga, dipamerkannya padaku. “Aku mencintai kesunyian desa ini. Ketika Karti bercerita tentang desanya di tepi telaga, aku ingin mengikutinya tinggal di sini. Ini desa yang menenteramkan. Kubeli rumah kayu ini, dan aku mulai terbiasa dengan suasana ketenteraman yang melingkupinya. Aku bisa melukis dan mancing dengan bergairah.” Aku tak berani bertanya tentang keluarganya, sampai ia sendiri yang berkisah. “Istriku sudah meninggal. Dua anakku bekerja di Inggris sana. Aku ingin mati di sini. Aku ingin menjadi bagian dari ketenangan desa ini.” *** Berhari-hari aku tak bersua Steven. Tiap pagi aku mengail sendirian, dan berharap lelaki bule itu akan menyusulku duduk di atas akar pohon joho tua. Meski kami tak berbincang-bincang, kehadirannya menenteramkan hatiku. Setidaknya aku, yang menikmati masa pensiun, dan kembali ke kampung halamanku, hidup berdua dengan istri yang sudah renta, menemukan pertautan rasa dengannya. Di desa ini ia tak memiliki kerabat dan keluarga. Atau baginya, tak diperlukan lagi kerabat dan keluarga? Aku berangkat ke surau, melintasi jalan di depan rumah Steven, dengan rasa ingin mengetahui keadaannya. Mobilnya berada dalam garasi. Setangkup pintu kayu di pendapa rumahnya dibiarkan terbentang. Kesunyian menganga di dalamnya. Usai shalat subuh di surau, kembali melintasi depan rumah Steven, aku disambut Karti. 

“Mampirlah ke rumah Tuan Steven,” pinta Karti, santun dan memohon. “Tuan dalam keadaan sakit.” 

Duduk di ruang tamu, sendirian, dengan secangkir teh mengepul, sebatang rokok yang menyala di jari tangan kiri, Steven kelihatan layu. Aku mengulurkan tangan untuk menyalaminya. Tapi ia tak menyambut uluran tanganku. 

“Tuan terserang diabetes. Matanya hampir buta,” kata Karti. 

“Apa yang bisa kubantu untukmu?” desakku. 

“Bawa aku ke tepi telaga. Kita mancing bersama!” 


Kutuntun Steven ke tepi telaga. Kududukkan ia di akar pohon joho melata tempat kesukaannya. Kupasangkan umpan pada mata kail. Kulempar ke dalam air. Wajahnya memantulkan kesegaran air telaga. Sungguh aneh, tiap kali Steven melempar kail ke telaga, segera disambar ikan. Ia tertawa-tawa, mengangkat kail ikan yang menggelepar-gelepar, dan memintaku untuk memasang umpan baru. Ia memintaku untuk menemaninya makan siang dengan ikan bakar masakan Karti, yang katanya tiada tara. Dan kubawa pulang ikan bakar yang masih utuh. 

Steven tak pernah mengeluh, dan tak menampakkan wajah yang murung. Ia berhenti melukis dan mengail di bawah pohon joho tua. Hingga suatu pagi, sepulang dari surau, dia sudah menantiku di pintu gerbang. 

“Kau punya waktu mengantarku ke telaga?” 

Tentu aku tak menolak permintaan Steven. Kuantar dia ke tepi telaga, di bawah pohon joho tua. Kutuntun ia sampai pohon joho, dan seperti mencari kenangan di antara akar yang melata dan bening air yang menggenang sebagaimana kebiasaan Steven. Aku mancing. Steven berdiam diri, merenung dalam ketenangan dan kesunyian telaga. Sepulang dari telaga, Steven merasa sangat berhutang budi padaku. 

Steven tetap tampak bahagia. Meski tak bisa lagi melihat telaga. Tubuhnya memang kian lemah. Hingga aku tak pernah melihatnya di pintu gerbang rumahnya. Karti yang berkisah, Steven hanya terbaring di ranjangnya. Terkulai. Tak pernah lagi meninggalkan rumah. Ia telah melupakan kegemarannya pergi ke telaga untuk mengail ikan pada pagi berkabut. 

Tiap subuh dini hari, sepulang dari surau, aku melihat Steven duduk di kursi rodanya di beranda. Menghadap pintu pagar rumahnya. Aku tak pernah bisa menduga, siapa yang dinantinya.

***

Permukaan air telaga kian hari kian surut. Tanggul sungai telah dibobol orang-orang suruhan Lurah Ngarso. Air mengalir ke sungai kecil, dan membawa ikan-ikan di dalamnya. Kian surut telaga, kian kelihatan lumpur, katak, ular, dan ikan lele yang mencari genangan air. Mata air telaga ditimbuni dengan bebatuan. Tiap hari selalu datang orang-orang kekar suruhan Lurah Ngarso, yang menimbuni mata air telaga dengan batu-batu. 

Mata air telaga masih mengucurkan air bening. Lurah Ngarso memerintahkan membuat parit kecil, yang mengalirkan air bening dari mata air ke sungai kecil yang gemericik airnya. Lumpur lembek kehitaman di dasar telaga dikeringkan terik kemarau, kini menghampar sebagai lahan, luas dan mulai diratakan. Tanah itu diukur, dipetak-petak, dan orang-orang dari perkotaan datang untuk memilikinya. 

Usai shalat subuh di surau, ketika melewati rumah Steven, aku sudah dihadang Karti. Perempuan setengah baya itu memintaku untuk menemui Steven. “Kesehatannya memburuk, dan memerlukan teman bicara.” 

Terbaring dengan tubuh lemah, Steven masih menampakkan wajah yang tenang. Tangannya dingin dan lunglai. “Aku harus berwasiat padamu. Bila aku mati, tebarkan abu jenazahku ke telaga.” 

Aku tak bisa berkata tidak. Tapi bagaimana mungkin memperturutkan wasiat Steven? Telaga itu telah menjelma lahan-lahan kering, yang terpetak-petak, yang dimiliki juragan-juragan dari kota. Di tengah-tengah lahan itu dibuat taman, dengan batu besar yang dipahat serupa ikan gabus, dengan air mancur di sekelilingnya. Rumah-rumah baru mulai didirikan, jalan beraspal, kantor-kantor, toko, dan mobil-mobil mewah memasuki kawasan bekas telaga. Burung-burung yang dulu berkeliaran di atas telaga kini masih beterbangan di atas lahan, rumah, gedung, patung ikan gabus, dan pohon joho tua.

***

Abu jenazah Steven teronggok dalam guci terbungkus mori. Karti yang membawanya padaku. Diletakkan di atas meja. Tanpa berkata apa pun, aku sudah memahami kehendak Karti: memenuhi wasiat Steven, menebar abu jenazahnya ke telaga. Tapi mana mungkin? 

“Kita tebar abu jenazah ini ke laut,” kataku. Sepasang mata Karti berbinar. Bersama beberapa orang yang mengenal Steven, kami berangkat ke pantai. Menyewa sebuah kapal. Berlayar ke laut. Ombak tenang. Laut tanpa pergolakan. Kapal berhenti di tengah laut. Aku memasukkan tangan ke dalam guci. Meraih abu jenazah Steven. Menaburkan ke laut. Abu jenazah tertebar dengan warna putih tulang. Karti menaburkan abu jenazah tuannya, dengan dada terguncang menahan sesak. 

Terasa tiada habis-habis abu jenazah Steven ditaburkan ke laut. Tiap kali aku menggenggam abu warna putih tulang dan menebarkannya ke laut, kian memperpekat sosok lelaki sepi itu dalam pantulan gelombang. Kapal segera berputar mengitari kawasan taburan abu jenazah. Kami menebar kembang. Wajah Karti membeku. Ia tak lepas memandangi abu dan kelopak-kelopak bunga yang segera lenyap terhanyut gelombang kecil laut. 

Karti menenteng guci abu jenazah Steven. Tidak diceburkannya ke dalam gelombang laut. “Biar guci ini kubawa pulang. Aku ingin memiliki kenangan tentang tuan.”

***

Masih remang pagi ketika aku pulang shalat subuh dari surau, bersua Karti membawa guci tanah mendekati mata air telaga. Apa yang dilakukannya? Gerak-geriknya canggung. Ia seperti ingin menghindar dariku. Aku memilih diam, tak menegur, dan berjalan di belakangnya. Ia berhenti di bawah pohon joho, yang dari celah akarnya mengalir bening mata air. 

“Masih kusisakan abu jenazah Tuan Steven. Akan kubuang ke mata air telaga,” kata Karti. Ia menghampiri mata air telaga yang bening. Menyingkap kain mori penutup guci. Menggenggam abu di dasar guci. Menebarkankannya. Larut dalam gemericik air, terhanyut ke parit dan mengucur ke sungai kecil. Wajahnya tampak bercahaya sewaktu mengosongkan isi guci tanah itu. 

Tapi abu itu tidak keputihan. Abu hitam pekat. Tangan Karti berjelaga. Kemarin ketika kutaburkan abu jenazah Steven, terasa lembut keputihan. 

Sepasang mataku menyelidik. “Ini bukan abu jenazah Steven!” 

Tergagap, menunduk, Karti menghindari tatapanku. “Memang bukan. Ini abu lukisan tuan.” 

“Kenapa kaubakar?” 

“Aku malu. Ini lukisan tuan tentang aku yang mandi di telaga, di bawah pohon joho ini. Lukisan ini disimpannya dalam gudang, dan tak pernah diceritakan pada siapa pun.” 

Tangan Karti yang berjelaga dibasuhnya ke dalam mata air yang mengalir. Ia menghanyutkan guci itu ke parit. Senyum perempuan itu rekah, seperti telah melepaskan beban batin yang dipendamnya. 

Karti menjauh dari mata air. Abu yang dihanyutkannya tak selembut abu jenazah Steven yang keputihan. Kali ini yang ditebarkan ke aliran mata air tampak kehitaman, berjelaga, serupa abu kertas yang dibakar. Di bebatuan parit tersangkut serpihan kertas terbakar. Masih terbaca sebagian tulisan tangan Steven yang tak terbakar, kurangkai susah payah: kuwariskan seluruh kekayaanku pada warga desa…. 

Inikah surat wasiat Steven yang dibakar Karti?
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Anjin Sedap Malam

No comments:

Post a Comment