Tuesday, June 13, 2017

CERPEN PARFUM OLEH SUNLIE THOMAS ALEXANDER


parfum
image 
Rasanya ia berharap waktu membeku di dalam tenda kecil yang sedikit gerah itu. Sekali saja, agar ia bisa menikmati aroma parfum itu sepuas-puasnya. 

Tidak. Kamu sama sekali bukanlah orang yang suka memakai parfum. Kecuali sesekali. Itu pun cuma parfum murahan yang kamu semprotkan sekenanya pada selembar kaos atau kemeja yang sudah tergantung berhari-hari di balik pintu kamar. 

Tetapi entahlah, selalu saja ada perasaan tenteram di saat wewangian milik gadis itu terhirup dan memasuki jalan nafasmu. Dan aneh, kamu merasa dadamu lebih longgar dan pikiranmu segera menjadi segar. 

Parfum apa sebenarnya yang dipakai olehnya? Pikirmu tak mampu mengenyahkan rasa penasaran yang mulai terasa menganggu itu. Tentu, sebagai orang yang jarang menggunakan parfum, kamu sulit mengenali jenis wewangian, apalagi mereknya. Kamu benar-benar tak mengerti kenapa tiba-tiba jadi begitu tertarik pada aroma parfum itu. Mungkin tertarik pada pemakainya? Kamu menggeleng-geleng lalu tertawa sendiri. 

Kau mengingat-ingat wajah yang sedikit tirus dengan hidung mancung dan bibir tipis mungil itu. Kamu suka bentuk alis matanya yang tebal melengkung dan rambutnya yang legam bergelombang tergerai lepas sepunggung. Gadis itu memiliki kulit sawo matang yang halus. Aha, sejak dulu kamu memang tak suka gadis yang berkulit terang. 

“Ujung garis kesehatan Anda agak samar. Hm, mungkin ada gangguan di lambung Anda? Hati-hati di usia tua,” suaranya terdengar renyah. Sepasang mata yang jernih kemudian menatapmu lekat-lekat. Kamu ingin tertawa tapi tak jadi. Kamu hanya mengangguk kecil, agak kikuk, tatkala melihat gadis di hadapanmu itu tersenyum tipis. Jujur, kamu sedikit bergairah. Terasakan olehmu bagaimana tanganmu bergetar halus dalam genggaman jari-jemarinya yang lembut. Kamu tidak tahu berapa lama berada di dalam tenda kecil dengan dua buah kursi kayu, sebuah meja bundar bertaplak ungu, dan sebuah cermin persegi panjang yang tergantung bergoyang-goyang di salah satu pojokan itu. Tak ada pernak-pernik aneh-aneh, tak ada bola kristal palsu dari kaca. Aha, barangkali saja karena kamu terlalu menikmati sentuhan tangannya, merasakan gerakan jari-jari lentik itu menelusuri garis-garis telapak tanganmu. Atau kamu terlena oleh aroma parfumnya? 

Untuk beberapa lama, kamu masih termangu di depan jendela yang menghadap ke teras rumah, memperhatikan larik-larik putih keperakan air hujan yang terus jatuh ke jalan. Lupa pada buku puisi Ezra Pound yang tergeletak terbuka di atas meja ruang tamu. 

Oh, betapa wewangian itu seolah-olah masih tercium ketika kamu bangun tidur keesokan pagi, setelah kamu mencuci tanganmu berkali-kali. . 

Agaknya ia pernah membaca—¬¬mungkin sepintas-lalu di sebuah majalah hiburan—¬¬jika wewangian tertentu memang sangat bersugesti. Mulanya ia memang berusaha mengabaikan bau harum yang tertinggal di tangan kanannya tersebut. 

Apakah kamu mulai terhantui dengan bau parfum yang menentramkan sekaligus menggelisahkan itu? Tercenung sesaat, kamu melangkah mondar-mandir di depan jendela yang terbuka separuh. 

Di luar, hujan Januari jatuh berderai dengan deras. Jalanan tampak begitu lengang. Bahkan lampu kamar kerja si pengarang yang tinggal di seberang jalan, yang biasanya selalu menyala hingga subuh, kini sudah dipadamkan. Tentu, kamu masih ingat bagaimana dirimu tersasar ke keramaian pasar malam itu. Ingat bagaimana kamu pulang kemalaman dari kantor karena terpaksa bekerja lembur. Sampai kemudian hiruk-pikuk itu mengusikmu di tengah jalan menuju kompleks perumahan tempat tinggalmu. Seolah-olah ada tangan-tangan gaib menarikmu, kamu menepikan mobil bututmu begitu saja ke tempat parkir yang diatur sejumlah remaja tanggung. 

Kerlap-kerlip lampu berwarna-warni. Ai, begitulah mestinya sebuah pasar malam seperti yang kamu ingat bertahun-tahun. Stan lempar bola, stan memanah, tong setan dengan gerung sepeda motor yang menyakitkan telinga, komidi putar mini, wahana rumah hantu dengan gambar-gambar pocong dan gendruwo yang mencolok namun sama sekali tak menyeramkan. 

Dengan sedikit canggung, kamu memasuki lapangan yang biasanya digunakan para pemuda kampung bermain bola itu. Kamu melihat pembuat gulali merah jambu dan putih yang dikerubungi anak-anak, tukang pakaian yang meneriakkan harga yang tak pernah diberikan diskon di mal mana pun, penjual kacang rebus dan jagung, penjual es krim berwajah murung yang terus-terusan memecet sebuah balon hitam kecil berbunyi “tuuut, tuuut, tuuut”seolah-olah menyangkal musim penghujan. 

Kamu terus melangkah sembari mengedarkan pandang. Ada perasaan risih setelah bertahun-tahun kamu tak pernah mengunjungi keramaian seperti itu. Masih menyimpan iba pada tukang es krim tanpa pembeli itu, kamu berbelok ke kiri, nyaris ditabrak dua bocah lelaki yang bermain kejar-kejaran. Keramaian seperti ini selalu menjadi surga bagi anak-anak. Sudahlah, toh mereka memang empunya Kerajaan Surga! Kamu mendengus. Ah, tiba-tiba saja kamu ingat Tanti. Aku mau punya anak yang banyak, kata Tanti setengah berteriak. Ada rona kemerahan menyembur di pipinya yang pucat. Kau tak keberatan kan, Teo? Mata yang sayu itu menatapmu, meminta persetujuan. Kamu tersenyum tipis lalu menggeleng. Aku juga mau rumah yang besar dengan halaman luas, biar anak-anak bisa bermain dengan bebas. Tanti tampak bersemangat. 

Kenang-kenangan. Kamu tersenyum kecut. Tak mudah melupakan masa silam yang sesekali kembali bertandang sebagai rasa sesal. Kamu melanjutkan langkah memutari pasar malam yang hibuk itu. Melihat-lihat banyak hal yang sebetulnya tak ingin kamu lihat. 

Kemudian kamu melihat gadis itu, memakai gaun panjang hitam berbahan katun, berdiri di depan sebuah tenda kecil sambil menyapa orang-orang yang lewat. PEMBACA GARIS TANGAN¬¬—kamu mengeja huruf-huruf kapital dari kertas merah mengkilap yang tertempel di atas tenda hitam itu dengan heran. 

Dan mata kalian bersitatap. Hening sesaat. Hei, mau saya baca garis tangan Anda? Si gadis menyapamu sambil tersenyum lebar. Sejenak kamu merasa bimbang. Tapi gadis itu terlanjur meraih tanganmu. Lalu, seperti kerbau dicocok hidung, kamu dituntun ke dalam tenda. Agaknya parfum yang meruap dari tubuh gadis itu benar-benar membuatmu tak berdaya. 

Pertemuan kadangkala memang aneh. Seperti halnya perpisahan…. . 

Aroma yang begitu khas dan awet, ia membatin heran. Bahkan selepas mandi, keharuman itu tetap saja membekas. Lambat–laun, ia mulai suka mengendus-endus telapak tangannya sendiri. Berulang-ulang, tanpa sadar hal itu ia lakukan. 

“Ada apa,Teo? Dari tadi kok menciumi tanganmu terus? Habis pegang apa sih?” tanya Iman nyengir ketika kalian ngopi saat jam istirahat kantor. 

“Oh, nggak, nggak ada apa-apa,” kamu sedikit kaget dan tertawa kecut waktu itu. Hm, ingin sekali sebetulnya kamu menceritakan tentang aroma parfum yang menganggu itu kepada Iman. Ya, kalau saja rekan sekerjamu itu tidak bakalan berpikir yang bukan-bukan atau mengejekmu habis-habisan. Akhirnya, kamu cuma melemparkan pandang pada cangkir kopimu di atas meja. Dan di sana, dalam larutan cairan kopi yang pekat, wajah tirus gadis itu membayang begitu nyata. 

Kenapa jadi peramal? Kamu sedikit menyesal, merasa tidak sepantasnya pertanyaan itu kamu lontarkan.Tapi gadis itu tidak tampak tersinggung. Justru seulas senyum manis terbit di wajahnya yang hanya mengenakan rias tipis itu. Toh, dadamu sedikit berdebar ketika ia melepaskan pegangan dari tanganmu yang terulur di atas meja. Itu pada kunjunganmu yang ketiga kali. 

Aku cuti kerja tiga bulan Mas, ringan sekali gadis itu berucap. Dan itu mungkin bukan jawaban yang kamu harapkan. Paling tidak, kamu sudah siap mendengar sebuah jawaban yang menyedihkan. Jawaban yang bakal membuatmu jatuh iba (kamu yakin bukan jatuh cinta) pada gadis itu. 

Kamu mencoba menatap wajah di hadapanmu. Namun kala gadis itu membalas tatapanmu dengan berbinar, buru-buru kamu berpaling. Merasa malu telah menciptakan bayangan yang bukan-bukan dalam kepalamu. 

Kerja di mana, tanyamu kemudian, lebih kepada usaha untuk menutupi kegugupan. Di sebuah perusahaan periklanan. Gadis itu membeberkan pekerjaannya dengan bersemangat, sambil menggerak-gerakkan tangan di udara. Penulis naskah iklan. Dan kamu mendengarkan dengan kikuk, membayangkan pekerjaan itu pasti lebih menyenangkan daripada kerjamu di kantor. 


Tapi aku jenuh, Mas. Maka aku ambil cuti. Ia menghela nafas, meraih gelas di meja dan meneguk air putih. Terus? 

Terus? Kedua mata gadis itu membulat. Lalu aku mendengar sepupuku si Ryan punya rencana dengan kawan-kawannya membikin pasar malam di sini. Ah, sebenarnya dia itu kontraktor, tapi kena kasus! Hahaha. Kalian sama-sama tertawa. 

Mau kukenalkan? Kamu menggeleng. Keringat meleleh di lehermu. 

Anda tahu…, bisiknya tiba-tiba saja mendekatkan wajahnya padamu. Kamu agak terkejut. Jarak kalian jadi begitu dekat. Dengan tajam aroma parfumnya menyerbu hidungmu. …aku sejak kecil ingin jadi peramal. Aku belajar tarot dari buku, ramalan kartu-kartu domino.Tanteku mengajari aku membaca garis tangan. Rasanya asyik bisa tahu rahasia orang-orang. Cool! Si gadis terdiam sejenak kemudian menyeringai. Kamu juga diam, menunggu. 

Namun mendadak kamu melihat raut wajah manis di hadapanmu itu berubah serius. Kedua matanya menatapmu lekat-lekat seolah hendak menembus ke dalam matamu. Kali itu kamu tak bisa menghindar. 

Tapi, kayaknya lebih menyenangkan jadi pesulap ya? Mungkin seorang ilusionis, katanya dengan mata seperti tercenung. 

Seperti Master Deddy? Kau bertanya ragu-ragu. Seperti David Copperfield! Gadis itu menjawab sambil tersenyum. Cukup lebar sekali itu. Kalian kemudian sama-sama tertawa lagi. Sejenak kamu merasa begitu lepas, begitu bebas. Ah, kalau saja kamu bisa berada lebih lama di dalam tenda yang sempit itu. Kalau saja tidak ada orang lain yang sudah menunggu giliran di luar tenda. 

Kakinya melangkah keluar dengan berat dari tenda. Tertegun beberapa lama di luar tenda, ingat kalau ia sama sekali belum tahu nama si gadis peramal. Malam itu langit tampak bersih meski hanya dengan sedikit bintang. . 

Apakah gadis itu mengharapkan kedatangannya untuk yang keempat kali? Berapa lama lagi pasar malam itu bakal berlangsung? Ia juga tak ingat apakah ia menanyakan hal itu. Kamu membayangkan gadis itu seperti pada pertemuan kedua, dengan gaun panjang hitam, duduk di depan meja bundarnya. Tersenyum lebar ketika kamu melangkah masuk dengan canggung. Dan wangi parfum yang khas itu pun serta merta tercium di seluruh ruangan tenda yang sempit. 

Sekali lagi kamu mendekatkan punggung tangan kananmu ke hidung dan menarik nafas dalam-dalam. Tak ada lagi aroma yang tersisa, namun seolah-olah masih dapat kamu baui wewangian itu. 

Hanya kalian berdua, dipisahkan meja bundar bertaplak ungu. Dan untuk beberapa saat kesunyian seperti tergantung, sehingga kamu seakan dapat mendengar detak jantungmu sendiri ketika gadis itu mulai memeriksa garis-garis di telapak tangan kananmu dengan telaten. 

Aha, jari-jari lentik yang begitu halus, membuat darahmu seperti berdesir panas pada setiap sentuhan. 

“Anda sedang jatuh cinta?” gadis itu kemudian mengangkat wajah dan menatapmu lekat-lekat, tajam tapi seperti ada bayangan kesangsian. 

Kamu tergelak kecil, sebelum menanggapi dengan gugup, 

“Mana mungkin?” 

Si gadis tersenyum tipis, lalu berkata lemah, “Garis jodoh Anda kurang bagus. Mungkin harus ada usaha sedikit keras, Mas. Kalian baru saling mengenal?” 

Tentunya kamu tertegun mendapat pertanyaan semacam itu, sedikit bingung harus menjawab apa. Akhirnya, cuma berkata 

“ya, ya” yang keluar dari mulutmu yang tiba-tiba terasa kering. Kamu melihat gadis itu mengeluarkan sehelai sapu tangan putih dan menyeka wajah. Wewangiannya semakin tajam memenuhi seluruh udara tenda. Kau menghirupnya dalam-dalam. Hingga rasa tenteram yang aneh itu menyelimuti hatimu. Sampai kamu pulang, sampai sepanjang malam. 

Apakah suatu hal yang menggelikan? Ketika pada hari Minggu keesokan paginya kamu menyambangi sejumlah toko parfum yang bisa kamu temukan tapi tak membeli sebotol parfum pun. 

“Bapak ini mau cari parfum seperti apa ya?” tanya seorang penjaga di sebuah toko yang mulai kesal setelah kamu mencoba puluhan botol wewangian. Kamu juga memasuki banyak mal hanya untuk mengendus mulut botol-botol beragam bentuk yang berderet di gerai parfum. Seperti anjing pelacak! Kamu mengumpat diri sendiri. Malu, tapi tak berdaya. 

Segenap upayamu untuk mengabaikan aroma yang menganggu itu sia-sia belaka. Bahkan semakin kamu berusaha untuk melupakan wewangian itu, semakin kuat pula hasratmu menghirup lagi aromanya yang melenakan. Mungkinkah ini semacam rasa kangen? 

Hasratmu untuk bertandang ke pasar malam itu, kini jadi benar-benar tak tertahankan! Kendati kamu tahu, ramalan garis tangan tidaklah seperti ramalan tarot yang gampang berubah setiap saat. 

Oh, kamu membayangkan gadis peramal itu menyambutmu di depan tenda dengan wajah sedikit merona merah. Lalu membacakan hal-hal yang bagus dari garis-garis tanganmu: karir, jodoh, kesehatan. Kemudian, misalnya, ia akan mengatakan bahwa kamu bakal mendapat promosi kenaikan jabatan dalam waktu dekat, atau…. 

Aku mau anak lima! Kedua mata Tanti berkaca-kaca. Wajah itu jauh lebih cekung. Tulang pipi tampak menonjol jelas di kedua pipinya yang dulu pernah tembam. Kamu merasakan jari-jemari kurus dalam genggamanmu dingin sekali. Tak ada sihir di dunia ini, dan mukjizat cuma milik para nabi. Kamu menggigit bibirmu keras-keras sampai lidahmu merasakan asin. 

Kenang-kenangan. Sayup-sayup terdengar olehmu dentang tiang listrik dipukul peronda di kejauhan. Membuat malam terasa kian lengang. Tapi aroma parfum itu seperti meluap dalam kepalamu. Lalu meluber keluar dan mengisi seluruh ruangan. 

Tiba-tiba saja ia berharap gadis peramal itu hanyalah semacam ilusi.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Salju Gurun

No comments:

Post a Comment