CERPEN MITOS BAHU TUHAN OLEH RISDA NUR WIDIA
image Margie Jones |
“Jika kau bersedih, bersandarlah pada bahu Tuhan,” begitulah kata Ibu, setiap kali aku sedih mengingat ayah.
Hampir di sepanjang usia kanak-kanakku, ibu selalu mengatakan itu. Karena, aku tumbuh sebagai anak cengeng yang sering bercucuran air mata bila mengingat ayah. Entah pria itu sekarang di mana? Aku terakhir bertemu dengannya di Stasiun Tugu, ketika ia akan berangkat ke Jakarta mencari pekerjaan.
Namun, sampai saat ini ayah tak kunjung pulang atau mengirim kabar ke desa. Tak ayal, rindu pun selalu menghampiri dan aku akan menangis. Ibu pun demikian, ia pasti menyimpan rasa rindu yang tak kalah besar kepada ayahku. Pernah, suatu ketika, aku melihat ibu menangis tersedu di dapur, sembari memasak. Tetapi, ia begitu pintar menyimpan rasa sedih dan rindunya secara bersamaan bila di depanku.
***
“Bila kau bersedih, bersandarlah pada bahu Tuhan,” kata ibu pada detik-detik kematiannya.
Tiga tahun kemudian, setelah aku lulus kuliah, ibu meninggal. Kanker otak telah merenggut nyawanya, setiap hari, rambutnya rontok dan wajahnya pucat. Mungkin, rasa rindu dan sedih telah mengerogoti kesehatan tubuh serta membuatnya lemah. Kini, tinggal aku seorang diri hidup di dalam rumah yang dipenuhi dengan kenangan masa kecil.
Aku pun mulai menata hidup dengan mencari pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan. Akhirnya, aku diterima sebagai seorang PNS di kota. Tetapi, kesibukan yang aku harapkan dapat mengusir rasa sepi tidak mengubah apa pun dalam hidupku. Aku masih selalu dibayang-bayangi rasa rindu kepada ibu dan ayah.
“Di mana aku dapat mencari bahu Tuhan?” kataku lirih dan tersedu. “Aku ingin bersandar dan merasakan kedamaian di sana, seperti kata ibu dahulu.”
Malam ini, hujan turun deras, aku termenung di beranda rumah seraya ditemani segelas susu cokelat hangat. Hujan yang mericik seolah mengungkungku dalam kubangan rindu. Aku membuang napas dalam mencoba menenangkan diri, tetapi rasa rindu itu malah semakin tebal, melekat di dinding perasaanku. Aku pun kembali menangis.
Aku pun tak sadar ketika menangis di tepi jalan. Seorang tua melintas, menatapku bengis. Ia berjalan di bawah hujan sembari mendorong sepeda tuanya yang aku taksir sama tua dengannya. Ia pergi begitu saja, tanpa aku pedulikan.
***
Sejak itu, aku bertekad akan mulai mencari dan berharap dapat menemukan tempat bersandar yang menenangkan itu, bahu Tuhan. Aku memulainya pada bahu Leo, kekasihku. Ia menemaniku, membuang rasa sepi di serambi rumah. Aku sandarkan kepalaku di bahunya seraya berharap menemukan sebuah ketenangan di sana. Tetapi, aku tidak merasakan apa pun, aku malah semakin sedih.
“Mengapa kau menangis, Nov?” katanya lirih mengetahui aku menangis.
“Tidak, mataku hanya kemasukkan debu, Leo.”
“Kau bohong, matamu lebam dan berair,” ia menyelidik dan menyeka air mataku yang menetes. Aku termenung sejenak, menatapnya samar.
“Leo, menurutmu, apakah Tuhan memiliki sepasang bahu yang empuk dan menenangkan?”
“Iya, mungkin.” Leo mengerenyit.
“Kira-kira, di mana aku bisa menemukan sepasang bahu Tuhan yang empuk dan menangkan itu, Leo?”
Keriput di keningnya semakin banyak, Leo menatapku tajam. Ia tidak dapat menjawab pertanyaanku dan tampak kebingungan. Tetapi, aku tidak menuntutnya untuk menjawab. Aku biarkan pertanyaan itu menggantung begitu saja.
“Sudahlah, Leo, kau tak usah menjawabnya.”
Sore itu pun, kami mengurung diri pada keremangan senja yang sahaja, cahaya yang berkilat-kilat yang seolah menyimpan kemurungan dan mungkin di balik cakrawala yang tembaga itu ada seorang yang dapat meminjamkan bahunya agar aku dapat bersandar dan merasa tenang. Aku pun memincingkan mata seraya kembali menyandarkan kepala di bahu Leo. Walau, aku tahu, tidak ada ketenangan yang aku temukan di sana.
***
Hal yang sama, aku lakukan pula pada setiap orang. Aku mencari sebuah sandaran yang dapat membuatku tenang agar sejenak aku mampu melupakan rasa sedih, serta rindu yang bersemayam di dalam dada. Aku sandarkan kepalaku pada satu per satu bahu kawanku. Tetapi, tidak ada kedamaian di sana, malah rasa gelisah yang hadir menghampiriku.
Perlahan, aku pun mulai bosan karena mungkin saja bahu yang aku harapkan begitu menenangkan itu hanyalah mitos di dunia ini. Tidak mungkin, Tuhan sudi menjelma menjadi seorang manusia dan memberikan cuma-cuma bahu-Nya yang empuk dan lembut itu untuk bersandar bagi umatnya yang pendosa. Sekali lagi, aku ingin menangis, meluapkan rasa sedih dan rinduku.
“Kau mungkin hanya butuh berdoa, Nov, agar kau dapat merasa tenang,” kata sahabat kecilku, Lastari. Malam ini, aku sandarkan pula kepalaku di bahunya, tetapi tidak aku temukan rasa yang menangkan itu di sana.
“Aku sudah melakukannya, Las.”
“Berdoalah terus, Tuhan pasti mendengar doamu.”
Aku tertegun dan menatap wajah Lastari samar. Sebuah senyum yang begitu manis menyambut. Aku pun menemukan sebuah jawaban di sana, dalam hidup ini, memang telah disusun berbagai macam kehilangan yang terus-menerus. Ricik hujan terdengar semakin gaduh, mengetuk genting, membasahi dedaunan, dan membuat pucat pekarangan rumah.
Lastari meninggalkanku seorang diri di beranda, membiarkanku meringkuk dalam kesunyian, dan mengagapi langit malam. Apakah doa yang tidak terkabulkan dapat menjelma menjadi rintik hujan? Pekikku dalam hati dan mataku tiba-tiba mulai memanas. Aku berharap, malam ini Tuhan datang dan memelukku. Aku pun kembali menangis. Tetapi, aku tidak mau terus larut di dalam kesedihan. Maka, aku mengambil air wudhu, shalat, dan berdoa sepanjang malam.
***
Malam semakin tua dan hujan mulai reda. Aku tercenung, menerawang langit malam dengan mata yang lelah, tetapi air mata seakan enggan menetes karena, mungkin, aku telah kehabisan air mata.
Namun, sebenarnya tidak ada yang perlu aku tangisi lagi. Aku mulai menerima kenyataan yang terus berdatang dalam hidupku tentang ayah yang pergi dan menelantaran kami, ibu yang meninggalkanku begitu cepat, dan kekasihku yang perlahan menganggapku gila karena pertanyaan-pertanyaan ganjilku tentang bahu Tuhan.
Malam ini, aku bersumpah tidak akan menangis lagi!
“Seandainya memang benar ada bahu Tuhan, aku ingin bersadar di sana dan tidur sejenak,” pekikku samar seraya memandang ke arah sepasang kucing di genting rumah tetangga yang hampir setiap malam menemaniku melamun.
Orang tua itu kembali melintas dengan sepedanya yang tak kalah tua. Ia berhenti sejenak di depan rumahku, memandang dengan tatapan tajam. Aku tidak tahu, siapa nenek itu, tetapi ia selalu melintas pada tengah malam, setiap hari, dan menatapku bengis.
Malam ini, ia begitu lama memandangku, ia pun dengan tenang membuka pagar dan mendekatiku. Tubuhku bergetar, ketakutan.
“Bersandarlah sejenak di bahuku,” katanya lirih, sebersit senyum pun membusung dan senyum itu terlihat menyejukkan.
“Kau siapa?”
“Kau tidak perlu tahu siapa aku, cukup bersandarlah di bahuku.”
Ragu-ragu, aku menyadarkan kepalaku di bahunya.
Aku terkejut, sungguh lembut, dan wangi bahunya. Desah napasnya pun terdengar seperti lagu yang meninabobokkanku. Aku merasa begitu tenang di dekatnya, bahkan aroma tubuh ibu yang khas tercium di bahunya. Pun, aku dapat merasakan sebuah keikhlasan di sana.
“Kau sebenarnya hanya butuh berdoa karena setiap saat Tuhan selalu datang dan mengawasi umat-Nya,” katanya lirih.
Tetapi, aku telah tertidur di bahunya yang lembut. Dan, ketika aku terbangun, nenek itu sudah tidak ada. Aku tercenung cukup lama, bertanya-tanya, siapakah ia sebenarnya? Apakah nenek yang setiap malam, selalu melintas, dan mengawasiku di depan rumah itu adalah Tuhan? Ataukah, malam ini, Tuhan sedang menjelma menjadi seorang dan meminjamkan bahu-Nya? Entahlah, wallahua’lam.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga cerpen Kunang-Kunang Dalam Bir
CERPEN MITOS BAHU TUHAN OLEH RISDA NUR WIDIA
Reviewed by Unknown
on
10:39 PM
Rating:
No comments: