image Doddie |
Dalam rangkaian cerita kecil yang kusampaikan dengan cara mencicil, baru sekarang nenek kusebut. Ini mungkin tidak lazim. Biasanya, neneklah rujukan cerita banyak orang, terlebih menyangkut keselamatan dunia-akhirat. Tapi bukan salah nenek berkisah kalau ceritaku terdahulu merujuk ibu dan ayah, wabah, bahkan pohon dan belukar masa kecilku. Lalu kusiapkan cerita campur-aduk dari pamanku dan cerita kecil dunia anakku. Aih, ternyata dunia semata pijakanku! Alangkah picik. Tapi tidak. Sebab tak kutahu setinggi ini haruku pada nenek, sehingga ceritanya mesti kutempatkan setelah yang lain-lain lewat, setelah benda-benda simbol dunia hilang sempat. Tinggal rida. Rida semata mengenangnya….
Maafku pada almarhumah nenek, sebab takluk aku oleh keharuan ketika padanya mengenang. Maaf juga atas ketidaksanggupanku menceritakan kembali cerita-cerita nenekku yang menyentuh secara lebih menyentuh; biarlah tinggi hati itu milik syaiton penakluk iman. Ya, tak akan mampu aku melebihi almarhumah menderaskan air mata, bersimpuh mengenyam tikar pandan, malam demi malam, sambil mengisap rokok daun nipah atau mulut merah sirih. Dan satu ludahan di jendela, “Puuih!” cerita pun dimulailah:
“Awak orang naik,” kata nenek, dan dengan itu ia membawa kami para cucunya—aku dan sepupuku—ke dunia antah-berantah. “Awak orang naik, saksi pedih azab kubur.”
Di alam yang tak teraba panca indra, nenek melihat sengsaranya anak Adam. “Betapa sedih, Buyung! Jika tahu begitu, tak bakal sedia kita lahir ke dunia. Tapi janji ke Ilahi terlanjur dibuat. Roh terbuhul di kepala, sembilan bulan di rahim bunda, lalu menangis ke dunia.” Suara nenek bergetar, dan di mataku ia jadi sosok yang datang sekaligus dari dua dunia. Pertama alam barzah yang ia rangkai jadi cerita, kedua dunia orang naik yang ia akui sebagai miliknya. Pertama terkait iman; sedang kedua sipongang cerita ganjil ala bualan para parewa—soal ini biarlah terakhir kita buka. Jangan ganggu dulu khusyuk kumasuk ke amalan nasib anak Adam, jangan buat air mataku tertegun dari aliran yang tak bisa lagi kutahan.
“Suatu hari ada yang mati,” nenek memetik dawai katanya lagi. “Orang berharta lagi terhormat. Semasa hidup kenyang menjabat. Tapi tanah tak membedakan kaya miskin, tua-muda; mumbang jatuh kelapa jatuh. Maha Adil Allah mengaturnya.”
Bila ada si orang mati, kata nenek, tujuh langkah pelayat terakhir pergi, si mayat bangun di dalam kubur. Menduga di mana gerangan berada? Tak ada tempat bertanya. Tiada siapa pun. “Begitulah dia, orang terhormat lagi berharta itu: tujuh langkah anak-istrinya menjauh, ia bangun, sia-sia. Tanah menjepit semua sisi. Tiap bergerak, ruang bergerak, menekan-mendesak sampai terasa rongga tak lebih sebesar botol limun. Dan terabalah tepi kain yang tak berjahit! Terkejut ia: sudah ajal aku rupanya! Tak ada yang dibawa selain kain tak berkili. Kerbau banyak sawah luas, rumah besar pangkat di bahu, anak-istri hidup berlebih, kini tiada berlaku. Bahkan setetes air, sisa embun padang pasir, tak bakal diizinkan masuk ke mulut. Sampai sudah. Sudah menengadah urat-akar rumput, berpindah rumah dan alamnya. Saat itulah mayat menangis. Asam kandis asam gelugur, ketiga asam siriang-riang, menangis mayat di dalam kubur, teringat badan tidak sembahyang….”
“Roqib-Aqib menggedor batas kubur. Terlongong jasad terlongong, nanar-buta-pekak sejenak. Dua sosok cahaya—lebih menyerupai kilat-guntur marabahaya—memecah gendang telinga, ‘Ya Man rabbuka, siapa nama?’
‘Badu,Tuanku.’
‘Siapa tuhanmu? Siapa nabimu? Apa agamamu? Apa kitabmu? Ke mana kiblatmu?’
Si jasad panik, tak ada ingatan. Apa-siapa, dari mana hendak ke mana, tertutup tabir dosa-dosa. Maka— tar! Cambuk terayun, cambuk api guntur kubur. Tar! Tar! Tar! Si Badu menjerit terlolong-lolong; kulit melepuh, memercik di kain kafan. Hancur, Buyung, hancur tak terkatakan!” nenek berhenti sebentar, mengikat ujung anyaman, seperti mengikat buhul kisah. “Tak seorang pun mendengar jerit itu di bumi, terkecuali binatang sekalian hewan. Tapi tiada terkatakan. Kalaulah kucing bisa berkata, ia hanya akan bersuara persis kucing dibawakan lidi oleh sang tuan; jika burung bisa menyampaikan, pasti dengan kukur panik balam pemikat Gindo Saidi melihat elang di dahan. Bahkan tumbuhan, segala rumput, hanya tertunduk.” Nenek mengangkat wajah, cahaya lampu hinggap di pipinya.
“Tapi kepada jasad orang saleh, Raqib-Aqib bertanya satu-satu, pelan dan kasih. Tak perlu mulut menjawab. Kaki, tangan, bahkan ujung kuku dan rambutnya sendiri yang bicara. Jasad seolah tidur sekejap, di bawah kubah seluas semesta.” Kami bertemu oase di tengah kejamnya gurun tandus cerita. Kami yang ciut mengenang dosa-dosa, sekecil apa pun tetap dosa—mencuri timun Pak Rambon, mengambil tali kerbau si Pekok, membuang pisau Kakek Yasin, mengadu ayam, mengintip mandi Uni Timar—tak berdaya menghadapi kilatan pedang pasukan iman. Untunglah oase amalan si orang saleh memberi kami ekstase. Tapi sebentar, nenek mengajak kami lagi ke lembah api, di mana ia sendiri jadi penyaksi.
“Jadi, sudah melepuh kulit-daging si Badu, berlepasan tulang-tulangnya. Itu baru di satu masa—alam barzah.Tempat menunggu kiamat raya. Lalu masa berbangkit dan dihizab, syafaat nabi, sorga-neraka, akhirnya…. akhirat yang abadi! Begitulah dia—dan kita semua—melewati banyak masa. Di setiap masa azab menanti. Riba membuat perut si Badu bengkak. Ia suka menghardik, maka mulutnya bengkok. Ia menyunat bantuan galodo, menahan barang panti asuhan, milik yatim piatu disayang tuhan. Maka punggungnya patah menahan beban piutang anak-anak malang itu. Tangannya buntung, matanya buta; tanggunglah apa yang ditanggung. Tiap sampai di ujung kembali ke pangkal; punggung kembali lurus, tangan tersambung, mata melihat. Tapi sekejap, itu berulang; yang bengkak kembali bengkak,yang bengkok tambah bengkok, tangan putus, mata dicucur belerang. Tiada guna penyesalan.”
Kami tersedu. Uman yang taat, melecit ingus. Air matanya berlinang-linang. Aku sendiri bertukar pandang dengan jendela yang terbuka. Terbayang satu-satunya rujukan yang kupunya. Bukan kitab suci, bukan sabda nabi, bukan pula tempat mengaji. Tapi komik-komik azab kubur yang kubeli di pasar, di antara los sayur, cabe dan ikan. Di buku-buku tipis itulah, kata-kata nenek jadi nyata, bagai tontonan “sirkus kubur”—masya Allah, maafkan kelancanganku! Pantat ditusuk. Tembus ke kepala. Lidah dikerat. Terus memanjang. Tangan dipotong, tumbuh lagi. Punggung disetrika. Melepuh. Utuh kembali. Kemaluan digasah. Di tengah api beribu kali panasnya dibanding api dunia. O, derita manusia!
“Sebenarnya bukan badan kasar yang disiksa, tapi roh. Roh pinjaman Ilahi Rabbi putih bersih, ternyata kotor oleh perbuatan seluruh badan,” nenek menjelaskan, dan tahulah kita, betapa hinanya dunia! Tuhan mencucinya, kata nenek, supaya roh bisa kembali ke sorga al-Jannah. Kami tak merasa janggal dengan istilah “mencuci sampai bersih”, meski di komik azab kubur, roh-roh berupa manusia itu tak pernah kena air. Dicucuri timah panas campur belerang lebih mungkin. Merasuk ke bola mata serta mulut yang menonton-menggunjing aib orang lain—aku bergidik, karena pasti maksudnya juga mengintip orang mandi, mencibir guru mengaji. Waktu “mencuci” di alam barzah bukan waktu yang singkat. Ada sejumlah peristiwa mahadahsyat yang mesti dilalui roh pinjaman tuhan. Pertama, hari “kawinnya bulan dan matahari”. Sepasang benda langit itu bertabrakan! Planet dan bintang-bintang luruh jadi debu. Bumi dan segala isinya luluh, gunung-gunung muntah, manusia tersihambur seperti kapas dan anai-anai. Usah dibilang pertolongan, karena sepasang tangan kita sendiri yang saling berpegangan akan direnggutkan.
Lalu bumi tinggal datar, sepuas kaki hewan berlari: Padang Masyhar. Sangkakala Israfil kembali melengking, tanda berbangkit. Manusia seperti cendawan tumbuh di padang mahaluas itu. Yang berdosa berkitab di tangan kiri, yang saleh di tangan kanan. Mereka berjalan di bawah matahari baru sejengkal di atas kepala. Panas di kaki dan ubun sama membuat menggelegak tapak dan benak. Mereka melewati titian Siratal Mustaqim, serapuh uban dibelah tujuh. Tapi yang beramal baik, lewat seperti menempuh jalan menurun dari ladang ke pekan Raba’a. Bagi yang berdosa, berat langkah seperti para penggesek papan lelah mendaki jalan tegak Lembah Basebah. Dan jatuh bagai kijang masuk ke jerat peladang Jujun. Tubuh sudah masak terpanggang sebelum sempat sampai ke dasar, sebelum api merasa kenyang. Ya, api, inti api, terdengar seperti raksasa lapar, berkecipak-kecimpong menyantap tubuh-tubuh jatuh berdebam. Bahkan kata nenek, api itu seperti makhluk hidup, tangannya panjang menjangkau-jangkau, kadang terdengar sorak-sorai ketika bantaiannya pendosa yang dinanti. Maka nenek pun menyanyikan syair kanak-kanak, yang rujukannya kutemukan di buku-buku saku terbitan Bukittinggi.
Sadarlah angkau wahai manusia
Berbuat baik jangan ditunda
Berbuat buruk hanya celaka
Dunia-akhirat hina dan siksa
Jika nenek sudah berlagu syair kanak-kanak, kami terceguk bukan lagi karena tegang, tapi terbujuk rasa sedih yang membebaskan. Kami berkata apa saja yang bisa mencairkan suasana. “Awak minta rokok, Nek.” Idar beringsut.
“Boleh. Tapi nenek tak mau membuatkan, gulung sendiri, jangan pakai tembakau.”
“Awak gulung sendiri, Nek. Besok jika dapat ikan, awakbelikan nenek rokok daun enau dari Koto Panjang. Lebih enak dibanding rokok daun nipah ini.”
“Rokok itu akan habis sebelum sampai ke mari.”
“Tidaklah, Nek. Awak sembunyikan dari Angku Malin nanti.”
“Tapi parewa satu itu juga tak bakal melihat rokok daun enau yang kau belikan.”
“Kok begitu, Nek?” Idar mulai gusar.
Baca: Cerpen Macan Lapar
“Kau menghabiskannya di muara saat menunggu perahu si Pedi….”
“Di mana pula nenek tahu?”
“Kan kau sendiri yang bilang, rokoknya enak kata kau…,” nenek tersenyum, dan kami mulai bisa terbahak. Idar susah-payah menahan batuk. “Rokok daun nipah pakai tembakau, membuat sesak dada anak-anak. Entah kalau rokok daun enau,” nenek pura-pura bergumam, dan kami kembali terbahak sebab tahu siapa yang beliau tembak. Tentu saja Idar, si kurus nakal yang diam-diam menyelipkan tembakau dalam lintingannya!
Cerita nenekku memang berkisar di alam yang akan datang. Apakah batas usia yang kian mendekat membuatnya merasa segera berlabuh? Tidak juga. Sebenarnya banyak cerita nenek perihal dunia, meski tetap merujuk yang abadi. Tak jarang nenek bercerita hidupnya sendiri, menunjukkan harapannya akan dunia. “Dunia ini sungsang; dipandang penting ia tak penting, dianggap tak penting alangkah penting,” katanya lain waktu. Bagi orang mengejar kesenangan, dunia singkat. Ibarat pesta pencuri, betapa cepat datangnya pagi. Dan dunia bukan kedai minum, Bung, kecuali bagi peminum! Nenek patahkan itu pepatah. Sebab bagi yang diuji iman, penderitaan adalah jalan panjang. Jangankan minum di kedai terbuka, untuk dapat air saja harus melewati perang dan sengketa. Tapi bagi yang teguh, hanya ajal membuatnya menyerah. Maka di alam barzah, yang berburu kesenangan, balik diburu derita, waktunya naudzubillah panjangnya. Ada pun yang menderita tapi berserah, alam kubur sekejap mata. Ibarat tidur di atas kasur dihanyutkan arus—bukan banjir lumpur dunia—tapi arus cahaya lembut, sehingga begitu membuka mata ia sudah melewati suatu masa….
Apakah nenek “menghibur” duka masa lalunya ketika jadi peladang di Jujun, Kerinci? Ya, nenek dengan tiga orang anak pernah berladang di bukit dan rimba raya. Saat anak nenek yang ketiga, yaitu ayahku, berusia remaja, kakek meninggal. Terpaksalah ayahku jadi tulang punggung keluarga: memikat burung, membuat sangkar, menjualnya tiap pekan. Dua anak perempuan nenek seharian di ladang, di bawah harga panen tak menentu. Dan derita nenek jadi lengkap saat ia difitnah orang. Soal fitnah itu, aku tahu dari ibuku. Kata ibu, nenek menikah lagi setelah didera fitnah yang kejam. Menyebar kabar, hubungan nenek dengan duda penjual pinang “kurang baik”. Terbukti, ada harimau memperlihatkan belang pertanda ada melanggar pantangan. Itu fitnah orang yang iri. Entah bagaimana soal itu selanjutnya, toh nenek menikah dengan laki-laki tersebut dan memberi nenek dua anak lagi, Etek Gadih dan Paman Untung. Nenek sendiri ada menyinggung hubungan laki-laki dan perempuan. Mungkin nenek paham bahwa kisah pahit hidupnya, cepat atau lambat pasti didengar cucunya juga. Maka nenek sesekali perlu menyinggungnya. Hanya agar tak kentara, nenek mengolahnya lewat cerita laki-laki dan sebatang asam betina.
Alkisah kata nenek, ada seorang laki-laki saleh sering melintas di bawah sebatang asam yang rindang. Selalu, ia melepas lelah di situ, sambil terus berzikir. Jika haus, ia memetik sebutir buah, penuh syukur. Perjalanan panjang di bukit tandus kadang memaksanya berhenti lebih lama karena pohon itulah satu-satunya yang teduh sekaligus mengulurkan buah. Pohon itu pun tampak senang, karena doa orang saleh berkah baginya. Namun suatu hari, laki-laki itu didatangi serombongan orang yang menudingnya, “Hai musafir lata, angkau sandari batang asam ini sepenuh jiwa, menerima belaian daun-daunnya dan mengupas manis buahnya sambil berzikir pula. Tak sadarkah angkau, wudukmu sudah lepas? Sebab, ini pohon asam betina, dan angkau bukan muhrimnya!” Allah Maha Tahu. Tanah di mana asam itu tumbuh akhirnya menjadi milik si orang saleh, berkat pemilik sah yang mewakafkan kepadanya. Dan asam itu, jantan atau betina, jadi milik sah si orang saleh selamanya!
Dengan bercerita begitu, mungkin pula nenek merasa perlu mengenalkan kami pada fiqih. Maklum kami mulai tumbuh jakun dan bulu. Aku ingat, “pelajaran” itu disampaikan nenek saat aku dan Idar tertangkap telinga mempercakapkan Deni Vivianti, gadis di sekolah kami yang digelari “anak mama.” Padahal kami akan salat berjemaah.
“Awak suka hidungnya, matanya, rambutnya, tahi lalat di pipinya,” kata Idar tak tertahan. “Suaranya juga, bisa dia buat nyaring jika menyanyi.”
“Kalau begitu semuanya kau suka,” kataku cemburu.
“Iya, pantatnya tungging….”
“Satu-satulah!” sergahku kesal. “Soal pantat tungging itu ‘kan dari aku.”
Alhasil, tanpa alasan jelas, nenek menyuruh kami kembali berwuduk, meski kami merasa tidak batal. Selesai sholat, nenek berkata, “Batal wuduk seseorang jika bersintuhan bukan dengan muhrimnya. Itu kita sudah tahu. Tapi, jika tak sengaja, menurut nenek tidak batal. Malah, batal jika ia bayangkan hal yang tidak-tidak meskipun mereka berjauhan.”
Idar berbisik, “Tadi awak tak sengaja bicara anak mama, hanya kebetulan melihat Yanti lewat.” Aku menyikutnya karena nama Yanti disebut. Dan nenek, dengan nafas berat, berkata lagi, “Tapi pendapat begini tiada arti bagi orang yang ingin menang sendiri!” Pada bagian ini, niscayalah nenek merujuk kisah hidupnya, dengan tukang fitnah yang keji!
Dan seperti biasa, yang tegang kami cairkan. “Sirihnya, Nek,” aku raih tempat sirih.
“Anak laki jangan sering makan sirih,” kata nenek sambil membuang sisa pandan.
“Kenapa nenek bilang begitu?” aku bertanya pada sepupuku saat nenek pergi. “Kulihat Angku Satin selalu makan sirih, malah pakai tembakau, dibuatnya jadi sugi dan diselipkan di bibirnya. Dibawanya ke mana ia pergi, bahkan ke tempat orang berhelat.”
“Ya, sugi-nya lebih besar daripada senggulung bebannya,” kata Isam memancing tawa. Kami terbayang Angku Satin, laki-laki gemulai yang suka membantu kesibukan orang berhelat, tapi tak mau yang berat. Kami tak sempat tertawa, sebab Uman keburu mencegat, “Tak elok menyebut orang, dosa! Soal sirih, tanya nenek habis perkara.”
Dan nenek datang. “Nek, kenapa anak laki tak boleh sering makan sirih?” tanya Ujang. Jawab nenek, tenang, tanpa dosa, “Nanti anak gadis pada iri melihat bibir kalian merah!” Kami pun bersorak, “Huuu!” Tanpa dosa.
Tapi dosakah nenekku ketika dengan ringan berkata, “Awak orang naik,” tiap kali membuka kisah? Kau tahu, orang naik di kampungku sama artinya dengan reinkarnasi. Memang nenek pengikut taat tarekat Satariyah, selalu berziarah ke makam Syaikh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman, yang penuh aroma menyan; namun setahuku tak ada ajarannya mempercayai roh menitis kembali. Lalu bagaimana bisa nenek mengaku sebagai orang naik?
Di kampungku memang ada anggapan roh bisa menitis kepada bayi yang dimaui. Dan terbukti. Seorang gadis kampungku punya mata sipit, kulit putih, rambut pirang, sesuatu yang tak dimiliki keluarganya. Beredar kabar ia titisan perempuan Cina dalam kecelakaan pesawat di antara Pulau Kiabak dan Katang-katang. Pesawat yang juga ditumpangi penari perempuan Minang terkenal itu tak ditemukan. Tapi gadis itu, menghabiskan waktu hingga rembang petang, memandang pulau jauh di tengah. Si gadis kemudian dipinang bos pengepul kulit kayu manis dari kota. Dan jalan hidupnya pun manis di sana. Pernah pula, seorang anak menangis tiap kali melewati rumah almarhum Nurdin. Si ibu membawanya mampir, lalu si anak tanpa canggung menghapal setiap lekuk rumah itu. Orang menyimpulkan ia titisan Nurdin yang tewas berkelahi di Pasar Raba’a. Sepupuku sendiri, Nurerliza, tenggelam di sungai, dan ditengarai menitis kepada seorang anak yang menemukan celengan almarhumah di pagu rumah. Nurerliza memang anak yang hemat, sebagian bilang pelit, sewaktu hidupnya.
Bagaimanapun, kepercayaan temurun itu berpengaruh saat nenek mengaku tanpa dosa bahwa ia orang naik. Jadi sugesti bagi kami yang tak tahu diri, yang tak tunduk pada ayah-ibu, juga guru mengaji. Kecuali Uman yang rajin sembahyang, tidak ada di antara kami ingat hidup sesudah mati—meski saat nenek bercerita kami bercucur air mata. Begitu selesai, kami lupa. Ibarat lewat di jalan yang baru terjadi kecelakaan, kami hati-hati, sehari-dua lalu abai. Mengelus kembali ayam aduan, melemparkan gambar umbul ke udara. Atau, menarok sepotong sampah di atas kepala Pirin Ketek, lalu membuangnya ke kaki Pendi, “Ini kepala ayah Pirin!” Pendi menginjaknya, dan kami tinggal bilang, “Ei, kepala ayah Pirin diinjak Pendi!” Seperti ayam aduan, keduanya akan berkelahi.
Tapi aneh bin ajaib, sejak nenek memperkenalkan cara baru membuka cerita, kami tak berkutik. Sangat sederhana, hanya berkata, “Awak orang naik,” maka ia berubah jadi sosok yang melintasi ruang dan waktu. Ia hadir dalam setiap ceritanya, sekaligus mengada dalam sentuhan kami. Apakah dengan mengaku orang naik nenek ingin menjadi “orang dalam”, saksi langsung setiap kejadian—sehingga segalanya meyakinkan? Kami tak pernah bertanya, apalagi menggugat, karena ceritanya sudah membuat kami mengkerut. Sebagai tergugat. Kini, sebagai tergugat yang bebas, mataku masih berlinang pada nenek mengenang. Ya, aku tafakur di masjid kesultanan penting di timur tanah air, masjid Kraton Buton, yang penduduknya percaya kepada reinkarnasi berlambang nenas: di atas daun ada buah, di atas buah ada daun. Aku tak bermaksud apa-apa selain mengenang, sebagaimana nenekku mungkin juga tak bermaksud apa-apa saat membuka kisah. Maka aku pun menutup ceritaku kali ini dengan ungkapan lama yang sederhana, “Tiada manusia yang sempurna….”
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Pantura
Jika demikian, apakah Anda memerlukan pinjaman hari ini melalui email di markrichardloanservice@gmail.com?
ReplyDelete