Friday, June 30, 2017

CERPEN UPAYA MENULIS KIAMAT OLEH A.S. LAKSANA


menulis di tangan
image Jane
Kami bertemu tiga minggu kemudian di sebuah rumah penginapan. Kulitnya berminyak dan ia tampak kelelahan dan wajahnya seperti menahan tangis ketika kami berjumpa. Aku menahan diri agar tidak ketawa oleh logat dan caranya berkata-kata, dua hal yang tak akan terasa dalam tulisan ini karena aku sudah merapikannya sebisaku. Aku tak ingin membongkar, dengan cara apa pun, dari mana ia berasal. Kau bisa menduga-duga dari daerah mana lelaki itu dan di mana kejadian yang dituturkannya berlangsung, tetapi aku tidak akan menyampaikannya. Bagaimanapun, pengalaman yang dituturkannya bisa dialami oleh siapa saja dan bisa terjadi di mana saja. Maksudku, itu bisa terjadi juga padamu dan suatu saat mungkin akan tiba giliranmu, meskipun aku berharap tidak. 


Umurnya tiga puluh satu tahun dan ia seperti lembu, besar dan sedih, tetapi warnanya hitam. Kawanku yang memperkenalkannya kepadaku dan memintaku menulis cerita berdasarkan apa-apa yang dialaminya. Pukul sembilan malam aku tiba di penginapannya dan lelaki itu memulai ceritanya dengan menyampaikan ucapan seorang peramal yang ia dengar di masa kecil. Katanya: 



“Ia datang ke rumah kami malam hari dan bicara pelan-pelan kepada ayahku, namun aku ada di antara mereka dan ikut mendengar apa yang disampaikannya. Ia bilang, ‘Kelak, setelah matahari terbenam, orang-orang akan mengamuk dan menggorok leher orang-orang Islam. Jika mereka menemukanmu, lehermu akan digorok juga meski tak ada kesalahanmu pada mereka. Mereka melakukannya semata-mata karena kau Islam.’ 



“Aku merapat ke lambung ayah dan sesekali mencuri pandang ke arah lelaki itu sebab tidak berani memandang langsung peramal yang sedang bicara itu. Ia sangat tua, lebih tua dari semua kakek di kampung kami, dan malam itu ia seperti penyihir yang sedang meramalkan hari akhir. Sembilan belas tahun kemudian, ketika pecah perang di kampung kami, aku ingat lagi ucapan itu.” Semula aku malas ketika kawanku meminta, sedikit mendesak, agar aku menemuinya. Ia belum lama pulang dari penelitian dan kembali ke Jakarta membawa seorang kenalan, penduduk setempat yang menemaninya selama ia mengerjakan urusannya di sana. Aku memiliki pandangan agak buruk tentang kawanku ini. Dari kawan-kawanku yang lain, aku mendengar bahwa ia melakukan penelitian sambil mengeduk keuntungan dengan menyalurkan keping-keping DVD film porno, yang ia jual tiga kali lebih mahal ketimbang harga pasaran di Jakarta. “Mereka yang berperang sangat memerlukan hiburan,” katanya. 





Aku tak mendengar sendiri ia mengatakan itu. Semua hal buruk tentangnya kudengar dari kawan-kawanku yang lain. Ketika kami bertemu, sesungguhnya ingin kutanyakan soal bisnis itu kepadanya, tetapi mulutku tak sanggup mengeluarkan pertanyaan macam itu. Dan karena tidak bisa bertanya, aku hanya membayangkan perangai busuknya saat ia meyakinkanku untuk bertemu dengan seseorang. 



“Riwayat hidupnya luar biasa, pasti menarik kalau dibikin cerita,” katanya. Itu pernyataan klise. Orang-orang sering menceritakan pengalaman mereka atau pengalaman seseorang yang mereka kenal dan mengatakan bahwa itu menarik ditulis sebagai cerita. Mereka menganggap sebuah pengalaman akan menarik dijadikan cerita hanya karena ia benar-benar terjadi. 



“Apa istimewanya kenalanmu?” tanyaku. 



“Ia kehilangan keluarga dan orang yang ia cintai,” kata kawanku. 



“Banyak orang seperti itu.” 



“Yang ini beda,” katanya. “Ayah dan dua saudaranya mati, kekasihnya mati, dan sekarang ia tinggal memiliki ibu yang sudah renta. Kalau aku bisa menulis cerita, pasti kutulis sendiri dan tidak perlu aku memintamu.” 



Aku membalas dalam hati: Jika kampungmu terbelah dan orang-orang saling berhadapan dan mereka dikuasai hasrat untuk menggorok leher lawan yang semula kawan, maka akan banyak orang memiliki pengalaman seperti itu. Ia bukan kasus istimewa dan bukan satu-satunya. 



Tanpa pernah menanyakan sendiri kepadanya, aku sudah menganggap kawanku ini sebagai penyalur film porno. Dan kupikir ia sedang memperdayaku untuk terlibat di dalam bisnisnya. Atau entah apa. Orang-orang yang licik tak pernah bisa kau duga isi pikirannya, bahkan ketika ia tampak baik kepadamu. 



“Setidaknya temui dia sekali saja,” katanya. “Jika kau tak tertarik, tak usah lagi menemuinya dan tak perlu lagi mendengarkan apa pun yang ia sampaikan.” 



Akhirnya aku mengalah. 



“Baiklah,” kataku. Namun diam-diam aku menyiapkan alasan untuk tidak menulis apa-apa. 



“Oya, tolong kau hitung biaya penulisanmu, aku yang bayar,” katanya. 



“Tak usah begitu,” kataku. 



“Harus begitu,” katanya, “sebab aku ingin royalti buku itu buat dia, agar sedikit meringankan hidupnya. Kita ke penginapannya lusa?” Telingaku mendengar suara air yang terus menetes di kamar mandi. Penginapan ini rapi dan bersih dan kran airnya bocor. Kami berdua saja malam itu karena kawanku ternyata tak bisa datang. Ia menelepon saat aku dalam perjalanan ke rumah pengingapan. “Ada keperluan mendadak,” katanya. Aku tak percaya. 



Jadi, begitulah, aku menemui orang yang tak kukenal dengan sedikit kecurigaan bahwa kawanku sedang ingin menjerumuskanku ke dalam bisnis terkutuk yang dijalankannya. Dan aku memasang sikap hati-hati sampai akhirnya ia menceritakan pengalamannya bertahun-tahun lalu dan memulainya dengan ramalan yang ia dengar di masa kecil. 



Lewat tengah malam aku pamit pulang dan berjanji untuk ketemu dua hari lagi. Sepanjang perjalanan pulang aku membayangkan adegan pertemuan malam hari dengan si peramal. Kupikir adegan tentang si peramal, seorang lelaki keriput dan menakutkan di mata kanak-kanak, akan sangat bagus digunakan untuk membuka cerita. Ia akan menjadi pembuka yang mengantarkan pembaca kepada kejadian-kejadian selanjutnya yang menyebabkan hilangnya sebuah desa. Namun kemudian kudebat sendiri pikiranku. 



Jika aku mengutip ucapan peramal itu apa adanya, pasti akan ada orang-orang yang tidak bisa terima dan merasa aku telah menyudutkan mereka dengan pembukaan seperti itu, meski yang kusampaikan adalah kisah nyata. Selain itu, pembukaan tersebut juga akan membahayakan orang-orang Kristen di tempat-tempat lain. Mereka bisa menjadi sasaran kemarahan orang-orang Islam. Misalnya, seorang penjual rempah-rempah di pasar bisa mati diamuk oleh segerombolan orang hanya karena pemilik kios sebelah melaporkan bahwa ia Kristen dan layak dijadikan sasaran balas dendam. 



Kawanku meneleponku dan menanyakan apakah aku tertarik melanjutkan pertemuan dengannya. Aku mengatakan bahwa kami sudah merancang pertemuan berikutnya. Kusampaikan juga kepadanya tentang pembukaan yang menarik tetapi mungkin terlalu berisiko. Ia menyarankan kemungkinan lain, misalnya dengan membolak-balik sedemikian rupa sehingga pengalaman kenalannya itu menjadi cerita yang mengharukan dan membuat para pembaca menaruh simpati kepada para korban, apa pun agama mereka. “Cobalah,” katanya. 




Kalau sekadar membolak-balik, itu soal gampang, kataku. Aku hanya perlu mengganti kata Islam dengan Kristen. Jadi peramal itu akan mengatakan begini: “Kelak, setelah matahari terbenam, orang-orang akan mengamuk dan menggorok leher orang-orang Kristen. Jika mereka menemukanmu, lehermu akan digorok juga meski tak ada kesalahanmu pada mereka. Mereka melakukannya semata-mata karena kau Kristen.” 



Kau tahu, sungguh tak ada masalah untuk mengganti Islam dengan Kristen. Keduanya bisa sama menariknya sebagai pembuka cerita. Namun aku tetap menghadapi masalah yang sama: akan ada orang-orang yang merasa terganggu dengan pembukaan semacam itu dan menganggapku telah menyudutkan mereka. Kawanku berkeberatan jika aku sekadar mengganti Islam dengan Kristen. 



“Kau perlu mencoba cara lain,” katanya. 



Mengikuti permintaannya, aku mencoba pembukaan lain yang tidak menyebut-nyebut agama. Jadi tidak lagi kugunakan Kristen atau Islam, tetapi pedalaman. Dan dengan orang pedalaman sebagai korban, kupikir pembukaannya harus berubah. Ucapan peramal itu tentu masih bisa dipakai dan masih menarik sebagai pembukaan: “Kelak, setelah matahari terbenam, orang-orang akan mengamuk dan menggorok leher orang-orang pedalaman. Jika mereka menemukanmu, lehermu akan digorok juga meski tak ada kesalahanmu pada mereka. Mereka melakukannya semata-mata karena kau orang pedalaman.” 



Lagi-lagi masalahnya ada pada reaksi orang terhadap pembukaan seperti itu. Para pembela kaum pedalaman akan marah besar dan mengamuk karena pembantaian dilakukan terhadap orang pedalaman semata-mata karena mereka orang pedalaman. Maka, semenarik apa pun pembukaan itu menurutku, aku perlu mengubahnya atau melupakannya sama sekali. 



Beberapa hari memikirkan pembukaan tentang orang pedalaman, aku menemukannya sebagai berikut: 



Ia dua belas tahun saat itu. Anak perempuan yang mengikutinya berusia sama. Mereka menyelinap ke belakang rumah seusai makan malam, ketika para orang tua sudah mulai berkunang-kunang karena mabuk. Mereka berkumpul di rumah tetua—ayah anak lelaki itu—setelah matahari surut. Di hadapan orang-orang, sang tetua seperti ingin menyampaikan sesuatu, sebuah wangsit yang menyusup ke dalam batok kepalanya, tetapi sampai mereka semua tertidur, sang tetua tidak menyampaikan apa pun kecuali memperlihatkan paras wajah murung. Ia baru bisa membuka mulut ketika tak ada satu orang pun yang bisa mendengarkan suaranya. 



Si anak menyelinap keluar rumah pada saat semua orang tua tertidur dan berjingkat-jingkat menemui anak perempuan yang menunggu kedatangannya. Cahaya bulan menerangi gerumbul semak dan setapak yang dilalui kedua anak itu. Ada suara jangkrik, dengkung kodok, gericik air sungai di sebelah sana, dan segala bebunyian malam mengepung mereka. 



“Aku takut ada ular besar menyembul dari semak-semak dan melilitku,” kata si anak perem



puan. “Kau tidak boleh menyebut namanya pada malam hari,” kata si bocah lelaki. 



“Kau harus menyebutnya tali.” 



“Ya, aku takut tali itu muncul dari semak-semak dan melilit leherku,” kata si anak perempuan. 



“Jangan memikirkannya,” kata si anak laki-laki. “Ia akan datang kalau kau terus memikirkannya.” 



“Aku tidak bisa memikirkan yang lain kecuali tali di semak-semak.” 



“Kalau begitu lihatlah bulan di langit dan pikirkan saja bulan itu.” 



Perkampungan makin jauh di belakang mereka. Hutan yang mereka masuki makin lama makin lebat dan penerangan mereka hanya bulan di langit. Beberapa waktu berjalan, mereka tiba di tepi sungai yang membelah hutan. Kini mereka berjalan menyusuri tepian sungai ke arah hulu dan berhenti di sebuah batu sebesar kambing. Di situ mereka duduk, dan menanti. 



Dari kejauhan terdengar jerit monyet. 



“Ia datang,” bisik si anak lelaki. Lalu ia mengeluarkan jerit monyet yang sama. 



Tak berapa lama kemudian seorang lelaki muncul di hadapan mereka, tubuhnya kecil dan umurnya sangat tua. Menurut orang-orang kampung, ia berumur dua ratus tahun lebih. Si anak lelaki ingat ucapan ibunya tentang umur lelaki itu: “Ia sudah setua itu saat kakekmu kanak-kanak.” 



Lelaki itu berdiri beberapa langkah di hadapan mereka, membelakangi bulan di langit. Wajahnya tidak terlihat jelas. Si anak perempuan membayangkan bahwa lelaki itu pasti sudah kehilangan semua gigi di mulutnya, tetapi ternyata suaranya masih terdengar jelas. 



“Kelak, ketika matahari terbenam, mereka akan memusuhi kalian,” katanya. 



“Sebab kalian menyembah ular dan mereka akan menggorok leher orang-orang pedalaman yang menyembah ular.” 



Udara gerah malam itu. Aku bangkit dari kursiku dan mengambil air putih di dapur dan meneguk habis secangkir besar dengan perasaan agak lega. Adegan pertemuan dua anak kecil dan lelaki amat tua di hutan kurasa cukup memuaskan meskipun, apa boleh buat, cerita yang kutulis akan melenceng dari pengalaman yang disampaikan oleh kenalan kawanku. 



Sayup-sayup kudengar suara serak burung gagak. Nenekku meyakini bahwa suara gagak adalah pertanda kematian. Mungkin karena aku sudah mendengar banyak tentang pengalaman hidupnya, dan benakku dipenuhi adegan-adegan peperangan di kampungnya, saat itu juga ingatanku terbang ke lelaki yang menuturkan kisah hidupnya kepadaku. “Sejak saat itu, aku merasa kematian selalu memburuku,” katanya pada pertemuan kedua. 



Aku bangun siang karena sulit tidur semalaman dan segera kutelepon orang itu tetapi gagal. Teleponnya tidak bisa kuhubungi. Lalu aku menelepon kawanku. Tak bisa juga. Baru pada malam hari aku berhasil menghubunginya. 



“Mungkin ia sedang di pesawat ketika kau meneleponnya,” kata kawanku. 



“Ke mana dia?” tanyaku. 



“Ke kampungnya,” katanya, “bekas kampungnya.” 



“Ia pernah bilang selalu terancam. Kenapa kau tak mencegahnya?” 



“Hmm… Aku yang memintanya. Ada barang yang harus ia antarkan ke sana.” 



“Kau melibatkannya dalam bisnismu?” 



“Itu cara yang paling bisa kulakukan untuk membantunya,” kata kawanku. 



“Bagaimanapun ia harus menghidupi dirinya sendiri dan ibunya.” 



“Jadi…,” kata-kataku terhenti beberapa saat. “Kau menjadikannya penyalur film porno?” 



Ia lama tidak menjawab. Kami sama diam. 



“Kau menganggapku seburuk itu?” akhirnya ia bersuara. Nadanya melemah. 



“Bukankah itu benar?” desakku. 



Ia diam lagi, lebih lama. 



“Tidak!” katanya. 



Aku tidak percaya. Aku tidak tahu apakah harus percaya atau tidak kepadanya. Dan aku tak pernah ketemu lagi dengannya sejak itu, juga dengan lelaki kenalannya.

Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga Cerpen Wurung 

CERPEN KUDA OLEH A.S. LAKSANA


kuda putih
image Elba
Perempuan itu menyebutnya kuda. Maka ia merasa dirinya sebagai kuda berbulu putih, kuda yang biasa ditunggangi oleh tokoh utama dalam film-film koboi: agak jinak, tapi pada saatnya bisa berlari tak kenal letih untuk menopang sang penunggang yang harus menyelesaikan tugas berat menghabisi para perampok dan lelaki-lelaki kasar. Ia menyukai gambaran diri yang seperti itu.

“Naiklah ke punggungku,” katanya.

Perempuan itu beringsut, merapatkan dirinya, seperti kucing menggesekkan bulu-bulunya ke kaki majikan. Perempuan itu menggeseknya. Dan ia masih membayangkan dirinya sebagai kuda jantan, putih dan tampan, dan berderap menyusuri padang terbuka. Dengan empat kaki perkasa yang meninggalkan kepulan debu di belakangnya, ia menjelajahi rumput-rumput dan kerikil-kerikil tandus. Suara orang-orang di ruangan judi terdengar sayup-sayup. Di ruangan lainnya, ia berderap menjauh, mengangkut seorang putri di punggungnya, sampai hilang semua suara.

Dinihari ia meninggalkan tempat itu dan tidak muncul pada beberapa malam berikutnya dan baru datang lagi ke sana dua minggu kemudian. Itu kunjungannya yang kedua dan itu kunjungan yang celaka. Alit merasa bahwa rumah judi itu tidak menyenangkan ketika malam kian larut. Ada seorang pendatang baru yang masuk ke ruangan dengan lagak yang akan membuat matamu pedih. Orang itu mengenakan pakaian mewah dan ia sungguh tidak pas dengan pakaian yang dikenakannya. Beberapa orang yang menyertainya menunjukkan tabiat terkutuk. Ketika orang berpakaian mewah itu menyelipkan rokok di bibirnya, tiga orang berebut menyalakan korek api. Alit berharap nyala korek api membakar bibir empal lelaki itu. Dan kemudian lelaki itu marah lalu menghantamkan apa saja yang dipegangnya ke paras para penjilat yang menyertainya. Itu akan menjadi tontonan bagus di arena judi yang mulai terasa tidak menyenangkan.

Lelaki itu penjudi yang baik dan ia segera membuat beberapa orang bangkrut. Lalu perempuan itu muncul, mengenakan gaun yang terbuka hingga ke bagian lembah kedua gunungnya, dan ia merangkul lelaki itu. Alit merasakan nafasnya berat. Perempuan itu menyebutnya kuda dua pekan lalu dan Alit kembali ke tempat itu tetap dengan membayangkan diri sebagai kuda, tetapi perempuan itu seperti tidak melihatnya.

Situasi peperangan merambat pelan-pelan di ruangan, merambat di dada yang sesak. Alit mendengar ringkik setan di telinganya. Ia ingin sekali menjambak perempuan itu atau menarik pakaiannya hingga perempuan itu telanjang bulat. Perempuan itu tampaknya bangga dengan gunung-gunung yang menjulang di dadanya, dan ia suka sekali menggeser-geserkan puncak gunungnya ke lengan atau punggung si lelaki kaya, dan jari-jarinya terus memijit bahu lelaki itu.
Itu bukan pemandangan yang baik bagi lelaki yang mulai bangkrut. Alit menyandarkan punggungnya pada dinding dekat lukisan sembilan ikan di kolam teratai. Lukisan jelek yang konon bisa mendatangkan rezeki berlimpah di ruangan itu. Ia merasakan semak-semak tumbuh di dadanya, ia merasakan rumput-rumput liar dan tanaman berduri menyakiti jantungnya. Mestinya ia keluar dari ruangan itu sebelum dada dan jantungnya koyak-moyak oleh ilalang dan duri-duri yang meliar di dadanya.

Namun ia bertahan, mencoba menenteramkan diri sendiri dengan membuka kancing atas bajunya. Ruangan itu pengap, sesuatu yang tidak dirasakan oleh Alit pada kunjungan sebelumnya, dan asap rokok membuat matanya pedih. Perempuan bergunung menjulang itu membuatnya semakin pedih. Dua pekan lalu perempuan itu menggelendot di dadanya. Malam itu ia bergelayutan di lengan lelaki empal. Dan Alit baru saja bangkrut. Kau tahu, lelaki yang bangkrut di meja judi harus mau menerima nasib terburuknya. Ia bahkan tak bisa berbuat apa-apa terhadap orang di depan mata yang berkhianat kepadanya.

Ia mencoba menenteramkan diri dengan pikiran sekenanya bahwa seorang pengkhianat memang akan selalu berkhianat. Ia lari darimu dan menusuk punggungmu justru pada saat kau bangkrut dan tak berdaya.

Angin dari baling-baling ruangan seperti menghembuskan panas yang menyiksa. Baling-baling besar yang berputar mengeluarkan suara berderit-derit. Alit ingin sekali menyeret perempuan itu dan menggantungnya di sayap baling-baling. Pengkhianat yang memedihkan mata, kau tahu, pantas diperlakukan apa saja.

Alit merasakan tarian serigala di pelupuk matanya, mungkin tarian para jahanam yang mengejeknya. Dan perempuan itu terus menyakiti. Ia memperlihatkan gerak-gerik mesum di depannya. Tetapi Alit mungkin keliru. Jika kau ada di antara mereka, kau akan tahu bahwa sebetulnya perempuan itu nyaris tidak bergerak sama sekali. Ia hanya menggelendot, membelit lengan si pemenang, lelaki kaya yang lagaknya tidak pantas, tetapi Alit telah menafsirkan gerak semacam itu sebagai gerak-gerik mesum yang mengejek kebangkrutannya.

Lelaki yang bangkrut, kautahu, sering membangun dunia yang muram. Sementara perempuan itu bertindak praktis saja; ia tidak peduli pada lelaki yang bangkrut. Ia nyaris tidak pernah mengangkat muka. Alit berharap perempuan itu mengangkat muka dan mereka akan saling bertatapan, mungkin sedetik, dan ia akan melemparkan pandangan yang paling menghina kepada perempuan itu. Mungkin ia akan meludah ke lantai dengan ekspresi berlebihan saat mereka saling bertatapan.

Begitulah, di kepalanya berlangsung segala rencana. Itu membuat Alit merasa kepalanya kian berat dan ia ingin meninggalkan tempat itu, meninggalkan pemandangan yang membuat matanya pedih. Akan tetapi pada saat yang sama ia juga ingin terus bertahan di sana. Ia ingin tahu apa saja yang akan dilakukan oleh perempuan itu selain menggelayuti lengan si lelaki berpakaian mewah. Ia ingin tinggal di sana selamanya, menyaksikan sampai sejauh mana seorang pengkhianat akan memeragakan seluruh tindak-tanduknya.

Dorongan yang saling bertentangan itu membuat kaki-kakinya mengeras dan hawa dingin terasa menjalar dari kakinya, merambati tulang belakangnya, dan ia merasakan kaki-kakinya seperti batang besi yang berkarat, kaku dan ngilu. Ia mencoba melemaskan kekakuan itu dan matanya tertuju pada topeng-topeng hiasan di dinding depannya. Tiba-tiba ia ingin mengenakan topeng yang mana saja. Ia tak sudi menunjukkan tampang yang tersiksa di depan perempuan itu. Ia tahu bahwa saat itu tampangnya mungkin sangat tersiksa. Karena itu ia ingin membungkus wajahnya dengan salah satu topeng yang tergantung di dinding.

Ia mengutuki pikiran yang mengada-ada. Ia mengutuki perempuan itu dalam hatinya. Belum lama perempuan itu menggelayuti lengannya; tetapi perempuan itu sepertimya tidak punya kenangan sama sekali. Hanya berselang dua pekan dan perempuan itu menyebutnya kuda pada pertemuan pertama mereka.

Ini kali kedua Alit mengunjungi tempat itu, dan ia datang dengan cinta berkobar-kobar, dengan tekad yang membakar seluruh dirinya. Ia ingin melarikan perempuan itu, membawanya melintasi padang-padang terbuka, menghirup udara di luar sana. Ia jatuh cinta pada perempuan itu, pada lenguhannya yang pertama, dan ia mengembangkan hasrat penyelamatan yang luhur ketika perempuan itu menggayutkan tangan di lengannya.

“Pergilah bersamaku,” katanya waktu itu.

Perempuan itu mengikik dan membekap mulut lelaki ingusan yang baru sekali itu bertemu dengannya.

“Bukalah bajumu,” kata perempuan itu. “Aku tak bisa berlama-lama.”

Perempuan itu menyebutnya kuda ketika ia membuka bajunya dan ia ingin perempuan itu naik ke punggungnya. Akan dibawanya perempuan itu lari dengan kaki-kakinya yang kokoh dan lincah. Tetapi kini kakinya seperti besi karatan. Dan tekadnya layu seketika. Perempuan itu tak memiliki kenangan.

Dengan langkah yang payah, ketika pemandangan di depannya makin tak tertahankan, Alit akhirnya keluar dari tempat itu. Ia datang lagi besoknya, namun perempuan itu tak ada. Ia keluar tak lama kemudian dengan mulut terkunci rapat-rapat, tetapi hatinya terus meracau. Sebetulnya ia ingin berteriak dan memaki nama perempuan itu sebelum keluar, tetapi ia tidak melakukan apa yang ia inginkan.

Ia sempat pergi sebentar ke kamar kecil tadi, menutup pintunya dan menguncinya. Ia ingat ada cermin rompal di dinding kamar kecil itu. Di sana ia ingin melihat wajahnya sendiri.

Alit mencoba tersenyum di depan cermin tetapi tampangnya sungguh kocar-kacir. Lalu ia benar-benar meninggalkan tempat judi itu tanpa mampu memperbaiki situasi tampangnya. Ia tetap kocar-kacir ketika sampai di rumah dan malam itu tak mudah baginya untuk memejamkan mata. Semalaman ia mendoakan segala kemungkinan terburuk bagi perempuan itu: semoga lelaki dower yang ia gelayuti menulari penyakit ganas yang tak bisa diobati. Semoga ia mati mendadak oleh bibir beracun lelaki itu.

Beberapa hari kemudian, setelah mengumpulkan uang sebisa-bisanya, ia datang lagi ke tempat judi itu. Perempuan yang ia doakan seburuk-buruknya itu tetap tak ada. Beberapa kali selanjutnya ia masih mendatangi tempat itu, tetapi ia tak pernah bertemu lagi dengan perempuan itu. Tiba-tiba terpikir olehnya, mungkin permpuan itu mati, mungkin doanya terkabul dan perempuan itu mati seketika.

Sampai sekarang, hampir dua puluh dua tahun sejak perempuan itu menyebutnya kuda, Alit kadang-kadang masih bertandang ke tempat itu dan ingin menanyakan kabar perempuan itu kepada orang-orang yang dijumpainya di sana. Namun ia tak pernah mengajukan pertanyaan. Ia selalu singgah sebentar ke kamar kecil sebelum meninggalkan tempat itu, mencoba tersenyum, dan mendapati bahwa situasi tampangnya memang sudah tidak bisa diperbaiki.
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga cerpen Dongeng Notradamus

Thursday, June 29, 2017

CERPEN YANG DATANG DARI DUNIA PIKIRAN ANAK-ANAK OLEH YETTI A. KA


sketsa anak perempuan
image Julesplace.com
Menjelang sore Deori berpikir tentang mama yang kembali menjadi seorang bocah. Dalam pikirannya itu, hujan baru saja reda, menyisakan gerimis halus yang cantik. Ia duduk di sudut halaman, sejajar dengan batang mangga apel yang ada di sudut lain, sedang menulis nama salah seorang teman kelas—Maora yang pendiam—di tanah lembab saat dilihatnya sesuatu melayang dari pohon mangga apel sedang berbunga, dan ternyata itu mama yang menjelma seorang bocah. Melihat mama jatuh melayang dari pohon mangga apel, seketika Deori berdiri. Mama? desisnya. Mama? Pipi mama yang bulat, mirip Tinker Bell, memancarkan cahaya berkilau. Rambut panjangnya terurai melewati bahu. Bola mata besar, hitam. Bibirnya tampak merah kenyal. Mengingatkan ia pada permen Yupi. 

Mama melambaikan tangan sekilas. Deori mengembangkan senyum lebar seakan mereka sudah pernah bertemu sebelum ini hingga ia sama sekali tidak merasa canggung atas kemunculan mama sebagai seorang bocah yang terkesan tiba-tiba itu. 

“Hai….” Deori mengangkat tangan yang begitu kotor karena ia baru saja menulis dengan jari-jari tangan yang, biasanya, bila ia melakukannya, membuat mama mengomel seraya menyalahkan bibi Maris kenapa sampai membiarkan ia bertingkah laku liar layaknya anak kampung di belakang perumahan. “Lihat, kuku-kuku ini kotor sekali.” kata mama kemudian, “Jangan ulangi lagi. Kau bukan anak kecil berumur tujuh tahun. Lebih baik kau manfaatkan waktu untuk latihan piano. Nilai bahasa Inggrismu di tempat les juga belum terlalu bagus kemarin, kau harus lebih konsentrasi belajar. Pokoknya prestasimu mesti kaupertahankan. Peringkat kelas mesti kau tingkatkan. Ingat, papamu pasti menyalahkanku kalau kau gagal. Aku bosan berdebat dengan papamu yang sering menyindir kenapa aku harus sibuk-sibuk bekerja di luar. Ada yang salah kalau perempuan ingin maju seperti laki-laki? Papamu kadang picik sekali. Karena itu kau harus mematahkan pendapat papamu.” 

Deori memang paling senang menulis atau menggambar sesuatu dengan jari-jari tangan, terutama jari telunjuk, di tanah yang lembab kala ia sedang merasa kesepian. Paling sering ia menulis nama mama, lalu papa. Kadang-kadang Deori menulis semua nama teman kelasnya. Sebanyak tiga kali ia menulis nama wali kelas ketika ia duduk di kelas dua. Ibu guru paling baik dan tidak pernah marah. Ibu guru itu sering menenangkan Deori bila ia menangis karena bertengkar dengan teman. Selanjutnya, meski jarang, ia juga menggambar matahari lengkap dengan gumpalan-gumpalan awan di sekitarnya. Awan yang ia gambar itu lebih mirip ombak. Deori pernah juga menggambar bunga, burung dan kupu-kupu—ia menyukai semua binatang yang bersayap. 

Selama ini, di rumah, Deori sama sekali tidak punya kawan seumuran. Pintu rumah lebih sering terkunci. Tidak ada anak-anak tetangga yang berani datang. “Kita hidup di kota yang dipenuhi orang-orang jahat,” ujar mama saat Deori katakan ia rindu rumah kakek di kampung, rumah yang pintunya lebar sekali, seperti dua daun raksasa, dan pintu itu lebih sering terbuka. 


Maka kedatangan mama sebagai seorang bocah benar-benar membuat Deori merasakan hari yang berbeda. Bayangkan, betapa itu luar biasa dan siapa yang berani menduga ini bisa terjadi dalam hidupnya. Mereka sama-sama berumur sepuluh tahun. Dalam banyak hal mereka tentu mirip sekali. Tubuh mereka juga sama tinggi. Cara tersenyum mereka sama persis. Mereka bahkan seperti kembar saja. Juga gerakan mama yang lincah—melompat-lompat kecil di bawah mangga apel. Sama persis dengan kebiasan Deori; suka melompat-lompat kecil kala berjalan. 

Dari jarak sepuluh meter Deori dapat melihat kalau mama tidak memakai jam di pergelangan tangannya, juga tentu alarm kecil di saku baju (sebab gaun peach yang ia pakai tidak terlihat memiliki saku). Mama benar-benar membuang semua yang tidak ia sukai darinya saat ia menjadi orang dewasa, menjadi seorang ibu yang kelewat sibuk dengan jam kerja, jam pertemuan, jam keluar kota, dan mama sering tidak sempat menunggu ia keluar dari kamar mandi saat berangkat ke kantor, padahal ia ingin sekali mencium mama yang selalu wangi kayu-kayuan, terutama di pagi hari. Itu menyedihkan sekali bagi seorang anak—bagi Deori.

Tapi kesedihan itu tidak perlu ia rasakan sekarang. Kini mama sungguh-sungguh sedang berdiri tidak jauh darinya. Mama masih melompat-lompat kecil. Tampak riang. Tampak asyik sendiri. Rambutnya yang panjang ikut bergoyang. Dan Deori tetap juga berdiri di tempatnya. Ia senang memerhatikan mama yang seolah-olah baru saja jatuh dari planet lain, kemudian di bumi ia sedikit kebingungan akan melakukan apa, lalu memutuskan bermain-main saja sebagaimana kanak-kanak yang polos. Deori juga suka memerhatikan tiap kali bunga mangga apel berjatuhaan di atas kepala mama, beberapa nempel di rambut, beberapa yang lain terhempas ke tanah. 

Sampai akhirnya mama berhenti melompat-lompat. Melambaikan tangan untuk kedua kali. Deori kembali membalas. Kembali mengembangkan senyum, selebar-lebarnya. 

“Ke sini,” teriak mama. 

Deori tergeragap. Wajahnya bersemu. Ia berjalan mendekat. Setelah dekat, Deori terpesona pada bola mata bocah mama yang sebening sungai perawan (tentang sungai perawan ia hanya pernah menontonnya di televisi, di acara petualangan anak). Deori bisa melihat ikan-ikan kecil melompat, berkejaran, membentuk barisan panjang di sana. Juga daun-daun tua berenang tenang. 

“Kau sendirian ya?” 

“Sering sendirian.” 

“Itu terdengar menyedihkan.”

“Iya. Menyedihkan.”

“Aku mau menjadi temanmu.”

“Pasti menyenangkan.” Deori tertawa, menampakkan gigi-giginya yang putih berkilau. Ia lalu ingat buku hariannya. Buku berwarna biru tua yang ia beri hiasan di pinggir-pinggirnya dan ia simpan di lemari pakaian, di bawah lipatan baju. Dalam buku itu Deori menulis apa saja yang ia bayangkan tentang hari-harinya bersama mama. Tentang ia yang ingin sekali mempunyai semacam kotak di mana ia bisa menyimpan cerita apa pun yang ia lakukan bersama mama. 

Deori membayangkan, dan ditulis di buku itu, di akhir pekan ia pergi ke toko buku bersama mama. Ia mau tahu pendapat mama tentang novel anak-anak karangan siapa yang harus lebih dulu ia beli jika pilihannya Kate Di Camillo, Astrid Lindgren, dan Georgia Bying. Sehabis dari sana, mereka makan ice cream di kafe yang tidak terlalu jauh dari toko buku itu. Deori ingin makan ice cream dengan cokelat yang melimpah. Mama seperti biasa akan memilih rasa vanilla kesukaannya. Kemudian Deori dan mama bercerita macam-macam, dan tidak tentang sekolah. Deori ingin saat-saat seperti itu mereka membicarakan sesuatu yang berbeda dari pembicaraan formal di rumah. 

Deori juga mau mengajak mama pergi nonton bioskop saat ada tayangan film anak-anak. Ia pernah iri sekali mendengar sekelompok anak di sekolah yang membahas tentang pohon cita-cita dalam film Serdadu Kumbang. Berhari-hari ia memikirkannya, membawanya ke tempat tidur, membuatnya ingin menangis. 

Ia juga sering berharap mama menemaninya jalan kaki pagi-pagi pada hari Minggu. Habis berjalan-jalan mereka bisa duduk santai di bangku taman. Seorang pengamen akan datang mendekat, lalu mereka minta pengamen itu menyanyikan beberapa lagu. 

Namun sesungguhnya sesuatu paling sederhana yang sangat ia inginkan adalah mama mau menjadi seorang teman di rumah. Mama memberinya kesempatan memperlihatkan hasil kerajinan tangan yang ia pelajari di sekolah dan ia coba buat sendiri di rumah. Mama mau mendengarkan pendapatnya mengenai bibi Maris yang membosankan dengan segala peraturannya. Mama mau menjadi seseorang yang mengasyikkan. Mama tidak perlu menghabiskan banyak waktu untuk itu, cukup bagian kecil saja dari begitu banyak waktu yang mama punya.

“Aku menulis daftar panjang keinginanku dalam sebuah buku.” Deori menatap mata mama dalam-dalam. Deori belum pernah memandang mata mama sedekat hari ini, setidaknya sejak ia mulai bisa mengingat apa-apa yang ia lalui dalam hidupnya. “Kita bisa melakukannya dari sekarang. Satu demi satu.” Mama meraih tangan Deori. 

“Kita akan pergi ke toko buku? Setelah itu kita pergi makan ice cream? Lalu kita nonton di bioskop?” 

Mata kanak-kanak mama berbinar, “Itu seru sekali.” 

Satu menit Deori seperti terseret dalam mimpi. Perasaan Deori mengapung dan pecah di udara. Kita hidup di kota yang dipenuhi orang-orang jahat, terngiang kembali kata-kata mama. Terbayang juga wajah mama yang selalu tegang, selalu mengisyaratkan kalau mama tidak bisa diganggu, apalagi mengajaknya bermain-main. Waktu mama terlampau berharga, ia harus mengerti itu. Ia tidak boleh membuatnya repot. Tidak boleh meminta sesuatu yang tidak mungkin ia berikan. 

“Sekarang, yuk!” Mama segera menyeret tangan Deori yang dingin. 

Tahu-tahu mereka sudah berada di luar pagar, di jalan yang nanti akan membawa mereka ke jalan yang lebih besar. Mereka bertemu orang-orang. Termasuk juga serombongan anak bertubuh kurus yang tidak suka pakai alas kaki, sedang mengintai layang-layang putus (mungkin anak-anak itu tinggal di kampung belakang perumahan). Mereka meninggalkan anak-anak itu. Mereka berlari-lari kecil. Terus-menerus tertawa. Sebentar lagi kita akan sampai di jalan besar, mama berkata. Deori mulai tidak sabaran tiba di jalan besar yang akan membawa mereka ke toko buku, kafe yang menyediakan ice cream, dan bioskop yang sedang memutar film anak-anak. Jalan yang sebenarnya terlalu sering dilewati mobil yang mengantarkannya ke sekolah atau pergi les atau pergi ke acara ulang tahun teman kelas yang tidak pernah membuatnya gembira (sebab teman-teman di sana sering bercerita tentang mama yang membantu memilihkan kado yang mereka bawa, dan itu terdengar menyakitkan bagi Deori), namun baru sekali ini ia benar-benar akan menapakkan kaki di sana, kemudian berdiri lama-lama di pinggirnya. Melihat kendaraan yang lalu lalang. Menyetop taksi atau angkutan umum. Bersama mama. Bersama mama yang sengaja datang sebagai bocah menyenangkan dari dunia pikirannya. 

“Nah, kita sudah sampai di jalan besar.” Mama menghembuskan napas. Pipi bulatnya memerah. 

Deori terbelalak. Lututnya sedikit bergetar, dan itu membuat ia tidak bisa bergerak beberapa sesaat. Terdiam di tempat. 

Bukan. Bukan padatnya kendaraan yang ia temui, melainkan begitu banyak bocah seusianya di jalan besar itu. Di antara mereka ada Maora, juga beberapa teman kelas lainnya. Semua berwajah merah lembut. Semua sedang bergembira bersama mama yang kembali menjadi bocah. Semua mungkin saja tengah menuju toko buku, lalu akan pergi ke kafe yang menjual ice cream, terus ke bioskop yang sedang memutar film anak-anak. 

Deori segera memutuskan berbalik, pulang—meninggalkan jalan itu. 

Ia berlari kencang dengan air mata berlinang-linang. (*) 

Jalan Enam Mei, 2012
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Tiga Cerita Tentang Lidah

CERPEN SAYA DAN LELAKI YANG MENANGIS OLEH


lelaki menangis
image Telegraph Men
Sudah satu jam ia menangis. Sudah satu jam pula saya hanya memandanginya dengan tatapan mata sama melankolis dengan perasaan seseorang yang telah meminta saya datang menemuinya ini. Saya tahu betul apa yang ia butuhkan, sebagaimana saya tahu keinginan orang-orang yang pernah menghubungi saya, lalu membuat janji bertemu di tempat yang mereka tentukan sendiri (biasanya tempat yang jauh dari keramaian). Dan, bagi saya, ini kali pertama menghadapi seseorang yang menangis selama satu jam dan belum berkata sama sekali, apalagi berteriak-teriak mengeluarkan seluruh kotoran yang mengendap di perasaannya, yang barangkali telah ia simpan berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Lelaki ini hanya betul-betul menangis. Namun begitu, dari cara menangis, saya tahu sesungguhnya ia telah mengalami sesuatu yang berat dalam hidup. Saya tidak akan menanyakan soal itu padanya. Itu bukan urusan saya. Saya dihubungi olehnya untuk menjadi seorang pendengar (bukan seseorang yang menatapnya dengan mata ingin tahu dan bertanya macam-macam). Pekerjaan yang satu tahun ini saya jalani. Ah, jangan berpikir kalau pekerjaan sebagai pendengar itu sesuatu yang mudah. Kalau tidak percaya, cobalah mendengar seseorang berbicara selama sepuluh menit saja tanpa menyelanya apalagi bertanya atau berkomentar, setelah itu kau akan mengerti betapa sulit menjadi seorang saya yang mendengar orang bicara hingga berjam-jam. 


Saya juga tidak tahu siapa nama lelaki ini. Saya memang tidak pernah bertanya tentang nama saat orang menelepon untuk menentukan waktu dan tempat di mana saya akan menjumpainya. Sore kemarin, lelaki muda berwajah oriental ini telah meminta saya menemuinya di padang rumput, tepatnya di bawah pohon akasia, pinggir kota, pukul sepuluh pagi. “Saya memakai t-shirt ungu dan jeans biru,” ujarnya. Tak lupa ia memberikan keterangan lebih detail di mana tepatnya akan menunggu. 



Lalu dengan mudah saya menemukan ia di sini, duduk di atas rumput tanpa alas sama sekali. Wajahnya dingin, terkesan tertutup. Ia tidak tersenyum. Cuma mengangguk kecil saat saya bertanya dengan isyarat sederhana—untuk memastikan saja kalau saya tidak salah orang. Setelah kami duduk berhadapan, ia cepat sekali luruh. Menangis. Mata indahnya basah kuyup. Lelehan air jatuh di pipi dan itu sengaja ia biarkan. Bahu kurusnya terguncang-guncang. Sementara suara tangisnya, menurut saya, sedikit ia tahan. 



Sudah satu jam lewat, lelaki di hadapan saya masih juga menangis dengan cara yang dapat membuat siapa pun yang melihat ingin meraihnya.



*** 



Lelaki di depan saya yang, meski mata mulai terlihat bengkak, tetap saja tampan, mengambil tisu dalam saku celana. Ia mengeluarkan ingus yang memenuhi hidung, membersihkannya dengan tisu, lalu meneruskan tangisnya. Saya tetap duduk, tetap memandangnya. Saya menunggu sampai ia bisa mengatakan sesuatu. Karena saya seorang pendengar, mendapati ia bicara merupakan bagian terpenting dari pekerjaan ini. Saya berharap ia berkata banyak. Banyak sekali. Saya malah ingin ia bicara sambil marah, dengan ekspresi selepas-lepasnya. Bila ia terbiasa menahan semua di hati, ini justru saat yang tepat baginya untuk bersikap berbeda. Bukankah itu gunanya ia menelepon saya dan membuat janji bertemu di padang rumput yang sepi ini? Saya bukan seseorang yang mengenalnya; bukan rekan kerja, bukan teman, bukan saudara atau kenalan. Ia tidak perlu sungkan atau berpikir saya punya kepentingan lain atas apa yang ia bicarakan. Saya bekerja profesional. Setelah menemui seseorang dan mendengar ia bicara mengenai berbagai kejadian pahit dalam hidup, saya tidak pernah memikirkan atau menyimpan semua yang saya dengar itu dalam waktu lama. Seringkali saya segera membuangnya, seperti ia membuang berlembar-lembar tisu sehabis mengelap ingus.



Dua jam sudah, lelaki di hadapan saya terus menangis.



***




Memasuki jam ketiga—saat serombongan anak berseragam sekolah mendekat, dan tampaknya mereka akan duduk-duduk sebentar menikmati pemandangan indah padang rumput ini—lelaki di depan saya mengangkat wajah yang basah. Ia mengeringkan mata, pipi, hidung, mulut dengan tisu yang ia ambil lagi dari saku. Kemudian kami saling bertatapan. Saya mengira, inilah saat ia akan bicara. Saya sudah menduga-duga sendiri, bisa jadi ia bermasalah dengan pacar atau istrinya. Sangat mungkin juga ia dan teman kerja terlibat konflik yang serius di kantor. Atau ia sedang sedih karena berhadapan dengan orang tua yang, menurut ia, tak bisa memahami kehidupannya. 



Semua yang saya pikirkan itu segera buyar ketika lelaki itu berkata, “Sudah selesai. Hati saya sudah ringan dan lebih nyaman sekarang.” 



Ia mengambil amplop dalam tas secara terburu. Lantas menyerahkannya pada saya juga dengan terburu, “Suatu hari saya akan meneleponmu lagi,” ujarnya seraya mengenggam hangat tangan saya—setengah memaksa agar saya menerima kebaikan darinya. 



Saya tetap diam. Ini benar-benar pertama kali saya menemui seseorang yang memakai jasa saya hanya untuk mendengarkan ia menangis sepanjang pertemuan. Tapi setidaknya saya belajar darinya bahwa tangisan itu juga bahasa yang telah banyak sekali menyampaikan sesuatu yang—sangat mungkinlebih luar biasa dari ribuan kata. 



*** 



Setelah lelaki itu pergi, saya tinggal sendirian. Saya yang minta ia pergi lebih dulu. Memang begitu biasanya. Saya butuh waktu beberapa menit mengatur perasaan saya kembali sebelum meninggalkan padang rumput yang sebentar lagi bakal tambah ramai dikunjungi anak-anak yang tinggal di sekitar sini untuk bermain bola dan mencari serangga sepulang sekolah. Saya harus memastikan, ketika naik angkutan kota nanti, perasaan saya mesti sama hijau dan segarnya saat berangkat tadi pagi. 



Sendiri, memandangi padang rumput yang cukup luas membuat hati saya berdesir. Saya memejamkan mata beberapa jenak. Ah, sebenarnya saya tidak pernah membayangkan menjadi seorang pendengar. Sama sekali tidak terbayangkan. Cita-cita saya waktu kecil ingin menjadi pramugari karena setiap hari pesawat melintas di atas atap rumah kami. Itu cita-cita yang sangat keren di mata teman-teman. Hampir semua anak-anak perempuan di sekitar rumah kami memang ingin menjadi pramugari. Lalu saya tidak tahu kapan persisnya saya merubah impian itu, tiba-tiba saya sudah ingin menjadi seorang guru taman kanak-kanak. Betapa luar biasa dalam pikiran saya waktu itu, berdiri di tengah anak-anak yang lincah, menyanyi bersama, menari, mendongeng, membaca, mewarnai gambar, membuat kura-kura dari lilin, menggunting kertas, hingga merayakan ulang tahun bersama. 



Apa yang terjadi kemudian, saya tidak pernah menjadi keduanya. Saya tidak menjadi pramugari, juga gagal menjadi guru taman kanak-kanak. Tamat sekolah menengah atas saya justru menikah dengan lelaki yang tidak saya cintai. Ia anak seorang sahabat keluarga. Saya menyerah saja ketika itu. Bapak dan ibu saya orang miskin. Kami tak punya banyak pilihan. 



Hanya saja, pernikahan itu ternyata babak paling buruk dari kehidupan saya. Suami saya pencemburu. Saya tidak boleh keluar rumah. Saya tidak boleh berbicara dengan lelaki selain dia. Saya tidak boleh melakukan apa-apa selain mengerjakan apa yang ia kehendaki. Ia pun sering berbuat kasar. Tubuh saya pernah disiram air panas. Kepala saya sering dibenturkan ke dinding. Mata saya acap kena pukul, meninggalkan biru tua selama beberapa minggu. Daun telinga kanan saya diiris pada satu malam paling gelap. Hati saya menanggungkan sakit paling sakit. Saya tidak mau menyerah untuk kedua kali. 



Saya tinggalkan lelaki itu. Saya pergi ke kota ini. Saya menata hidup pelan-pelan. Mencoba berbagai pekerjaan, dari babu hingga buruh pabrik. Pada akhirnya, setelah melalui proses yang panjang—bermula ketika saya bertemu ibu tua di taman kota yang menangis seharian sambil bercerita tentang hidup yang hampa—saya memilih menjadi seorang pendengar. Kota besar ini telah membuat banyak orang merasa terasing di keramaian, merasa tidak punya siapa-siapa untuk berbagi rasa sakit. Saya menyediakan hati untuk itu—menjadi seorang pendengar yang tentu pula berbeda dengan seorang psikiater atau psikolog. 



Pekerjaan sebagai seorang pendengar adalah tentang ketulusan. Rasa pengertian yang dalam. Kesabaran tiada batas. Pengalaman hidup membuat saya paham bahwa seseorang yang sedang bersedih atau terluka hanya butuh didengarkan saja, sebab setelah itu, percayalah, ia akan kembali menemukan jalannya sendiri. Jalan yang ia pilih dengan dada dan perasaan yang telah ringan. Dan saya pun tak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi. Saya tersenyum, karena saya tahu mereka pasti menemukan hal-hal termanis di kehidupan yang akan datang. Kau juga percaya itu, bukan?



***



Tapi ah, ini di luar perkiraan ketika dua bulan kemudian saya kembali menemukan ia, saya kembali menemukan ia, lelaki berwajah oriental, menangis sendirian di bangku taman saat saya hendak menemui seorang perempuan yang menelepon dan akan menunggu persis di bangku itu. Saya masih ingat betul kalau lelaki itu memang ia yang saya temui di padang rumput pinggir kota. Ia yang hanya menangis sepanjang pertemuan kami, dan berkata, “Sudah selesai. Hati saya sudah ringan dan lebih nyaman sekarang.” Lelaki yang saya yakini, setelah pertemuan kami itu, bisa melewati kehidupannya dengan lebih baik. Nyatanya, kali ini, saya benar-benar salah. Saya tidak tahan melihat bahu kurusnya terguncang keras. Hati saya terluka. 



Saya berkata pelan, “Kenapa kau tidak menghubungi saya?” sebenarnya saya ingin melanjutkan, tahukah kau, menemukanmu menangis sendirian di bangku taman membuat saya terluka, sebab seolah-olah kau benar-benar tak punya sesiapa lagi di dunia ini. 



Lelaki itu mengangkat wajahnya. Mata sipitnya mengerjap, memandangi saya. Cuma sebentar saja. Setelah itu, ia melanjutkan tangisannya. Saya memutuskan untuk tetap berdiri di hadapan lelaki itu dan saya tidak tahu sejak kapan sudah menangis bersamanya. Ini tidak pernah terjadi. Terlebih dalam kapasitas saya sebagai seorang pendengar. 



Maka kami pun menangis dengan suara yang tertahan-tahan. Kami berbagi rasa pedih yang diam-diam kami pendam. Dan kami tak perlu bicara apa-apa untuk saling tahu penderitaan serupa apa yang dapat melumpuhkan kami di saat-saat tertentu. Sama juga saya tidak tahu sampai kapan saya dan lelaki itu akan menghentikan tangisan yang bisa jadi dianggap konyol oleh beberapa orang yang lewat di depan kami. Bahkan saya juga tidak mengerti kenapa saya tidak terlalu memikirkan perempuan yang menelepon kemarin sore—seseorang yang seharusnya ada di bangku taman ini. Mungkinkah perempuan bersuara gundah itu pindah ke bangku lain karena tidak tega mengusir seorang lelaki yang sedang menangis? Entahlah. Sungguh. Entahlah. (*) 



Padang, 2011

Terima kasih sudah membaca. Semoa bermanfaat. Baca juga cerpen Ia yang Bertemu Malaikat

CERPEN MUSIM GUGUR KE TIGA OLEH WENDOKO


musim gugur
image Baylei
Emma 


Kamar itu buram. Ada cahaya lampu berwarna jingga yang buram. Dinding-dinding kuning-cokelatnya juga buram. Lalu langit-langit yang hitam. 



Tapi perempuan itu sudah terbaring di ranjang. Kepalanya mendongak. Blus sutra yang dikenakannya terbuka pada dada, sementara ia terus menciumi perut perempuan itu. Di samping kepalanya, kaki perempuan itu terangkat, menekuk dan menjejak ke tepi ranjang. Kaki yang mengilat, hampir seperti porselen. Dan perempuan itu tersengal. Selama beberapa saat ia merasakan sensasi yang aneh di punggungnya. Seperti ada kaki-kaki serangga merayap, dan terus menggelitik sampai tengkuk. Tenggorokannya lalu menguarkan bunyi halus, seperti gumam. 



Samar-samar ia menangkap suara dengung, seperti filamen mendengung pada lampu neon. 



Lalu di kamar itu hanya pecahan-pecahan warna. Kuning. Kuning-cokelat. Jingga, mungkin merah. Lalu cokelat-merah, hijau-pudar, dan hitam yang pecah. Warna-warna yang melingkar, terpilin dan berputar. Terpilin dan berputar. Lalu ia seakan terperangkap, sewaktu keempat bidang kamar perlahan mengerut. 



Tapi ia tak ingat kapan mereka di kamar itu. Di ranjang itu. Ia hanya tahu ketika bersama perempuan itu ia seolah dibuntuti warna dan cahaya. Komposisi warna dan gradasi cahaya. Baru beberapa menit lalu mereka berdansa di karpet merah-tua di ruang duduk apartemen itu. Ia memutar Thelonious Monk. Awalnya mereka bergerak agak ragu. Maju, tapi tak teratur. Lalu ketika melodi mengacak, dan muncul nada yang seolah gemerlap di dinding kaca, mereka bergerak ke kiri-kanan, merapat dan meregang. Ketika nada di tengah mengayun dan terjerembab pada bilah-bilah hitam piano, mereka melakukan pirouette atau arabesque. Perempuan itu menaruh tangan di pinggangnya, lalu menjatuhkan diri dengan mengait kaki dan meraih lengan. Dan ia melihat bayang-bayang mereka di dinding kaca, berputar memenuhi ruang dalam bias cahaya, dalam gradasi yang berubah-ubah. Mungkin perempuan itu berpikir ia tak romantis, karena ia memutar Thelonious Monk. 



Tetapi selalu ada komposisi warna dan gradasi cahaya. Seperti ketika mereka bertemu di teras kafe, malam itu. Mereka duduk di bawah payung terpal, di dua meja yang terpisah. Waktu itu hujan baru reda, tapi ada rintik-rintik cahaya yang mengaburkan mata. Gelap melunak sehabis hujan, dan gedung-gedung mematung dalam petak-petak cahaya. Sosok-sosok kelihatan merambat di trotoar. Sosok-sosok dalam bias warna di bawah menara jam, di seberang jalan. 



Waktu itu perempuan itu berka ta, ia menggunakan sedotan yang salah. Tapi ia bersikukuh sudah menggunakan sedotan yang benar. 



“Kau tahu,” katanya, “ada dua macam sedotan. Sedotan pendek dan pipih untuk kopi panas, dan untuk kopi dingin dipakai yang lebih panjang. Dan aku memesan vanilla latte, decaf dan tanpa es.” 



Lalu mereka duduk di satu meja. Lalu ketika malam merambat, di dalam Porsche barunya yang melaju di lengang jalan, ia melihat lampu-lampu dalam gelinjang warna yang mengurai kota. Malam itu kota adalah coretan dan sapuan grafis pada beton dan kaca, tapi kabut halus menghadang, meredupkan lampu di tepi trotoar, di jendela gedung bertingkat, garis lampu di atap, atau menara-menara. 



Atau, ketika mereka memandang ke belantara kota sehabis berdansa. Ketika perempuan itu dengan segelas sherry di tangan, dan mengamati bintik-bintik lampu yang berkelok dan terserak. Mirip sirkuit chip komputer, katanya. Dan ia melihat warna-warna teraduk pada dinding kaca yang basah, karena sisa gerimis yang ditanggalkan hujan. 



Kesadarannya kembali ke kamar yang buram. Pada perempuan yang tersengal dan suara serak seperti erangan. Pada warna kuning. Kuning-cokelat. Jingga, mungkin merah. Cokelat-merah. Hijau-pudar, dan hitam yang pecah. Warna-warna yang melingkar, terpilin dan berputar. Terpilin dan berputar. Kamar itu terus mengerut, lalu melepas…. Ia mulai mencium aroma basah. 



Perempuan itu bernama Emma. . 



Sheila 



Lewat sudut matanya ia memandang perempuan itu: tubuh yang ramping, kulit yang sangat bening, mata yang agak redup, dan bibir yang lembab pada wajah berbentuk bulat. Dan ia mengamati setiap gerak. Perempuan itu mengenakan blus tipis warna delima, rok pendek cokelat, dan rambutnya yang mungkin sebahu diikat ke belakang. 



Ketika itu mereka duduk di meja yang sama. Perempuan itu di depannya, dan sedang menatap ke luar jendela. Lewat jendela, kelihatan awan memecah menjadi serpihan-serpihan. Langit begitu birunya, sebiru laut dengan gelombang-gelombang kecil mengempas pantai. Pantai itu lengang. Tak kelihatan matahari, tapi laut adalah lempeng kaca yang berkilau. 



Dan senja itu adalah pertemuan mereka yang pertama, sejak ia datang ke resor itu. Waktu ia masuk ke kafe di tepi pantai, hampir setengah jam yang lalu, perempuan itu sudah duduk di dekat jendela dan menatap ke luar. Di depan perempuan itu seorang lelaki yang terus merokok. Keduanya terdiam, kelihatan habis bertengkar. 



Di kafe ada tiga perempuan dan dua lelaki paruh baya berceloteh ribut di sudut dekat partisi kayu. Di sudut lain, perempuan berkaos longgar dengan tali bra tersampir ke bahu. Ia kelihatan merajuk. Di depannya perempuan lain yang terus menggerakkan lidah di bawah mulut. Lamat-lamat ada jazz yang lembut, mengayun dengan melankoli dari sisi ke sisi. 



Lalu ia melihat gelas yang terguling. Lalu sebuah jeda, dan lelaki itu menghilang dari kafe. 



“Kau menjatuhkan gelas,” katanya. Ia lalu memungut gelas dari lantai. 



Tetapi ia pernah melihat perempuan itu sebelumnya. Setidaknya dua kali, sampai senja itu. Kali pertama ia melihat perempuan itu adalah di vila di lereng bukit. Waktu itu ia baru tiba di resor, setelah melewati jalan sempit yang cukup untuk dua mobil dengan pemandangan ke arah pantai dan mercusuar. Ia melihat lelaki yang baru saja pergi dan perempuan itu di halaman vila, yang bertaman kaktus. Keduanya bertengkar. 




Lalu kali kedua ia melihat lagi perempuan itu adalah di tepi telaga. Ada sebuah telaga di lereng bukit. Airnya biru-kehijauan, dan diapit gundukan-gundukan batu. Ia bertemu lelaki dan perempuan itu pada suatu senja ketika mereka tengah menyimak suara nyanyian, yang seolah menyeruak dari dasar telaga. 



Ketika itu kuning matahari menyurut. Tapi ada alur miring cahaya menerobos awan, dan bercak-bercak merah menumpuk di sisi langit yang putih-abu. Ketika itu angin menggeriapkan daun-daun yang lepas dengan patuh. 



“Dengar, ia menyanyi….” 



Ia tak tahu siapa yang berbicara, tapi nyanyian itu serupa gaung yang menyelusup di udara berbau daun kering. 



Dan sekarang perempuan itu di depannya. 



“Kau masih ingat suara nyanyian waktu di telaga?” 



Kali ini perempuan itu menatap ke arahnya. 



“Karena legenda itulah aku singgah ke lereng bukit. Kabarnya ada peri di telaga itu, yang menyanyi tiap kali ada pasangan lelaki dan perempuan yang singgah. Kabarnya, waktu malam peri itu kadang duduk di batu-batu sambil mengurai rambutnya yang pirang. Atau, peri itu kadang menyanyi dan berenang di telaga. Kata legenda, kekasihnya mati di telaga. Karena itu pada malam-malam tertentu ada yang ditunggunya di tengah telaga….” 



Perempuan itu mengulum senyum di sudut bibirnya. Senyum yang muncul sekilas, tapi kemudian lenyap. Beberapa saat ia menangkap sesuatu yang hampir glamor. Bayangkan, seperti perempuan yang menjentikkan abu rokok, lalu menatap dengan pandangan sebentar menyala dan seketika padam. 



“Aku ingin tahu seperti apa peri yang mengurai rambut, atau peri yang menyanyi dan mandi di telaga.” 



Suara perempuan itu serak. 



“Kau terdengar sedih….” 



Tetapi detik-detik berjalan lambat di kafe itu. Waktu seperti terperangkap pada keempat sisi dinding, atau jam bandul dengan tiga jarum keperakan yang berdetik dalam sentakan-sentakan kecil. Ketika itu matahari menahan senja. Langit menampakkan galur-galur hitam. Ombak bergulung lebih keras. Camar-camar melintas, berputar, melingkar, dan berputar rendah. 



Dari jendela terbuka ada deru ombak atau angin. 



“Aku tinggal di vila,” kata perempuan itu, “dengan banyak barang tua. Satu-satunya vila dengan taman kaktus. Singgahlah kalau kau punya waktu.” Setelah perempuan itu pergi, ia melihat matahari menyepuhkan warna emas pudar ke muka laut. 



Ia baru datang ke vila dua hari kemudian. 



Tapi tak ada barang tua di vila itu. Mereka lalu bergelut di ranjang. Perempuan itu menggeliat dan tersengal. Menggeliat dan tersengal. Dan ia serasa berenang di telaga, dan mencumbu peri di dasar telaga. Mereka bercumbu, dan rambut peri yang pirang melilit tubuhnya. Mereka berputar, dan berputar. Tapi ia selalu ingin di atas, di tengah-tengah air telaga yang kebiruan. Bukan hijau seperti yang tampak di permukaan. 



Lalu ada yang terlecuti dari hati, dan menyisakan kejernihan sebening pagi. 



“Ada dua merpati di kafe, hari itu….” “Tak mungkin ada merpati di pantai.” 



Ia menyangkal. Tetapi ia akan mengingat meja dari kayu ek, dan setangkai aster kuning dalam vas. Kelopaknya berjatuhan di meja. Sinar matahari yang menyorot dari tirai, dan membentuk cahaya prisma di teko kaca. Dua pot pakis yang menggantung di samping tirai, lalu rak kayu di sisi kanan ruangan, berisi buku-buku yang dijejer menurut ukuran. 



“Ada dua merpati di kafe. Salah satunya mengikutiku ke vila.” 



“Aku tak melihat merpati.” 



“Lalu kau datang….” 



Perempuan itu bernama Sheila. . 



Naomi 



Mula-mula ia teringat koridor yang lengang dengan dinding-dinding lengkung dan pilar. Dinding-dinding yang mengusam, dengan warna seperti sisa nikotin di lekukan gigi. Lalu sebuah stasiun, yang juga lengang. Senja itu berkabut, dan ia baru saja turun dari kereta. 



Lalu ia teringat trotoar yang kosong. Lampu lalu lintas yang menyala bergantian, dan sebuah Ford melaju pelan, membelah kabut dengan lampu menyala dan jendela terbuka. Saat itulah ia melihat perempuan itu untuk pertama kali. 



“Ada hotel di sekitar sini?” tanyanya. 



“Satu blok dari stasiun, ke arah kanan.” Hotel itu, sebuah bangunan kolonial yang terpelihara, beratap tropis dengan banyak ornamen kotak di bawahnya. Dindingnya bercat krem muda, dengan jendela-jendela tegak-memanjang. Tapi lobi dan koridor hotel agak remang. 



Ia baru melihat lagi perempuan itu waktu sarapan. 



“Hei, kita pernah bertemu. Sungguh mengesankan!” 



“Kenapa mengesankan?” 



v “Karena kita di hotel yang sama. Karena aku bisa saja ke hotel lain. Tapi aku memilih ke mari, sebab ada pemandangan ke danau.” 



Ia menunjuk ke jendela, ke arah danau di belakang hotel. 



“Aku tak bisa terus ke kota,” kata perempuan itu. “Mungkin akan ada badai kabut.” 



Pagi itu mereka sarapan di meja yang sama. Ia memesan beef burger di atas selada. Perempuan itu roti dan chicken salad. Baru saat itu ia menyadari, perempuan itu bertubuh ramping. Tubuh dengan kulit sangat bening, mata agak sipit, hidung lancip dan wajah oval. 



Tetapi setelah itu, selama tiga hari mereka terkurung. Tengah hari badai kabut turun menutup area hotel. Juga jalan-jalan dan pemandangan ke danau. Lewat jendela tegak-memanjang ia melihat danau dengan pepohonan yang buram, seolah terbalut warna putih keruh dan bayang-bayang mengapung. 



v Senja itu mereka di lounge hotel, yang juga bercahaya remang. Ada perempuan bermata besar dan berambut jerami di ruang itu. Lalu anak perempuan dengan rok pendek dan jaket kotak-kotak. Lelaki kurus berambut cokelat kusut di dekat jendela, yang mengunyah tusuk gigi di sudut mulut. Di sampingnya perempuan dengan syal dan blus abu-abu dan kacamata baca yang kelihatan berembun. 



“Kau tahu,” katanya, “sekarang tak banyak orang peduli pada matahari terbenam. Tapi aku menyinggahi kota-kota, banyak kota, hanya untuk memotret matahari terbenam.” 



“Kenapa?” 



“Karena aku mencari matahari terbenam. Tepatnya panorama matahari terbenam yang paling indah. Seperti ketika langit adalah layar dalam pijar-pijar warna. Atau ketika senja memecah, matahari retak-retak, dan ada cahaya redup di sekitar matahari.” 



Hari kedua, di lounge yang sama…. 



“…. Tapi aku tak bisa mengabaikan warna dan rupa. Tidak seperti suara. Aku bisa tak peduli atau tak menyimak bunyi-bunyian laut waktu di pantai. Atau suara-suara ketika malam. Tapi warna dan rupa, aku tak bisa menolaknya.” 



Ketika itu dari jendela kelihatan kabut membuncah, menutup langit dan menelan cahaya. Ada bayang-bayang, yang menggeletar. Gerimis memukuli kaca, dan perlahan ia mulai meresapi keheningan. Di lounge itu jam bandul berdetak-detak. Lidah api mengayun-ayun di pemanas, dengan bunyi gerit seolah kristal yang pecah. Lalu sebuah bossa, dan suara perempuan berceloteh di latar belakang. 



Lalu hari ketiga…. 



“Aku suka matamu,” katanya, “karena menyiratkan kekosongan. Juga kejernihan. Ada yang membuatku terperangah. Contohnya sekarang. Aku terpesona pada keheningan.” 



Ia tak tahu, kenapa malam itu ia mulai bicara tentang hal-hal yang mengandung melankoli. Malam itu ia meninggalkan cangkirnya setengah isi di meja. Ia mengantar perempuan itu sampai ke pintu kamar. Tetapi di kamarnya sendiri, ia menutup dan membuka pintu. Lalu berulang kali mematikan dan menyalakan lampu. Ia berbaring menengadah, pada keempat sudut di langit-langit atau detail cornice di tepi dinding. Akhirnya ia terlelap. Dan terbangun ketika matahari menerobos bingkai jendela. 



Di luar badai kabut mereda. Ia membuka jendela, dan mencium aroma angin bercampur bunga lemon. Embun tampak memercik ke pepucuk daun, pohon kurus tak berdaun dengan lumut di lengan-lengan pohon, lalu rumput-rumput. Pagi seperti diurapi matahari. Ada juga bau kambium, yang meruap bersama sisa kabut. Kelihatan danau yang bening, sewaktu cahaya menjelma kilau di muka air. 



Rupanya ia lupa menutup gorden semalam, dan tidur dengan memakai jins dan sweater hitam. 



Di lobi hotel ia memesan buket bunga. 



“Tapi perempuan itu sudah check out, tadi jam delapan,” kata lelaki paruh baya di belakang meja resepsionis. 



Lalu ia tinggal merasakan kekosongan untuk waktu yang lama. Mungkin kekosongan yang menyiratkan kejernihan. Atau keheningan, seperti mata perempuan itu. Ia masih singgah ke kota-kota, banyak kota, dan memotret matahari terbenam. Sampai empat bulan kemudian. Sampai ia melihat lagi perempuan itu di sebuah pedestrian. Di suatu kota pada suatu senja, ketika langit masih menyisakan warna jingga. 



Waktu itu pertengahan musim gugur. 



“Hei, kebetulan sekali!” 



“Kau percaya pada kebetulan, rupanya,” kata perempuan itu. 



“Senang bertemu lagi.” 



“Kau masih mencari matahari terbenam?” 



“Ya. Tapi aku terus bertanya-tanya. Kenapa kau pergi pagi itu, bahkan tak mengucapkan selamat tinggal?” 



“Aku menunggumu sepanjang malam itu….” 



Dan ia memandang ke wajah itu. Ke mata yang agak sipit, kulit yang sangat bening, dan hidung lancip pada wajah yang oval. Lalu ia tahu, senja dengan perempuan itu adalah panorama senja yang paling indah. 



Perempuan itu Naomi.

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Hantu Seriman