image wildflower |
KATA TERAKHIR
Aku mencari nama
yang selalu sembunyi
di balik lipatan kainmu.
Aku mencari debar
yang tak lagi bersekutu
dengan merah jantungmu.
Aku mencari lapar
yang tumbuh malu-malu
pada bulir-bulir padimu.
Aku mencari sisa hujan
seraya menyala ragu-ragu
di bawah tumpukan abumu.
Melalui seribu celah
aku hanya memasukimu
tapi tak menemukanmu.
Cinta adalah kata terakhir
yang tergelincir di lidahku
tak mampu mengucapkanmu.
APEL DAN ROTI
Di balik dua butir apel selalu ada sekeping matahari
Hijau, sehingga pisaumu tentu akan tersipu malu
Menatap merah yang selalu padam itu.
Di antara dua potong roti selalu ada selapis jantung
Kuning, sehingga lidahmu pasti akan berhenti
Sebelum mencapai putih yang menyala itu.
Di antara hijau dan kuning selalu ada ekor rubah
Abu-abu, yang empunya hanya mampu bertahan
Di balik gaunmu, sebelum menerkam sajakku.
Di antara perutmu dan piring yang termangu, lapar
Bisa juga bernama bianglala, yang segera berakhir
Ketika aku menumpahkan sajakku ke mejamu.
Sungguh lapar dan birahi tak akan terlihat oleh mata
Yang tersembunyi dalam sajakku yang terlalu lama
Tersimpan dalam lemari es di sudut dapurmu
Di luas meja yang telanjur basah oleh umpama itu
Terkecoh oleh si matahari dan si jantung, rubahmu
Makan hitam berulam mata. Mataku barangkali.
Di balik dua butir apel selalu ada sekeping matahari
Hijau, sehingga pisaumu tentu akan tersipu malu
Menatap merah yang selalu padam itu.
Di antara dua potong roti selalu ada selapis jantung
Kuning, sehingga lidahmu pasti akan berhenti
Sebelum mencapai putih yang menyala itu.
Di antara hijau dan kuning selalu ada ekor rubah
Abu-abu, yang empunya hanya mampu bertahan
Di balik gaunmu, sebelum menerkam sajakku.
Di antara perutmu dan piring yang termangu, lapar
Bisa juga bernama bianglala, yang segera berakhir
Ketika aku menumpahkan sajakku ke mejamu.
Sungguh lapar dan birahi tak akan terlihat oleh mata
Yang tersembunyi dalam sajakku yang terlalu lama
Tersimpan dalam lemari es di sudut dapurmu
Di luas meja yang telanjur basah oleh umpama itu
Terkecoh oleh si matahari dan si jantung, rubahmu
Makan hitam berulam mata. Mataku barangkali.
CINTA DEKAT PULAU
Di jalan menuju biru
si dara mahir berlagu:
“Kuperam gempa di perutmu,
kusadap api di kerucutmu.”
Di jalan menuju jingga
si bujang membuka peta:
“Kusesap laut berhati muda,
kupagut pulau bermata dua.”
Ketika sirip hiu
menggores lunas perahu
kauusap ujung batangku
hingga habis ngilu.
Di jalan menuju lagu
derap kaki sang bujang-dara
menyerakkan putih terumbu
ke luas jantung yang berbisa.
Ketika kulit sagu
mencapai matahari
kututupi buah dadamu
dengan biji kenari.
Di jalan menuju biru
si dara mahir berlagu:
“Kuperam gempa di perutmu,
kusadap api di kerucutmu.”
Di jalan menuju jingga
si bujang membuka peta:
“Kusesap laut berhati muda,
kupagut pulau bermata dua.”
Ketika sirip hiu
menggores lunas perahu
kauusap ujung batangku
hingga habis ngilu.
Di jalan menuju lagu
derap kaki sang bujang-dara
menyerakkan putih terumbu
ke luas jantung yang berbisa.
Ketika kulit sagu
mencapai matahari
kututupi buah dadamu
dengan biji kenari.
ARUS
Kau mengarus dari hulu hati
seperti sungai pertama di bumi.
Aku perenang buta di tepianmu
membentur batu majal kasihmu.
Wajahmu terjatuh ke wajahku
seperti riam menghidupi batu.
Dan putih riam seperti sisa bara
mencari sekam sayang ke laut raya.
Lubukku adalah cermin pertama—
di mana wajahmu menggapai luka
di mana belati mencari tajamnya
di mana sungai melepas putihnya.
Kau menjauh dari hulu hati
seperti sungai terakhir di bumi.
Aku rajin menuntunmu ke laut raya
padahal kau lesap di padang sabana.
Kau mengarus dari hulu hati
seperti sungai pertama di bumi.
Aku perenang buta di tepianmu
membentur batu majal kasihmu.
Wajahmu terjatuh ke wajahku
seperti riam menghidupi batu.
Dan putih riam seperti sisa bara
mencari sekam sayang ke laut raya.
Lubukku adalah cermin pertama—
di mana wajahmu menggapai luka
di mana belati mencari tajamnya
di mana sungai melepas putihnya.
Kau menjauh dari hulu hati
seperti sungai terakhir di bumi.
Aku rajin menuntunmu ke laut raya
padahal kau lesap di padang sabana.
LAZAR
Jangan renggut kematian dariku,
Aku tengah berusaha memilikinya.
Tolong tutup lagi pintu mausoleum ini,
Sebab terang di luar sana hanya milikmu.
Pasti kudengar langkah kakimu ke mari.
(Kau belum pernah melayatku, bukan?)
Namun jika aku mampu bangkit bahkan
Dalam kafan yang mulai terasa sejuk ini,
Yeshua, bukanlah aku juru selamatmu.
Jangan renggut kematian dariku,
Aku tengah berusaha memilikinya.
Tolong tutup lagi pintu mausoleum ini,
Sebab terang di luar sana hanya milikmu.
Pasti kudengar langkah kakimu ke mari.
(Kau belum pernah melayatku, bukan?)
Namun jika aku mampu bangkit bahkan
Dalam kafan yang mulai terasa sejuk ini,
Yeshua, bukanlah aku juru selamatmu.
INSOMNIA
Insomnia adalah
jalan menuju pagi
yang tak pernah
sampai kepada pagi.
Kau di dalam mimpi
dan aku di luar mimpi—
berebut gambar matahari
yang tak jadi-jadi.
Insomnia adalah
jalan menuju pagi
yang tertutup gaunmu—
gaun tanpa tepi.
Kautanya, “Siapakah malam?”
Dan sambil memeluk jarum jam
kujawab, “Malam adalah pelupuk mata
yang mencari bola mata!”
Insomnia adalah
jalan antara kau dan aku
di mana cinta berjaga-jaga
menanti jantung paling biru.
Insomnia adalah
jalan menuju pagi
yang tak pernah
sampai kepada pagi.
Kau di dalam mimpi
dan aku di luar mimpi—
berebut gambar matahari
yang tak jadi-jadi.
Insomnia adalah
jalan menuju pagi
yang tertutup gaunmu—
gaun tanpa tepi.
Kautanya, “Siapakah malam?”
Dan sambil memeluk jarum jam
kujawab, “Malam adalah pelupuk mata
yang mencari bola mata!”
Insomnia adalah
jalan antara kau dan aku
di mana cinta berjaga-jaga
menanti jantung paling biru.
TULISAN PADA NISAN
Kuucapkan selamat tinggal kepadanya,
Meski aku tetap terjatuh ke haribaannya.
Kukenakan pakaian panjang putih. Supaya ia
Leluasa menodaiku. Mungkin menghitamkanku.
Masih ada bercak darah kubawa, ternyata.
Ia berkata seseorang menembakku di Gaza.
Ia bertanya kenapa aku bergegas ke mari.
Kujawab tidak. Sudah kulupakan matahari,
Sebab terang bukan milikku dan percayalah
Namaku telanjur terpahat di batu gamping ini.
Ia bumi, bukan? Aku belajar mencintainya
Ketika kalian berebut wajahnya nun di atasku.
Baca: Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono
Kuucapkan selamat tinggal kepadanya,
Meski aku tetap terjatuh ke haribaannya.
Kukenakan pakaian panjang putih. Supaya ia
Leluasa menodaiku. Mungkin menghitamkanku.
Masih ada bercak darah kubawa, ternyata.
Ia berkata seseorang menembakku di Gaza.
Ia bertanya kenapa aku bergegas ke mari.
Kujawab tidak. Sudah kulupakan matahari,
Sebab terang bukan milikku dan percayalah
Namaku telanjur terpahat di batu gamping ini.
Ia bumi, bukan? Aku belajar mencintainya
Ketika kalian berebut wajahnya nun di atasku.
Baca: Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono
JALAN KE VIGNOLE
Berjam-jam (tidak, barangkali juga berabad-abad)
Aku dan kaum jemaat itu sabar menunggu di Giudecca
Si tukang perahu yang akan mendamparkan kami
Ke sebuah pulau yang dilahirkan matahari
Pastilah ia akan benar-benar serupa
Dengan si pemberontak yang dihukum mati
Di Golgotha, ketika umurnya baru 33. (Tetapi
Ia bangkit pada hari ketiga.) ”Tak ada
Pendayung ulung serupa itu di sini,”
Kata seorang lelaki berkuda, angkuh
Dan beku dalam baju zirahnya
Berabad-abad, seakan pasukan Turki
Akan selalu menyerbu ke mari. Dan jawabku:
“Colleoni, kamilah para penyerbu terkini
Tapi kami tak membunuh pulau-pulaumu.”
Ya, aku telah membinasakan barisan mobil
Pakaian seragam, jalanan aspal, kitiran besi.
Kepalaku penuh abu, embun dan maut
Ketika aku terbangun di bawah pohon palma
Di dunia yang baru saja ditorehkan Carpaccio:
aku pun bangkit bersama iringan jemaat berjubah
(Yang baru saja menguburkan Santo Jarome)
Merayap di lelurung berbau kemih anjing
Muntah di teras lapang aneka basilika
Dengan tubuh hijau lebam kami rubuh lagi
Di antara meja-kursi di Paizza San Marco
Dan seekor singa bersayap menggeram:
”Pergilah kalian para pemabuk jahanam,
Bertobatlah hanya sebelum tiba malam.”
Maka terdamparlah kami di muara amis itu:
“Persetan dengan si tukang perahu!”
Tapi sebuah perahu besar tiba-tiba
Merenggutkan kami dari kabut muram lena.
Melewati pekuburan yang dilindungi ombak
Kami terhadang hantu Pound dan Stravinsky
Padahal sudah lama kami membenci musik dan puisi
Yang pasti bukan bagian dari penyelamatan kami
Yang cuma hiburan jika kami sampai di neraka nanti.
Musim semi menggosok tangan kami
Yang perlahan terlihat seperti sayap
Tidak, sungguh kami tak ingin terbang,
Kami tak pernah bersekutu dengan Gabriel,
Kami suka mengukur laut dengan jengkalan.
”Pesiarkah, atau pembuangankah ini?”
Tanya dua belas orang di antara kami
Yang tiba-tiba mirip serdadu Roma, seraya
Mengeluarkan palu dan paku dari saku
Kami akan segera sampai di pulau matahari itu
Untuk menghajar berpiring ikan mentah
Dengan baluran minyak zaitun dan cuka
Dengan roti gandum coklat dan anggur merah tua.
Kemudian di anatra rerumpun asparaga
Kami akan memilih perawan paling murni
Untuk berlama-lama mendoakan kami
Agar kami segera menemukan pemberontak itu
Yang kukira menyamar sebagai si tukang perahu.
Padahal ia bekerja sebagai koki di restoran tujuan kami:
Pastilah ia tengah melubangi kedua telapak tangannya
Dan mengucurkan darahnya ke hidangan siang kami.
Berjam-jam (tidak, barangkali juga berabad-abad)
Aku dan kaum jemaat itu sabar menunggu di Giudecca
Si tukang perahu yang akan mendamparkan kami
Ke sebuah pulau yang dilahirkan matahari
Pastilah ia akan benar-benar serupa
Dengan si pemberontak yang dihukum mati
Di Golgotha, ketika umurnya baru 33. (Tetapi
Ia bangkit pada hari ketiga.) ”Tak ada
Pendayung ulung serupa itu di sini,”
Kata seorang lelaki berkuda, angkuh
Dan beku dalam baju zirahnya
Berabad-abad, seakan pasukan Turki
Akan selalu menyerbu ke mari. Dan jawabku:
“Colleoni, kamilah para penyerbu terkini
Tapi kami tak membunuh pulau-pulaumu.”
Ya, aku telah membinasakan barisan mobil
Pakaian seragam, jalanan aspal, kitiran besi.
Kepalaku penuh abu, embun dan maut
Ketika aku terbangun di bawah pohon palma
Di dunia yang baru saja ditorehkan Carpaccio:
aku pun bangkit bersama iringan jemaat berjubah
(Yang baru saja menguburkan Santo Jarome)
Merayap di lelurung berbau kemih anjing
Muntah di teras lapang aneka basilika
Dengan tubuh hijau lebam kami rubuh lagi
Di antara meja-kursi di Paizza San Marco
Dan seekor singa bersayap menggeram:
”Pergilah kalian para pemabuk jahanam,
Bertobatlah hanya sebelum tiba malam.”
Maka terdamparlah kami di muara amis itu:
“Persetan dengan si tukang perahu!”
Tapi sebuah perahu besar tiba-tiba
Merenggutkan kami dari kabut muram lena.
Melewati pekuburan yang dilindungi ombak
Kami terhadang hantu Pound dan Stravinsky
Padahal sudah lama kami membenci musik dan puisi
Yang pasti bukan bagian dari penyelamatan kami
Yang cuma hiburan jika kami sampai di neraka nanti.
Musim semi menggosok tangan kami
Yang perlahan terlihat seperti sayap
Tidak, sungguh kami tak ingin terbang,
Kami tak pernah bersekutu dengan Gabriel,
Kami suka mengukur laut dengan jengkalan.
”Pesiarkah, atau pembuangankah ini?”
Tanya dua belas orang di antara kami
Yang tiba-tiba mirip serdadu Roma, seraya
Mengeluarkan palu dan paku dari saku
Kami akan segera sampai di pulau matahari itu
Untuk menghajar berpiring ikan mentah
Dengan baluran minyak zaitun dan cuka
Dengan roti gandum coklat dan anggur merah tua.
Kemudian di anatra rerumpun asparaga
Kami akan memilih perawan paling murni
Untuk berlama-lama mendoakan kami
Agar kami segera menemukan pemberontak itu
Yang kukira menyamar sebagai si tukang perahu.
Padahal ia bekerja sebagai koki di restoran tujuan kami:
Pastilah ia tengah melubangi kedua telapak tangannya
Dan mengucurkan darahnya ke hidangan siang kami.
SETIAP TENGAH MALAM
Setiap tengah malam, bunyi serunai kereta api pengangkut batubara
Mendesak gendang telinganya. Tengah malam ketika ia merasa mesti
Meminum segelas susu, sebelum menyelamatkan ke dalam mimpinya—
Menyelamatkan, misalnya, warna merah pangkal sayap burunghitam
Atau ceceran darah rakun yang mati terlindas sia-sia di jalan raya –
Sudah tiga musim begini, dan ia tetap saja tak mampu memastikan
Rangkaian gerbong terbuka yang merayap sopan itu melewati depan
Ataukah belakang rumahnya. Dan ia berharap si masinis selalu belia.
Setiap tengah malam, bunyi serunai kereta api pengangkut batubara
Mendesak gendang telinganya. Tengah malam ketika ia merasa mesti
Meminum segelas susu, sebelum menyelamatkan ke dalam mimpinya—
Menyelamatkan, misalnya, warna merah pangkal sayap burunghitam
Atau ceceran darah rakun yang mati terlindas sia-sia di jalan raya –
Sudah tiga musim begini, dan ia tetap saja tak mampu memastikan
Rangkaian gerbong terbuka yang merayap sopan itu melewati depan
Ataukah belakang rumahnya. Dan ia berharap si masinis selalu belia.
KUINTET
Namaku piano, dan bebilahku lelah oleh jemarimu.
Namaku klarinet, dan mulutku mencurigai mulutmu.
Aku teramat haus, tapi telingamu hanya menatapku.
Baiklah, di bawah sorot lampu akan kupuja sepatumu.
Di depan kita, mereka yang hanya membawa bola mata
Mengira kita pasangan yang serasi meninggi menari.
Tapi namaku biolin, dan betapa dawaiku sudah beruban.
Dan kau masih hijau, masih menghapal khazanah lagu.
Mereka bertepuk tangan ketika terhunus pisau tiba-tiba
Dari balik lambungku, siap menyadap madu di lehermu.
Ternyata namaku kontrabas, dan aku jirih pada pujian.
Mereka memacuku ke puncak penuh karangan kembang.
Maka namaku masih marimba, dan kuseret kau ke danau.
Di mana si komponis buta rajin mencuci telinga mereka.
Semoga kumpulan puisi ini dapat menambah wawasan anda dalam dunia sastra dan lebih banyak mengenal sastrawan Indonesia. Baca juga cerpen Sesaat Sebelum Berangkat Oleh Puthut EA
Namaku piano, dan bebilahku lelah oleh jemarimu.
Namaku klarinet, dan mulutku mencurigai mulutmu.
Aku teramat haus, tapi telingamu hanya menatapku.
Baiklah, di bawah sorot lampu akan kupuja sepatumu.
Di depan kita, mereka yang hanya membawa bola mata
Mengira kita pasangan yang serasi meninggi menari.
Tapi namaku biolin, dan betapa dawaiku sudah beruban.
Dan kau masih hijau, masih menghapal khazanah lagu.
Mereka bertepuk tangan ketika terhunus pisau tiba-tiba
Dari balik lambungku, siap menyadap madu di lehermu.
Ternyata namaku kontrabas, dan aku jirih pada pujian.
Mereka memacuku ke puncak penuh karangan kembang.
Maka namaku masih marimba, dan kuseret kau ke danau.
Di mana si komponis buta rajin mencuci telinga mereka.
Semoga kumpulan puisi ini dapat menambah wawasan anda dalam dunia sastra dan lebih banyak mengenal sastrawan Indonesia. Baca juga cerpen Sesaat Sebelum Berangkat Oleh Puthut EA
No comments:
Post a Comment