image Panda Surya |
Mungkin seperti mendung itu
merunduk dari punggung gunung
cepat diterpa angin turun
menyergap kota
dalam hening
Begitu pun maut nanti
merunduk dari balik pintu waktu
di kamar tibatiba ketika senja
menyergap aku
dalam terbaring
LAGU TANAH AIRKU
Sudahkah kau dengar lagu berjuta nada
Lagu tanah airku yang menggema di seluruh dunia
Dengarkanlah merdu suaranya
Dengarkanlah indah suaranya
Masinis melagu bersama gemuruh mesin tukang kayu
berdendang ditingkah gergaji makan papan
tukang batu bernyanyi bersama semen memeluk bata
nakoda senandung menyanjung ombak menelan haluan
tukang sepatu berlagu mengiring palu menghantam paku
penebang pohon berdendang bersama gema kapak
dalam hutan petani nembang di atas bajak
berjemur di lumpur
betapa merdu lagu tanah airku
meletus nyanyi di pagi hari
menegang di rembang
siang melenyap di senja senyap
bila malam mengembang ibu nembang
tidurlah berlepas lelah anakku sayang
lampu bumi bawa mimpi damai dunia
esok masih ada kerja untuk nusa dan bangsa
Sudahkah kau dengar lagu berjuta nada
Lagu tanah airku yang menggema di seluruh dunia
Dengarkanlah merdu suaranya
Dengarkanlah indah suaranya
Masinis melagu bersama gemuruh mesin tukang kayu
berdendang ditingkah gergaji makan papan
tukang batu bernyanyi bersama semen memeluk bata
nakoda senandung menyanjung ombak menelan haluan
tukang sepatu berlagu mengiring palu menghantam paku
penebang pohon berdendang bersama gema kapak
dalam hutan petani nembang di atas bajak
berjemur di lumpur
betapa merdu lagu tanah airku
meletus nyanyi di pagi hari
menegang di rembang
siang melenyap di senja senyap
bila malam mengembang ibu nembang
tidurlah berlepas lelah anakku sayang
lampu bumi bawa mimpi damai dunia
esok masih ada kerja untuk nusa dan bangsa
KETIKA MANCING
Pagi bening begini hening
di tepi rawa pening
betapa senang mancing
plung kulempar kail berumpan cacing
Cuma sebentar
ikan telah menyambar
tersangkut di ujung pancing menggelepar
di pangkal siang ikan ikan lapar
Siapa tak betah
terlingkung gunung sangat indah
ya illahi kauberi juga aku hiburan hari ini
di sebelah lembah begini sepi
Pagi bening begini hening
di tepi rawa pening
betapa senang mancing
plung kulempar kail berumpan cacing
Cuma sebentar
ikan telah menyambar
tersangkut di ujung pancing menggelepar
di pangkal siang ikan ikan lapar
Siapa tak betah
terlingkung gunung sangat indah
ya illahi kauberi juga aku hiburan hari ini
di sebelah lembah begini sepi
KETIKA BERDIRI DI SINI
Ah terbayang masa mudaku dulu
bersama orang tua hidup di kaki gunung membiru
sementara bapak nembang pangkur di tengah sawah membajak
aku istirah di pematang sempat membuat sajak
Kini memandang bulir padi runduk bergoyangan
di pinggir rawa pening begini sepi
sementara mengusir burung beterbangan
di sekerat bumi ini aku ingin memetiki puisi
Ah terbayang masa mudaku dulu
bersama orang tua hidup di kaki gunung membiru
sementara bapak nembang pangkur di tengah sawah membajak
aku istirah di pematang sempat membuat sajak
Kini memandang bulir padi runduk bergoyangan
di pinggir rawa pening begini sepi
sementara mengusir burung beterbangan
di sekerat bumi ini aku ingin memetiki puisi
KETIKA MENGIKUTI ANGAN
Kitri
mari kita tebas tumbuhan rawa begitu subur
biar akarnya tidak mencakar dasar lungsur
Kitri
mari kita keruk segenap lumpur
biar hidup kita lebih makmur
Kitri
mari kita tabur benih ikan
biar berbesaran dan berbiakan
Kitri
mari kita kerja sementara menanti musim tiba
biar anak anak kita menjaringi hasilnya
Kitri
usulku betapa indah
mengangguklah
Kitri
mari kita tebas tumbuhan rawa begitu subur
biar akarnya tidak mencakar dasar lungsur
Kitri
mari kita keruk segenap lumpur
biar hidup kita lebih makmur
Kitri
mari kita tabur benih ikan
biar berbesaran dan berbiakan
Kitri
mari kita kerja sementara menanti musim tiba
biar anak anak kita menjaringi hasilnya
Kitri
usulku betapa indah
mengangguklah
DALAM RINDU
Ambarawa sudah jauh di bawah
udara dingin jenuh menjamah
masihkah hatimu kemelut
sebab bumi tersaput kabut
Sementara menanti mentari bersinar
marilah kita diam sebentar
mengisi rongga sepi
menangkap bahasa sunyi
Nah kau dengarkah
risik bumi
angin menyibak ampakampak
turun dari puncak bukit biru
Nah kau dengarkah
risik hati
meningkah batin bergolak
seberkas rasa mengorak rindu
Ambarawa sudah jauh di bawah
udara dingin jenuh menjamah
masihkah hatimu kemelut
sebab bumi tersaput kabut
Sementara menanti mentari bersinar
marilah kita diam sebentar
mengisi rongga sepi
menangkap bahasa sunyi
Nah kau dengarkah
risik bumi
angin menyibak ampakampak
turun dari puncak bukit biru
Nah kau dengarkah
risik hati
meningkah batin bergolak
seberkas rasa mengorak rindu
KETIKA MENDENGAR TANGIS
Kau dengarkah tangis bocah itu sejak tadi
suaranya menebari desa sunyi
merambati bibir bibir air sepi
mungkin ibunya ke pasar kota belum kembali
Ajaklah kemari kita bawa nembang gambang suling
di tepi rawa pening begini hening
sementara dari dangau kita menghalau gelatik dan pipit peking
yang mau neba merusak bulir-bulir padi mulai menguning
Jiwanya kan terajun tembang kita
raganya kan terselimuti udara begini segarnya
pasti sebentar saja dia pulas di sini
meski jarumjarum mentari lepas menusuki kulit bumi
Biarkan dia mendengkur tetap di pangkuanmu
sementara kita terus berlagu
barangkali dia kan mekarkan mimpinya yang indah
tentang dunianya yang sumringah
Kau dengarkah tangis bocah itu sejak tadi
suaranya menebari desa sunyi
merambati bibir bibir air sepi
mungkin ibunya ke pasar kota belum kembali
Ajaklah kemari kita bawa nembang gambang suling
di tepi rawa pening begini hening
sementara dari dangau kita menghalau gelatik dan pipit peking
yang mau neba merusak bulir-bulir padi mulai menguning
Jiwanya kan terajun tembang kita
raganya kan terselimuti udara begini segarnya
pasti sebentar saja dia pulas di sini
meski jarumjarum mentari lepas menusuki kulit bumi
Biarkan dia mendengkur tetap di pangkuanmu
sementara kita terus berlagu
barangkali dia kan mekarkan mimpinya yang indah
tentang dunianya yang sumringah
MENANTI WAKTU PISAH
Barangkali ada sisa waktumu
yang kausediakan bagiku
lalu kita menangkap sepi di tepi kota
menancapkan mata di gunung telamaya
Bukankah kau telah tahu
setiap kabut lewat kemelut batinku
mungkin kau pun ingin menumpahkan hati
sebagai bekal yang kubawa pergi
Sementara angin mendesir
betapa aku gelisah
karena ketika mentari menggelincir
kita pasti berpisah
Barangkali ada sisa waktumu
yang kausediakan bagiku
lalu kita menangkap sepi di tepi kota
menancapkan mata di gunung telamaya
Bukankah kau telah tahu
setiap kabut lewat kemelut batinku
mungkin kau pun ingin menumpahkan hati
sebagai bekal yang kubawa pergi
Sementara angin mendesir
betapa aku gelisah
karena ketika mentari menggelincir
kita pasti berpisah
MEMUSAR PADA DIRI
Kudengar
dengus angin gunung
kapan kuikuti kembaranya
Kulihat
langit seperti tempurung
kapan kugapai cakrawala
Kusadari
berdiri di pinggang gunung
diriku sebutir debu di dunia
Kurasakan
demikian keras detak jantung
kapan usai menggetar dada
Kurenungkan
Allah yang maha agung
kapan aku kembali padanya
Kudengar
dengus angin gunung
kapan kuikuti kembaranya
Kulihat
langit seperti tempurung
kapan kugapai cakrawala
Kusadari
berdiri di pinggang gunung
diriku sebutir debu di dunia
Kurasakan
demikian keras detak jantung
kapan usai menggetar dada
Kurenungkan
Allah yang maha agung
kapan aku kembali padanya
Baca: Kumpulan Puisi Sindi Violinda
JALAN TUNTANG
Mendung tebal menjemputku
mengucapkan selamat datang
ketika aku sampai ke jalan tuntang
yang masih seperti dulu juga
lengang menjelang senja
Kuperlambat langkahku
menatapi pepohonan
tepi jalan tambah tua
menggoyangkan rerantingnya
menyampaikan salam
Gerimis luruh menyapu debu
di jalan ini pernah juga luruh rinduku
pada perawan ayu yang kini
mungkin sudah punya menantu
bila dulu kami jadi berumah tangga
Kuusap usap jalan beraspal dengan sepatuku
barangkali masih menyimpan bekas
telapak kaki kami berdua
di jalan ini kami sadap malam
dan hatiku kulabuhkan padanya
Mungkinkah kabut tipis itu
bisa menghapus kenangan di jalan ini
ketika kugandeng gadis menggelitiki hati
waktu aku masih jejaka
dan sekarang entah di mana dia
Mendung tebal menjemputku
mengucapkan selamat datang
ketika aku sampai ke jalan tuntang
yang masih seperti dulu juga
lengang menjelang senja
Kuperlambat langkahku
menatapi pepohonan
tepi jalan tambah tua
menggoyangkan rerantingnya
menyampaikan salam
Gerimis luruh menyapu debu
di jalan ini pernah juga luruh rinduku
pada perawan ayu yang kini
mungkin sudah punya menantu
bila dulu kami jadi berumah tangga
Kuusap usap jalan beraspal dengan sepatuku
barangkali masih menyimpan bekas
telapak kaki kami berdua
di jalan ini kami sadap malam
dan hatiku kulabuhkan padanya
Mungkinkah kabut tipis itu
bisa menghapus kenangan di jalan ini
ketika kugandeng gadis menggelitiki hati
waktu aku masih jejaka
dan sekarang entah di mana dia
ADA JARAK
Berdiri di pinggang bukit meniti garis alit
pertemuan bumi dengan langit
sadar ada jarak antara sini dengan sana
tapi entah berapa jauhnya
mungkinkah kita meraih satu titik di cakrawala
Berdiri di pinggang bukit meniti jalan jarum jam
sementara bernapas lepas dalamdalam
sadar ada jarak antara kini dengan nanti
tapi entah berapa lamanya
mungkinkah kita menangkap satu detik di ujung waktu
Berdiri di pinggang bukit kini di sini
berdampingan tersaput sepi
siapa tahu pasti
berapa panjang jarak hati kita
berapa lama tegangan rasa tahan menanti putusnya
Terima kasih sudi tersangkut disini. Semoga memberi manfaat. Baca juga kumpulan puisi terbaik Amir Hamzah
No comments:
Post a Comment