image Getty images |
Percakapan mereka adalah gayung bersambut sepasang hati yang marun merahnya. Percakapan yang mengetuk gendang telinga penduduk langit. Percakapan sederhana dari sebuah kampung yang tak tertitik dalam peta, tak tertilik oleh sesiapa, pun tak terbetik dalam kabar. Namun, bila para nabi dan istri mereka, para sahabat nabi dan istri mereka, para tabi’in dan istri mereka, juga para wali dan istri mereka kita lupakan, maka percakapan pengantin yang belum genap setengah hari itu adalah mantra paling mustajab dalam peradaban. Jadi, petiklah pelajaran berkasih yang menjuntai dari dahan keajaiban yang tumbuh dari pohon ketulusan yang mereka tanam.
Sepatutnya, perkawinan mereka adalah pertautan tak lazim. Oh, mereka sama-sama tulikah? Sama-sama pengkor kakinyakah? Sama-sama juling matanyakah? Tidak. Mereka tak berkekurangan serupa itu. Mereka masih dapat mendengar dengan jernih, berjalan tanpa sengal, dan melihat dengan terang. Mereka dapat saling meningkahi setiap tutur.
Ah, bila pun berpadunya hati mereka mengandung pikatan, siapa yang memedulikannya. Laki-laki tukang parang. Perempuan tukang ladang. Perihal apa yang layak dipicing untuk memaku mata pada perkawinan itu? Dua anak manusia yang memakai mulut jiran untuk menyambung undangan, baru menghelat cinta di hadapan penghulu, baru membongkar tarup di pekarangan rumah….
Maka, helat itu adalah perayaan yang jauh dari ingar-bingar sebuah perkawinan. Tetamu yang datang kurang dari seperempat undangan. Lebih ramai oleh anak-anak yang merincah. Bermain kejar-kejaran, menanti ayam kampung telanjang ditiris dari kuali, bergelak dengan mulut penuh remahan ubi jalar…. sebagian bapak-bapak dan ibu-ibu bagai bersepakat menajur rencana lain pada Ahad itu.
Ya, perkawinan sepasang yatim piatu itu dilindas teriknya cuaca. Terpanggang sengat yang menudung bumi. Namun begitu, pantang mereka merunduk dagu, melumur asam di muka, apalagi menanak dengki di dada, pada tak seberapa orang yang datang. Gula-gula masih tertabur di sepasang katupan bibir, melengkung di bawah hidung yang bagai mengendus tabiat buruk orang-orang kampung….
“Ah, aku bersyukur sekali, Dik. Teman-teman pandai besi banyak yang membantu hajatan tadi. Walapun kau tahu, mereka hanya tak enak hati melakukannya. Karena Kakak karib mereka dalam memanggang besi.” Lelaki itu baru saja mengatup pintu kamar.
Mempelai wanita yang sedari tadi duduk di depan kaca, menoleh. “Aku mengerti, Kak,” jawabnya setelah mendengar lenguhan napas suaminya barusan. Ah, kau pasti sangat lelah, batinnya.
Tak banyak memang yang membantu perhelatan mereka. Bahkan saat bemasak, satu hari menjelang perayaan perkawinan, hanya segelintir yang datang. Tak tampak pesirah— kepala puak, kadus, lurah, dan orang-orang kantor kecamatan— yang biasanya membuka acara dengan sambutan-sambutan.
“Inilah nasib orang tak bersanak. Di tengah orang-orang kampung pun, kita bagai tak punya nasab kerabat.” Laki-laki itu sudah berdiri di belakang istrinya. Matanya menatap mata perempuan itu yang terpantul di cermin.
Perempuan itu balas menatap, juga dari pantulan cermin.“Bila saja, aku tak pernah menangkap basah ibu-ibu tengah mengundang orang-orang di hajatan anaknya, mungkin aku takkan pernah mencecap lemaknya gulai umbut.”
“Kau sangat suka gulai umbut, Dik?” Laki-laki itu sedikit menundukkan kepalanya. Kali ini ia tatap langsung mata istrinya.
“O, bukan. Bukan itu maksudku, Kak!” Perempuan itu buru-buru membuang muka. Tampaknya ia belum terbiasa diperangkap mata lelaki.
“Mereka mengundangku hanya menenggang, sama seperti kawan-kawan pandai besimu itu….”
“Lalu?” Laki-laki itu menepuk kecil bahu istrinya.
Perempuan itu berjalan menuju kelambu.
Menyingkapnya. Duduk di tepi ranjang. Suaminya mengikuti. Kini mereka hampir berhimpitan. Hanya terluang setengah lengan jarak mereka kini.
Perempuan itu menatap mata suaminya. “Inilah nasib hidup tak berbapak, tak beribu, Kak. Bagaimana akan kita diundang orang dalam hajatan, bila orangtua sudah ditanam ketika kaki belum lunas melangkah?”
Laki-laki itu mengangguk, bagai memersilahkan istrinya meneruskan kata-katanya.
“Ah, budi memang harus dibalas budi. Madu jua harus dibalas madu….” Mata perempuan itu basah.
“Jangan sedih, Dik!”Laki-laki itu menyeka mata istrinya.
“Malu pada Tuhan. Buruk alamatnya, bila di malam
punai, mata kita berinai-rinai.”
“Malam punai?” Perempuan itu mengenyitkan dahi.
“Apanya yang punai, Kak, bila jemari kita pun tanpa inai? Aku pun tak tahu mengapa ladangku terpisah jauh dari ladang-ladang yang lain. Kakak tahu kan, hanya beberapa orang yang membantuku menugal tahun ini. Itu pun harus diupah segera bila serombongan padi bunting itu mulai merunduk.”
Laki-laki itu menarik kedua ujung bibirnya ke tepi. Bagai berharap, senyumnya akan menyiram galau istrinya yang menggelegak.
“Dulu, aku tak pernah percaya pada kata-kata Wak Jasun, Dik. Ramainya hajatan orang kampung adalah buah tabiat bapak-ibu mereka. Bila kerap orangtua mereka menyambut undangan; rajin menjinjing ayam kampung, dan tak lalai mengantar beberapa canting padi dayang rindu … ke rumah hajat, maka, lapanglah jalan perkawinan anak mereka. Alamatnya, orang-orang kampung akan bersicepat mengisi buku tamu. Tarup yang ditegak pun bagai nak rubuh. Ambal yang dibentang bagai mengecil. Penganan yang terhidang dirasa selalu kurang. Ai, hajatan bertabuh-riang. Banyak nian tetamu yang datang. Berlimpahan uang disumbang. Ayam-ayam berjejalan dalam kandang. Beras-beras menggunung malam-siang. Terbayarlah semua galau yang membikin badan kadang meriang. Lunaslah hutang. Tersiarlah kabar bahwa hajatan itu elok tak kepalang….”
Perempuan itu meneguk liur. Lalu menengadah ke
langit-langit.
“Apa yang kau pandang, Dik?” Laki-laki itu menggamit tangan istrinya. “Seandainya cicak-cicak itu mengerti percakapan kita, apakah mereka bisa berkabar?”
Perempuan itu balas menggamit. “Ya, bukan perihal cicak-cicak itu tak kuasa berkabar, Kak.” Ia menoleh suaminya. “Namun, kita sama malangnya dengan mereka. Apakah kita bisa berkabar? Boleh menuntut atas perlakuan tak lazim ini? O bukan, perlakuan ini bukan tak lazim, Kak!”
Laki-laki itu balas menoleh.
“Perlakuan ini tak berhakim, Kak!” Perempuan itu meringis.
“Dik,” dielusnya kepala istrinya yang tak bersanggul lagi. “Kelak, bila kita bersua dengan bapak dan emak.
Kita tanyakan saja pada mereka. Mengapa mereka tak
menunggu kita besar dulu baru berjazirah ke Lubuk Senalang? Mengapa mereka tak menyambut undangan orang-orang kampung dulu, agar kawinan anaknya tak kerontang serupa tadi siang? Oh, mereka jua tak meninggalkan kabar bahwa bunga sedap malam yang mencuat dekat nisannya, adalah taklimat agar kita jangan mengeram durja.”
Perempuan itu tertawa. Dijatuhkannya leher di bahu lelaki itu. “Bisa saja kau bermain kata, Kak.” Dicubitnya sebelah lengan suaminya.
“Jadi, Dik. Lekaslah kita kubur muram. Kakak yakin, bujang-bujang kampung tak tahu bahwa kau adalah kembang tanjung di lereng Bukit Bakung ….” Masih dibelainya rambut perempuan itu.
Perempuan itu tersenyum sendiri. Tersanjung oleh pujian lelaki tempatnya bersandar kini.
“…. hanya bujang yang berperangai sultan saja yang kuasa menderik tebing licin di bukit itu, bukan?”
Laki-laki itu membuka-buka mulutnya—berteriak tanpa pekik—bagai merasakan geli oleh cubitan sang istri di dadanya.
“Oh, hendak tertawa aku, Dik, bila ingat bagaimana kita menanak rindu. Kita hanya bercinta dari silauan mata, tangan yang bertepuk, dan kening yang bersitindih. Tuhan benar-benar menyayangi kita kan, Dik?” Diciumnya kini kening istrinya.
Perempuan itu mendongak. “Ya, Kak. Tuhan telah mengirimkan lelaki yang juga berkekurangan sepertiku agar kita tak saling menguak aib yang menyertai lidah-lidah kita. Maka, senyummu adalah seroja yang bertaburan, desahmu adalah pengaduan, gamitan tanganmu adalah permohonan, belaianmu adalah hiburan, tatapanmu adalah tangkai kesepian yang harus segera dipetik. Betul seperti itu kan, Kak?”
Kini, balas lelaki itu yang menggelitik pinggang istrinya.
“Aku yang harusnya menjadi pujangga di malam ini. Mengapa pula kau yang merayuku, hah?”
Perempuan itu mengambil bantal dan memukulkannya dengan manja ke punggung suaminya.“Siapa yang merayumu, tukang parang! Dasar, perasaan tak berpantang!”
Bergelutlah mereka malam itu. Sumringah rayalah ranjang itu. Ranjang yang menjadi saksi percakapan ajaib sepasang pengantin. Maka, derit peraduan itu adalah lintang pukang cinta yang pecah geladak, lenguhan dan erangan pengantin baru yang hendak mengangkat seperiuk rindu di atas nyala tanakan yang berarang-arang….
Sementara itu, makin pekat kelam yang menangkup malam, segaris cahaya bening nila dari sebuah rumah papan, menguncup tajam menembus langit, berlapis-lapis langit. Mengabar pada penghuni yang takjub seketika. Siapa yang bermikraj setelah Muhammad?
Rumah papan itu dikerumuni orang-orang kampung. Takzimnya, tak ada yang aneh dari rumah itu. Almanak bergambar seorang artis dangdut dengan gitarnya masih bertengger dekat jam dinding yang tinggal satu jarumnya. Piring-piring seng masih tertata rapi di rak aluminium yang berkarat salah satu tiangnya. Gorden merah yang sudah lusuh masih menjuntai di kusen pintu kamar. Parang-parang pesanan penduduk masih terbaris di sudut dapur. Arit, pangkur, dan terindak, caping dari daun bengkuang, masih mencangkung dekat jamban belakang. Hanya satu pemandangan yang agak tak biasa. Di dalam kamar. Seprai anyar itu sudah kusut. Bantal-bantal berserakan. Kelambu pula tersingkap setengah.
“Ke mana pengantin baru tu minggat?”
“Oi, sudah kalian tengok di seberang? Apa tukang parang itu memukul besi di gubuk simpang? Apa perempuan itu sudah berladang dekat Belalau?”
Orang-orang menggeleng. “Tak ada, Pak Pesirah. Mereka hilang!”
“Mungkinkah berbulan madu?”
Orang-orang tergelak serta merta. Berbulan madu? Nak
ke mana tukang parang dan tukang ladang merayakan perkawinan? Ke bulankah? Ke langitkah?
“Sudahlah!” Pesirah melerai tawa orang-orang yang berkerumun. “Ambil saja pelajaran. Bila menggelar sedekahan, undang saja yang bapak-ibunya pernah meramaikan hajatan kita atau orangtua kita. Bila tak, tak usahlah kalian anggap. Tak perlu pula menenggang, hingga merasa perlu berhormat pada undangan yang diantarnya. Ini adat kampung. Pusaka nenek moyang! Nah, tukang kabar pula, walapun pengantin itu jiran, tak lihat kalian macam mana ganjilnya mereka? Bukan hanya perkara tak berbapak tak beribu, tapi, pernah tercatat dalam adat bahwa bujang bisu meminang gadis bisu, hah?”
Tetamu hajatan kemarin dan para tukang kabar, merunduk. Ah, memang salah kami, Pak Pesirah.
Orang-orang bubar. Kembali ke rumah masing-masing. Mengurung perasaan ganjil yang berlipat-lipat. Bukan memikirkan petuah kepala puak, namun masih memercik galau itu. Ke mana sepasang pengantin bisu mengeret badan di malam punai? Ke bulankah? Ke langitkah?
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Wurung
No comments:
Post a Comment