Wednesday, May 31, 2017

CERPEN BAYI BERSAYAP JELITA OLEH AGUS NOOR

bayi bersayap jelita
image
Kakek bisa membelah diri. Bisa berada di banyak tempat sekaligus…. Aku melihat Kakek tengah berdiri memandang keluar jendela, ketika aku masuk. Kamar gelap—mungkin Kakek sengaja mematikan lampu—aku merasa ia tak ingin diganggu. Pelan pintu aku tutup kembali. “Masuklah,” suara Kakek lemah. Ia tergolek, dengan selang oksigen dan infus yang bagai mencencangnya di ranjang. Demi Tuhan! Aku tadi melihat Kakek berdiri dekat jendela itu. Benarkah Kekek bisa berpindah dalam sekejap?

Kurasakan, Kakek mengedipkan mata: sini, tak usah heran begitu. Padahal kulihat ia terbaring memejamkan mata begitu tenang. Dua hari sebelum puasa, ibu menelepon. Kakek jatuh di kamar mandi, serangan jantung. Mas Jo memintaku segera saja ke Jakarta. Sebelum terlambat—ia rupanya tahu keenggananku menjenguk Kakek. “Biar aku urus Nina,” katanya. Bungsuku itu memang baru kena demam berdarah.

Aku tak terlalu dekat dengan Kakek. Bahkan tak menyukainya. Semasa kecil, kakak-kakak dan sepupuku suka sekali mendengarkan cerita Kakek. Duduk mengelilingi dan bergelendotan manja setiap Kakek bercerita tentang burung-burung cahaya yang terbang dari surga membawa biji-biji kebaikan, ular berkepala lima, makhluk-makhluk sebelum Nabi Adam diciptakan, angsa yang menyelam ke dasar samudera atau Nabi Sulaiman yang mendengarkan percakapan cicak dan buaya.

Itu bohong, kataku, setiap Kakek bertanya kenapa aku tak suka ceritanya. Aku lebih suka belajar matematika. Bagiku Kakek tak lebih tukang khayal. Dan khayalan itu penyakit yang gampang menular. Penyakit orang malas, kata Nenek. Aku memang tak suka setiap melihat Kakek hanya duduk-duduk dikelilingi para kakak dan sepupuku—seperti sekumpulan orang malas yang seharian hanya bercanda—sementara Nenek di dapur sibuk membuat kue. Aku lebih suka menemani Nenek di dapur, mencicipi remah kue yang dibikinnya, dan selalu merasa begitu bangga ketika Nenek memberikan padaku potongan kue yang lebih besar.

Tapi kakak-kakak dan sepupuku bilang, Kakek punya kue yang jauh lebih lezat dari kue bikinan Nenek. Kue itu kue yang dihidangkan ratu Balqis kepada Nabi Sulaiman. Seperti apem, tetapi bagai terbuat dari cokelat. Kue itu tak akan habis bila dimakan. Aku benci mendengar cerita itu. Benar, khayalan memang penyakit menular. Kupikir mereka sudah tertular khayalan Kakek.

Aku ingat setelah kejadian itu, tengah malam, antara tidur dan jaga, entah mimpi entah nyata, aku melihat Kakek duduk di sisi ranjangku, sembari makan kue pelan-pelan. “Mau?” ia menawariku. Seolah ada gerak yang mendorong tanganku untuk mengambil kue itu, memakannya. Rasa kue itu jauh lebih enak dari kue buatan Nenek

. ***

Kakek pingin ketemu kamu, kata ibu di telepon. Yakin, pasti Kak Sofyan yang menyuruh. Kakek tinggal bersama kakak keduaku itu, dan ia tahu aku pasti mau mendengarkan bila yang menelepon ibu.

“Kenapa kamu tak suka Kakek?” dulu, ibu bertanya. Aku terus pura-pura membaca.

Suaranya lembut, membuatmu merasa tenteram setiap mendengarkannya bercerita. Matanya keteduhan yang ingin kau jumpai. Nyaris tak pernah marah. Dan—ini yang menurut kakak-kakak dan sepupuku paling disukai dari Kakek—tak suka cerewet memberi nasehat. Rasanya tak ada alasan untuk tidak menyukainya.

Mungkin karena iri. Atau tak mau berbagi. Kakek membagi perhatian pada semua cucunya. Aku selalu ingat pada kejadian saat suatu kali Kakek membawa martabak. Kakek membagi rata buat semua cucunya. Semua gembira.

Tapi aku segera pergi. Aku ingin Kakek seperti Nenek! Bila punya kue, aku selalu dapat bagian lebih banyak. Aku senang bila kakak dan sepupu menatap iri bagian kue yang lebih besar milikku. Itulah saat-saat paling membahagiakan buatku. Nenek mengerti kebahagiaanku itu. Kakek tidak. Itulah sebabnya aku tak pernah terlalu suka Kakek. Tak pernah bisa merasa dekat.

Tapi Kakek ingin sekali ketemu kamu, kata ibu saat menelepon. Dan ibu bilang: Dua hari di rumah sakit, Kakek bersikeras pingin pulang. Rumah sakit hanya membuat kita benar-benar merasa sakit, keluh Kakek. Para suster mengatakan kalau Kakek adalah pasien paling tak bisa diatur. Tak mau minum obat, dan tak mau disuruh diam. Dia suka sekali mendongeng dan cerita, kata seorang suster. Pernah, malam-malam, Kakek memanggil suster jaga, hanya karena ia mau bercerita kalau baru saja ada lima laki-laki menjenguknya.

“Mereka tinggi besar dan bersayap. Mereka memijiti jempol saya, dan bilang saya tak apa-apa. Suster lihat, kan… tadi mereka masuk ke sini? Lima laki-laki tinggi besar bersayap…,” kata Kakek. Suster hanya diam. Karena suster itu memang tak melihat siapa-siapa memasuki kamar ICU. “Mereka memberi saya ini,” Kakek memperlihatkan sebutir kurma. Kurma nabi, kata Kakek.

***

Aku teringat beberapa tahun lalu.

Mbak Rin, istri Mas Moko, kakak sulungku, mengalami masalah persalinan. Bayinya melintang, kata dokter, dan harus operasi. Lalu Kakek muncul, memberinya sebutir kurma. Mbak Rin yang sudah terlihat lelah dan pasrah, perlahan tak lagi merasa kesakitan. Kemudian melahirkan dengan lancar. Pernah pula Tante Ida, yang tinggal di Jombang, menelepon malam-malam: Kakek barusan datang menjenguk anaknya yang panas. Kakek mengusap keningnya, kemudian pergi. Dua jam setelahnya panas Ibra berangsur lenyap. Sumpah, sepanjang malam itu, aku melihat Kakek hanya duduk sambil tiduran di kursi goyangnya.

Kakek bisa berada di dua tempat sekaligus, kata Einda. Ia bisa muncul begitu saja saat kita membutuhkan. Lalu sepupuku itu bercerita, betapa pernah suatu kali ia sakit dua hari sebelum ujian kelulusan SMA. Kakek tiba-tiba muncul di kamar kosnya, memberinya segelas air putih, dan ia tertidur. Saya bermimpi berada di tempat yang begitu tenang dan nyaman. Besok paginya saya sudah bugar!

Semasa kanak, kakak-kakakku juga sering bercerita kalau Kakek kerap muncul malam-malam di kamar, memberi mereka eskrim atau cokelat. Eskrim dan cokelat itu, tiba-tiba saja sudah ada di tangan Kakek.

“Sulap! Itu sulap,” kataku.

“Itu mukjizat,” kata mereka, “Kakek berbakat jadi nabi.”

Kakek terkekeh ketika mendengar itu. “Jangan pernah punya cita-cita jadi nabi,” katanya. “Tidak enak jadi nabi. Karena tidak semua orang menyukai.”

Baca: Cerpen Mari!, Oh Marni!

***

Kalau punya mukjizat, pastilah Kakek tak tergolek seperti ini—seolah suara dari masa kecilku muncul kembali. Tubuh Kakek terlihat begah dan membengkak. Seperti ada tumpukan jerami yang dimasukkan ke dalam perut dan dadanya. Seolah seluruh makanan yang selama ini disantapnya dijejalkan semuanya ke tubuh Kakek. Tongseng, sate klatak, empal, paru, kikil dan sop buntut, kepala kambing bacem, gulai, dan tengkleng…. Bahkan seorang nabi pun pernah sakit—aku seperti mendengar suara berbisik di belakangku. Aku bisa merasakan napas lembut merambati tengkukku. Aku yakin ada seseorang berdiri di belakangku. Kakek?

Tidak. Kulihat Kakek terbaring di ranjang. Akankah ia sebentar lagi mati? Bila iya, bahkan menjelang kematiannya pun wajahnya tak berubah: terlihat bersih. Sepanjang yang saya ingat, wajah Kakek memang nyaris tak pernah berubah. Seperti tak tersentuh usia. Sampai saat ini wajahnya masih wajah yang aku kenal saat aku kanak-kanak: sekilas terasa jenaka karena suka tertawa, rambutnya putih, juga alisnya. Ia tak memelihara jenggot dan kumis. Klimis. Matanya bening bulat, mata yang selalu gembira. Wajah agak bundar. Dengan tahi lalat mirip butir beras ketan hitam di dahi kiri. Ketika Nenek mulai sakit-sakitan, Kakek seperti tak berubah. Ada yang bilang karena Kakek punya kesaktian. Tetapi seingatku tak ada yang aneh dari keseharian Kakek. Ia tak suka kungkum atau nyepi untuk semedi. Tak kulihat ia melakukan ritual-ritual mistis tertentu. Pati geni atau sejenisnya. Tak pernah kulihat ia sibuk dengan jimat atau barang-barang pusaka keramat. Bahkan, di banding Nenek, Kakek termasuk tak rajin ibadah. Saat waktu salat, malah sering kulihat Kakek tetap duduk-duduk klempas-klempus menikmati rokoknya.

“Ibadah Kakek ya berbuat baik… itu saja,” pernah kudengar ia bicara begitu saat ditanya sepupuku.

Kupandangi wajah Kakek. Seperti ingin belajar mengenalnya kembali.

“Kau tahu…,” kudengar ia bergumam, matanya masih memejam. Aku kaget, menyangka ia tidur. “Kau tahu, kenapa kita membutuhkan orang lain? Karena dokter pun tak bisa mengobati dirinya sendiri. Kita selalu membutuhkan orang lain, itulah kenapa kita mesti baik pada orang lain.”

Jari-jari gemetar Kakek menyentuh lenganku.

“Terima kasih mau datang.” Ada yang jauh lebih dalam dari kepedihan.

“Aku selalu melihat ada yang berkelebat, di luar sana. Menunggu di sebalik jendela. Dan tadi…. Tadi kulihat ia berdiri di belakangmu….” Kugenggam tangan Kakek.

“’Lihatlah….” Pandangannya mengarah jendela, dan entahlah, seperti ada tangan gaib yang perlahan memaksaku menoleh. Kesiur angin menerobos, korden bergoyang dan sekelebat bayangan merambat gelap. Tak kulihat apa-apa. Selain tugur pepohonan dan bentangan kesunyian. Cahaya terasa lamur.

“Maukah kau kali ini, mendengarkan ceritaku?”

Suaranya memelan. Aku membungkuk, ke arah bibirnya, takut tak mendengar kata terakhirnya.

Dengarlah, mereka mendekat….

Rasa kantuk seperti angin lembut. Suara Kakek menjauh, tinggal dengung AC memenuhi ruangan. Aku meriap merasakan ada yang perlahan masuk melalui jendela. Pastilah aku tak lagi mampu menahan kantuk dan lelah, sampai kurasakan ada tangan halus mengusap wajahku, membangunkanku. Ia tampak letih. Berdiri di bawah pohon putih, yang menjulang hingga ke langit warna ganih. Pandanganku seketika terpesona pada bayi-bayi bersayap jelita yang bermunculan dari balik cakrawala. Bayi-bayi itu terbang mengitari Kakek yang melangkah pelan menuju batu besar. Bayi-bayi bersayap jelita memberi isyarat agar Kakek berbaring, sementara angin sejuk berhembus dari sayap-sayap lembut itu.

Aku menyaksikan bayi-bayi itu membedah dada Kakek, mengeluarkan jantungnya. Ada bejana kecil, dan bayi-bayi itu mencuci jantung Kakek. Aku memejam, merasakan tubuhku melayang. Seperti memasuki rongga sunyi. Merasakan tidur panjang abadi.

***

Hari masih gelap—atau telah kembali gelap?—ketika aku terbangun oleh suara-suara percakapan. Sayup-sayup terdengar suara orang mengaji. Seperti suara ibu. Aku mencoba mengenali sekeliling. Kekelaman yang bagai tabir berlapis-lapis. Setiap suara seperti merembes dari tabir yang berbeda-beda. Kulihat arak-arakan orang membawa keranda, menjauh. Jeritan yang bagai jerit iblis. Bau harum melati mengapung. Kusaksikan beberapa suster yang sibuk memberesi tabung oksigen dan membawa keluar kereta dorong, kemudian lenyap begitu saja, raib ke sebalik tabir kegelapan yang hampa. Ranjang itu kosong. Pasti mereka telah membawa Kakek ke kamar mayat. Aku berlari, melesat—seakan melangkah di hamparan awan—sampai kelelahan dan lesap dalam gelap.

Aku terbangun seperti orang yang telah berabad-abad ditidurkan. Kudapati ibu, Mas Jo dan istrinya, Mbak Rin, Mas Moko, Einda, dan hampir seluruh kerabatku menggerombol berbincang pelan. Pelan-pelan aku mulai mengenali, di mana aku berada: kamarku.

Ibu pelan-pelan memelukku. Aku terisak. Saat itulah, aku mendengar suara tawa Kakek.

Aku hanya bengong ketika ibu bercerita keadaan Kakek. “Kau kira Kakek mati, ya?”

Adakah ini mukjizat….

“Dokter juga heran dengan jantung kakek. Tiba-tiba sudah bersih, seperti baru dicuci….”

Di ruang ten

gah kulihat Kakek tertawa-tawa gembira dikerubuti tujuh keponakanku yang tampak bagai segerombolan kurcaci. Lama aku terdiam memandanginya. Aku seperti mendengar kelepak sayap bayi-bayi itu terbang menjauh.

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga memberi manfaat. Baca juga cerpen Hujan Mulai Deras, Malam

CERPEN PENJAGA KAMAR MAYAT DAN SEJUMLAH FIKSI MINI LAINNYA OLEH AGUS NOOR

mayat
image Shabari
 Penjaga Kamar Mayat

Kemarin ia dipecat. Tadi pagi mati bunuh diri. Malam ini kulihat ia kembali masuk kerja. Duduk pucat terkantuk-kantuk di dekat pintu kamar mayat.

Ular Siluman

Ular itu menyelesup masuk mimpimu. Ular itu mendesis, matanya merah saga, menatapmu. Kau menjerit, dan cepat-cepat menghantamnya dengan lonjoran besi.

Saat terbangun, kau mendapati ibumu mati terkapar bersimbah darah. Kepalanya pecah.

Malam Seorang Tukang Ronda

Ia paling suka saat tengah malam. Saat ia berkeliling dan memukul tiang listrik. Ia suka sekali mendengar bunyi tiang listrik itu. Seperti mendengar jerit kesunyian.

Entah kenapa, ia merasa gelisah malam ini. Saat ia memukul tiang listrik, yang terdengar bukan suara denting. Tapi lengking anjing.

Misteri Laki-laki yang Tak Kembali

Perempuan itu menunggu suaminya pulang. Sejak sore ia sudah berdandan. Sekarang hari ulang tahun perkawinan mereka, dan ia ingin terlihat cantik saat laki-laki yang dicintainya itu datang.

Tapi hingga larut malam, suaminya tak juga pulang. Ia mulai terkantuk-kantuk dan bosan.

Mendadak terdengar kunci pintu dibuka pelan. Ia tergeragap dan bangkit. Tapi tak ada siapa-siapa. Sejak itulah suaminya tak pernah kembali.

Mayat Tanpa Kepala

Aku ditemukan mati tanpa kepala. Malam-malam aku mendatangi rumahmu.

“Boleh kupinjam kepalamu?” kataku. Kau tampak terkesiap. Pagi harinya, kau ditemukan tergeletak tanpa kepala.

Penyanyi Dangdut yang Mati Diperkosa

Kami, berlima, merencanakannya lama. Ia kami cegat, dan segera kami seret ke gudang. Ia cantik dan bahenol, tapi kami tergila-gila pada suaranya. “Aku ingin kamu nyanyi lagu ‘Malam Terakhir’….” bentakku.

Ia menyanyi dengan serak gemetar, sementara kami terus memperkosanya. Sejak itu, setiap malam, saat sendirian di kamar, aku selalu mendengar suaranya bernyanyi dari arah kamar mandi di antara air yang menggemericik.

Purnama di Atas Sumur Tua

Dari sumur itu selalu tercium bau bacin. Airnya sering tiba-tiba berubah kental dan merah. “Di zaman Gestapu dulu,” cerita Nenek, “puluhan orang dibantai, dan dibuang ke dalamnya.” Sejak itu, siapa pun tak ada yang berani mendekat sumur di belakang rumahmu itu

Tapi setiap kali purnama, aku suka diam-diam ke sana. Memandangi bangkai mayatku yang mengapung di dasar sumur itu.

Paket Kematian

Kau mendapat paket yang berisi kematianmu sendiri. Mohon diterima dengan baik, tulis pesan yang menyertai.

“Aneh sekali,” gumammu, sambil memperlihatkan paket itu pada istrimu.

“Siapa sih iseng ngirim beginian?” Istrimu tertawa, menganggapmu bercanda. Karena di alamat pengirim jelas tertera namamu.

Perempuan yang Mati Membakar Diri

Tubuh perempuan itu ditemukan gosong, mendekap bayi yang disusuinya.

“Karena tak tahan hidup miskin, ia membakar diri,” kata orang-orang kampung. Beberapa warga yang mengangkat mayatnya bersumpah: mereka melihat air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya. Sejak itu, malam-malam di kampung kami terasa ganjil. Sering terdegar tangis bayi melintasi kampung. Dan bau gurih daging terbakar.

Ulat dalam Kepala

Bocah itu iba pada adiknya yang bertahun-tahun sakit terbaring dengan kepala yang dari hari ke hari makin membengkak. “Seperti ada ribuan ulat berbiak di kepalaku,” erang adiknya.

Suatu hari bocah itu melihat ibunya membelah apel, dan ada ulat di dalamnya.

Tengah malam, diam-diam, ia mengambil pisau. Kini ia tahu bagaimana menolong adiknya.

Bayi

Tengah malam, bayi yang dibuang ke semak-semak itu terus menangis menjerit-jerit kelaparan. Pelan-pelan ia mulai memakan jari-jarinya, lengan dan kakinya, melahap usus dan jantungnya, hingga tak bersisa.

Tamasya Keluaga Seorang Kerani

Liburan sekolah ini ia ingin mengajak anak-anaknya tamasya. “Meski miskin, sesekali perlu juga kita rekreasi,” katanya. Anak-anak bersorak gembira. Digoncengnya anak-anak ke Kebun Binatang. Ia tersenyum menyaksikan mereka berlarian dan main prosotan.

Mendadak ponselnya berbunyi. Dari istrinya, “Katanya mau ngajak liburan? Anak-anak nunggu di rumah nih!”

Buru-buru ia ngebut pulang. Tapi di tikungan sepeda motornya terguling dan truk yang melaju kencang langsung menyambar. Sedetik sebelum nyawanya melayang, ia tiba-tiba teringat kalau istrinya sudah meninggal setahun lalu.

Ular Kutukan

Ia tergeragap bangun mendapati ular keling menyelusup ke dalam selimut, dan tak sempat menjerit ketika ular itu masuk duburnya. Dalam gelap ia melihat mata terbelalak bocah laki-laki yang dulu ia sodomi.

Pesan Gaib

Begitu mati, ia langsung meraih ponselnya. Dikirimnya SMS pada istrinya: Segera kujemput kamu. Ia memang berjanji mengajak pergi ke pesta malam ini.

Oke, balas istrinya. Dan ia seketika kejang-kejang. Lalu mati. Kisah itu menjadi kasak-kusuk di kota kami. Kabarnya, SMS itu sampai sekarang masih gentayangan, dan sering muncul ke ponsel siapa saja.

Anjing Jejadian

Kau berpapasan dengan anjing itu di tikungan jalan. Bulan mati, mata anjing itu seperti menyala. Kau segera mengambil batu dan menyambitnya. Tepat mengenai matanya.

Sampai rumah kau mendapati istrimu begitu panik menggendong anakmu yang terus-terusan menangis. “Kenapa?”

“Entahlah,” jawab istrimu. “Ia mendadak terbangun. Seperti ada yang tiba-tiba menyambit matanya. Lihatlah….”

Kau melihat mata anakmu terus meneteskan darah.

Kisah Seorang Psikopat

Sebelum polisi tiba ia bergegas mengemas koper yang berisi potongan tubuhnya sendiri.

Baca: Cerpen Celana Kargo

Sebuah Kuburan

Orang-orang bilang kuburan itu berhantu. Setiap pulang tengah malam, kau pasti merinding melewatinya. Seperti ada suara yang terus mengerang dan melolong. Mengingatkanmu pada kejadian bertahun lalu, ketika kau dulu mati dipotong-potong dan dibuang ke kuburan itu.

Mata Pembunuh

Pembunuh itu selalu mencongkel mata korban-korbannya. Ia menyimpan semua mata itu dalam toples bening, dan suka sekali memandanginya. Ia selalu merasa bahagia setiap kali mata itu berkedip padanya

Ambulans Tengah Malam

Ambulans yang membawa jenazahmu berkali-kali oleng karena sopirnya ngantuk. “Aku tak mau mati kecelakaan lagi,” katamu. “Sini, biar saya setir.” Pak Sopir pun gantian istirahat di peti mati.

Kulihat ambulans itu melintas pelan menuju rumahmu.

Malam Jumat 14 Mei

Seorang pemuda mengetuk pintu. Kau menyuruhnya masuk. Dia bilang mau menemui anakmu. ”Kemarin kami bertemu, dan ia menyerahkan ini,” katanya, sambil memperlihatkan foto. Kau nyaris menangis melihat foto yang kusam bekas terbakar itu.

Sampai pemuda itu pamit pulang, kau tak pernah menceritakan: betapa putrimu sudah mati pada bulan Mei bertahun-tahun lalu.

Hantu Metromini

Tak ada lagi yang berani naik metromini itu, sejak seorang perempuan ditemukan mati meringkuk di bawah kursinya. Ia cantik dan mengenakan blazer. Kabarnya, segerombolan pemuda mabok merampok dan memperkosa perempuan yang pulang kemalaman itu.

Aku selalu menyaksikan metromini itu melintas malam-malam. Kulihat diriku duduk sendirian di dalamnya.

Muslihat Purba

Adam berbisik ke telinga Iblis yang kesepian. Iblis pun segera menyaru. Sesuatu yang mengerikan terjadi setelah itu….

Terima kasih sudah membaca. Semoga bermanfaat. Baca juga cerpen Rumah Masa Kecil

CERPEN PERIHAL ORANG MISKIN YANG BAHAGIA OLEH AGUS NOOR

Orang miskin yang tidur
image Derek
1.

“Aku sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.” Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena di-laminating. Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dom¬petnya yang lecek dan kosong.

“Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”

2.

Diam-diam aku suka mengintip rumah orang mis¬kin itu. Ia sering duduk melamun, sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang me¬nahan lapar. “Kelak, mereka pasti akan men¬jadi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.

Suatu sore, aku melihat orang miskin itu me¬nik¬mati teh pahit bersama istrinya. Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan ki¬sah paling lucu dalam hidup kita….”

“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab istrinya.

Mereka pun tertawa.

Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan me¬reka.

3.

Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga.

“Barangkali aku memang run-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga simbah buyutnya yang miskin.

Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya. “Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu.

“Mestinya kamu bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”

Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.

4.

Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik pada¬ku. “Kadang bosan juga aku jadi orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”

“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”

Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi pelawak. Ber¬tahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”

5.

Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kos¬tumnya rombeng, dan menyedihkan. Setiap meng¬hibur di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya selalu menangis ketakutan.

“Barangkali kemiskinan memang bukan hi¬buran yang menyenangkan buat anak-anak,” ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut. Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan la¬par, orang miskin itu suka mengibur diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah bisa membuatnya tertawa.

6.

Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Se¬tiap kali lapar berkunjung, orang miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar me¬lupakan penderitaan. Atau, seringkali, orang mis¬kin itu mengajak lapar bermain teka-teki, untu¬k menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar da-tang ber¬tandang.

“Hiburan apa yang paling menyenangkan ke¬tika lapar?” Dan orang miskin itu akan menja¬wabnya sendiri, “Musik keroncongan.”

Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.

7.

Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI, satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”

“Wah, hebat banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”

“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”

8.

Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang ma¬sih kecil-kecil. Paling tua berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang. Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan me¬reka secara adil dan beradab berdasarkan Pan¬casila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”

Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya recehan. Hasil dari mengemis.

9.

Pernah suatu malam kami nongkrong di wa¬rung pinggir kali. Bila lagi punya uang hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka me¬manjakan diri menikmati kopi. “Orang miskin per¬lu juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, be¬ginilah nikmatnya jadi orang miskin. Punya ba¬nyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali, cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sam¬bil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan pen¬de¬ritaan, yang bisa digunakan untuk membia¬yaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pe¬lan ia menyeruput kopinya penuh kenikmatan.

Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.

10.

Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.

Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam cermin, ber¬jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa. Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihat¬nya tengah berusaha menyembunyikan isak ta¬ngisnya.

11.

Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan.

“Jangan sa¬lah paham,” katanya. “Aku sedih bukan ka¬rena aku miskin. Aku sedih karena banyak se¬kali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.” Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa ki¬kuk dengan penampilanku yang perlente. Se¬jak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.

12.

Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan dibagikan.

13.

Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:

Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya, “Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, “Aku malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.” Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.

14.

Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai. Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan memar. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” katanya. “Di¬tu¬duh mencuri, dipukuli, dan dikasih duit!”

Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau ia pelakunya. De¬ngan harapan ia kembali dipukuli.

15.

Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira orang miskin itu te¬was dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan yang kemarin baru melahirkan. Anaknya sudah selusin, suaminya minggat, dan ia merasa repot kalau mesti menghidupi satu jabang bayi lagi. Ma¬kanya ia memilih membakar diri.”

Perempuan itu ditemukan mati gosong, sambil mendekap bayi yang disusuinya. Orang-orang yang mengangkat mayatnya bersumpah, kalau air susu perempuan itu masih menetes-netes dari putingnya.

16.

Sepertinya ini memang lagi musim orang mis¬kin bunuh diri. Dua hari lalu, ada seorang ibu sengaja menabrakkan diri ke kereta api sambil menggendong dua anaknya. Ada lagi sekeluarga orang miskin yang kompak menenggak racun. Ada juga suami istri gantung diri karena bosan dililit hutang.

“Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang miskin ga¬dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku orang miskin sejati.”

17.

Orang miskin punya ponsel itu biasa. Hanya orang-orang miskin yang ketinggalan zaman sa¬ja yang tak mau berponsel. Tapi aku tetap sa¬ja kaget ketika orang miskin itu muncul di ru¬mahku sambil menenteng telepon genggam.

“Orang yang sudah resmi miskin seperti aku, boleh dong bergaya!” katanya dengan gagah. Lalu ia sibuk memencet-mencet ponselnya, menelepon ke sana kemari dengan suara yang sengaja dikeras-keraskan, “Ya, hallo, apa kabar? Bagaimana bisnis kita? Halooo….”

Padahal ponsel itu tak ada pulsanya.

Baca: Cerpen Menghidu Warna

18.

Ia juga punya kartu nama sekarang. Di kartu na¬ma itu bertengger dengan gagah namanya, tem¬pat tinggal, dan jabatannya: Orang Miskin.

19.

Ia memang jadi kelihatan keren sebagai orang mis¬kin. Ia suka keliling kampung, menenteng pon¬sel, sambil bersiul entah lagu apa. “Sekarang anak-anakku tak perlu lagi repot-repot me¬ngemis dengan tampang dimelas-melaskan,” ka¬tanya. “Buat apa? Toh sekarang kami sudah nya¬man jadi orang miskin. Tak sembarang orang bisa punya Kartu Tanda Miskin seperti ini.” Ia mengajakku merayakan peresmian kemiskinannya. Dibawanya aku ke warung yang biasa dihutanginya. Semangkuk soto, ayam goreng, sam¬bal terasi dan nasi—yang tambah sampai tiga kali—disantapnya dengan lahap. Sementa¬ra aku hanya memandanginya.

“Terima kasih telah mau merayakan kemiskinanku,” katanya. “Karena aku telah benar-benar resmi jadi orang miskin, sudah sepantasnya kalau kamu yang membayar semuanya.”

Sambil bersiul ia segera pergi.

20.

Ketika tubuhnya digerogoti penyakit, dengan enteng orang miskin itu melenggang ke rumah sakit. Ia menyerahkan Kartu Tanda Miskin pada suster jaga. Karena banyak bangsal kosong, suster itu menyuruhnya menunggu di lorong. “Beginilah enaknya jadi orang miskin,” batinnya, “dapat fasilitas gratis tidur di lantai.” Dan orang miskin itu dibiarkan menunggu berhari-hari.

Setelah tanpa pernah diperiksa dokter, ia disuruh pulang. “Anda sudah sumbuh,” kata pe¬rawat, lalu memberinya obat murahan.

Orang miskin itu pulang dengan riang. Kini tak akan pernah lagi takut pada sakit. Saat anak-anaknya tak pernah sakit, ia jadi kecewa. “Apa gunanya kita punya Kartu Tanda Miskin kalau kamu tak pernah sakit? Tak baik orang miskin selalu sehat.”

Mendengar itu, mata istrinya berkaca-kaca.

21.

Beruntung sekali orang miskin itu punya istri yang tabah, kata orang-orang. Kalau tidak, perempuan itu pasti sudah lama bunuh diri. Atau memilih jadi pelacur ketimbang terus hidup dengan orang miskin seperti itu.

Tak ada yang tahu, diam-diam perempuan itu sering menyelinap masuk ke rumahku. Sekadar untuk uang lima ribu.

22.

Suatu sore yang cerah, aku melihat orang mis¬kin itu mengajak anak istrinya pergi berbelanja ke mal. Benar-benar keluarga miskin yang sa¬kinah, batinku. Ia memborong apa saja sebanyak-banyaknya. Anak-anaknya terlihat begitu gembira.

“Akhirnya kita juga bisa seperti mereka,” bi¬sik orang miskin itu pada istrinya, sambil me¬nunjuk orang-orang yang sedang antre memba¬yar dengan kartu kredit. Di kasir, orang mis¬kin itu pun segera mengeluarkan Kartu Tan¬da Miskin miliknya, “Ini kartu kredit saya.”

Tentu saja, petugas keamanan langsung mengusirnya.

23.

Ia tenang anak-anaknya tak bisa sekolah. “Buat apa mereka sekolah? Entar malah jadi kaya,” katanya. “Kalau mereka tetap miskin, malah banyak gunanya, kan? Biar ada yang terus berdesak-desakan dan saling injak setiap kali ada pembagian beras dan sumbangan. Biar ada yang terus bisa ditipu setiap menjelang pemilu. Kau tahu, itulah sebabnya, kenapa di negeri ini orang miskin terus dikembangbiakkan dan dibudidayakan.”

Aku diam mendengar omongan itu. Uang dalam amplop yang tadinya mau aku berikan, pelan-pelan kuselipkan kembali ke dalam saku.

24.

Takdir memang selalu punya cara yang tak terduga agar selalu tampak mengejutkan. Tanpa firasat apa-apa, orang miskin itu mendadak mati. Anak-anaknya hanya bengong memandangi mayatnya yang terbujur menyedihkan di ranjang. Sementara istrinya terus menangis, bukan karena sedih, tapi karena bingung mesti beli kain kafan, nisan, sampai harus bayar lunas kuburan.

Seharian perempuan itu pontang-panting cari utangan, tetapi tetap saja uangnya tak cukup buat biaya pemakaman. “Bagaimana, mau dikubur tidak?” Para pelayat yang sudah lama menunggu mulai menggerutu. Karena merasa hanya bikin susah dan merepotkan, maka orang miskin itu pun memutuskan untuk hidup kembali.

25.

Sejak peristiwa itu, kuperhatikan, ia jadi sering murung. Mungkin karena banyak orang yang kini selalu mengolok-oloknya.

“Dasar orang miskin keparat,” begitu sering orang-orang mencibir bila ia lewat, “mau mati sa¬ja pakai nipu.”

“Apa dikira kita nggak tahu, itu kan akal bulus biar dapat sumbangan.”

“Dasarnya dia emang suka menipu, kok! Ingat nggak, dulu ia sering keliling minta sumbangan, pura-pura buat bikin masjid. Padahal hasilnya ia tilep sendiri.”

“Kalian tahu, kenapa dia tak jadi mati? Kare¬na neraka pun tak sudi menerima orang miskin kayak dia!”

Orang-orang pun tertawa ngakak.

26.

Nasib buruk kadang memang kurang ajar. Suatu hari, orang miskin itu berubah jadi anjing. Itulah hari paling membahagiakan dalam hidupnya. Anak istrinya yang kelaparan segera menyembelihnya.

Terima kasih sudha berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga cerpen Dia Masih Bisa Tergelak

CERPEN BRANDAL DAN PASUKAN KODOK OLEH CANDRA MALIK

pasukan kodok
image Mark Twain
Brandal menggulung bendera. Tak ada lagi kain hitam yang dikibarkan sejak ia kalah melawan seorang tua bernama Makdum. Bola-bola emas yang menjadi bola-bola api itu telah merajam dadanya. Brandal hangus oleh dosa-dosa, dan takluk menjadi satu-satunya pilihan untuk terbebas dari siksa berikutnya. Hanya dengan bertapa di kali, ia bisa diampuni.

Pendekar berdarah biru dan berikat kepala gelap yang kerap menutup separuh wajahnya dengan cadar itu memang berhasil merebut tongkat dari cengkeraman Makdum hingga kakek bersurban putih itu terjungkal. Alih-alih merampok habis, nyalinya justru dihabisi. Tercekat tenggorokannya ketika Brandal mendengar Makdum berurai airmata mengurai kata demi kata.

“Tidak. Aku bukan menangisi lutut tuaku yang terkoyak, bukan pula karena kuda-kuda tongkatku telah kau sibak,” ucap Makdum.

“Ini, tongkatmu. Jangan lagi kau menangis. Sebengis-bengis aku mengalahkan Kethuk Lindu, tidak akan kuperlakukan kau seberingas jurus-jurusku pada raja perampok dari Hutan Jatiwangi itu,” sahut Brandal.

“Kisanak, air mataku jatuh karena aku merenggut hidup rumput yang tak berdosa ini. Salah apa ia sampai menjadi korban dari pertarungan tidak bermutu ini?” tanya Makdum.

“Tidak bermutu? Kau terjerembab dan kini masih bisa mengejekku?” sergah Brandal.

“Kalau kau memang bernafsu pada dunia, lihat itu. Bola-bola emas itu, ambil saja sebanyak yang kausuka,” seru Makdum.

Jagat bergoncang hingga Brandal limbung. Terbelalak ia menyaksikan pohon aren di tengah hutan berubah menjadi bola-bola emas. Seketika itu pula, Makdum memecah raga jadi lebih dari dua. Lebih dari tiga. Lebih dari entah berapa! Bagai tapal kuda, mengepung Brandal dari segala arah. Ia bukan sembarang kakek rupanya, tapi Brandal sudah terlambat.

Perampok muda itu menyerah.

Bersimpuh ia, menundukkan kepala. Menyadari betapa lebih muda secara usia ternyata tidak lebih mandraguna dari seorang renta di hadapannya itu. Brandal mengaku kalah dan salah. Oleh karena itu pula, lelaki ningrat yang terusir dari Kadipaten Tuban ini segera memohon diterima berguru kepada Makdum. Ia rela melakukan apa saja demi menghapus dosa.

“Berbuat baik itu dengan kebaikan pula, bukan dengan keburukan,” kata Makdum. “Berhentilah merampok.”

“Bola-bola api ini….” sahut Brandal, seraya terus memegangi dadanya yang masih membara sejak ditembus bola-bola emas. Makdum menyambar lengan Brandal. Sekelebat melangkah, telah sampai ia di tubir rawa. Ia tancapkan tongkat di gumuk ringkih yang terus-menerus dilongsorkan oleh pergumulan antara angin dan air. Makdum membimbing Brandal untuk duduk. Bersila dengan mata terpejam, menghadap ke laut lepas di ujung sana. Brandal diajari bernapas sebelum ditinggalnya pergi.

“Ke mana angin bersarang, Nak? Ini, ke sini, ke dalam dadamu, ke napas. Napas, anpas, tanapas, nupus,” tutur Makdum.

“Sendika dawuh, saya mendengar dan melaksanakan, Romo Makdum,” jawab Brandal.

“Napas, menghirup udara dengan lubang hidung kiri. Anpas, membawa udara memasuki paru-paru kiri. Tanapas, melanjutkan perjalanan udara ke paru-paru kanan. Nupus, mendorongnya untuk kembali ke alam semesta dari lubang hidung kanan. Demikianlah jagat gede berpusar pada jagat alit sebagai porosnya. Serupa thawaf.”

Lalu, sepi. Tak ada lagi petuah dari Makdum. Angin seperti berubah arah, tak lagi menyertai gelombang pasang sebagaimana senja-senja yang telah berlalu. Seluruhnya menyergap laki-laki hijau yang hari demi hari semakin rapat terbungkus semak-semak rawa. Semula ia hanya bersandar sebatang pohon Glinggang tua yang nyaris mati. Tapi, pohon itu kini hidup lagi, menjadi kekar, dan menjelma tonggak baginya bersemedi.

“Delapan ratus lima tahun sudah usia pohon Glinggang itu,” kata Harun, seraya menunjuknya dengan ibu jari.

Sudah lima tahun ini, ia setiap hari hanya duduk tercenung menunggui pohon yang ditinggalkan Brandal sejak berangkat ke Demak. Hanya dua kali ia pulang kepada keluarga dan menengok petilasan Saridin, di mana ia sebelumnya bertugas jaga. Harun adalah seorang juru kunci yang sabar.

Berteman celupak sebagai pelita, ia setia di bawah gubuk renta. Jika kesabaran ada batasnya, maka kesetiaan adalah garisnya, dan Harun memiliki itu semua. Mengandalkan doa belaka dan Kehendak Tuhan atas dirinya, ia bertahan hidup dan kini berumur delapan puluh tahun. “Saya lahir pada hari Senin Pon di bulan Maulud, atau Rabi’ul Awal dalam almanak Hijriyah, pada Tahun Ehe.”

Sesekali, kata Harun, Kanjeng Sunan datang menjenguknya. Membawa kabar baru yang hanya ia yang boleh tahu. Gagal aku menyelidik lebih dari itu. Entah apa pula yang ia maksud dengan kehadiran Kanjeng Sunan. Entah datang dalam mimpi, entah kasat mata.

“Kanjeng Sunan?” tanyaku.

“Pada mulanya, ia terusir dari istana. Sepanjang perjalanan dari timur ke arah matahari terbenam, ia kibarkan bendera hitam. Tak ada yang tidak mengenal Brandal Lokajaya sampai akhirnya ia menanggalkan julukan itu setelah dikalahkan Makdum. Raden Maulana Makdum Ibrahim,” jelas Harun.

“Lokajaya? Brandal Lokajaya? Jadi, yang kakek kisahkan tadi itu Raden Sahid?” sergahku.

Entah sudah berapa batang yang ia selipkan ke bibirnya silih berganti. Tak lepas asap dari tembakau selama ia berbicara.

Makdum kembali kepada Brandal setelah lebih dari satu purnama. Tiga, atau barangkali empat, atau bahkan lebih. Bekas perampok yang telah ia tinggal itu masih manekung. Tongkat, batang pohon Glinggang, dan semak-semak rawa bersekutu membekap Brandal menjadi serupa batu. Tidak ada gerak sejengkal pun sejak ia mengatur napas dan bermeditasi.

“Dari ubun-ubun hingga pusarmu, huruf Alif. Garis tulang ekormu inilah huruf Lam. Di bawah pusar, huruf Mim disembunyikan,” kata Makdum.

Tak ada ucap dari bibir Brandal yang mulai bergetar. Masih memejam ia untuk beberapa saat. Mendengar uluk salam dari Makdum, barulah ia menjawab lirih namun masih dengan kelopak tertutup. Setelah kepalanya diusap beberapa kali oleh sang guru, tubuh Brandal rebah ke bumi. Puasa segala rupa yang entah sudah berapa lama itu akhirnya tuntas sempurna.

“Romo, saya mendengar suara,” kata Brandal.

“Ya, ya. Telah kau terima derajat yang mulia itu, Nak?” sahut Makdum.

“Saya tidak berani, Romo. Siapalah saya ini?”

“Kau kini seorang Sunan.”

Brandal bangkit. Dalam simpuh, ia mengatakan, suara yang diyakininya sebagai tuturan Ilahi itu mengangkat dirinya sebagai Sunan. Tapi, Brandal bahkan tak lagi bisa membanggakan diri sejak menyesali dosa-dosa dan perbuatannya yang melecut murka besar Aria Wilatikta, ayahandanya, serta mengucurkan tangis ibundanya.

“Sejak suara itu muncul, kodok-kodok yang menemani saya lantas memanggil saya dengan sebutan Sunan Tinari. Tapi, saya tetap saja seorang berandal, Romo.”

Makdum memegang pangkal lengan Brandal, mengajaknya bangkit. Untuk beberapa saat, keduanya berpelukan. Makdum kemudian membimbingnya menyusuri pinggiran rawa hingga tiba di muara. Menuju pertemuan antara Kali Opak dan Kali Oyo, kata Harun, dua insan itu dilingkupi temaram sinar rembulan menembus kegelapan. Kodok-kodok berloncatan mengejar.

Pasukan kodok itu berhenti beberapa depa dari Raden Maulana Makdum Ibrahim dan Brandal Lokajaya, yang bernama lahir Raden Sahid.

“Kau kini seorang Sunan. Dan, Kali Opak dan Kali Oyo inilah saksinya. Aku, Bonang, Sang Penjaga, yang menjaga hingga sempurna masa pengejawantahan jati dirimu. Sunan, Kali, Jaga. Mulai saat ini, namamu Sunan Kalijaga,” tegas Makdum.

Sunan Kalijaga bersujud.

Pasukan kodok bersujud. Semesta terdiam lama. Angin berhenti, tidak ada yang beranjak dari letak masing-masing sampai Bonang menghela napas panjang dan merangkul laki-laki muda yang kini absah sebagai aulia itu.

“Bangunlah, Sunan. Ikut aku naik perahu.”

Tanpa diperintah, pasukan kodok berloncatan menggenggam bongkah-bongkah tanah basah. Lempung demi lempung menambal perahu rapuh yang bocor di sana-sini itu. Bergegas pula kodok-kodok kembali ke bantaran. Bersujud, khusyu.

Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga diperjalankan oleh waktu hingga ke Demak. Pasukan kodok menunggu pohon Glinggang dan setiap cerita yang kini dikenang oleh Harun, dan diriwayatkannya kepada setiap orang yang datang. Juga kepadaku malam ini. Ia seorang diri di sini, di antara bayang-bayang muram pepohonan, gemericik air dan gesek dedaunan, desir angin memecah sunyi, dan kodok-kodok yang hinggap di sudut gubuk.

Kodok-kodok itu entah masih pasukan yang sama atau generasi berikutnya. Tak ada yang berani mengganggu mereka, kata Harun, karena memang tidak ada yang mau terkena petaka.

“Tak ada burung berkeliaran di rawa ini dan hinggap di pohon. Kodok-kodok inilah yang berkicau dan jadi satu-satunya hiburan,” kata Harun.

Sangat setia kodok-kodok menanti tuannya kembali. Padahal, Sunan Kalijaga telah wafat berabad-abad. Terakhir berjumpa dengannya, pasukan kodok datang ke Demak membawa malu luar biasa dan rasa bersalah tiada terkira. Mereka gagal membawa sebatang kayu jati dari Kali Opak. Kepada Sunan Kalijaga, pasukan kodok berkata bahwa kemarau telah mengeringkan sungai sehingga tak kuasa mereka mendayung kayu.

“Tak usah berkecil hati. Kabar telah sampai kepadaku sebelum kalian tiba di sini. Ini, sudah kukumpulkan tatal-tatal kayu untuk kujadikan sokoguru,” tutur Sunan Kalijaga.

“Seekor kodok dari bangsa kami pernah diselamatkan oleh Kanjeng Sunan. Tapi, kami justru tidak kuasa membalas budi. Kami siap dihukum mati, Sunan,” kata seekor kodok.

“Dihukum mati? Pohon Glinggang yang telah layu saja kumohonkan kepada Yang Maha Kuasa agar diberi hidup. Seekor orong-orong yang tak sengaja tertebas hingga terpisah leher dari badannya saja kusambung dengan serpih kayu jati sebagai ikhtiar setelah aku berdoa agar ia dihidupkan kembali. Bukankah seekor kodok di antara kalian juga pernah selamat dari ular karena….”

Sunan Kalijaga tidak menuntaskan kalimat. Ia terdiam sejenak, kemudian menyungging senyum lebar.

“Sudahlah. Pulanglah. Jaga pohon Glinggang. Teruslah mengabdi pada Yang Maha Kuasa dan jagalah rawa,” kata Sunan Kalijaga.

Baca: Cerpen Harimau Lepas

Sekali dalam hidup, seekor kodok nyaris ditelan ajal ketika seekor ular menyergapnya. Kodok itu dimangsa di depan Sunan Tinari yang tangguh mematung di pinggir rawa. Murid Makdum yang bersemayam dalam keheningan itu berzikir sesuai ajaran napas, anpas, tanapas, nupus. Pada saat yang bersamaan, ia mengembus nufus hingga mengeluarkan suara.

“Hu…” desah zikir Sunan Tinari, nama gelar bagi Brandal Lokajaya sebelum ditahbiskan sebagai Sunan Kalijaga.

Ular itu terperanjat, tak menyangka sebongkah batu besar yang tegak itu ternyata bukan patung. Seketika ia melepas mangsa dari mulutnya. Dan, kodok itu meloncat dari nganga ular yang hendak menyantapnya.

“HU sesungguhnya dari lafal dzikir Huwa, yang bermakna Dia, Tuhan Yang Maha Kuasa,” kata Harun.

Kepada kodok yang selamat, Sunan Tinari di kemudian hari menjelaskan bahwa ucapan “Hu” itu bermakna ganda. “Hu” yang dilontarkan kepada ular berarti “huntalen” atau telanlah. “Hu” yang dilontarkan kepada kodok berarti “hucula” atau lepaslah. Jika kodok itu memang ditakdirkan mati dimangsa ular, tidak ada penolong baginya, tidak pula ucapan “hu” dari dirinya. Oleh karena itu, Sunan tidak ingin kodok merasa berutang budi.

Satu dua ekor kodok muncul dari rerimbunan gulita. Tiga empat lainnya menyusul menampakkan diri. Malam masih panjang. Malam ini malam bulan purnama di Bulan Muharram. Namun, benderang rembulan yang dihalangi pohon-pohon tidak cukup memperlihatkan berapa kodok yang telah berkumpul. Harun memantik api lagi, membakar tembakau berikutnya.

Dari bibirnya kulihat ia mulai merapal mantra

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga cerpen Palung

Tuesday, May 30, 2017

CERPEN MAWAR HITAM OLEH CANDRA MALIK

mawar hitam
image Interflora
Engkau adalah kata yang hendak diucapkan pensil yang, meski telah kuruncingkan, ternyata tak segera berani memilih aksara pertama. Namamulah yang pada mulanya akan kutulis, namun kita belum saling mengenal. Kau diam di sana, duduk dengan selembar kertas kosong dan sebatang pensil pula. Aku di sini. Dan, kita bernasib sama.

Pada akhirnya kugambar saja ruas senyum yang kaubenamkan di antara bibir indahmu yang cemberut. Layak kuduga kau menunggu seseorang. Seseorang yang sangat dekat, yang sanggup membuatmu gagal menulis menu. Kau menantinya pasti untuk bertanya, ”Jadi, kita pesan apa?“ Aku memesan secangkir kopi saja. Tanpa gula. Aku memang tak terlalu suka pemanis untuk hal-hal yang memang dikodratkan pahit.

Jika tak meninggalkan serangkum bunga mawar beraneka warna di toko, demi mengikuti langkahmu ke sini, aku takkan pernah bisa secermat ini mengarsir lekuk pipimu. Alis tebal seperti itu hanya dimiliki bidadari, apalagi dengan kelopak mata yang terlihat berjodoh dengan tatapanmu yang gelisah. Kau begitu lama rela waktumu terbuang percuma untuk seseorang yang tak kunjung datang.

Ia pasti istimewa. Pasti tidak seperti aku yang bahkan mendekatimu untuk membawa kertas ini saja tak bernyali. Seharusnya kusampaikan padamu,

“Tadinya kertas ini kosong. Bukan sulap, bukan pula sihir. Abrakadabra. Di kertas ini kemudian muncul sesosok bidadari.” Ah, aku suka kau mulai tersenyum. Sudah kulupakan rangkum mawar yang seharusnya kuantarkan ke pemesan. Kaulah kembang sesungguhnya. Kuncup bibirmu saja indah, apalagi sekarang sudah mekar sedemikian menawan.

Kau membaca pesan dari entah siapa di telepon genggam yang sedari tadi kautengok-tengok layarnya dengan resah. Mungkin dari seseorang yang kautunggu. Dari caramu bertutur, bicara sendiri, kubaca mimikmu sempat marah. Tapi kau justru tersenyum, tak memaki. Ah, alangkah tinggi budi pekertimu. Sudah cantik, sangat sabar, rela berlama-lama menunggu, dan masih sanggup menahan ledakan murka. Ya, kau sepatutnya marah besar. Betapa tak tahu diri seseorang yang kautunggu itu.

Sudahlah, tinggalkan saja dia. Masih banyak laki-laki baik yang lebih cocok untukmu. Yang bisa menemanimu memilih sepatu boots, celana jeans butut, dan baju gunung. Aku masih takjub, bagaimana bisa segala simbol kejantanan itu menempel di tubuhmu dan kau jsutru semakin jelita. Kau biarkan saja derai-derai rambut memilih keasyikannya sendiri. Ada yang berdiam di pundakmu, ada pula yang terurai ke belakang. Ah, jenjang leher itu. Pensilku perlu menempuh perjalanan panjang untuk memahami keindahannya.

”Maaf, Anda sedang menggambar saya?“

Eits! Ya, Tuhan. Bagaimana bisa kau tiba-tiba di sini? Persis di depanku. Mataku terbelalak, sapaanmu menegakkan leherku yang sempat lama menunduk pada keelokan perempuan yang duduk berjarak dua meja di sana. Kamu, perempuan itu kamu. Perempuan yang membuatku terpaku tak berdaya melawan gerak pensil di kertas ini.

”Eh, iya. Silakan duduk. Maaf, boleh saya meneruskan menggambar?“

”Jadi, sedari tadi Anda memerhatikan saya? Mengapa tidak langsung menghampiri saya ke meja itu?“

Mampus! Harus kujawab apa? Harus bagaimana aku mengatakan bahwa itulah yang kuinginkan sejak mengikutimu dari toko? Tiga blok, lumayan jauh untuk sepasang kakimu yang seramping kaki-kaki rusa. Dari kaca tembus pandang di kafe ini, aku harus memastikan kau duduk dulu, barulah aku menyusul masuk. Duduk tak jauh, pun tak terlalu dekat. Menunggu isyarat untuk bisa menuju mejamu. Tapi kau tampak gusar, seperti menunggu seseorang.

”Saya pikir Nona menunggu seseorang.“

”Ah, sudahlah. Menyebalkan memang. Lain kali saya tidak mau lagi berhubungan dengan dia. Dua jam! Bayangkan, dua jam! Dan dia tetap tidak datang.“

Nah, ini isyarat yang kumaksud: pertanda semesta yang menyalakan lampu hijau sehingga aku bisa bergerak memasuki kehidupanmu. Mungkin ini saat yang tepat untuk bertanya nama.

”Saya Taksaka.“

”Oh. Ya. Terimakasih. Jadi, nanti gambar itu untuk saya?“

”Oh. Tentu, tentu. Saya tulis, untuk… Siapa nama Nona?”

”Biar begitu saja. Tulis nama Anda saja di situ. Dan nomor yang bisa saya kontak. Siapa tahu gambar ini senada dengan tema dinding saya.“

”Emm, baiklah. Tak-sa-ka, dan ini nomor telepon saya. Ada banyak bunga yang siap menyambut Nona. Silakan sewaktu-waktu mampir.”

Kau mengucap kata terimakasih yang ringkas, lalu kembali ke mejamu. Tak ada basa-basi yang cukup di antara kita. Tapi, tidak buruk-buruk amat, yang penting kita sudah bertegur sapa, dan kekagumanku terhadap kecantikanmu sudah langsung sampai ke tangan pertama. Kau memandangi goresan tanganku dengan senyum ayu. Eh, tapi mengapa tiba-tiba kau mengernyit, lalu memandangi aku seperti itu? Salah apa aku? Apakah… duh, mungkin karena garis hidung yang belum sempurna betul kugambar tapi kau sudah lebih dulu datang.

Baca: Cerpen Sipleg

Mati aku. Kau ke sini lagi. Sebentar, sebentar. Duh.

”Maaf. Saya sepertinya mengenal nomor telepon ini?”

”Oya? Wah, bahagia hati saya. Toko bunga saya memang terkenal di mana-mana.“

”Toko Bunga Oxy?”

”Ya, benar, Nona. Wah, ternyata kenal juga toko saya. Silakan duduk. Saya bisa cerita panjang lebar tentang bunga. Nama toko saya itu saya ringkas dari Epiphyllum oxypetalum. Nama Latin untuk bunga Wijayakusuma.” Kau menghela nafas panjang. Lalu menarik kursi, namun tidak beranjak. Tetap berdiri. Aku menjadi tidak enak hati, dan bangkit. Salah bicara apa aku sampai-sampai kau mengatupkan bibir serapat itu, meruncing, bahkan makin lama makin keras otot-otot di roman wajahmu. Garis-garis kelembutan yang tadi kugambar seketika menjadi keliru mengabadikan kekagumanku padamu.

”Mana bunga saya! Sudah dua jam saya menunggu, dan Anda ternyata hanya berleha-leha di sini! Nih, saya tidak butuh gambar ini! Saya memesan bunga! Bukan potret diri! Dan ini tidak lebih bagus dari coretan seniman-seniman di sepanjang Boulevard!”

Kautamparkan kertas dariku tadi ke angin, namun kerasnya sampai ke jantungku. Duh, hancur sudah segala wangi yang kuhimpun dari satu demi satu kuntum yang semula kuyakini sebagai kembang sejati ini. Perempuan secantik ini memarahiku di tengah puluhan orang yang bercengkerama, dan kini mereka mengarahkan percakapan kepada kita. Semua mata itu pasti menyalahkanku. Mereka pikir aku laki-laki tak berguna dan kau perempuan yang terluka.

Tadi, ketika kita sampai di sini, kafe masih sepi. Hanya ada kita dan satu-dua orang membenahi lampu-lampu. Mereka hilir-mudik melintasi meja-meja, naik-turun panggung kecil di sudut sana, seperti sengaja memberi garis di antara kita. Andai tak ada mereka, dan kafe ini milik kita berdua, mungkin aku lebih berani, dan kau tak perlu menggebrak untuk menjelaskan duduk perkaranya. Sebentar, Nona, saya salah apa? Kita saling kenal saja belum.

”Saya kemarin menelepon ke Toko Oxy, diterima seorang laki-laki bernama Raka, Saka, atau Taksaka, atau, ah, saya tahu, Anda yang bicara siang itu! Saya minta dikirimi bunga-bunga ke kafe ini. Saya baru akan membuka bisnis, dan Anda telah mengacaukannya!”

Astaga, pesanan bunga mawar itu ternyata darimu. Duh, mau kutaruh di mana mukaku. Tapi, kaulah yang membuatku lupa diri dengan buai kecantikanmu. Aku tak benar-benar bersalah, setidaknya bukan aku sendiri yang keliru. Mengapa pula kau mengayun kaki melewati tokoku?

”Tapi, Nona….“

”Oke, masih ada yang akan Anda pesan?”

”Maksud Anda?”

”Hari ini kafe belum dibuka untuk umum. Hanya mereka saja yang diundang saja yang hadir, dan meja ini sudah dipesan. Tamu-tamu saya sudah berdatangan. Silakan.“

Tanganmu mengusirku. Senyum sengit kali ini tak lagi sama dengan keceriaan yang tertangkap mataku ketika kau melintas laksana angin sepoi di musim gersang. Aku melenggang dan terlalu malu menjemput kertas bergambar kemolekanmu yang terdampar di antara kaki-kaki kursi. Tapi, siapa namamu, Nona?

AH, andai waktu itu kau sedikit saja berbesar hati menyebut satu cara untuk memanggilmu, aku takkan sebodoh ini berdiri memandangi rangkaian mawar ini. Maaf, siang itu, ketika kau menelepon, ah ternyata kau yang menelepon itu, tak bisa kupenuhi permintaanmu. Aku tak menyediakan edelweiss. Sewaktu remaja, sebelum membenamkan diri pada bunga-bunga, aku juga pernah mendaki gunung. Aku tahu tak boleh memetik bunga lambang keabadian cinta itu.

”Tak boleh meninggalkan sesuatu selain jejak kaki. Tak boleh membawa sesuatu kecuali kenangan. Jadi, maaf Nona, saya tidak bisa mengantar bunga edelweiss.”

”Bilang saja tak punya. Saya pikir Toko Oxy menyediakan semua.”

”Semua, selain edelweiss.”

”Lalu, mawar gunung apa yang Anda punya?“

”Maaf, Nona, edelweiss bukan termasuk keluarga mawar. Dia satu rumpun dengan bunga matahari.“

”Siapa bilang? Sudahlah, begini saja. Tolong kirim serangkum bunga mawar ke Kafe Ambrosia, Jalan Boulevard Blok F9 No. 20. Mawar apa pun.”

”Baik, pilihan yang indah. Bunga mawar, atas nama…”

Kau menutup telepon sebelum kata pujian beres kuucapkan sekadar untuk berbasa-basi kepada calon pelanggan baru. Dan kau tak meninggalkan nama. Yang kutahu, jalan yang kausebut itu tiga blok dari sini. Baiklah, besok biar aku sendiri yang mengantar. Perasaanku mengatakan, kau berbeda. Agak angkuh, tapi aku berani bertaruh: pasti gaya itu sepadan dengan daya pikatmu.

Sama memikatnya dengan perempuan yang melenggok sehari setelah kuterima telepon darimu. Dan, ya Tuhan, ternyata kalian orang yang sama. Kaulah penelepon itu, kau pula yang sekelebat melintasi tokoku dan kukejar. Sekarang, ke mana aku harus melacak jejakmu? Ke mana mesti kukirim serangkai bunga mawar ini? Atas nama siapa?

”Kheylia. Tolong kirim ke Kafe Ambrosia, Jalan Boulevard Blok F9 No. 20.”

”Kafe Ambrosia? Saya pernah ke sana. Baik. Dengan siapa saya bicara, mohon maaf, jika boleh tahu? Apakah dengan Nona Kheylia sendiri?”

”Oh, bukan. Saya Larasati.”

”Oh, maaf. Tapi, benar ya mawar hitam? Apakah memang sedang ada yang berduka?”

”Terimakasih telah bertanya. Ya, kami sangat berduka, terutama saya. Khey sudah pergi meninggalkan kami.“

”Khey?“

”Ya. Kheylia, pacar saya, pemilik kafe ini. Kheylia pamit mendaki gunung lagi. Dia sangat ingin membawa edelweiss Mahameru untuk dipajang di ruang kerjanya: dapur kue. Cinta kami tumbuh di dapur kafe ini. Tapi, Khey ternyata tak pernah kembali. Ia terakhir mengirim pesan bahwa ia bermalam di Kalimati.”

”Kapan itu?”

”Tiga tahun lalu. Saya memesan mawar hitam untuk mengenang seribu hari kepergiaannya.“

Kheylia. Ternyata itu namamu. Dan, aku baru tahu sekarang. Dari serangkum mawar hitam

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga cerpen Sang Penulis