Sunday, April 16, 2017

TAMU DARI MASA LALU OLEH GUNAWAN MARYANTO


lukisan kucing dalam keranjang
image cat in art
Sebuah tombak melayang ke arah dadanya. Melesat dengan cepat seperti pesawat terbang. Beruntung perempuan itu sempat menggeser tubuhnya ke samping sambil membelokkan arah badannya. Jleb! Tombak itu menancap di sebatang pohon yang terletak beberapa meter di belakangnya. Batang pohon itu pun bergetar seperti menahan sakit di tubuhnya. Beberapa lembar daun jatuh sebelum waktunya. Melayang pelan sebelum akhirnya rebah di tanah. Genduk Sulastri melempar sepasang matanya ke arah datangnya bahaya. Sesosok perempuan berdiri di sana. Sekar Palupi. Tak salah lagi. Itulah perempuan yang dicarinya. Perempuan yang baru saja terhindar dari maut itu menyeringai. Ia segera menggeser sedikit kakinya memasang kuda-kuda. Ia merendahkan tubuhnya dan memasang tangan di muka badannya. Tangan kanan seperti memegang cermin dan tangan kirinya seolah menyangga siku tangan kanannya. Sikap Bidadari Bercermin.

“Hebat juga kau bisa menghindar, Lastri. Galing telah mengajarimu banyak hal, ya?”

“Jangan sebut-sebut lagi nama itu. Aku datang dengan damai. Aku ingin berguru padamu, Palupi!”

“O ya? Apakah Galing melukaimu hingga kau ingin membalasnya?” Genduk Sulastri terdiam. Pertanyaan itu terdengar sangat menyakitkan. Tapi ia berusaha untuk menahan diri. Ia tak ingin memancing perkara dengan Sekar Palupi. Justru ia harus meraih hati perempuan yang begitu dibencinya itu untuk menjalankan rencana besarnya.

“Jika bukan karena Galing buat apa kau ingin berguru padaku? Apakah hatimu yang kotor itu telah kaubersihkan hingga kau berani menemuiku?”

Mata Palupi menatap tajam mata Sulastri seperti ingin menelisik isi hati perempuan itu.

Ingatannya kembali melayang ke peristiwa sepuluh tahun yang lalu saat Sulastri mempermalukannya di hadapan Galing. Dengan licik Sulastri telah mengiriminya sebuah surat. Seolah-olah surat itu datang dari Galing. Maka dengan suka cita dengan hati yang dipenuhi gelora asmara Palupi memenuhi undangan dalam surat tersebut. Ia datang ke rumah Galing. Tapi di sana justru ia mendapati Galing tengah memeluk Sulastri di teras rumahnya. Dengan wajah merah karena malu dan merasa dibohongi, Palupi meninggalkan halaman rumah Galing. Ia berlari pulang ke rumahnya. Tak menghiraukan panggilan Galing yang berusaha menyusulnya. Ia benar-benar malu.

Di rumah ia segera menemui bapaknya. Ia menghamburkan tubuhnya menubruk badan Surogento sambil menangis tersedu. Bapaknya seperti sudah tahu apa yang terjadi pada putri tunggalnya itu. Tapi meski demikian ia menunggu Palupi untuk menumpahkan isi hatinya. Maka meluncurlah cerita bercampur isak tangis dari mulut Palupi. Cerita yang sebenarnya telah lama diketahuinya––sudah lama diramalkannya. Betapa pun hati tetap tergetar mendengar cerita anaknya.

“Bapak tak bisa membantu. Sama sekali tak bisa membantumu,” kata Surogento dengan penuh welas setelah cerita Palupi benar-benar tamat.

“Kenapa, Pak? Apa karena Sulastri adalah anak Surobapang, kucing nomor satu di kampung ini?”

“Demi kamu aku akan melawannya sampai mati, Nduk, jika saja itu akan membuatmu bisa bersama Nak Galing. Tapi soalnya lebih dari itu,” Surogento menarik nafasnya lalu melanjutkan kalimatnya, “Galing telah menolak lamaranku.”

“Jadi Bapak sudah melamarnya? Untukku?” Palupi terperanjat.

“Untuk siapa lagi kalau bukan untukmu.”

Palupi kembali memeluk bapaknya sambil sesenggukan. Ia tak mengira bapaknya sampai sejauh itu memperjuangkan keinginannya.


“Selain menolak lamaranku ia juga mengalahkanku. Surogento kalah bertarung melawannya.” Ada nada getir pada suara laki-laki tua itu. Kesedihan dari seorang bapak yang telah melakukan segalanya untuk anak tercinta dan gagal total. Ia bahkan rela merendahkan dirinya datang ke rumah Galing, seorang pendatang baru, seseorang yang bukan siapa-siapa di kampung Kucingan.

Tiba-tiba dalam hati Palupi mulai tumbuh rasa benci terhadap Galing. Ia tak rela harga diri bapaknya direndahkan sedemikian rupa. Sebagai siluman kucing nomor dua tak selayaknya Surogento mendapatkan penolakan seperti itu. Dari seorang pendatang pula.

“Kamu harus bisa menerima kenyataan ini, Nduk. Ikhlas menerima bahwa Galing bukan jodohmu.” Palupi menggelengkan kepalanya.

“Saya rela tidak mendapatkan cinta Galing, Pak. Tapi saya tak rela bapak dikalahkannya.”

“Sudah. Lupakan. Aku akan mengubur kekalahan itu dalam-dalam. Kedatangan Galing sudah jauh hari diramalkan. Kedatangannya adalah akhir dari kejayaan Serikat Kucing Hitam di kampung ini.”

Palupi terpaku menatap wajah bapaknya. Apakah Galing adalah siluman Kucing Kembang Telon? Tidak mungkin. Ia pendatang. Tak ada darah kucing yang mengalir dalam tubuhnya. Ia hanya seorang dokter muda yang ditempatkan di sebuah desa terpencil di kaki gunung Kucingan. Ia orang kota yang tak tahu apa-apa. Pikiran Palupi berkecamuk dengan hebat. Semenjak kedatangan Galing ada banyak hal-hal aneh yang ditemuinya. Tapi tak semengejutkan malam itu.

“Bapak, ajari aku ilmu kucing. Aku akan membalas kekalahanmu.” Akhirnya Palupi sanggup mengumpulkan kalimat yang bertebaran dalam pikirannya. Ia kembali menjadi Palupi, seorang gadis desa yang cerdas dan keras kepala.

“Hmm. Anak bapak telah kembali. Aku melihat ibumu dalam dirimu. Seorang perempuan cerdas yang tak gampang menyerah. Tapi sudahlah. Tak baik memperpanjang masalah ini. Bapakmu kalah dengan terhormat.”

“Jadi Bapak tak mau menurunkan ilmu kucing kepadaku?”

“Kamu sudah tahu jawabannya,” Surogento menjawab dengan tegas. Palupi kembali terdiam. Ia tahu bahwa ilmu kucing bukan untuk anak perempuan seperti dirinya. Ilmu kucing adalah milik laki-laki seperti bapaknya.

“Jaman sudah berubah, Pak. Seluruh hal harus kembali ditawar. Termasuk ilmu kucing. Apakah selamanya ia akan menjadi milik para lelaki?”

Surogento terdiam. Ia tahu anaknya tak akan bisa dengan mudah menerima kenyataan. Ia begitu mirip dengan ibunya. Apakah ia harus berakhir seperti ibunya?

“Bukankah Sulastri juga mempelajari ilmu kucing bapaknya? Kenapa aku tidak bisa?”

“Karena bapak tak mau kehilangan kamu sebagaimana bapak kehilangan ibumu!” Surogento tiba-tiba meledak. Kesedihan yang selama ini dikurungnya dalam hati mendadak mendobrak keluar menjadi kemarahan yang mengerikan.

“Kedatanganku mengingatkanmu pada banyak hal ya, Palupi?” Suara Sulastri membuyarkan lamunannya.

“Galing mencintaimu, Palupi. Ia masih menunggumu hingga kini,” Sulastri melanjutkan perkataannya.

“Kau masih mau mempermalukanku lagi? Sudah lama kurelakan Galing menjadi milikmu. Aku sudah tak mencintainya lagi.” Palupi tersenyum. “Dan aku tak akan pernah kembali ke Kucingan lagi. Sudah kukubur masa laluku di sana.”

“Aku juga, Palupi. Terimalah aku menjadi muridmu. Aku tak akan mengkhianatimu.”

Palupi kembali menelisik ruang dalam Sulastri. Perempuan itu belum berubah, batinnya. Ia menyimpan ular dalam dirinya.

“Untuk apa kau berguru kepadaku. Bukankah seluruh ilmu kucing ayahmu sudah kaukuasai?”

“Kucing Hitam tak akan mampu melawan Kucing Kembang Telon, Palupi.”

“Jadi kau benar-benar ingin mengalahkan Galing? Ha ha…. Kau sama sekali tak berubah, Lastri. Sepuluh tahun tak mampu membersihkan hatimu dari dengki.” Sulastri tersenyum. Ia kenal betul bekas teman sekelasnya itu. Tak mudah percaya tapi mudah tersentuh hatinya. Sementara bibirnya terus menyungging senyum, pikiran Sulastri berputar mencari siasat yang lain. Ia harus mampu menaklukkan hati Palupi. Kitab Betaljemur harus jatuh ke tangannya.

“Atau kau tengah memburu Betaljemur seperti orang-orang lain?” Pertanyaan Palupi langsung menghunjam jantungnya. Sulastri tak lagi bisa tersenyum. Palupi telah menjadi seorang yang waskita yang mampu membaca jalan pikirannya.

“Jika itu yang kau cari, Sulastri, kitab itu tak ada padaku.” Sulastri merasa tak perlu lagi bersandiwara di hadapan bekas kawan karibnya itu. Tak ada gunanya. Palupi sudah sangat mengenalnya. Ditambah dengan kewaskitaan yang sekarang dimilikinya, Palupi bukanlah lawan tandingnya.

“Tapi guruku bilang kitab itu ada padamu.”

“Semua orang juga bilang begitu. Tapi kitab itu tak pernah ada padaku.” Palupi tak pernah berbohong. Sulastri tahu itu.

Kitab Betaljemur. Kitab jahanam itu lagi, batin Palupi. Dalam seminggu sudah ada lima orang datang menemuinya. Mereka hendak merebut kitab itu dari tangannya. Sebagaimana pada Sulastri, Palupi pun mengatakan hal yang sebenarnya: kitab itu tak ada padanya. Hanya ada satu hal yang belum dikatakannya; bahwa ia sudah membaca sebagian isi dari Betaljemur. Dalam mimpinya. Jadi memang ada benarnya juga kenapa orang-orang menuduhnya telah memiliki kitab itu. Sebagian besar kesaktiannya ia pelajari dari kitab keramat itu.

“Jadi kitab itu tak ada padamu? Lalu dari mana seluruh kesaktianmu kau peroleh jika tidak dari kitab itu?” Sulastri berusaha mengorek keterangan dari Palupi. Palupi tersenyum sambil menunjuk-nunjuk kepalanya. Gerakan khas Palupi jika sedang pamer kecerdasannya. Sulastri terbahak ingat masa-masa sekolah mereka.

“Kau pun tak jauh berubah, Palupi. Masih sama seperti dulu. Bedanya kini kau bisa mengalahkan ayahku.”

“Siapa guru yang menyuruhmu datang ke tempatku?” Palupi membelokkan percakapan, tak ingin terjebak dalam nostalgia.

“Nyi Gandalayu,” jawab Sulastri apa adanya. Ia merasa itulah jalan untuk bisa mendekati Palupi.

“Ayahmu tentu akan bunuh diri jika tahu kau berguru pada janda genit itu.”

“Ha ha. Kau benar, Palupi. Untunglah ayahku sudah meninggal.” Palupi terkejut, “Ayahmu? Kapan? Kenapa?” Ia sama sekali tak mendengar kabar apa pun dari kampung halamannya sepanjang sepuluh tahun. Ia telah membakar kampung halaman dalam kepalanya. Dan bersumpah mati tak akan pulang apa pun yang terjadi. Sekali pun bapaknya mati. Kedatangan Sulastri memang telah membangkitkan banyak hal dalam dirinya yang semula dikiranya sudah mati.

“Beberapa bulan setelah kepergianmu, ayah bertarung dengan Galing. Sehabis pertarungan itu kesehatannya menurun cepat. Dan di sebuah subuh ia meninggal.”

“Aku turut berduka, Sulastri. Jadi karena itu kau meninggalkan Galing?” Sulastri mengangguk meski bukan itu yang sesungguhnya terjadi antara dirinya dengan Galing. Yang benar adalah semenjak kepergian Palupi, Galing tak mau lagi bertemu dengannya. Ia marah karena Sulastri dengan licik telah menyingkirkan Palupi. Surobapang kemudian menantang Galing demi menjaga harga diri keluarganya—termakan rengekan Sulastri. Dan hasilnya sebagaimana yang diutarakan Sulastri, Surobapang kalah dan jatuh sakit. Sampai di sebuah subuh ia meninggal.

“Terimalah aku menjadi muridmu, Palupi. Aku ingin membalas kematian ayahku. Aku ingin mengembalikan kejayaan Serikat Kucing Hitam.”

“Hatimu harus dicuci berulang kali untuk bisa menjadi muridku.” Jawab Palupi dengan enteng.

“Sekarang pulanglah. Sampaikan kepada gurumu bahwa aku tak memiliki kitab itu.”

Sulastri melompat mendekati Palupi, “Kasihanilah aku, Palupi. Aku tak bisa kembali tanpa kitab itu. Terimalah aku menjadi muridmu agar aku bisa mempelajari isi kitab.”

“Sudahlah, Lastri. Kau sudah berguru pada Nyi Gandalayu. Jika kau mau berguru padaku, kau harus membuang seluruh ilmu yang kau peroleh darinya.”

“Aku bersedia, Palupi. Akan kubuang seluruh ilmu yang telah kuperoleh.”

“Kau tak bisa membohongiku lagi. Kau tak akan membuang ilmu hitam dari Nyi Gandalayu. Kau akan mengkhianatiku jika kuterima sebagai muridku. Dan kau akan menggabungkan ilmu yang kau terima dariku dan Nyi Gandalayu. Lalu kau akan mendatangi satu per satu Siluman Kucing Hitam yang tersisa. Mengalahkan dan mengambil ilmu mereka. Dan barulah kau menantang Galing. Begitulah yang kubaca dari hatimu. Sekarang pergilah.” Palupi membalikkan badannya dan mulai melangkah pergi.

“Aku tak akan pergi tanpa kitab itu atau kepalamu!” Sulastri langsung menerkam punggung Palupi. Tapi Palupi sekarang bukanlah Palupi sepuluh tahun yang lalu yang dengan mudah menjadi barang permainan Sulastri. Dengan menggeser sedikit badannya ke samping, maka Sulastri pun menerkam ruang kosong. Sulastri sejenak berguling di tanah kemudian dengan cepat berbalik kembali menerkam Palupi. Gerakannya begitu ringan dan cepat. Perpaduan antara kelincahan kucing hitam dan keringanan tubuh didikan Gandalayu. Kali ini Palupi tak menghindar. Ia ingin menatar kekuatan tenaga Sulastri. Dan tubuh perempuan itu pun berbenturan di udara. Sulastri terlontar jauh ke belakang sedangkan Palupi mendarat dengan cantik di atas tanah.

Tubuh Sulastri keras membentur tanah. Tubuhnya terasa remuk, seperti baru saja membentur tembok beton yang kokoh dan tebal. Ia tahu Palupi bukanlah lawan tandingnya, tapi ia benar-benar tak menduga akan terkapar hanya dalam satu kali gebrakan. Sulastri mengerang kesakitan. Sebenarnya ia masih sanggup untuk bangun. Tapi pikiran jahatnya kembali bekerja. Ia akan kembali menjebak Palupi.

“Ah…. Ampun, Palupi. Aku menyerah kalah,” katanya dengan suara menghiba.

“Jika begitu pulanglah sekarang. Tinggalkan tempatku sekarang juga dan jangan sekali-kali kau menginjakkan kaki di bukit Jatinom ini,” jawab Palupi dengan tenang namun tegas.

“Iya, Palupi. Tapi tolonglah aku. Aku tak sanggup bangun lagi,” Sulastri melanjutkan muslihatnya. Palupi bergeming di tempatnya. Ia tak begitu saja percaya. Peristiwa barusan telah membuktikan bahwa hati Sulastri tetap dipenuhi ular berbisa.

“Tolonglah aku, Palupi,” Sulastri tak putus asa mencoba, “Palupi….” Sebenarnya Palupi tak tega mendengar rintihan teman masa kecilnya itu. Tapi demi mengingat seluruh perbuatan Sulastri, Palupi harus menebalkan hatinya untuk tak mudah jatuh kasihan. Maka dengan berat hati pun ia melangkah pergi.

“Jika sampai nanti sore aku masih mendapatimu di sini, aku akan membunuhmu.” Katanya sambil berlalu.

Sulastri mencoba upaya terakhirnya. Jika gagal ia pun akan segera berlalu dari tempat itu.

“Ada pesan dari Galing yang harus kusampaikan.” Ucapnya lirih tapi jelas terdengar di telinga Palupi. Langkah Palupi terhenti. Tapi ia tak membalikkan badannya.

“Katakan,” katanya dengan dingin meski hatinya tengah bergejolak. Ia tak pernah benar-benar bisa membunuh Galing dalam ingatannya. Harapan kembali tumbuh di dada Sulastri. “Ia bilang bahwa ia mencintaimu.” Hati Palupi bergetar hebat. Bayang-bayang Sawunggaling kembali muncul.

“Terimakasih,” Palupi buru-buru meredam perasaannya. “Selamat tinggal, Lastri.” Palupi kembali mengayunkan langkahnya.

“Dan ia menitip sebuah surat. Aku harus menyampaikannya kepadamu atau aku akan menyesal seumur hidupku.” Kalimat itu membuat Palupi kembali menghentikan langkahnya. Kali ini segera berbalik ke arah Sulastri.

“Iya, benar. Surat itu ada di kantong celanaku. Ambilah. Badanku terlalu lemah untuk menyampaikannya padamu.” Sulastri menebar perangkapnya yang terakhir. Palupi bergeming. Tapi sebagian dari dirinya memberontak, mengajak mendekati tubuh Sulastri. Pelan namun pasti Palupi pun melangkah ke arah Sulastri.

Kejadian berikutnya berlangsung dengan begitu cepat. Tepat ketika Palupi berjongkok di samping Sulastri untuk mengambil surat Galing dari saku celana, Sulastri menggerakkan tangannya dengan cepat: ia menusukkan sesuatu ke perut Palupi. Sungguh terlambat bagi Palupi untk menyadari bahaya yang mengancamnya. Meski begitu secara spontan tubuhnya telah bergerak menghindar. Tusukan Sulastri tak tepat mengenai ulu hatinya. Patrem, senjata di tangan Sulastri, hanya melukai kulit dada Palupi, membuat garis panjang yang segera mengeluarkan darah. Tapi bersamaan dengan itu telapak tangan Palupi telah bersarang dengan tepat di leher Sulastri. Tebangan yang cukup keras telah mendarat di sana. Membuat Sulastri mengaduh kesakitan lalu diam.

Palupi segera memeriksa lukanya sambil bersungut-sungut mengutuk kebodohannya sendiri. Dengan cepat ia berusaha menghentikan aliran darah di sekitar lukanya. Diliriknya Sulastri masih terkapar tak bergerak. Ia periksa detak jantung kembang desa Kucingan itu. Meski lemah ia bisa merasakan jantung Sulastri masih berdetak. Entah kenapa ia merasa lega. Bukan hanya karena ia selamat dari jebakan maut Sulastri. Tetapi juga karena Sulastri tak mati di tangannya. Dalam satu kali sentakan tubuh Sulastri sudah semampir di bahunya. Dan ia pun melangkah pergi. Kembali ke pondoknya. 

Terima kasih sudah berkunjung. Semoga memberi inspirasi dalam memajukan satra Indonesia. Baca juga Puisi Peristiwa Oleh Rivai Apin
 

No comments:

Post a Comment