Sunday, April 16, 2017

PANJI RENI OLEH GUNAWAN MARYANTO


gambar kartun gadis
image Misa Amane
Pada hari naas itu Angreni bangun sedikit terlalu siang. Ia tak mendapati Panji Inu Kertapati di sebelahnya. Lelaki yang dicintai itu telah sibuk di kebun belakang ketika matanya menemukan seekor kupu-kupu hinggap di bantal sebelahnya. Ia sama sekali tak menaruh firasat apa-apa. Pada hari yang lain mungkin ia akan membatin tentang akan datang seorang tamu penting ke rumah mereka. Tapi tidak. Ia segera beranjak dari tempat tidur, membuka jendela kamar, dan menemukan punggung Inu Kertapati yang mengilat oleh keringat.

“Pagi, Kangmas.”

Inu Kertapati menoleh.

“Siang,” jawabnya sambil tersenyum.

Ia meletakkan cangkulnya dan segera mendekat ke jendela.

“Perempuan cantik tetap akan cantik meski ia baru bangun tidur,” godanya.

“Meski bangunnya kesiangan?” Angreni balas menggoda. Panji Inu Kertapati tak menjawab.

Tapi dengan cepat ia memeluk istrinya itu. Yang dipeluk pura-pura telat menghindar.

“Gak mau. Gak mau. Badan Kakang basah keringat!” Tapi Inu Kertapati tak mau melepaskannya.

“Perempuan cantik akan tetap wangi meski ia belum mandi,” katanya sambil menciumi wajah Angreni. Sekali lagi Angreni pura-pura menghindar sambil tersipu malu.

“Bau rambutmu seperti bau hutan pada pagi hari.” Angreni tersipu malu.

“Pagi itu seperti pagi yang biasanya. Tak ada hal-hal yang khusus yang terjadi,” kata Prasanta, “Mereka seperti lumrahnya pasangan yang baru saja menikah. Setiap saat adalah saat yang tepat untuk saling mencumbu.”

Lelaki tua itu tersenyum tapi kesedihan seperti tak mau pergi dari wajahnya. “Ya, tapi begitulah. Pagi itu adalah terakhir kalinya bahagia itu ada,” tambahnya setelah berhenti agak lama.

Tampaknya ia baru saja kembali dari pagi yang terjadi tiga tahun yang lalu itu.

“Nakmas, sudah tahu kelanjutannya, bukan?”

Aku mengangguk. Jenggala memang kehilangan cahaya sejak pagi itu. Angreni ditemukan terbunuh di ruang tamu rumahnya dan Panji Inu Kertapati hilang dengan menggendong mayat isterinya tersebut. “Saya menyesal tak mengikuti jejaknya. Saya benar-benar tak tahu harus berbuat apa. Saya hanya melihat majikan saya itu berjalan dengan membopong tubuh istrinya. Kejadian itu memaku seluruh tubuh saya. Juga pikiran saya.”

Itulah kali terakhir Prasanta melihat majikannya. Jurudeh, rekannya, juga tak jauh berbeda ceritanya. “Tak akan ada yang menyangka pembunuhan yang keji akan terjadi pagi itu. Saya bisa merasakan betapa terpukulnya hati majikan saya. Bayangkan saja, belum genap seminggu ia menikah, ia harus berpisah dengan istrinya dengan cara setragis itu. Tapi sungguh ia adalah seorang kstaria yang halus perasaannya. Ia tak membalas dendam kepada sang pembunuh. Tapi memilih pergi. Ia lebih memilih menyalahkan dirinya sendiri sebagai penyebab kematian itu. Nakmas tahu kan siapa yang paling bertanggungjawab atas pembunuhan itu?”

Aku kembali mengangguk.

Cerita yang lain baru kudapatkan ketika aku berhasil menemui Panji Kartala, adik Panji Inu Kertapati, yang tak lain adalah sang pembunuh keji itu. Agak susah menemukan kediamannya sejak peristiwa berdarah tersebut. Mungkin perasaan bersalah terus mengejarnya hingga ia memilih mengasingkan diri dari keramaian. Kini ia tinggal di sebuah gubug di lereng Gunung Wilis. Pada kedatanganku yang pertama ia sama sekali tak mau bercerita. Ia terus menutup pintunya rapat-rapat apalagi ketika tahu maksud kedatanganku. Aku sama sekali tak sempat melihat wajahnya. Ya, aku tahu kedatanganku pasti mengungkit luka lamanya. Tapi aku tak menyerah begitu saja. Aku tahu ia masih ada di balik pintu itu, menungguku melangkah pergi meninggalkan gubuknya.

“Raden, saya tak bermaksud mengungkit-ungkit kembali peristiwa itu. Saya hanya ingin mendengar cerita yang sebenarnya, langsung dari mulut Raden. Saya hanya seorang tukang cerita yang ingin tahu cerita sebenarnya. Apakah Raden ingin dikenal sebagai pembunuh keji sepanjang hidup Raden. Mungkin pengakuan dari Raden bisa menjernihkan kejadian itu.”

Ia tak menyahut. Tapi aku yakin ia belum melangkah pergi dari balik pintu kayu itu. Pasti ia mendengar seluruh perkataanku dengan jelas.

“Baiklah, Raden. Jika Raden belum siap saya akan datang ke sini tiga hari lagi. Saya tidak akan memaksa Raden untuk bercerita. Apa pula hak saya. Tapi mungkin cerita Raden akan bisa sedikit meringankan penderitaan yang bertahun-tahun Raden sandang.”

Sehabis kalimat itu aku segera melangkah pergi.

Tiga hari kemudian, ketika sore sudah hampir habis, aku datang lagi dan mendapati pintu kayu itu setengah terbuka. Sebuah pertanda baik, batinku.

“Masuklah, Tuan,” sebuah suara terdengar datar dari dalam ruangan.

Suara Panji Kartala. Aku segera masuk ke dalam ruangan, satu-satunya ruangan yang ada dalam gubuk tersebut. Sempit dan gelap. Sama sekali tak ada cahaya. Sisa-sisa matahari sore seperti tak berani masuk ke dalam gubuk. Hatiku bergetar. Mungkin seekor kambing pun akan menolak dikandangkan di situ. Tak terbayangkan olehku, seorang anak raja yang seharusnya tinggal dalam kasatrian yang megah harus berdiam dalam ruangan sempit yang pengap dan gelap seperti itu. Saking gelapnya aku tak bisa segera menemukan sosoknya.

“Duduklah, Tuan. Maaf keadaannya seperti ini,” suaranya kembali terdengar. Mungkin sengaja untuk menuntunku yang tampak kebingungan menempatkan diri dalam gelap. Suaranya persis datang dari arah depanku.

“Duduk saja sesuka Anda, Tuan. Tak ada apa-apa dalam ruangan ini. Jadi Anda bisa duduk di mana saja.”

Aku segera duduk di tempatku berdiri saat itu. Menurut dugaanku Panji Kartala tengah duduk di depanku. Jadi saat itu kami tengah duduk saling berhadapan. Semoga saja pandanganku segera terbiasa dengan kegelapan sehingga bisa mengenali sosoknya yang misterius. Tapi harapanku sepertinya tak akan terkabul. Cahaya benar-benar telah menyingkir dari hidup Panji Kartala.

“Saya bukan pembunuh, Tuan,” ia segera memulai ceritanya, “Bukan saya yang membunuhnya. Saya mencintai Kangmas saya. Saya juga mencintai Angreni yang telah membuat Kangmas saya begitu bahagia.”

Panji Kartala berhenti. Ia mengambil napas panjang, seperti tengah mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan ceritanya.

“Malam itu ayah memanggil saya. Saya diminta untuk segera menghabisi nyawa Angreni. Perempuan itu telah merusak seluruh agenda keluarga kami, demikian alasannya. Rencana pernikahan Kangmas dengan Sekartaji jadi berantakan karena kehadirannya. Seperti Anda tahu, jika bisa terlaksana, pernikahan Panji Inu Kertapati dengan Sekartaji itu bukan pernikahan biasa, tapi pernikahan dua negeri; Jenggala dan Kediri. Jadi jalan satu-satunya untuk melancarkan kembali rencana itu adalah dengan menyingkirkan Angreni.” Panji Kartala kembali terdiam. Sepi. Saya bahkan tak mendengar embusan napasnya. Lelaki perkasa yang saat itu duduk di hadapan saya benar-benar telah mati sebelum waktunya.

“Malam itu saya tak bisa tidur, Tuan. Perasaan saya kacau balau antara melaksanakan atau menolak perintah itu. Panji Inu Kertapati adalah seorang kakak yang begitu saya hormati dan cintai. Saya tak akan sampai hati melukai perasaannya dengan menyingkirkan Angreni. Saya tahu kakak saya sangat mencintai perempuan itu hingga ia rela menanggalkan seluruh gelar kebangsawanannya demi mendapatkan perempuan desa itu. Tapi perintah raja adalah perintah dewata. Mau tidak mau saya harus melaksanakannya. Kalau pun saya menolak tentu ayah akan mengutus saudara-saudara saya yang lain. Sama saja. Angreni tetap akan tersingkirkan.”

Cerita Panji Kartala terus mengalir deras seperti Sungai Brantas. Mungkin baru kali itulah ia membeberkan semuanya. Aku seperti tengah menyaksikan sebuah bendungan yang jebol. Ia menumpahkan seluruh perasaannya yang aku tahu tak akan mengubah kenyataan—ia juga tahu pastinya: Angreni tak akan bisa hidup lagi.

Ia berlama-lama dalam menggambarkan kebimbangan hatinya. Mungkin dengan demikian perasaan bersalahnya akan sedikit berkurang. Ia seperti ingin menunjukkan bahwa ia tak melakukan pembunuhan itu sepenuh hatinya. Ia hanya sekadar menjalankan perintah. Aku tak terlalu tertarik dengan ceritanya di bagian tersebut meski aku bisa merasakan kesungguhan ceritanya. Bahkan jika aku menuruti perasaanku mungkin aku akan hanyut dalam kesedihannya. Barulah ketika ia menceritakan detail peristiwa di rumah Panji Inu Kertapati ia kembali berhasil menarik perhatianku. Bagian itulah yang selama ini tidak pernah berhasil aku dapatkan. Hanya tiga orang yang mengetahui dengan pasti apa yang sesungguhnya terjadi di rumah kecil di pinggir hutan itu: Panji Inu Kertapati, Angreni dan lelaki menyedihkan di hadapanku itu.

“Kangmas menerima kedatangan saya dengan gembira. Ia memeluk saya lama sekali. Kedatangan saya dianggapnya sebagai pertanda baik bagi hubungannya dengan kerabat yang lain. Angreni juga menyambut saya dengan terbuka. Sungguh seorang perempuan yang mulia. Betapa beruntungnya Kangmas karena bisa mendapatkan perempuan serupa itu. Kecantikan dan keramahannya melebihi putri-putri kraton yang pernah saya kenal. Setelah berbasa-basi di ruang tamu saya segera menjalankan rencana yang telah saya susun sepanjang perjalanan.”

Sebuah siasat telah disusun. Ia membuat berita palsu bahwa Lembu Amiluhur, ayah mereka, sakit keras. Satu-satunya jalan bagi kesembuhannya adalah dengan obat bernama Tlutuhing Kayu Kastuba Roning Sandilata. Seluruh kerabat sudah berusaha mendapatkan tapi tak ada satu pun yang pulang membawa hasil. Harapan satu-satunya kini berada di pundak Panji Inu Kertapati.

“Mendengar kabar itu Kangmas langsung tampak sedih. Ia menduga penyakit yang diderita ayah disebabkan oleh pernikahannya dengan Angreni. Pagi itu ia berencana kembali ke Jenggala untuk menengok ayah. Tapi saya buru-buru mencegatnya. Saya katakan yang terpenting saat ini adalah mendapatkan obat. Perkara keluarga bisa diselesaikan kemudian setelah ayah berhasil disembuhkan. Angreni sedari awal hanya diam mendengarkan percakapan kami. Wajahnya sedikit berubah ketika saya pertama kali menyebut nama obat itu. Saya takut ia telah mengendus siasat saya. Dan memang demikianlah yang saya rasakan. Perempuan itu seperti mampu membaca pikiran saya. Tapi anehnya ia hanya diam saja. Kenyataan itu membuat nyali saya makin ciut.”

Panji Inu Kertapati telah termakan siasat adiknya. Ia memutuskan berangkat pagi itu juga menuju Gunung Penanggungan di mana obat itu konon berada. Panji Kartala diminta tinggal untuk menjaga Angreni selama kepergiannya. Aku heran, jika benar Angreni telah mengendus rencana jahat Panji Kartala, kenapa ia membiarkan suaminya pergi. Tapi pertanyaan itu segera terjawab.

“Memang demikianlah yang saya harapkan. Kangmas Inu Kertapati pergi dan saya bisa membunuh Angreni tanpa rintangan siapa pun. Kami melepas kepergian Kangmas di pintu depan. Ia pergi dengan diiringi Jurudeh dan Prasanta sebagaimana biasanya. Hanya tinggal kami berdua di rumah kecil itu: saya dan Angreni, perempuan yang harus segera saya bunuh.”

Kemudian cerita berhenti. Lama sekali. Panji Kartala tak ingin melanjutkannya.

“Ini bagian tersulit, Tuan. Semoga Anda bisa memahaminya. Semoga Anda menghormati perasaan saya. Saya benar-benar tak bisa melanjutkannya.”

Aku pun meninggalkan gubuk itu. Tak ada lagi yang bisa kulakukan untuk membujuknya menceritakan bagian terpenting dari peristiwa pembunuhan pada sebuah pagi tiga tahun yang lalu itu. Aku seperti hampir mencapai sebuah tempat dan tiba-tiba saja harus berhenti. Dipaksa untuk berhenti. Tak ada yang bisa kulakukan lagi. Ia satu-satunya sumber yang ceritanya tentu akan sangat kupertimbangkan dibanding kabar-kabar burung yang santer terdengar tentang kisah pembunuhan Angreni. Sumber yang lain adalah Angreni. Untuk itu aku harus menunggu mati untuk bisa menemuinya. Dan kelak jika aku berhasil bertemu dengannya seluruh cerita ini tak akan ada gunanya. Cerita ini penting bagi yang hidup. Bukan yang mati. Dan tentu saja aku tak bisa menyalahkan Panji Kartala yang tak mau meneruskan ceritanya. Sebagaimana Panji Inu Kertapati, aku lebih menyalahkan diriku atas kegagalan tersebut. Mengutuk kelemahanku yang tak mampu mengorek cerita lebih jauh dari mulut Panji Kartala. Sebagaimana Panji Kartala, lebih baik aku melupakan saja cerita ini.

Sebuah keajaiban datang pada sebuah pagi, beberapa bulan setelah pertemuanku dengan Panji Kartala. Keajaiban itu datang dalam wujud sepucuk surat. Surat dari Panji Kartala. Tampaknya ia sudah berubah pikiran. Memilih untuk menuntaskan ceritanya. Aku sama sekali tak menduganya. Pikiranku sudah disibukkan oleh cerita-cerita yang lain, yang tak kalah seru dan menyentuh. Berikut aku kutipkan sebagian yang merupakan kelanjutan ceritanya. Yang lain tak penting benar aku sampaikan.

Sehabis kepergian Kangmas Inu Kertapati ke Gunung Penanggungan, Angreni segera mempersilakan saya kembali masuk ke dalam.

“Mari masuk, Dik. Ada yang ingin kubicarakan,” katanya dengan penuh kelembutan.

Saya mengikutinya ke ruang tamu. Hati saya makin berdebar-debar. Mungkin ia akan membuka muslihat saya. Tapi bukan perkara itu benar yang saya risaukan. Karena bagaimanapun saya harus segera membunuhnya. Mengakhiri muslihat saya. Perkara yang lebih penting adalah apakah saya sanggup membunuh perempuan itu. Apakah saya sanggup melukai hati Kangmas Inu Kertapati. Dan saya akan segera menemukan jawabannya. Tapi terlebih dulu saya ingin mendengar apa yang hendak disampaikan Angreni.

Ia mengambil tempat duduk persis di seberang saya. Di antara kami hanya ada sebuah meja kayu sederhana. Tak ada hiasan apa-apa di atasnya. Hanya tiga gelas air putih sisa pertemuan tadi. Perempuan itu menatap saya dengan lembut. Tak berlebihan jika saya katakan bahwa tatapan semacam itu hanya bisa dimiliki oleh seorang bidadari. Kemudian jantung saya berdetak lebih keras dari yang seharusnya. Keringat dingin mulai mengalir di seluruh tubuh saya.

“Dik, aku sudah siap. Di mana Adik akan melakukannya?”

Hati saya benar-benar ciut. Perempuan itu sudah membaca segalanya. Dan yang lebih menggentarkan lagi, ia sama sekali tak menolak kenyataan yang mesti dihadapinya.

“Aku kan obat yang dibutuhkan oleh ayahanda Lembu Amiluhur?”

Saya menundukkan kepala saya dalam-dalam. Rasanya leher saya sudah tak sanggup lagi untuk menegakkannya.

“Akulah Tlutuhing Kayu Kastuba Roning Sandilata. Darahkulah getah kayu Kastuba. Tubuhkulah daun Sandilata yang akan menyembuhkan sakit beliau, benar demikian kan, Dik?”


Saya benar-benar tak bisa bicara, Tuan. Perempuan mulia itu telah mengalahkan saya.

“Lakukanlah apa yang mesti kaulakukan, Panji Kartala. Tugasmu adalah membunuhku. Dan jika memang benar kematianku akan membahagiakan Jenggala aku rela menyerahkan nyawaku. Apalagi jika kematianku akan membuat hidup Kangmas Panji Inu Kertapati lebih bahagia dari apa yang didapatnya sekarang bersamaku.”

Perempuan itu kini telah bersimpuh di hadapan saya.

“Lakukan sekarang atau aku akan melakukannya sendiri.” Kejadian selanjutnya berlangsung begitu cepat. Keris yang semula berada di pinggang saya telah berpindah tempat. Keris itu tahu-tahu sudah menancap di dada Angreni. Saya baru menyadari kejadian itu ketika tubuhnya jatuh menimpa paha saya. Perempuan itu tewas di pangkuan saya, Tuan. Tubuhnya mengejang sebentar kemudian diam untuk selama-lamanya.

Demikianlah, Tuan. Kemudian saya bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Saya ingin pergi sejauh-jauhnya. Saya ingin melupakan peristiwa itu.

Cerita dari Panji Kartala itu setidaknya cukup menjawab teka-teki seputar pembunuhan Angreni yang telah menyebabkan Panji Inu Kertapati hilang ingatan dan pergi tak jelas di mana rimbanya. Tentu saja cerita ini bukanlah kebenaran tunggal yang layak untuk dipercaya begitu saja. Ah, aku ingin cepat-cepat menyelesaikan cerita ini.

Lalu segera menyerahkannya kepada Entit. Petani desa yang kaya raya itu pasti sudah tak sabar menunggu cerita pesanannya jadi.

Terima kasih sudah berkunjung, semoga memberi manfaat. Baca juga puisi Kupu-Kupu oleh Acep Zamzam Noor 

No comments:

Post a Comment