image Maryna Kriuchenko |
JERIT SANDAL JEPIT
Di celah-celah sudut sempit terhimpit
Manusia seperti sandal jepit menjerit-jerit
Pohon-pohon pun tertawa
Tertawa melihat manusia
Ia kembali bersujud
Jiwa terasing dalam dunia bising
Diinjak, remuk, permak
Lalu kiamat
Ia tamat
Lalu, ia kembali bersujud
Di celah-celah sudut sempit terhimpit
Manusia seperti sandal jepit menjerit-jerit
Pohon-pohon pun tertawa
Tertawa melihat manusia.
LELAH
Usai sudah
Hanya angin tertiup hempaskan gelisah
Kurindu hangat alam di puncak Rinjani
Pasrah
Menyerahlah setiap yang ingin kalah
Tapi aku?
Ingin kembali mencium lembut Dewi Anjani
Dan aku tidak akan menyerah
Walau lelah menghampiri sudah.
Usai sudah
Hanya angin tertiup hempaskan gelisah
Kurindu hangat alam di puncak Rinjani
Pasrah
Menyerahlah setiap yang ingin kalah
Tapi aku?
Ingin kembali mencium lembut Dewi Anjani
Dan aku tidak akan menyerah
Walau lelah menghampiri sudah.
MALAM RABIUL AWAL
Kuingin
Malam-malam bersua denganmu
Kala hujan turun
Membasah kalbu
Ia sempurna
Tapi bukan dewa
Bukan juga Pencipta
Ia manusia seperti kita
Kuingin
Malam-malam bersua denganmu
Kala hujan turun
Membasah kalbu.
Kuingin
Malam-malam bersua denganmu
Kala hujan turun
Membasah kalbu
Ia sempurna
Tapi bukan dewa
Bukan juga Pencipta
Ia manusia seperti kita
Kuingin
Malam-malam bersua denganmu
Kala hujan turun
Membasah kalbu.
MERETAS DI ATAS BATAS
Aku mau berdiri
Berlari
Mengejar matahari
Rumput-rumput terdiam
Melihat keheningan alam
Ada manusia kecil lahir dengan tangis
Ada manusia besar melihat dengan binar
Ia pun bertanya
Untuk apa ia dicipta?
Ku ingin tegar
Bahwa hidup kita
Akan kembali seperti ada
Berakhir dengan tangis
Atau bersudah dengan cahaya
Meretas di atas batas…
Aku mau berdiri
Berlari
Mengejar matahari
Rumput-rumput terdiam
Melihat keheningan alam
Ada manusia kecil lahir dengan tangis
Ada manusia besar melihat dengan binar
Ia pun bertanya
Untuk apa ia dicipta?
Ku ingin tegar
Bahwa hidup kita
Akan kembali seperti ada
Berakhir dengan tangis
Atau bersudah dengan cahaya
Meretas di atas batas…
NASIHAT IBU
Nasihat ibu tidak selalu diterima anak
Namun selalu indah mekar dalam merenung
Ibu tidak memberi batu buat anak yang minta roti
Para satria sejati tidak berselisih dengan musuh
Tapi dengan kesempatan yang sembunyi dalam waktu
Seekor domba batu terpeleset di ngarai
Mengerang mengunggu angon membawa tongkat
Yang membutuhkan telinga di dalam hati
Menyaring antara kenyataan dan pernyataan
Geram di saat hilang akal membuat kepala berasap
Sebagai puntung yang terpaksa padam oleh ludah
Ibu mengakhiri lagu ninabobo buat anak
Supaya anaknya terus melek tidak tidur.
Mari menjadi anak sebab Tuhan menyayangi anak.
Nasihat ibu tidak selalu diterima anak
Namun selalu indah mekar dalam merenung
Ibu tidak memberi batu buat anak yang minta roti
Para satria sejati tidak berselisih dengan musuh
Tapi dengan kesempatan yang sembunyi dalam waktu
Seekor domba batu terpeleset di ngarai
Mengerang mengunggu angon membawa tongkat
Yang membutuhkan telinga di dalam hati
Menyaring antara kenyataan dan pernyataan
Geram di saat hilang akal membuat kepala berasap
Sebagai puntung yang terpaksa padam oleh ludah
Ibu mengakhiri lagu ninabobo buat anak
Supaya anaknya terus melek tidak tidur.
Mari menjadi anak sebab Tuhan menyayangi anak.
PERMATA
Seperti permata yang digosok dari cuma batu
Kita tahu kemerdekaan adalah kemewahan
Dari keringat duka bercampur peluh
Menumpahi persediaan rasa sabar
Warna kulit dan tambo silsilah, memang
Gampang mempermainkan krama nasib
Dan kita senang mengingat-ingat borok
Itu Daendels atau Jan Pieterzoon Coen
Zonder menghukum cakal-bakal kita sendiri
Yang menjual tanah mereka kepada si Belanda
Hingga kita dikirakan keledai selama berabad
Jika kita terbelusuk dalam pemiskinan, kini
Lihat, masih ada kemelaratan di tetangga
Terhibur kita dengan melihat ke bawah
Pandang semua masalah selaku pelukis
Menghadapi kanvas-kanvas kosongnya
Dan lukis dengan visi penyerahan
Sebab apa untung dibius rasa bersaing
Toh semua kematian cadangannya ketelanjangan
Permata kita yang asli mesti kita bilang
Ada di matinya kemauan-kemauan darah.
Seperti permata yang digosok dari cuma batu
Kita tahu kemerdekaan adalah kemewahan
Dari keringat duka bercampur peluh
Menumpahi persediaan rasa sabar
Warna kulit dan tambo silsilah, memang
Gampang mempermainkan krama nasib
Dan kita senang mengingat-ingat borok
Itu Daendels atau Jan Pieterzoon Coen
Zonder menghukum cakal-bakal kita sendiri
Yang menjual tanah mereka kepada si Belanda
Hingga kita dikirakan keledai selama berabad
Jika kita terbelusuk dalam pemiskinan, kini
Lihat, masih ada kemelaratan di tetangga
Terhibur kita dengan melihat ke bawah
Pandang semua masalah selaku pelukis
Menghadapi kanvas-kanvas kosongnya
Dan lukis dengan visi penyerahan
Sebab apa untung dibius rasa bersaing
Toh semua kematian cadangannya ketelanjangan
Permata kita yang asli mesti kita bilang
Ada di matinya kemauan-kemauan darah.
TIADA AIR MATA BAGI SEORANG BEDEBAH
Ia membangun rumah di atas harkat impian
Bertiang dendam berjajar-jajar
Berlantai harap bertingkat-tingkat
Berjendela rindu bergandeng-gandeng
Padahal di atasnya ia Cuma butuh satu atap
Yang menutup rahasia dari kuasa satu matahari
Menembus gudang penyimpan segala rimbeng nestapa
Asal hatinya menangisi esok yang bagian kemarinnya
Muncul sebuah telunjuk menyuruhnya lihat ke puri
Yang terus berdiri walau dipukul gelombang
Di laut menuju tanah tepu bekas Batavia
“Maukah kau mengulangi tinggal di dalamnya
tempat orang-orang memelihara geram dan kesumat?”
suara perempuan , apah Pertiwi, lahirkan gairah
Ia berhenti berharap menemukan perhentian
Di itu puri tinggal merpati berekor-ekor
Bersayap emas berparuh emas berkaki emas
Terbang sampai di lingkar bimasakti
Tapi senang dia di etalase
Ia tangkap merpati-merpati
Dan berubah jadi satu merpati
Mati mimpinya membangun rumah di atas harkat
Dan telunjuk yang pernah menyuruh memilih
Kini menuding-nuding jidat dan matanya
“Upah dosa adalah maut,” suara itu
Ia menjerit meraung gaung berkilo-kilo siapa peduli
Tiada air mata bagi seorang bocah berdebah, hatta!
Ia membangun rumah di atas harkat impian
Bertiang dendam berjajar-jajar
Berlantai harap bertingkat-tingkat
Berjendela rindu bergandeng-gandeng
Padahal di atasnya ia Cuma butuh satu atap
Yang menutup rahasia dari kuasa satu matahari
Menembus gudang penyimpan segala rimbeng nestapa
Asal hatinya menangisi esok yang bagian kemarinnya
Muncul sebuah telunjuk menyuruhnya lihat ke puri
Yang terus berdiri walau dipukul gelombang
Di laut menuju tanah tepu bekas Batavia
“Maukah kau mengulangi tinggal di dalamnya
tempat orang-orang memelihara geram dan kesumat?”
suara perempuan , apah Pertiwi, lahirkan gairah
Ia berhenti berharap menemukan perhentian
Di itu puri tinggal merpati berekor-ekor
Bersayap emas berparuh emas berkaki emas
Terbang sampai di lingkar bimasakti
Tapi senang dia di etalase
Ia tangkap merpati-merpati
Dan berubah jadi satu merpati
Mati mimpinya membangun rumah di atas harkat
Dan telunjuk yang pernah menyuruh memilih
Kini menuding-nuding jidat dan matanya
“Upah dosa adalah maut,” suara itu
Ia menjerit meraung gaung berkilo-kilo siapa peduli
Tiada air mata bagi seorang bocah berdebah, hatta!
BERDIRI SEORANG IBU
Sakit
Adalah rasa
Aku tidak pernah mengerti
Mengerti ada air di kelopak mara
Kalau kau sakit
Dan rambutmu putih sudah
Apakah kau seperti aku juga
Membayangkan ajal sebagai karunia
Tanyakan sakit
Pada seorang perempuan
Ketika ia memberi buah zaman
Atas ajaran nenek moyang peri cinta
Berteriak waktu sakit
Supaya jiwa terkuras
Dan ketertekanan
Dan ketakutan
Hidup
menjadi indah
setelah sakit pergi sementara
Dan di depan mata berdiri seorang ibu.
Sakit
Adalah rasa
Aku tidak pernah mengerti
Mengerti ada air di kelopak mara
Kalau kau sakit
Dan rambutmu putih sudah
Apakah kau seperti aku juga
Membayangkan ajal sebagai karunia
Tanyakan sakit
Pada seorang perempuan
Ketika ia memberi buah zaman
Atas ajaran nenek moyang peri cinta
Berteriak waktu sakit
Supaya jiwa terkuras
Dan ketertekanan
Dan ketakutan
Hidup
menjadi indah
setelah sakit pergi sementara
Dan di depan mata berdiri seorang ibu.
PAHLAWAN YANG SOK PAHLAWAN
Yang berjuang dulu
Dan mati dalam perang
Memang disebut pahlawan
(gambar pejuang tanpa pamrih)
Yang berjuang dulu
Tapi hidup senang sekarang
Ingin juga disebut pahlawan
Gambar pejuang dengan pamrih
Yang berjuang dulu
Dan mati dalam perang
Memang disebut pahlawan
(gambar pejuang tanpa pamrih)
Yang berjuang dulu
Tapi hidup senang sekarang
Ingin juga disebut pahlawan
Gambar pejuang dengan pamrih
PRESIDEN
Presiden pertama
bermain mata dengan komunis
Presiden kedua
bermain mata dengan kapitalis
Presiden ketiga
bermain mata denga presiden kedua
Presiden keempat
tidak mungkin bermain mata
Presiden pertama
bermain mata dengan komunis
Presiden kedua
bermain mata dengan kapitalis
Presiden ketiga
bermain mata denga presiden kedua
Presiden keempat
tidak mungkin bermain mata
POTRET
Anak-anak berlari-lari, lalu
Bernyanyi, ”Ambilkan bintang, Bu!”, setelah itu
Berkata, ”Pak, ’bu, minta uangnya”.
Semua terdiam tak memperhatikan
”Lapar, belum makan”, wajah memelas
100, 200, 500 dan 1000 rupiah
Senyumlah sang anak, ia pergi
Berlari bernyanyi kembali
Potret bangsa sore ini
Anak-anak berlari-lari, lalu
Bernyanyi, ”Ambilkan bintang, Bu!”, setelah itu
Berkata, ”Pak, ’bu, minta uangnya”.
Semua terdiam tak memperhatikan
”Lapar, belum makan”, wajah memelas
100, 200, 500 dan 1000 rupiah
Senyumlah sang anak, ia pergi
Berlari bernyanyi kembali
Potret bangsa sore ini
PERCAKAPAN RAHASIA
Kucuri uang ini saat perut amat lapar
Belikan nasi, kumakan, tapi tetap terasa lapar
Lalu, kucuri lagi
Kumakan lagi
Tapi tetap terasa lapar
Begitu seterusnya hingga terkapar
Aku sadar tanpa khayal
Hidup ini penuh rasa lapar
Lapar uang, kekuasaan, wanita dan sebagainya
Aku berbisik kepada malaikat
Ssssstt….sssssttttt
Jangan bilang siapa-siapa
Ini percakapan rahasia dengan Tuhan.
Kerren....
ReplyDelete2019??
ReplyDelete