Wednesday, April 12, 2017

KUMPULAN PUISI MENARIK OLEH REMY SYLADO


gambar sendal jepit
image 
JERIT SANDAL JEPIT 

Di celah-celah sudut sempit terhimpit
Manusia seperti sandal jepit menjerit-jerit
Pohon-pohon pun tertawa
Tertawa melihat manusia

Ia kembali bersujud

Jiwa terasing dalam dunia bising
Diinjak, remuk, permak
Lalu kiamat
Ia tamat

Lalu, ia kembali bersujud

Di celah-celah sudut sempit terhimpit
Manusia seperti sandal jepit menjerit-jerit
Pohon-pohon pun tertawa
Tertawa melihat manusia.

LELAH
Usai sudah

Hanya angin tertiup hempaskan gelisah
Kurindu hangat alam di puncak Rinjani

Pasrah
Menyerahlah setiap yang ingin kalah
Tapi aku?

Ingin kembali mencium lembut Dewi Anjani
Dan aku tidak akan menyerah
Walau lelah menghampiri sudah.

MALAM RABIUL AWAL

Kuingin
Malam-malam bersua denganmu
Kala hujan turun
Membasah kalbu

Ia sempurna
Tapi bukan dewa
Bukan juga Pencipta
Ia manusia seperti kita

Kuingin
Malam-malam bersua denganmu
Kala hujan turun
Membasah kalbu.

MERETAS DI ATAS BATAS

Aku mau berdiri
Berlari
Mengejar matahari

Rumput-rumput terdiam
Melihat keheningan alam

Ada manusia kecil lahir dengan tangis
Ada manusia besar melihat dengan binar

Ia pun bertanya
Untuk apa ia dicipta?

Ku ingin tegar
Bahwa hidup kita
Akan kembali seperti ada
Berakhir dengan tangis
Atau bersudah dengan cahaya

Meretas di atas batas…

NASIHAT IBU

Nasihat ibu tidak selalu diterima anak
Namun selalu indah mekar dalam merenung
Ibu tidak memberi batu buat anak yang minta roti

Para satria sejati tidak berselisih dengan musuh
Tapi dengan kesempatan yang sembunyi dalam waktu
Seekor domba batu terpeleset di ngarai
Mengerang mengunggu angon membawa tongkat
Yang membutuhkan telinga di dalam hati
Menyaring antara kenyataan dan pernyataan
Geram di saat hilang akal membuat kepala berasap
Sebagai puntung yang terpaksa padam oleh ludah

Ibu mengakhiri lagu ninabobo buat anak
Supaya anaknya terus melek tidak tidur.
Mari menjadi anak sebab Tuhan menyayangi anak.

PERMATA

Seperti permata yang digosok dari cuma batu
Kita tahu kemerdekaan adalah kemewahan
Dari keringat duka bercampur peluh
Menumpahi persediaan rasa sabar

Warna kulit dan tambo silsilah, memang
Gampang mempermainkan krama nasib
Dan kita senang mengingat-ingat borok
Itu Daendels atau Jan Pieterzoon Coen
Zonder menghukum cakal-bakal kita sendiri
Yang menjual tanah mereka kepada si Belanda
Hingga kita dikirakan keledai selama berabad

Jika kita terbelusuk dalam pemiskinan, kini
Lihat, masih ada kemelaratan di tetangga
Terhibur kita dengan melihat ke bawah

Pandang semua masalah selaku pelukis
Menghadapi kanvas-kanvas kosongnya
Dan lukis dengan visi penyerahan
Sebab apa untung dibius rasa bersaing
Toh semua kematian cadangannya ketelanjangan

Permata kita yang asli mesti kita bilang
Ada di matinya kemauan-kemauan darah.

TIADA AIR MATA BAGI SEORANG BEDEBAH

Ia membangun rumah di atas harkat impian
Bertiang dendam berjajar-jajar
Berlantai harap bertingkat-tingkat
Berjendela rindu bergandeng-gandeng
Padahal di atasnya ia Cuma butuh satu atap
Yang menutup rahasia dari kuasa satu matahari
Menembus gudang penyimpan segala rimbeng nestapa

Asal hatinya menangisi esok yang bagian kemarinnya
Muncul sebuah telunjuk menyuruhnya lihat ke puri
Yang terus berdiri walau dipukul gelombang
Di laut menuju tanah tepu bekas Batavia
“Maukah kau mengulangi tinggal di dalamnya
tempat orang-orang memelihara geram dan kesumat?”
suara perempuan , apah Pertiwi, lahirkan gairah
Ia berhenti berharap menemukan perhentian

Di itu puri tinggal merpati berekor-ekor
Bersayap emas berparuh emas berkaki emas
Terbang sampai di lingkar bimasakti
Tapi senang dia di etalase
Ia tangkap merpati-merpati
Dan berubah jadi satu merpati
Mati mimpinya membangun rumah di atas harkat
Dan telunjuk yang pernah menyuruh memilih
Kini menuding-nuding jidat dan matanya
“Upah dosa adalah maut,” suara itu

Ia menjerit meraung gaung berkilo-kilo siapa peduli
Tiada air mata bagi seorang bocah berdebah, hatta!

BERDIRI SEORANG IBU

Sakit
Adalah rasa
Aku tidak pernah mengerti
Mengerti ada air di kelopak mara

Kalau kau sakit
Dan rambutmu putih sudah
Apakah kau seperti aku juga
Membayangkan ajal sebagai karunia

Tanyakan sakit
Pada seorang perempuan
Ketika ia memberi buah zaman
Atas ajaran nenek moyang peri cinta

Berteriak waktu sakit
Supaya jiwa terkuras
Dan ketertekanan
Dan ketakutan

Hidup
menjadi indah
setelah sakit pergi sementara
Dan di depan mata berdiri seorang ibu.

PAHLAWAN YANG SOK PAHLAWAN

Yang berjuang dulu
Dan mati dalam perang
Memang disebut pahlawan
(gambar pejuang tanpa pamrih)

Yang berjuang dulu
Tapi hidup senang sekarang
Ingin juga disebut pahlawan
Gambar pejuang dengan pamrih

PRESIDEN

Presiden pertama
bermain mata dengan komunis
Presiden kedua
bermain mata dengan kapitalis
Presiden ketiga
bermain mata denga presiden kedua
Presiden keempat
tidak mungkin bermain mata

POTRET

Anak-anak berlari-lari, lalu
Bernyanyi, ”Ambilkan bintang, Bu!”, setelah itu
Berkata, ”Pak, ’bu, minta uangnya”.

Semua terdiam tak memperhatikan

”Lapar, belum makan”, wajah memelas

100, 200, 500 dan 1000 rupiah
Senyumlah sang anak, ia pergi
Berlari bernyanyi kembali
Potret bangsa sore ini

PERCAKAPAN RAHASIA

Kucuri uang ini saat perut amat lapar
Belikan nasi, kumakan, tapi tetap terasa lapar
Lalu, kucuri lagi
Kumakan lagi
Tapi tetap terasa lapar
Begitu seterusnya hingga terkapar

Aku sadar tanpa khayal
Hidup ini penuh rasa lapar
Lapar uang, kekuasaan, wanita dan sebagainya

Aku berbisik kepada malaikat
Ssssstt….sssssttttt
Jangan bilang siapa-siapa
Ini percakapan rahasia dengan Tuhan.

Terima kasih sudah berkunjung. semoga menginspirasi. Baca juga puisi kupu-kupu

2 comments: