image KH. A. Mustofa Bisri |
KH. Ahmad Mustofa Bisri atau lebih akrab di sapa dengan nama Gus Mus. Merupakan salah satu kiai Indonesia yang memiliki jiwa seni yang tinggi. Hingga namanya cukup tenar di kalangan sastrawan. Tidak hanya budayawan, Gus Mus juga seorang penyair dan pelukis. Ia sudah pernah melakukan pameran lukisan yang diisi 99 lukisan amplop, 10 lukisan bebas dan 15 kaligragi. Tepatnya pada tahun 1998 di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta. Kemampuannya dalam seni lukis ini mendapat komentar dari seorang curator seni rupa yaitu Jim Supangkat. Menganggap lukisan yang dibuat oleh Gus Mus dapat menghasilkan kesan yang ritmik menuju zikir, berbeda dari kaligrafi biasanya yang berkesan diindah-indahkan.
Prestasi dengan jiwa seni yang gemilang. Dipastikan ada pendidikan yang menyokong dibelakang. Namun apa yang diketahui, ada pada masa pendidikannya yang sedikit bermasalah. Tahun 1956 tamat sekolah dasar. Melanjutkan pendidikan di sekolah Tsanawiyah, sayangnya Gus Mus keluar setahun berada disana. Keluarganya tidak mungkin membiarkan begitu saja. Gus Mus masuk sekolah Pesantren Lirboyo, Kediri selama dua tahun. Berpindah lagi ke Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Selama disana ia di didik lansung oleh KH. Ali Maksum selama tiga tahun. Setelah itu kembali ke kota kelahirannya untuk mengaji dan di arahkan lansung oleh ayahnya.
Rembang, Jawa Tengah, merupakan kota kelahiran Gus Mus. Tepatnya di tanggal 10 Agustus 1944. Setelah menyelesaikan pendidikannya di Indonesia. Tahun 1964 Gus Mus dikirim ke Kairo, Mesir, Universitas Al-Azhar memilih jurusan studi Keislaman dan Bahasa Arab. Dimana saat belajar disana, Ia satu angkatan dengan KH. Abdurrahman Wahid, mantan Presiden Indonesia yang akrab di panggil Gus Dur. Selama belajar di Kairo Gus Mus menemukan kemampuannya dalam membuat puisi. Saat itu Perhimpunan Pelajar Indonesia membuat majalah. Salah satu pengurusnya adalah Gus Dur. Setiap ada halaman yang kosong Gus Dur meminta Gus Mus untuk mengisinya, yang terkadang diisi dengan puisi atau lukisan apa saja yang penting halaman kosong tersebut terisi.
Kemampuan melukis Gus Mus mulai nampak saat usianya masih remaja, waktu mondok di Pesantren Krapyak, Yogyakarta. Ia sering berkeliling ke rumah-rumah pelukis. Dan salah satu rumah yang pernah disinggahinya adalah pelukis Indonesia, Affandi. Selama berada dirumahnya, Gus Mus memperhatikan Affandi melukis. Acap kali di waktu luang, dalam dirinya selalu ada keinginan untuk melukis. Akhirnya bermodal spidol, pena atau cat air untuk sekadar corat-coret. Tapi itu hanya kadang-kadang saja, dan tidak dilakukan dengan serius. Sedangkan apresiasinya dalam menulis sudah menghasilkan lumayan banyak baik fiksi maupun non fiksi. Sering kali melalui karya-karyanya itu Gus Mus selalu menunjukkan sikapnya yang kritis terhadap budaya yang berkembang di masyarakat. Salah satunya pada tahun 2003, saat goyang ngebor Inul sedang menuai kontroversi. Gus Mus membuat lukisan yang berjudul berdzikir bersama Inul.
Salah satu penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri berpendapat, karakter dalam puisi Gus Mus terbilang tidak berbunga-bunga, sajak-sajaknya tidak berupaya dipercantik-cantik. Wajar dan sederhana merupakan bahasa yang nampak dari ketidakinginan untuk mengada-ada. Cara berbahasanya lansung, gamblang, namun puisi yang dibuat tidak berasa hambar maupun sekadar klise. Saat kembali ke Indonesia, di tahun 1987 melalui Gus Dur saat itu sedang menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian sedang membuat acara Malam Palestina salah satu agenda acara adalah pembacaan puisi karya penyair Timur Tengah. bukan hanya pembacaan puisi terjemahan, tapi ada juga pembacaan puisi aslinya. Dikesempatan ini Gus Mus fasih berbahasa Arab dan Inggris, mendapat tugas membaca karya penyair Timur Tengah dalam bahasa aslinya. Dari kegiatan ini Gus Mus kembali aktif dalam perpuisian.
Kecerdasan dan jiwa kritikus yang membangun mendorongnya mendapat kepercayaan menjadi ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke-31 28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah. Dimana Ia merupakan salah satu yang mendklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa dan mendesain logo PKB yang masih digunakan hingga saat ini.
Gus Mus yang dikenal memiliki pribadi yang bersahaja dan berambisi kuat. Dengan latar belakang keluarga santri. Mulai dari kakeknya, yang merupakan seorang ulama, kemudian ayahnya, H. Zainal Mustofa. Di tahun 1941 membangun Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin. Mempunyai prinsip sendiri yang Ia katakan ‘Harus bisa mengukur diri’. Sebelum mulai terjun ke lembaga apapun, Gus Mus akan mempertimbangkan dirinya sendiri, dan menakar skala kemampuannya. Tepat pada pencalonannya menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama pada Muktamar NU ke-31 itu, Gus Mus menolak. Ia tidak menginginkan kursi pencalonannya itu. Keenggangan untuk mendapat jabatan lebih tinggi pernah juga dilakukan saat Ia tercatat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Tengah tahun 1987-1992, perwakilan dari PPP, anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kemudian mantan Rois Syuriah PB NU periode 1994-1999 dan 1999-2004. Barisan posisi ini tidak Ia inginkan untuk menjabat kembali. Karena terlalu sering menolak untuk dijadikan calon Ketua Umum, terdengar kabar akhirnya utusan Kyai sepuh bertemu dengan ibunya, Marafah Cholil, agar memberikan izin putranya dicalonkan. Tapi ibunya menjawab dengan singkat. ‘Mustofa itu tak jadi Ketua Umum PB NU saja sudha tak pernah di rumah, apalagi kalau menjadi ketua umum. Nanti saya tak pernah ketemu.’
Tahun 2004, walaupun namanya sudah dipastikan menjadi calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari Jawa Tengah. Sebelum pemilihan dilakukan Gus Mus segera mencabut pencalonannya. Ia merasa dirinya bukanlah orang yang tepat untuk duduk di kursi pemerintahan. Gus Mus merasakan apa yang rakyat berikan tidak sepadan dengan apa yang Ia sendiri berikan andai wakil rakyat semuanya berpikir seperti ini, walaupun mereka duduk di kursi pemerintahan setidaknya mereka tidak gila-gilaan mengambil uang rakyat. Saat masih duduk di kursi pemerintahan, Ia merasakan ada pergolakan batin, sebagai wakil rakyat, yang menerima lebih banyak dibandingkan dengan apa yang biasanya saya berikan kepada rakyat Jawa Tengah, kata Gus Mus.
Jakarta, 13 Agustus 2015. Gus Mus mendapatkan tanda penghormatan dari presiden Joko Widodo sebagai Bintang Budaya Parama Dharma, dan acaranya ini berlansung di Istana Negara.
Kyai Mustofah merupakan pengasuh Pondok Pesantren Raudhatuh Tholibin, Leteh, Rembang dan menjadi Rais Syuriah PBNU. Ia menikah dengan Siti Fatimah, dan diberikan tujuh keturunan, enam orang diantaranya adalah perempuan. Satu-satunya putra dimiliki adalah anak ke enam, Mochamad Bisri Mustofa, yang kini tinggal di Madura dan menjadi santri di sana.
• Dasar-dasar Islam (terjemahan, Penerbit Abdillah Putra Kendal, 1401 H).
• Ensklopedi Ijma' (terjemahan bersama KH. M.A. Sahal Mahfudh, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1987).
• Nyamuk-Nyamuk Perkasa dan Awas, Manusia (gubahan cerita anak-anak, Gaya Favorit Press Jakarta, 1979).
• Kimiya-us Sa'aadah (terjemahan bahasa Jawa, Assegaf Surabaya).
• Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa, Penerbit Al-Huda Temanggung).
• Ohoi, Kumpulan Puisi Balsem (Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991,1994).
• Tadarus, Antalogi Puisi (Prima Pustaka Yogya, 1993).
• Mutiara-mutiara Benjol (Lembaga Stuenggan (menolak) dicalonkan menjadi Ketua Umum PB Nahdlatul Ulama dalam Muktamar NU ke-31
28/11-2/12-2004 di Boyolali, Jawa Tengah.di Filsafat Islam Yogya, 1994).
• Rubaiyat Angin dan Rumput (Majalah Humor dan PT. Matra Media, Cetakan II, Jakarta, 1995).
• Pahlawan dan Tikus (kumpulan pusisi, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1996).
• Mahakiai Hasyim Asy'ari (terjemahan, Kurnia Kalam Semesta Yogya, 1996).
• Metode Tasawuf Al-Ghazali (tejemahan dan komentar, Pelita Dunia Surabaya, 1996).
• Saleh Ritual Saleh Sosial (Mizan, Bandung, Cetakan II, September 1995).
• Pesan Islam Sehari-hari (Risalah Gusti, Surabaya, 1997).
• Al-Muna (Syair Asmaul Husna, Bahasa Jawa, Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, 1997).
• Fikih Keseharian (Yayasan Pendidikan Al-Ibriz, Rembang, bersama Penerbit Al-Miftah, Surabaya, Juli 1997).
Terima kasih sudah berkunjung, semoga memberi inspirasi untuk berkreasi dalam sastra Indonesia. Baca juga kumpulan puisi Gus Mus
No comments:
Post a Comment