#e6e600
Selisih setahun, dia lebih tua dariku bukan suatu masalah untuk mendapatkan romantisme. Kupastikan putih abu-abu ini kutinggalkan dengan penuh kenangan indah. Pertemuan kami sederhana. Aku tertarik dengan anak pemilik toko yang menjual peralatan renang. Bukan berarti aku mengincar agar diberi peralatan gratis kalau ada peralatan berenang yang sudah lapuk. Namun itulah cinta, datang tanpa undangan, terkadang kabur semaunya.
Dia tidak pernah diberi kesempatan bermalam minggu. Jadi kesempatanku hanya pagi minggu. . Punya calon mertua yang begitu protect dengan putrinya. Setidaknya tidak perlu jadi laki posessif. Kugaruk kepalaku yang terkadang ketombean, merasa malu dengan pikiran anak kencur putih abu-abu sudah berani berkelana pakai calon mertua.
Aku pamitan dengan ibunya sebelum keluar, sedangkan ayahnya sudah lama meninggal karena penyakit jantung. Minggu lalu kami ke dermaga menikmati matahari senja yang hangat. Kali ini ganti suasana, sedikit ramai. Dia ingin ke taman hiburan. Kupenuhi saja pintanya. Dibilang tomboi tidak juga, feminim tidak juga. Seimbanglah. Seperti cowok lainnya terkadang punya otak nakal yang menyusup. Aku memilih naik roller coster.
Pengaman sudah terpasang dengan kuat. Kupandangi wajahnya yang cukup tegang. Dan berbisik kearahnya, kalau kau takut kau bisa memegang. Kalimatku belum selesai perlahan roller coaster berjalan lembut. Kuperkuat peganganku pada dudukan, angin tornado mulai membelai. Jantungku berdenyut tidak beres. Kecepatan semakin meningkat. Turun, naik, berbelok hingga badan jadi terpontang panting kiri dan kanan. Aku tidak dapat menakar lagi dengan akal sehat. Kupejamkan mata berusaha menahan gengsi untuk teriak. Perutku seolah berada dalam belender, sarapan tadi pagi ingin keluar tepat saat kepala dapat dijadikan pijakan untuk berjalan. Kulirik sebentar Jikei yang berteriak histeris tepat di sebelahku. Tangannya terangkat dan mulut terbuka lebar, mungkin wajahnya seperti itu saat bersorak untukku. Tetap manis walau sedikit sinting. Semua rambutnya terhambur ke depan, kacau.
“Aku ingin lagi!” dia menarik tanganku yang sedang membungkuk berusaha mengeluarkan makanan yang tertahan di batas kerongkongan.
“Oh, ini punyamu?” kupegangi perutku dengan sedikit meringis. Berusaha meraih simpati agar Jikei mencari wahana yang lebih nyaman saja.
“Iya, kapan jatuhnya?” kuraih kalung yang berbetuk angka delapan dan huruf i kapital ditengah.
“Aku rasa pernah melihat kalung ini, dimana ya.” Kalung ini pemberian ayahku saat masih kecil, hanya itu peninggalan yang paling berharga bagiku sebelum pergi karena kecelakaan lalu lintas. Tidak pernah kulepaskan kecuali lagi berenang, wanti-wanti nanti hilang. Aku masih tidak begitu mengerti apa dibalik dari simbol itu, hanya perasaan tenang dan dekat hingga aku mempertahakannya. Karena ibupun tidak ingin membahas saat kutanya tentang ayah. Dia selalu menghindar dan beralasan, cerita itu terlalu sakit untuk dicerita kembali.
Jikei tidak jadi naik roller coster untuk ke dua kalinya. Sebagai ganti kami naik cangkir-cangkir lucu yang berputar. Ini baru romantis, tetapi Jikei terlihat manyun. Dia memang sangat menyukai hal-hal yang menantang. Kuperhatikan wajahnya yang chubby, begitu menggemaskan dengan ekspresi cemberut itu, seolah merajuk sebelum berkata. Hentikan cangkir-cangkir ini.
Sebelum pukul lima aku harus mengantarnya pulang. Sesuai janji. Kuperhatikan bayangannya yang lenyap perlahan. Dia berhenti diambang pintu dan mengibaskan tangannya. Memintaku segera pulang. Seolah saling mendorong, aku memintanya untuk masuk lebih dulu. Mungkin dia berpikir ini akan berakhir menjengkelkan jika saling menyarankan siapa yang akan pergi lebih dulu. Ditempelkan jarinya yang berbentuk gagang telepon dan berkata tanpa suara agar menghubungi dia saat sudah tiba dirumah.
Akhirnya tubuhku sampai juga di kasur. Kusentuh dadaku tepat posisi kalung itu melingkar dan mengeluarkannya. Kutatap dengan teliti hal yang belum pernah kulakukan. Perasaan terus memaksa untuk membuka di balik model kalung ini. Bentuk huruf i kapital warna hijau diatas angka delapan yang dipenuhi mutiara. Dua lubang bagian atas angka delapan tetapi bagian alasnya tidak ada lubang. Barang langka. Sekeras apapun aku berpikir dibalik simbol ini tak satupun kata bisa dijadikan acuan.
Kuamati lebih dekat lagi, dan membolak-baliknya berulang kali. Ada yang aneh bagian pada huruf i. Seperti ada sesuatu yang mengganjal masing-masing bagian tepian atas dan bawa. Kubuka paksa ganjalan kecil yang sengaja dijadikan pengait. Ajaib, bisa terbuka. Tepat saat terputar tiga puluh derajat, didalamnya berisi dua foto.
Aku masih tidak mengerti maksud dua foto perempuan yang kukenal dalam kalung. Kupaksa ibuku bercerita saat memperlihatkan foto ini. Akhirnya dia berkisah. Ayah meninggal terkena serangan jantung bukan kecelakaan. Ibu yang begitu marah mengetahui tujuh tahun menyembunyikan selingkuhannya dan memiliki seorang putri hasil hubungan gelap mendamprak ayah habis-habisan. Ayah memelas agar ibu tidak pergi. Dengan dalih khilaf melakukan hal bodoh itu.
Penyakit kronis jantung ayah kambuh. Saat kritis di rumah sakit istri simpanannya itu muncul. Ibu menunjuk foto yang satunya dalam bingkai selain dirinya. Kutatap lekat-lekat perempuan penghancur keharmonisan rumah kami. Benih benci muncul perlahan. Aku merasa terpedaya selama ini. Begitu teganya diriku seolah ikut menghianati ibuku sendiri. Menyimpan foto perempuan yang disembunyikan ayah dan menjadikan perempuan yang kuanggap spesial sampai berpikir ke calon mertua.
Tepat malam itu aku menelpon Jikei. Pesona yang kulihat dulu-dulunya seperti bara yang meletup-letupkan kebencian. Aku tidak ingin melihat ibu terluka lebih dalam lagi.
“Halo, lama sekali seharusnya…”
“Jikei, maaf, kita harus putus!"
#terbit majalah Hai edisi 43, 26 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment