KONTRIBUTOR PENERBIT OKSANA (tema kompetisi tuhan tidak pernah melupakan kita)
Hembusan angin panas ditenga teriknya matahari saling beradu antara asap kenalpot dengan udara bersih ingin masuk di kedua lubang pernapasan ku, map yang sudah lusuh jadi multifungsi sebagai pelindung paru-paru yang dapat menghalangi udara kotor agar tidak terhirup lebih banyak. Hampir enam bulan aku berada diperantauan dari kota hujan menuju kota daeng, berharap map yang mungkin sudah
lelah mendengar keluhan ku keluar masuk dari satu kantor ke kantor yang lain segera mendapat ucapan “selamat bergabung”.
“Barusan ta’ pulang jam begini”, warung kecil dekat kos kosan selalu ramah menyapa padahal aku punya hutang makan seminggu belum dibayar, dia tidak pernah menyinggung jika aku lewat sebaliknya dia selalu tersenyum, karena kemurahan hatinya banyak orang yang memanfaatkan dengan hutang sudah lama belum dilunasi jika modal dan untung sudah tidak ada untuk diputar lagi dia akan menutup warung makan sederhananya dan hanya menjual minuman ringan. Kebanyakan pemuda masih mahasiswa dan pencari kerja jadi tersangka hutang termasuk aku, yang tahu diri mulai menyicil beberapa pinjaman agar ibu pemilik bisa berjualan lagi, mungkin lebih tepatnya agar mereka bisa mengutang makanan lagi sindir ku dalam hati.
“Iya bu, soalnya cuaca hari ini panas banget lagian target lamaran udah aku masukin semua jadi tinggal tunggu panggilan dan keberuntungan”, nyaris enam bulan tinggal disini masih belum bisa menyesuaikan diri mengikuti logat orang Makassar yang ada medo’ ku tidak hilang-hilang jadilah medo’ adalah identitas ku dengan mudahnya orang-orang menebak kalau aku dari Jawa hanya dengan bercakap sebentar, lagian tidak apa-apa bukannya bhinneka tunggal ika mengajarkan berbeda-beda tetap satu jua.
Perut ku sedari tadi kukuruyuk terus seperti ayam dipagi hari membangunkan para pencari nafka, pencari ilmu, dan aku pencari hutang untuk makan, jam dinding menunjukkan pukul dua masih lama masuk jam makan ku. Akhir bulan jelas dompet sudah terkikis oleh kebutuhan yang aku sendiri bingung terpakai apa saja padahal sudah berhemat setenga nyawa. Aku sudah janji dengan orang tua dikampung tidak perlu sering-sering mengirim kasian untuk masa depan adik ku jika aku juga masuk dalam daftar beban hidup, jadi dua bulan sekali baru dapat kiriman hingga wajib bagi ku hemat sehematnya, kalau lagi beruntung tetangga sebelah minta dibantu perbaiki computer orang yah dapat tambahan uang makan tetapi sudah dua minggu dia tidak memanggil ku, jadi berharap makin banyak computer rusak.
Lamaran yang ku masukkan kemarin akhirnya dapat hasil juga, semalam aku dapat sms untuk tes awal wawancara, walaupun baru tes awal tetapi hati ku sudah sangat senang.
“Rapi ta’ diterima meki bekerja ?”, kemeja, celana kain drill dengan dasi berhias dileher ku perfect pasti awal yang baik.
“Belum doain aja bu, supaya utang-utang ku cepetan lunas juga”
“Amin..”, lirihnya dengan tersenyum yang mengakhiri dengan kedua tangannya bertemu dan menempel didepan wajah mengingatkan ku ibu dikampung berdoa sebelum melepas ku merantau.
Langkah ku semakin mantap setelah menyantap sarapan di warung tadi. Saat dalam lift seorang pegawai bernama Muh. Dinu yang namanya sempat aku baca pada id card dikalungkan dilehernya dia bertanya kamu pegawai baru ya ?, yah ku jawab tidak sambil senyum masam, aku hanya berharap semoga cepat menyusul anda. Entah ini sebuah firasat atau aku terserang sindrom artis dengan penampilan ku yang sedikit berbeda dengan dasi melekat ini karena peserta yang lain tidak ada yang menggunakan hingga mereka memandang ku aneh, karena sudah terlanjur dipakai aku hanya perlu mengabaikan pandangan tidak setuju dari orang-orang yang hanya melihat ku sekali ini terkecuali jika aku lulus untuk tes tahap selanjutnya.
Datang jam sepuluh masuk tes sekitar pukul satu siang karena sudah terbiasa dengan perut yang berdendang ria jadi aku bisa mengatasinya, sudah jadi kebiasaan ku untuk tidak makan siang diakhir bulan nanti malam hari aku rangkap makan siangnya jadi sehari aku makan dua kali hitung-hitungkan diet padahal sudah tidak ada lemak yang bisa dibakar aku serahkan pada perut sajalah terserah ingin membakar apa untuk pengganti lemak.
Ternyata tidak hanya tes wawancara ada juga tes kesehatan ruwet juga padahal masih tahap pertama, jadi aku pulang saat matahari sudah tertelan didasar cakrawala, macetnya bukan main roda empat lebih menguasai jalan jika aku perhatikan kebanyakan hanya dihuni sang pengemudi saja sedangkan kursi disebelahnya diisi tas kantor seharusnya diberlakukan 3 in 1 untuk mengurangi macet setelah aku pikir-pikir walaupun berlaku otak nakal masih bisa bekerja akan ada pekerjaan baru jadi joki 3 in 1 seperti yang terjadi di ibu kota.
“Nasinya satu ya bu sayurnya dikit aja”
“Eh Harja lama ta’ sede’ pulang”
“Iya bu tesnya lama banget pesertanya banyak lagi”
“Begitu memang kalo cari ki kerja harus banyak berusaha harus ki juga rajin berdoa semoga dimudahkan ki sama puang wata’ala”
“Aku udah capek berdoa bu, shalat ku udah beberapa kali bolong, waktu dikampung karena bapak yang selalu manggil shalat jamaah jadi rajin, ya karena kondisi udah berbeda aku shalat kalau lagi ingat dan kalo kepingin aja”, ibu itu istigfar dan menegur ku dengan panggilan anak membuat ku seperti robot tidak melawan apa yang diperintahkan dan mirip anak kecil begitu nyaman saat mendengar cerita dongeng dari ibunya.
Aku sudah lama menyerah memohon kepada sang pecintap dari melapangkan rezeki ku, sudah lima bulan lebih aku disini nasib tak kunjung baik, entah sebenarnya rezeki ku sedang berada di tanah mana berharap ada petunjuk dari mimpi seperti para nabi yang mendapat ilham dalam menghadapi kaum kafir, yang ada aku hanya mimpi menggunakan pakaian rapi bolak balik masuk ruangan bos menyerahkan laporan, mimpi ini lebih tepat harapan ku saat ini dan dulu yang masih belum tercapai.
“Bagaimana cara ta’ rezeki baek nak kalo tidak pernah ki minta sama pemberi rezki, harus ki memang sabar dan berusaha ki terus untuk jemput ki rezki ta’”
“Aku udah sering berdoa dulu bu tapi nggak ada perubahan, mungkin tuhan sudah tidak ingat aku kalau ada orang yang jauh merantau cari kerja”
“Bukan tuhan tidak ingat ki nak, kita yang lupa ki tuhan, tidak na lancar itu rezekita’ kalau yang kasi ki rezeki dijauhi, sama juga mi itu kalo bekerja orang ada yang berusaha baek bekerja supaya dapat ki gaji tambahan dari bos na, sama tommi ini cari ki kerja mau cepat dapat rezeki tapi jarang ki minta sama pemberinya, susah memang”, aku termangu mendengar apa yang dikatakannya, benar juga selama ini aku melewatkan hidup ku tanpa berpikir seperti ibu ini aku sudah lupa tuhan sang penguasa rezeki. Kalau diperhatikan beberapa kali warungnya nyaris tutup total karena para pengutang yang mengantri tetapi warungnya tidak pernah tutup sampai empat hari, kalau mendengar ceritanya pasti ada-ada saja dia mendapatkan modalnya.
Tuhan hanya menangguhkan rezeki ku, lima bulan aku berjuang masih belum mendapatkan karena dia menunggu memapankan pribadi ku lebih dulu agar saat aku berada diposisi yang ku harapkan tidak menjadi orang yang seolah tidak mengenal tuhan. Ditenga sulitnya mencari kerja nepotisme sering bermain kenalan orang dalam menjadi lebih mudah masuk dibandingkan para pejuang tangguh harus melewati berbagai tes, harus merasakan ditolak perusahaan ini dan itu, naik turun lift masukan lamaran, giliran buka usaha kecil-kecilan jadi reseller belum juga laku satu sudah ada bajakannya bahkan lombok botolpun kena bajak urusan jiwa jelas diabaikan, berharap kerja jadi TKI lebih banyak untung daripada di negara sendiri tetapi jika semua orang baik berpikir seperti itu sayang negeri ini akan dihuni oleh manusia-manusia bertopeng kejahatan dan berhati busuk.
Bertahan menjadi jawaban tepat bukan hanya untuk diri ku, keluarga ku, tetapi untuk negeri ini juga. Bukan kah negatif dan positif akan selalu menjadi pasangan setia dan aku harus menjadi bagian positif itu berusaha dan terus berusaha dengan jalan yang baik meminta pada tuhan untuk melapangkan segala rasa risau dan segera menjawab dari usaha yang ku lakukan. Sekarang aku paham tuhan masih menangguhkan rezeki ku agar tidak menjadi golongan yang negatif.
Semoga tulisan ini menginspirasi. Baca juga cerpen Semusim oleh Juwita Sari