MOM
Kagum mungkin kata yang tepat mengetahui keluarga
ini telah mampu bertahan selama 30 tahun lamanya nyaris seperti tanpa ada cacat
sedikit pun walaupun ibu rumah tangga dari keluarga ini sedang sakit mereka
selalu menjalani hidup dengan normal, mereka hidup bahagia layaknya cerita
dinegeri dongeng yang selalu berakhir bahagia selamanya. Seorang ibu rumah
tangga yang berhasil mendidik anak-anaknya hingga meraih gelar sarjana sungguh
langkah yang tidak mudah, berkat suami yang berstatus pegawai negri sipil yang
selalu berusaha mencarikan nafkah untuk masa depan anak-anaknya sungguh kerja
sama rumah tangga yang kuat. Tidak mudah pula mendidik enam orang anak hingga
sekarang dua anaknya telah menikah, dan sekarang sepasang suami istri ini telah
menjadi seorang kakek dan nenek dengan dua orang cucu dari anak pertamanya, dua
orang lagi baru saja menyelesaikan studinya diakhir tahun 2013, dan dua anaknya
laki-laki yang ke lima masih duduk di kelas tiga SMA, dan si bungsu berada di
sekolah dasar kelas lima.
Menjadikan hidup bagaikan
pasir putih dipantai memang tidak mudah, pasir yang selalu dihempas gelombang
air laut yang lembut terkadang gelombang tinggi datang memukul tepiannya, atau
gelombang yang lebih besar memporak porandakan dengan kekuatan tsunami, apakah
pasir-pasir itu melawan ?, apakah pernah terdengar gempa akibat dari
pasir-pasir dipantai?, tidak, pasir-pasir itu tetap berkilau indah dan hidup
berdampingan dengan ombak hingga selalu membuat senang orang-orang menatapnya.
Semenjak empat tahun terakhir
ibu rumah tangga yang berhasil mendidik anak-anaknya ini mengalami penyakit
yang belum bisa disembuhkan, dia sudah berobat kesana kemari namun
hasilnya masih sama sembuh diawal berobat dan kambuh lagi, menjadi kuat seperti
pasir dipantai memang butuh kekuatan yang luar biasa. Dari tahun ke tahun
dengan perlahan daging yang membungkus tulangnya semakin menipis.
Walaupun anak-anaknya sibuk kerja dengan berbagai urusan yang berbeda
mereka tetap setia mendampingi dan berusaha meluangkan waktu untuk menemani
ibunya.
Akhir tahun 2013 Sita anak ke
empatnya akan diwisuda. Saat ingin berangkat ke lokasi ada senyum bahagia
melihat sosok ibunya bernampilan cantik hari ini memakai baju merah yang matching dengan bawahannya walaupun
riasan masih belum mampu menyembunyikan keriput diwajahnya namun dari parasnya
masih menegaskan dia memiliki wajah yang cantik diwaktu muda. Sita mengira kali
ini wisudahnya hanya akan ada foto dengan orang tua tunggal dan semua berjalan
diluar dugaan, ini cukup menjadi kado yang indah untuk hari wisudahnya. Yah
itulah ibu dari enam orang anak walaupun jalannya masih harus dipapah demi
melihat anaknya mengenakan toga dan menjadi salah satu wisudawan dari
universitas terkenal dikotanya, sakit bukanlah hambatan.
Tiga bulan setelah memasuki
tahun baru, keluarga ini masih terlihat baik-baik saja, dua anak perempuannya
telah hidup masing-masing bersama suaminya, anak ketiganya masih bekerja
seperti biasa, Sita anak ke empat selalu setia mendapingi ibunya sambil
mengikuti tes wawancara untuk kerja, anak laki-lakinya yang ke lima lebih
banyak diam dan tahun ini dia akan melepas seragam SMA nya dan segera memasuki
dunia pendidikan yang baru, terakhir sibungsu Byan masih berada sekolah dasar
yang jaraknya dapat ditempuh dengan jalan kaki, hanya ayah yang terlihat
semakin sibuk yang biasanya pulang jam lima sore kali ini hingga jam 9 malam
dia baru tiba dirumah, ibu merasa tidak nyaman melihat suaminya seperti itu,
saat ditanya ayah hanya mengatakan sibuk dikantor. Setelah pulang kerja putri
keduanya terkadang meluangkan waktu untuk mengunjungi ibunya. Namun ada sedikit
pemandangan aneh terjadi dikeluarga ini yang mulai merusak keharmonisannya.
“Kak ada apa dengan mama,
kenapa nangis ?”. Ternyata Sita sempat memperhatikan ibu dan kakak nya sedang ngobrol,
namun tidak mendengar percakapan mereka karena volume suaranya yang begitu
kecil.
“Dia hanya sedang bersedih”
“ Iya sedang bersedih kenapa
?”, dengan ekspresi ingin mencari tahu sendiri tanpa harus bertanya lansung ke
ibu
“Coba tanya sendiri ada apa”.
Sita tidak berani untuk bertanya ada apa sebenarnya namun feeling nya mengatakan hal ini ada hubungannya dengan ayah.
Rumah tangga yang seolah-olah
telah didesain seperti negeri dongeng mengalami ujian diluar dugaan mereka,
entah mengapa keluarga itu sedang memainkan cerita seperti dalam drama. ibu
menyadari ayah telah berubah akhir-akhir ini, beberapa kali mendapati ayah
menelpon seseorang yang tidak sepert biasanya jika dia menelpon. Rumah tangga
yang telah terbina hingga hadirnya cucu ternyata telah digoyahkan dengan
kehadiran orang ketiga dalam keluarga.
Ayah sering kali pulang larut
malam jadi ibu mengunci pintu agar ayah tidak bisa masuk, jika terjadi seperti
ini Byan segera naik kelantai dua untuk melihat ayah sejenak kemudian
berlindung dibalik tembok menyembunyikan wajahnya yang sudah berlinang air mata
melihat ayah diluar dengan suara serak dia berusaha menyampaikan kalau ayah
dilarang masuk ibu.
“Ma… ibu ayah janji tidak akan
melakukan hal itu lagi, ayah akan tepat waktu pulang, ma… bukain pintu ayah ma…
hiks”. Byan berusaha membujuk ibu dengan suara tangis yang beberapa kali
sesenggukan, namun hati ibu terlanjur luka karena ayah yang sudah tidak
menghiraukan ucapan ibu seperti sedia kala.
Byan anak bungsunya yang
sangat dekat dengan ayah, setiap ayah ingin keluar diakhir minggu pasti dia
ikut, bahkan tidurpun mereka selalu bersama. Dia masih terlalu kecil untuk
mengerti kondisi seperti ini, namun terkadang kondisi yang membuat usia
bukanlah penghalang seorang anak akan berpikir dewasa atau memilih diam
seolah-olah tidak terjadi apa-apa, namun Byan bukanlah anak yang diam membisu
melihat kejadian ini. Beberapa hari ibu menghabiskan waktunya menangis hingga
larut malam pun dia masih menangis, suara isakannya terdengar hingga kelantai
dua di kamar anak-anaknya tidur, tepat disudut kamar ada hati pula yang sakit
dan berusaha mengatakan pada diri sendiri semua akan baik-baik saja.
Menata kembali hati yang
terluka dari kehilangan sosok kepala rumah tangga bukanlah suatu proses yang
mudah. Ayah sudah menegaskan ke ibu dia tidak bisa melepaskan perempuan yang
baru dikenalnya beberapa bulan dibandingkan mempertahankan hubungannya dengan
istrinya tanpa mempertimbangkan proses penyembuhan ibu yang sedang sakit.
Semuanya merasa kecewa dan sakit hati mendengar keputusan ayah seperti itu,
namun mereka tidak memperlihatkan rasa sakitnya dan berusaha menyembunyikannya
agar ibu tidak bertambah sedih melihat anaknya yang sedih.
Tiga bulan telah berlalu dari
kepergian ayah, terkadang dia masih datang mengunjungi istrinya mungkin masih
tersisa sedikit cinta atau kenangan yang mengantarkannya datang kembali, namun
ibu sudah menutup pintu hati dan pintu rumah ini untuk ayah dia memilih untuk
berusaha sembuh dari sakitnya bersama anak-anaknya yang akan terus tumbuh menjadi
dewasa.
Empat bulan telah berlalu
kondisi rumah sudah semakin stabil, Byan pun yang paling kehilangan ayah
diantara saudara-saudaranya sudah mampu mengerti ibunya, dia sering menemani
ibu cerita tentang sekolah barunya karena dia tahu ibu tidak suka sendirian,
bertepatan naik kelas lima Byan pindah sekolah agar dia tidak bertemu dengan
ayah dan tidak sakit hati lagi dengan pertemuan terkadang memberikan janji yang
entah kapan ditepatinya. Ibu masih terus berjuang untuk sembuh agar tubuhnya
bisa sehat seperti dulu lagi. Hidup itu banyak pilihan dan butuh perjuangan,
menjadi manusia setia yang selalu mendapingi mulai dari titik nol pun akan
banyak ujian menghadang dan hanya kesetiaan hatilah yang mapu
melewatinya.
Mereka pun bangga dan merasa
beruntung dilahirkan dari rahim seorang ibu yang luar biasa, ibu adalah saksi
sejarah anak-anaknya dari kecil hingga menjadi dewasa, orang yang takkan
melepaskan anak-anaknya dengan alasan apapun adalah ibu, orang yang selalu
menomor duakan dirinya diatas segala-galanya adalah ibu, orang yang selalu
marah-marah pun adalah ibu karena itu demi anaknya, dan orang yang paling rapuh
dikeluarga itu saat kepergian ayah adalah ibu dan kini dia berhasil menata
hatinya demi anak-anaknya dan menjadi pasir putih yang berkilau.