tag:blogger.com,1999:blog-25228942234484682082024-03-13T05:00:10.505-07:00CANDU MEMBACAAnonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.comBlogger274125tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-8324084171169978072017-08-01T21:23:00.001-07:002018-03-07T06:34:35.068-08:00CERPEN MERPATI-MERPATI MAKKAH OLEH IRWAN KELANA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Lemonada" rel="stylesheet"></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #009900; font-family: "Lemonada",serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://3.bp.blogspot.com/-Z0o73RqTdf4/WYFTWdZp0_I/AAAAAAAADGc/ndtAJvXmit8yj3Hf1OfMSih-MPctZfkhACLcBGAs/s1600/c9ed6a15f671b7adda98a2dcd138c623--white-doves-jerusalem-israel.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="merpati terbang" border="0" data-original-height="588" data-original-width="736" height="255" src="https://3.bp.blogspot.com/-Z0o73RqTdf4/WYFTWdZp0_I/AAAAAAAADGc/ndtAJvXmit8yj3Hf1OfMSih-MPctZfkhACLcBGAs/s320/c9ed6a15f671b7adda98a2dcd138c623--white-doves-jerusalem-israel.jpg" title="merpati terbang" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">image <a href="https://id.pinterest.com/pin/565483296932732925/" target="_blank">Gary Griffith</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Akhirnya, aku tiba juga di kota yang kurindukan ini. Makkah, kota kelahiran Rasulullah Muhammad SAW, lokasi Masjid al-Haram berada.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kemarin pagi aku dan 29 wartawan Indonesia dari berbagai media tiba di Bandara King Abdul Aziz Jeddah. Dari Jeddah, kami naik bus ke Madinah yang berjarak sekitar 450 kilometer selama kurang lebih enam jam. Shalat di Masjid Nabawi dan mengunjungi beberapa tempat di Kota Nabi tersebut.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Bakda Isya kami melanjutkan perjalanan ke Makkah dengan bus. Sebelumnya, kami mampir di Bir Ali untuk mengambil miqat dan mengenakan pakaian ihram. Perjalanan sepanjang sekitar 490 km itu kami tempuh dalam waktu sekitar enam jam.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari ketika bus tersebut tiba di kantor Daerah Kerja (Daker) Makkah Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) Arab Saudi. Dari jarak belasan, bahkan lebih 20 kilometer, Abraj Al- Bait Tower, gedung tertinggi di Kota Makkah tampak megah seakan mengucapkan selamat datang. Sebuah jam raksasa yang bertengger di puncaknya makin menegaskan keberadaan Menara Abraj Al-Bait sebagai landmark dan ikon Kota Makkah.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Dari berbagai literatur yang aku baca sebelum berangkat ke Tanah Suci, di dalam Menara Abraj Al-Bait terdapat beberapa hotel bintang lima, seperti Fairmonth, Raffles, Retaz, Movenpick, SwissBell, dan Grand Zam-Zam. Terdapat mal di lantai dasar dan food court di lantai tiga yang antara lain menjual makanan Indonesia, seperti bakso dan lain-lain. Tower yang buka 24 ini sangat strategis karena berdiri persis di depan pintu Masjidil Haram.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kami hanya sebentar di kantor Daker, menyimpan koper. Setelah itu, tiga minibus sudah siap mengantar kami ke Masjid al-Haram untuk melakukan tawaf qudum dan umrah wajib.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Mendekati terminal bus Bab Ali, menara-menara Masjidil Haram sudah kelihatan.
Diterpa cahaya lampu gemerlapan, menara-menara tersebut bagaikan potongan surga yang diturunkan ke bumi.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Makin lama, cahaya tersebut makin benderang dan wajah Masjidil Haram dengan Ka’bah di dalamnya makin tampak jelas. Tanpa terasa bibir ini berucap, “Subhanallah.” Air mataku meleleh.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tak sabar rasanya aku menunggu mobil ini parkir di Terminal Bab Ali yang berjarak sekitar 100 meter dari Masjidil Haram. Ingin rasanya aku berlari dan segera memutari kiblat miliaran umat Islam sedunia itu sambil melantunkan kalimat talbiah. “Labbaikallaahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Innalhamda wanni’ mata laka walmulk laa syariikalak.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
***
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Rasa syukur tak henti-hentinya aku panjatkan sejak masih di Tanah Air. Di usiaku yang menginjak 31 tahun, Allah izinkan dan panggil aku menghadap-Nya ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Memang bukan haji atas biaya sendiri, melainkan haji abidin atau atas biaya dinas.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Atas izin Allah, aku terpilih menjadi salah satu dari 30 orang wartawan peliput haji yang tergabung dalam Media Center Haji (MCH) di bawah koordinasi Kementerian Agama. Sebagai peliput haji, kami datang sebelum kelompok terbang (kloter) pertama jamaah haji Indonesia tiba di Tanah Suci, Arab Saudi. Dan, kami baru akan pulang pada saat jamaah kloter terakhir sudah kembali ke Tanah Air.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Insya Allah, kami akan berada di Tanah Suci selama 75 hari atau hampir dua kali lipat lamanya prosesi ibadah haji jamaah reguler yang mencapai 40 hari dan tiga kali lipat pelaksanaan ibadah haji jamaah haji plus yang mencapai 25 hari.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, berbeda dengan teman-teman peliput haji lainnya, aku datang ke Tanah Suci ini juga membawa misi lain: Setelah prosesi ibadah haji selesai, aku akan menikah!
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ya, di Kota Makkah yang diberkahi, di Masjidil Haram yang dimuliakan, lebih khusus lagi, di depan Ka’bah yang sakral ini aku akan mengikat janji suci dengan seorang gadis salehah bernama Kuntum Khaira Ummatin.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Takdir mempertemukan aku dengan gadis desa yang sederhana, namun manis dan cantik itu saat meliput Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) dan Musabaqah Hifzhil Qur’an (MHQ) yang diadakan oleh Kementerian Agama bekerja sama dengan Pemerintah Arab Saudi di Jakarta, beberapa bulan lalu.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Gadis yang baru saja menyelesaikan kuliah S-1 di Sekolah Ekonomi dan Bisnis Islam (SEBI) Parung, Bogor, Jawa Barat, itu berhasil meraih juara pertama lomba menghafal Alquran. Setelah mewawancarainya, aku tak heran kalau dia memenangkan lomba menghafal Alquran tersebut. Dia bersekolah di madrasah ibtidaiyah di desa kelahirannya di Surakarta. Kemudian, melanjutkan tsanawiyah dan aliyah di Pondok Pesantren Gontor Putri (Mantingan). Lulus aliyah, dia hafal 20 juz Alquran. Selepas mengabdi selama setahun, Kuntum mendapatkan beasiswa dari SEBI yang diperuntukkan bagi para penghafal Alquran dengan target lulus kuliah harus hafal 30 juz.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
vvvvvvvvvvvv
Di balik sosoknya yang sederhana, gadis ini menyimpan pesona yang luar biasa. Sorot matanya lembut keibuan dibalut kerendahan hati dan kesantunan—dua hal yang sudah jarang dijumpai pada gadis-gadis modern zaman sekarang. Dan, ketika ia melantunkan ayat-ayat Alquran, suaranya begitu bening dan mengalir ke setiap sudut hati.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ya, Tuhan, apakah aku jatuh cinta pada kesan pertama? Sudah lama aku tak merasakan perasaan indah seperti ini. Sudah bertahun-tahun lalu, sejak aku beberapa kali ditolak oleh calon reporter (carep). Mungkin, ada banyak alasan mereka menolak cintaku. Tapi, yang aku yakini—boleh jadi aku terlalu sensitif dan sentimental—mereka mungkin menolak aku karena tak siap dibonceng sepeda motor bebek butut manakala sudah menjadi istriku nanti.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Salah seorang carep menolakku dengan cara yang halus, tapi sungguh menyakitkan.
Dia bilang belum memikirkan soal cinta, tapi keesokan harinya dia dijemput seorang pemuda ganteng yang mengendarai Honda Jazz keluaran terbaru berwarna merah!
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kini, usiaku sudah kepala tiga. Sudah waktunya aku mempunyai tempat berlabuh dari kepenatan kerja dan kerasnya perjuangan hidup. Sudah waktunya aku memberikan menantu dan cucu untuk ibuku yang tinggal di kampung.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Namun, pada zaman sekarang, mencari wanita yang siap dijadikan istri dan mau diajak hidup susah dan senang bersama-sama ternyata sangat sulit.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Mas Fadil, kalau Anda ingin tahu apakah seorang wanita baik untuk dijadikan istri, tanya saja apa mahar yang diinginkannya,” begitu nasihat Ustaz Salim, seorang dai kondang, saat aku meminta nasihatnya, beberapa bulan lalu.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kalau mahar yang dimintanya sederhana dan mudah, itulah tanda bahwa dia adalah wanita yang sangat layak dijadikan istri.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
***
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Saat aku dalam perjalanan pulang meli put MTQ dan MHQ itu, aku lihat Kuntum berjalan sendirian menuju halte busway. Aku sengaja menyejajarinya dengan sepeda motor bututku.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kuntum, maafkan saya. Saya ingin menanyakan satu pertanyaan yang sifatnya sangat pribadi. Terserah Kuntum mau jawab atau tidak.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia terdiam. “Ada apa, Mas?” tanyanya lembut.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Jangan marah ya. Kalau Kuntum menikah, apa mahar yang Kuntum inginkan?” akhirnya keluar juga pertanyaan itu dari mulutku.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba, Kuntum tersenyum teramat manis. “Saya punya dua impian untuk pernikahan saya, Mas. Pertama, saya selalu memimpikan mahar berupa hafalan surah Yasin dari calon suami saya. Kedua, saya memimpikan ijab qabul di depan Ka’bah.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebuah jawaban yang tidak pernah aku bayangkan. Inilah tipe menantu dambaan ibuku! Teriakku dalam hati.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku menemui Dr Oni Sahroni, direktur Cyber-C SEBI dan juga dosen SEBI. Kepada doktor lulusan Al-Azhar University Kairo, Mesir, itu aku sampaikan bahwa aku ingin meminang Kuntum kalau dia masih belum punya calon suami.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Terus terang, Ustaz. Saya belum hafal surah Yaasin. Namun, saya akan berusaha menghafalnya dengan metode Ustaz Yusuf Mansur, satu hari satu ayat (one day one ayat),”
kataku.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Alhamdulillah, saya sangat mendukung niat baik Mas Fadil,” kata pakar ekonomi syariah yang sangat rendah hati itu. “Setahu saya, Kuntum belum punya calon.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tanpa sadar, aku berucap, “Alhamdulillah.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Oni tersenyum. “Memang sudah seharusnya kita melakukan perbaikan keturunan, Mas. Maksud saya, bukan menikah dengan lelaki yang ganteng atau wanita yang cantik, tapi menikahlah dengan laki-laki atau perempuan yang hafal Alquran. Insya Allah, keturunan kita akan lebih baik,” tuturnya.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
***
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Singkat cerita, aku dipertemukan dengan Kuntum dan dia menyatakan bersedia menjadi istriku. Aku mengajak orang tuaku mengunjungi orang tua Kuntum untuk menyatakan lamaran.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sebagai juara pertama lomba menghafal Alquran, Kuntum mendapatkan hadiah berupa undangan beribadah haji dari Pemerintah Arab Saudi. Ketika Kuntum menyampaikan niatnya kepada Dubes Arab Saudi di Jakarta bahwa dia ingin sekali menikah di Masjid al-Haram—dan karenanya harus ada wali yang mendampinginya—Pemerintah Arab Saudi memberikan hadiah berupa undangan haji untuk ayah dan ibunya sekaligus.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kuntum dijadwalkan tiba di Makkah, Jumat, 11 September 2015. Dia termasuk jamaah haji gelombang kedua. Dari Halim Perdanakusuma, Jakarta, dia dan rombongan akan mendarat di Bandara King Abdul Aziz, Jeddah, kemudian langsung ke Makkah.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pukul 09.00 dia mengabarkan sudah tiba di Jeddah dan pukul 14.00 tiba di Masjid al-Haram. Kemudian, ia melakukan tawaf qudum dan umrah wajib. Pada pukul 16.00 dia mengatakan menunggu Maghrib sambil berzikir di Masjidil Haram.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Hatiku sangat berbunga-bunga setiap kali menerima SMS-nya. Akhirnya, wanita yang kucintai dan akan kunikahi selepas menunaikan ibadah haji datang juga ke Tanah Suci. Tak sabar rasanya aku untuk melihat wajah lembut dan senyum manisnya itu. Matanya yang teduh selalu mampu mendamaikan batinku.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku sejak pagi mendampingi Menag yang merupakan amirul haj melakukan kunjungan ke beberapa tempat di Kota Makkah dalam rangka mengecek segala hal terkait persiapan puncak ibadah haji di Arafah-Muzdalifah-Mina (Armina). “Insya Allah, saya shalat Maghrib di Masjidil Haram. Kita ketemu di depan Hotel Grand Zam-Zam,” ujarku membalas SMS calon ibu anak-anakku.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
***
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Cuaca Makkah tidak bersahabat. Sore itu, badai debu disertai tiupan angin kencang melanda kota kelahiran Rasul. Tak lama kemudian, hujan es mengguyur Makkah. Badai dan hujan itu menyebabkan satu dari 15 crane raksasa yang mengelilingi Masjidil Haram—untuk proyek perluasan dan renovasi—ambruk menimpa ratusan jamaah yang berada di bawahnya.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Belakangan, aku ketahui jatuhnya crane raksasa yang dipegang kontraktor Bin Ladin Group pada pukul 17.23 waktu Arab Saudi (WAS) itu menewaskan 107 orang dan menyebabkan 238 jamaah terluka. Dari kalangan jamaah Indonesia, 11 jamaah meninggal dunia dan 29 korban luka.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku berkali-kali menghubungi HP Kuntum, namun tidak diangkat. Perasaanku tidak enak. Firasatku mengatakan, ada sesuatu yang terjadi pada calon istriku.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Beberapa jam setelah mencari informasi ke sana kemari, barulah aku tahu bahwa Kuntum termasuk korban yang terluka. Ia dirawat di RS Al Noor yang berlokasi di Aziziah Janubiyah.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku dan Ratna, salah seorang wartawan peliput haji, bergegas ke sana. Ternyata, Menteri Agama pun datang ke sana. Kehadiran pejabat Pemerintah Indonesia itu memungkinkan kami langsung masuk ke ruang UGD.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku langsung mencari Kuntum. Kepalanya diperban, namun darah menembus perban tersebut. Dia tampak sangat lemah.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku memburunya dan bersimpuh di sampingnya. “Kuntum!” suaraku tercekat di tenggorokan.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Matanya membuka perlahan. “Mas… Fadil.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Kamu akan sembuh, Kuntum. Kita akan menikah setelah prosesi ibadah haji selesai.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ia mencoba tersenyum.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Apakah Mas Fadil sudah hafal Surah Yasin?”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tanpa sadar, aku mengangguk. “Insya Allah, Kuntum.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Maukah Mas Fadil membacakannya untuk Kuntum?”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Ya, Kuntum.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Saya ingin tayamum.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ratna membantu Kuntum tayamum. Kemudian, menggenggam tangannya.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sementara, aku membacakan surah ke-36 dalam Alquran itu. “Yaa Siin. Walqur ‘aanil hakiim. Innaka laminal mursaliin. ‘Alaa shiraatim mustaqiim. Tanziilal azizirrahiim ….”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku berhenti sejenak. Kutatap wajah Kuntum. Ia tampak tersenyum bahagia. Aku melanjutkan, “Litundzira qaumam maaundzira abaauhum fahum ghafiluun.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Berkali-kali aku berhenti sejenak untuk menatap wajah Kuntum. Wajahnya begitu tenang seperti orang yang sedang tidur.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ketika aku sampai pada ayat, Alyauma nakhtimu ‘alaa afwaahihim watukallimunaa aidiihim wa tasyhadu arjulujum bimaa kaanu yaksibun (ayat 65), genggaman tangannya melemah. Wajahnya kian bercahaya, senyumnya makin mengembang di bibirnya dan lamat-lamat kudengar kalimat terakhir meluncur dari bibirnya, “Lailaha illallah, Muhammadur Rasulullah.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
***
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Pukul 06.00. Langit Makkah masih temaram. Hanya semburat jingga menyembul di sebelah timur.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku keluar dari Masjidil Haram seusai qiyamullail, subuh berjamaah, dan tadarus Alquran. Demi mengejar saf pertama, barisan di belakang Imam Misyari Rasyid, tadi malam aku datang ke Masjidil Haram pukul 02.00.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sepanjang jalan, aku terus mengulang-ulang bacaan surah Yasin. Setiap kali kubaca satu ayat, aku seperti merasakan Kuntum mengiringi bacaanku.
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Aku selalu terngiang-ngiang ucapannya, “Surah Yasin mengajarkan kita tentang kehidupan dan kematian. Dan, pada akhirnya manusia akan sampai pada suatu hari ketika mulut dikunci, hanya tangan yang berbicara, dan kaki menjadi saksi atas segala yang kita perbuat selama hidup di dunia.”
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tanpa terasa, langkah kakiku membawaku ke Terminal Syib Amir, sekitar 200 meter dari Masjid al-Haram. Di sinilah setiap pagi ratusan bahkan ribuan merpati berkumpul dan beterbangan. Namun, pagi ini tempat itu sepi. Kemana gerangan merpati-merpati Makkah itu?
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Tanpa sengaja, mataku menatap ke atas, ke arah kabel-kabel listrik yang menjuntai memanjang sepanjang jalan. Kulihat sepasang merpati hinggap di sana. Namun, tiba-tiba keduanya terbang menjauh hingga membentuk bayangan kecil dan akhirnya hilang sama sekali. Seperti nasib cintaku yang kandas di Kota Suci ini.
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br />
<script type="text/javascript">
(sc_adv_out = window.sc_adv_out || []).push({
id : "484342",
domain : "n.ads3-.com"
});
</script>
<script type="text/javascript" src="//st-n.ads3-.com/js/adv_out.js"></script>
</div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com18tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-48819668139906147402017-07-30T21:52:00.001-07:002017-07-30T21:52:29.625-07:00CERPEN SWETER OLEH YETTI A. KA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Ubuntu" rel="stylesheet"></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #009999; font-family: "Ubuntu",serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://3.bp.blogspot.com/-X--acY60ux0/WX63UKbgyAI/AAAAAAAADGM/evsR8j7tsj4mEwkTBL1JytIyc9TuQRCjACLcBGAs/s1600/09.02-depression.jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="lelaki berdiri di dekat danau" border="0" data-original-height="365" data-original-width="800" height="146" src="https://3.bp.blogspot.com/-X--acY60ux0/WX63UKbgyAI/AAAAAAAADGM/evsR8j7tsj4mEwkTBL1JytIyc9TuQRCjACLcBGAs/s320/09.02-depression.jpeg" title="lelaki berdiri di dekat danau" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://totalcare.us/healthy-ways-to-overcome-depression/" target="_blank">image</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Aku tahu siapa yang meletakkan stoples itu di atas bufet kayu tepat di sisi foto keluarga —foto kita; aku, kau, dan papamu yang tentu saja mengenakan sweter terbaiknya. Waktu itu kau ingin memerangkap serangga. Kau tak pernah mendapatkan serangga jenis mana pun, sebab binatang itu lebih banyak hinggap di dinding luarnya saja atau sebagian terbentur tak sengaja lalu buru-buru terbang lagi. Namun, tak disangka, suatu hari ternyata stoples itu berhasil memerangkap waktu dan setelah itu waktu seolah berhenti di sini dan aku banyak berada di masa lalu. Kalau saja kau melihatnya sekarang, kalau saja kau di sini, kau mungkin akan terpana dan berteriak sekencang-kencangnya sampai suaramu menembus atap rumah cokelat tua kita.</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Dari kecil kau memang suka sekali berteriak. Papamu tak suka mendengar suaramu yang cempreng (jangan berkecil hati, ia memang tak suka mendengar suara siapa pun). Kamar kerjanya berada di lantai dua. Dan dia sering sengaja turun untuk memperingatkanmu—kadang-kadang dia sengaja menurunkan kacamatanya agar kau bisa melihat matanya yang melebar.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Aku ingat kau pernah mengeluh padaku. Kau bilang, “Papa jahat.”
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
“Tidak,” kataku, “Papamu sedang menggambar dan dia tidak bisa melakukannya kalau kau ribut.”
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Di saat lain kau mengadu, “Papa tidak menyayangiku.”
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Aku memandang matamu sedih, “Itu tidak benar,”—meski sesungguhnya aku berpikiran sama, lelaki itu tidak menyayangimu, aku, dan bahkan dirinya sendiri. Dia seorang arsitek. Dari kecil dia bekerja keras untuk mendapatkan keinginannya itu. Dia lahir dalam keluarga miskin. Orang tuanya meninggal saat dia berumur tujuh tahun. Dia dibesarkan oleh bibinya yang juga miskin. Untungnya dia punya otak yang cemerlang. Seorang guru membantunya kuliah dan selebihnya dia mau mengerjakan apa saja dan orang memberinya upah. Namun kemudian cinta membawanya ke arah yang salah. Pada usia dua puluh lima, dia telah jatuh cinta pada istri gurunya itu —perempuan manis yang tengah hamil besar dan tubuhnya bau minyak kayu. Itu cinta yang tidak masuk akal dan menyakitkan. Malangnya, istri gurunya itu mengalami pendarahan hebat sehabis melahirkan dan meninggal tiga hari setelahnya. Sejak itu pula dia mudah sekali menggigil kedinginan dan mengenakan sweter tiap hari seolah sedang bersembunyi dari kebenaran.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Aku bisa memaklumi sikap papamu, sebab itu aku tak banyak meminta sesuatu dari lelaki itu—sebagaimana aku tak memberikan tempatyang besar di hatiku untuk dia karena sebelum kami memutuskan hidup bersama aku telah lama mati. Namun, kau berbeda denganku. Kau kehilangan seorang ibu saat baru berumur tiga hari dan kehilangan ayahmu yang seorang guru itu delapan bulan setelahnya. Kau butuh tempat yang hangat. Kau butuh tempat yang menerimamu sepenuhnya.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Umurmu dua belas tahun waktu aku mengatakan semua itu. Kau meraung. Kau terluka. Kau marah. Setelah itu tiba-tiba kau ingin sekali punya seekor serangga yang tersesat dan sengaja meletakkan stoples di atas bufet di ruang tamu. Aku tahu kau mengalihkan perasaan terlukamu. Aku tahu kau tak benar-benar menyukai serangga dan menginginkannya.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Sampai suatu hari kau berdiri di pintu kamarku dan berkata, “Mama, aku ingin mencintai lelaki itu lebih besar dari yang dapat dia bayangkan.”
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Aku sangat cemas, tapi saat itu aku menganggap itu ucapan kanak-kanak yang sengaja kau lontarkan untuk meluapkan rasa marahmu. Kau kebingungan karena duniamu baru saja runtuh. Maka aku hanya memandangmu. Besoknya kau minta dibelikan sweter baru yang sama persis dengan milik papamu, “Kami perlu memakai sweter yang sama saat keluar di pagi hari Minggu,” katamu.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Sayangnya, kalian tidak pernah keluar bersama di Minggu pagi—dan seharusnya kau sudah tahu kalau papamu tidak suka pergi ke mana-mana selain urusan kerja. Namun, kau tetap saja marah. Seakan-akan kau baru pertama kali terluka—dan kau mendramatisirnya sedemikan dalam.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Semakin hari kau menginginkan semakin banyak sweter yang persis sama dengan milik papamu. Kau seperti terobsesi pada lelaki itu dan aku mulai merasa lebih cemas dari sebelumnya. Kau sengaja melakukannya untuk membuatmu lebih terluka lagi. Maka aku menolak permintaanmu.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Kau minggat. Kau tidak pulang hingga pukul sepuluh malam. Aku keluar menembus hujan deras. Papamu memutuskan tidak ikut mencari. Ia terus menggerutu dan mengatakan, “Binatang kecil itu mulai nakal.” Kupikir waktu itu aku akan gila. Aku punya seorang anak perempuan yang mulai memberontak dan punya seorang suami yang tidak mau peduli sama sekali.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Malam itu aku tak menemukanmu meski sudah mencari ke rumah teman-teman sekolahmu. Aku pulang dan berharap salah seorang temanmu yang kudatangi berbohong dan sebenarnya kau ada di sana dalam keadaan baik-baik saja.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/06/cerpen-kupu-kupu-dan-desing-peluru-oleh.html" target="_blank">Cerpen Kupu-Kupu dan Desing Peluru</a></span></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Besoknya aku keluar kamar pagi-pagi sekali. Sepanjang malam aku berpikir kalau kau belum juga kembali hingga pukul sepuluh—tepat 24 jam aku kehilanganmu— maka aku akan lapor polisi. Aku pergi ke dapur untuk memanaskan sepotong roti. Aku harus punya tenaga untuk bisa menemukanmu. Pada saat itu lah mataku menoleh ke ruang persembunyian kita—sebuah gudang kecil di dekat dapur yang suatu hari kita sepakati sebagai tempat bersembunyi kalau kita bersedih atau ingin lari dari situasi buruk. Dadaku berdebar keras. Tangisku meledak. Aku buka pintu itu dan menemukanmu tidur sambil memeluk sebuah sweter hitam dengan garis putih di leher yang belum pernah kau pakai sekali pun di suatu pagi di hari Minggu.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Pukul sepuluh, aku bukannya ke kantor polisi, tapi kita pergi ke toko pakaian dan menemukan beberapa sweter baru yang warnanya sama dengan milik papamu. Kau menggandengku sepanjang jalan. Kau bertanya, “Jadi siapa yang membuat Mama mati?”
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Aku berhenti dan memandang matamu, “Papamu,” kataku.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
“Lelaki itu?” Kau bertanya setengah berseru. Aku tertawa kecil. Aku tak mau membicarakannya denganmu. Kupikir kau masih seorang remaja yang tidak tahu apa-apa. Kau mungkin saja tidak akan paham jika kukatakan: hanya hati yang mati bisa hidup bersama seseorang yang telah memilih mati.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Kau mulai sibuk mencuri perhatian papamu. Kau memotong pendek rambutmu, menampakkan leher mudamu. Kau mulai mengenakan sweter setiap hari, meniru papamu. Kau menunggu papamu turun makan malam meski kau tahu ia akan tetap berada di atas sampai pagi. Puncaknya aku menemukan nama papamu di lengan tanganmu, kau tulis dengan tinta biru.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Aku bertambah sedih memikirkan tentang kita semua.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Dan aku tambah sedih lagi setiap melihat kau patah.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Lalu kau mulai membuang harapanmu. Kau tak pernah lagi mencari papamu. Kau menyimpan semua swetermu dalam gudang. Perayaan ulang tahun kau lakukan bersama teman-teman di sekolah atau teman-teman kuliah ketika kau sudah melewati masa remaja dan kau minta aku menyambutmu dengan kue tar kecil di muka pintu, tanpa perayaan apa-apa. “Mama cukup membisikkan sebuah doa,” ujarmu.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Di pintu inilah aku selalu membisikkan doa itu, bertahun-tahun lamanya. Pintu yang dibiarkan saja berwarna kayu. Lalu di ruang tamu ini, persis di samping stoples milikmu, aku meletakkan kue tar kecil itu dan aku berlari ke belakang untuk mengambil pisau pemotong kue. Namun, saat kembali, aku hanya menemukan piring kosong dan kau menahan tawa dengan pipi yang mengembung. Semua tar kecil itu ada dalam mulutmu. Dan aku lama berpikir bagaimana seorang gadis bisa melakukan hal semacam itu.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Hari ini kau ulang tahun. Apa kau ingat? Aku takut kau terlalu menyibukkan diri dan melupakannya. Tadi pagi aku sudah membuat tar kecil—aku memang selalu membuatnya setiap tahun— meski aku tahu kau mungkin saja tidak akan pulang. Dua tahun lalu kau hanya meneleponku dan minta aku membisikkan doa. Tahun lalu kau tidak menelepon dan satu bulan kemudian kau baru ingat dan menertawakan dirimu dan bertanya, “Apa hari itu Mama mendoakanku?”
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
“Tentu,” kataku, “aku ingin kau menikah.”
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
“Aku sudah memutuskan tidak.”
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
“Kenapa?”
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
“Aku tidak ingin hidup seperti Mama.’’
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Waktu mendengar kau mengatakan hal itu, aku merasa tertusuk hingga memilih menutup telepon dengan sedikit berbohong tentang seorang tamu yang tengah menunggu di depan pintu. Namun, malam harinya, aku tertawa banyak sekali sambil mengulang-ulang kalimatmu sampai aku kelelahan dan tertidur. Begitu pagi, mataku lengket dan sulit dibuka. Kemungkinan besar aku menangis saat tertidur.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Aku menatap stoplesmu. Tampak dingin. Tampak hening. Aku penasaran apa yang bisa dilakukan waktu di dalam sana selain mengekalkan kenangan dalam rumah ini? Barangkali tak ada. Barangkali tugas waktu memang hanya dua. Membuat masa depan dan masa lalu. Dan kita tentu ada di masa lalu itu tepat ketika waktu terperangkap dalam stoplesmu. Tepat lima bulan setelah kau pulang begitu mendengar kabar papamu ditemukan mati di ruang kerjanya dengan sweter merah kekecilan milikmu, yang, tentu saja, diambilnya diam-diam dalam lemari di ruang persembunyian kita (ah, kalau saja kau tahu, kau mungkin akan sangat sedih, saat ditemukan dia begitu berdebu dan seekor laba-laba mulai membuat sarang di rambutnya).
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Hari itu kita berdiri berdekatan di kuburan papamu. Kita tidak saling bicara. Kita hanya bergenggaman tangan seolah kita dua orang perempuan yang ditinggalkan seorang kekasih yang tidak tahu cara mencintai —dan kita menyesali hidupnya yang seperti itu. Besoknya kau pergi lagi dan hanya meninggalkan tulisan di secarik kertas yang kau letakkan di dekat stoplesmu: serangga yang tersesat, masuklah.
</div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #009999; font-family: ubuntu, serif; text-align: justify;">
Sekarang, setelah sekian lama aku menyembunyikannya, haruskah kuberi tahu kalau stoplesmu justru berhasil memerangkap waktu di hari ulang tahunmu yang gelap ini? Ah, kau tidak akan pulang hari ini dan aku tidak suka bicara denganmu di telepon.
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/06/cerpen-tebarkan-abu-jenazahku-ke-telaga.html" target="_blank">cerpen Tebarkan Abu Jenazahku ke Telaga</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-92202325836725408162017-07-28T02:12:00.001-07:002017-07-28T02:12:38.479-07:00CERPEN MALAM RAJAM OLEH BENNY ARNAS<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Itim" rel="stylesheet"></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #336600; font-family: "Itim",serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://4.bp.blogspot.com/-ezqVlCaf0Ag/WXr-9hmQ-JI/AAAAAAAADF0/gqY88qC_SLMa4jcKmHkf0i6c2nbSo_TxwCLcBGAs/s1600/images.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="wanita bersedih" border="0" data-original-height="274" data-original-width="184" src="https://4.bp.blogspot.com/-ezqVlCaf0Ag/WXr-9hmQ-JI/AAAAAAAADF0/gqY88qC_SLMa4jcKmHkf0i6c2nbSo_TxwCLcBGAs/s1600/images.jpg" title="wanita bersedih" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">image <a href="http://spoki.tvnet.lv/foto-izlases/akvareli/343422/1/2" target="_blank">Avareli</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Jelang dini hari. Di sebuah ranjang berkelambu coklat muda. Kau terlelap tanpa dengkur. Telanjang dada. Bersarung sebatas lutut. Di sampingmu, terbaring sebatang tubuh molek yang hanya dibalut kain lasem sebatas dada, hingga terintip ceruk di antara dua bukit tinju yang ditutupinya. Selingkaran lehernya menyerak tanda merah sebesar ujung jempol, bagai habis dihisap-kecap. Air muka kalian menyemburatkan lelah yang tak biasa. Tengah malam tadi kalian khatamkan sebuah pertarungan yang tertunda sekian lama. Bukan hanya dengan keringat, tapi kalian juga melakoninya dengan hasrat yang mendahaga. Tak ada yang ditetapkan sebagai pamuncak. Kalian sama-sama kuasa. Kalian pula sama-sama kalah. Bakda itu, lelap kalian adalah sebenar lelap. Untuk apalah bermimpi lagi bila angan-angan itu baru saja tertunai?! Tertunai di atas nama pertautan-halal; di atas ranjang yang berseprai anyar; di atas malam yang dipilahku untuk merajam. Membalas dendam!</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Siang tadi pesta perkawinanmu digelar dengan mewah. Kau memang seorang istimewa. Anak tunggal pemilik panglong kayu terbesar di kampung. Jadi, adalah mahfum bila perempuan yang baru datang dari kota itu tertawan olehmu. O, jangan-jangan ia yang menawanmu?! Ah, tak penting itu. Perkaranya adalah, aku tak rela kau meminangnya. Tidak!
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Memang, kepergianku ke kampung orang tuaku dua pekan silam tanpa sepengetahuanmu dan keluargamu. Tapi, yang membuatku murka adalah sikapmu (juga keluargamu) ketika mengetahui aku raib. Tenang-tenang saja. Ketika itu, mendidihlah darahku. Ingin sekali aku melabrakmu. Bila perlu membuatmu mati-tercekat karena mendapati kedatanganku yang tiba-tiba. Namun, rencana itu kujegal sementara. Aku benar-benar ingin tahu musabab ketakpedulianmu pada diriku, gadis yang kaujanjikan untuk dikawini. O, apakah ketaktahuanmu tentang di mana tepatnya ranah kediamanan orang tuakukah yang membuatmu tak mencariku? Kini, jujur, aku merasa sangat bodoh. Mengapa dulu aku terburu-buru mengambil ketetapan itu. Pergi meninggalkanmu. Berkelana ke kampung ayah-ibu yang justru tak kunjung kuketahui keberadaannya.
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Aku benar-benar benci pada perawan itu. O, sungguh, kau harus tahu bahwa semua ini bukan salahku!
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Apakah kau tak tahu seperti apa pembantu di rumahmu dipekerjakan? Adalah sahih bahwa titah demi titah orang tuamu telah merampas waktuku: sedari subuh hingga malam meninggi. Jadi, bagaimana mungkin aku main-gila dengan laki-laki lain?! Apakah harus kuceritakan perihal aku yang jatuh dari pohon nangka karena keponakanmu dari kecamatan minta diambilkan layangan yang tersangkut di sana; apakah harus jua kukeluhkan bahwa aku pernah terjerengkang di dapur karena ibumu berteriak memintaku gegas menyiapkan air hangat untuk mandi di subuh kau akan diwisuda dua bulan lalu; apakah jua harus kutumpahkan kekesalan bahwa, beberapa kali aku terjerembab dari kereta unta ketika mengantar rantang-rantang para tukang yang merampungkan rumah baru kalian di simpang pasar….; dan apakah harus kumeraung—dalam suara yang pasti memarau—untuk semua akibat yang dimunculkan kesialan-kesialan itu: selangkanganku sakit, perih, bahkan ketika terpeleset di kamar mandi yang akan kusikat di pagi Ahad, bercak-bercak merah tiba-tiba saja mengerubungi celana dalamku. Pedihnya tak tepermanai. Bukan hanya membayangkan bahwa beberapa hari bakda itu, aku akan berjalan sedikit mengangkang, namun… lebih dari itu. Menangis tak berbunyi aku bila membayangkan air muka lelaki—yang suatu hari nanti mengawiniku—di malam pertama kami (di bawah lampu kamar yang bercahaya remang).
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/06/cerpen-kafir-oleh-risda-nur-widia.html" target="_blank">Cerpen Kafir</a></span></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Bertambah masailah aku ketika suatu hari kau menanam tebu di bibir. Kau tak hanya, dengan lembut dan syahdu, mengatakan (sekaligus memuji); hidungku bangir, wajahku bulat telur, bibirku merah penuh, kulitku putih rotan, mataku kilap-kelereng, alisku semut yang berbaris, rambutku sutera-hitam, daguku lekuk-mangga, bahkan telingaku kaukias bak cawan Persia. Aku luruh. Aku tahu, kau tak menuang air hingga tumpah. Kau menyampaikan yang sebenar. Ayahmu yang sudah empat kali naik haji saja sering “nakal” padaku. Beberapa kali si tua bangka itu meremas pantatku ketika aku ngepel. Beberapa kali pula ia mencoba menciumku—namun selalu gagal karena derap langkah ibumu keburu menyambangi.
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Kau bersyukurlah kami pungut di tepian rel dulu. Sekarang nak bertingkah kau!” hardiknya ketika aku menghindari cengkeramannya di pinggangku.
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Ayahmu juga sangat pandai mengganti muka. Di depan ibumu ia bagai singa yang sedang memerintahkan musang menyeret ayam. Bila aku lamban atau bahkan tak melaksanakan apa-apa yang dititahkan, maka aku akan dirajam. Demikian istilah yang sering dipakai keluargamu bila aku dirundung kesialan. Ya, selain keluargamu, tak banyak yang tahu (atau bahkan memang tak ada yang tahu) bahwa ayahmu seringkali merajamku dengan pecut kuda yang disimpan di kolong ranjangnya, bila aku kedapatan melakukan hal-hal yang tak berkenan di hadapannya dan ibumu. Walaupun tidak melakukannya dengan cambuk-maut itu, ibumu tak kalah ganas. Ketika marahnya membara, barang apa saja yang ada di dekatnya akan dicangking-rajamkan ke arahku. Kau tahu, bakat biru di bahu belakangku adalah bukti yang paling makbul atas guci China dan tatakan piring keramik Turkmenistan yang ia pecahkan ke tubuhku. Kau tahu, sejak itu, aku selalu tidur dalam keadaan telentang. Sedikit saja kumiringkan tubuh—karena tiba-tiba ingin memeluk guling misalnya, tulang belakangku serasa bersigesek. Linu yang menyayat.
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Dan… kau bagai mengimani peribahasa yang tampaknya tak bercelah: orang tua adalah guru berteladan yang mustajab.
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Ya, kau kerap menjambak rambutku bila telur mata sapi kegemaranmu tak kugoreng seperti yang kau inginkan. Kuningnya terlalu masaklah, putihnya terlalu keringlah, minyaknya masih berlumuranlah…. Namun kau sangat berbeda dengan orang tuamu. Rajammu adalah rajam yang membuat lenguhanku bersicepat dengan denyut nadi dan geletar jantung. Kau biasanya menyeretku ke sudut dapur yang jauh dari imbas cahaya pir kuning yang menjuntai di plafon. Melumat bibirku, menggigit-geli leherku, menjilat lekuk telingaku…. Kau melakukan semua dengan tangan yang sigap membuka kancing-kancing baju-katunku. Seolah kau benar-benar hafal bahwa jarak masing-masing pengait baju itu adalah 12 sentimeter. Tapi… kau tak melakukan (atau meminta) lebih jauh. Kau kerap berhenti ketika aku mulai menikmati rajamanmu.
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Percayalah, aku bukan iblis. Aku hanya pemuda biasa yang tak dapat menyembunyikan naluri lelakinya. Percayalah, kau bagai bidadari saban habis mandi. Dan aku takkan menghamilimu hanya karena itu. Aku hanya ingin bercumbu dengan perawan di malam pertamaku. Dan itu adalah kau….”
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Aku diam. Terharu. Bangga padamu—bakal suamiku (benarkah?!). Lalu meradang dalam bayang kesedihan yang siap tumpah demi membayangkan malam-sakral itu tiba suatu waktu.
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tapi… oh, seperti yang kaukatakan. Kau adalah pemuda biasa. Hanya ditambah beberapa kelebihan: tampan, kaya, berpendidikan, dan (jujur kukatakan) menggoda. Pada suatu malam yang mendung, ketika kedua orang tuamu berhelat ke kampung sebelah, memenuhi undangan hajatan kawan lama, kau kembali merajamku. Tapi bukan karena aku tak menggoreng telur ayam itu dengan baik. Kau merajamku karena kau pemuda biasa—katamu dulu, pemuda yang memiliki naluri kelelakian (atau kebinatangan?!). O sungguh, harus jujur kukatakan, aku juga bagai terasuk setan-binal malam itu. Bila kau memintaku menumpahkan isi telur di kuali, aku akan melakukannya serampangan. Bahkan, akan kunaikkan putaran gas hingga api menyala sejadi-jadinya. Akan kuhidangkan telur pekang, gosong-arang! Ya, aku ingin kau menghukumku. Merajamku!
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Dan kau melakukannya tanpa ada pasal telur goreng itu. Tapi tak seperti biasa, kali ini kau meminta lebih. Tentu saja, aku menolaknya. Bukan, bukan karena tak yakin kau akan bertanggung jawab (entah, aku begitu percaya padamu bahwa kau takkan menyia-nyiakanku), tapi karena kau belum meyakinkanku apakah ayah-ibumu akan bersetuju dengan pilihanmu; seorang pembantu tanpa orang tua dan sanak saudara.
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Kau bagai membaca kegundahanku. Kau katakan betapa istimewanya dirimu. Siapa yang berani menolak permintaan anak tunggal?! Sungguh cantik kau meliuk lidah. Ya, kau tak menanyakan mengapa aku berani menolak permintaan seorang anak majikan. O, betapa ketika itu kau menguapkan sikap yang meluluh-lantakkan tembok pertahananku.
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Menanglah kau! Aku gelap-pikiran. Aku tak tahu bila tebu di bibirmu sebentar lagi akan ditebas (dan hilanglah gulali itu tak lama kemudian!). Aku hanya membayangkan betapa gadis sebatangkara sepertiku akan menjadi bagian dari keluarga terhormatmu. Ohhh….
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Namun, kenyataan bersibelakang dengan ramalan. Kau mulai mengganas. Kausingkap kain lasemku. Dan… berserempakan dengan petir yang bergemuruh jauh, dan air langit yang bersitumpah satu-satu; mukamu keruh seketika!
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Kau mendorongku hingga terjerengkang. Kau kenakan pakaian dengan tergesa-gesa. Kau tuding aku sundal. Kau tak memberiku kesempatan untuk mengurai sebab-akibat….
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tengah malam, kutinggalkan rumahmu. Memapas jalan-jalan kelam kampung yang lengang….
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Sedari pagi, aku memang tak sabar menyambut malam. Di antara kerumunan tetamu, kusaksikan bagaimana ijab-kabul dilewati tanpa hambatan. Sejak duha hingga bakda asar, orkes melayu mengoar-bingar panggung dan seantero kampung. Kalian bagai menginjak-injak luka-lebamku. Dan, bakda isya, aku menuju kediamanmu. Dari balik jendela, kuintip orang tuamu menghitung isi amplop yang diterima, para keponakan yang bersuka-ria menyobek bungkus kado-kado yang menyerak di kamar depan, beberapa tamu jauh yang tak henti memuji keserasian kalian….
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Malam pun meninggi. Sedikit saja jarum jam yang lebih panjang tergelincir, maka hari akan bernama baru. Lamat-lamat aku menyelinap. Kalian lupa bahwa aku sangat paham leliku rumah besar itu. Aku segera menuju kamar bergorden merah jambu dengan beberapa tangkai anyelir menyelip di kaitannya. Syabas! Begitu mudah kukuak pintu kamar. O o, aku datang di waktu yang gemintang. Kalian baru akan memulai ritual wajib pengantin baru. Aku berdoa dari balik pintu, semoga selangkangan gadis itu berkembar-nasib dengan selangkanganku.
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
O, apakah benar yang kulihat? Kau menggumulinya dengan lunas. Apakah gadis itu masih perawan? Atau… kau tak peduli lagi perihal darah yang muncrat di antara bonggol paha itu? Puihhh!!!! Laki-laki pembual, kau!
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Maka, ketika kalian lelap oleh lelah yang memuaskan… kusambangi ranjang harum melati itu. Kusingkap kelambu. Kutatap kalian satu-satu. Kubersijingkat menaiki ranjang. Sangat hati-hati, hingga tanpa bunyi derit. Aku kini sudah mengangkangimu. Ups! Setengah meloncat aku membebankan tubuh di atas perutmu….
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Aku terkakak hingga air mataku menyeruak. Kedua bola matamu mendelik sempurna ke arahku. Kurajam kau kini! Kucekik lehermu sejadi-jadinya. Kau mengejang. Aku makin terbahak. Pun ketika perempuan di sampingmu terjaga. Ia menyangka kau tengah mengigau. Mimpi buruk.
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Sejak kapan mimpi buruk bertandang di malam punai, hah?! Perempuan bengak!
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Perempuan itu menarik-narik kedua tanganmu yang memegangi leher—seolah kau tengah melepaskan cengkeramanku yang memelintir tonggak kepalamu. Mana bisa?! Mati kau?!
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Perempuan itu berteriak ketakutan. Keluarga dan sanak-kerabatmu menggedor-gedor pintu yang masih terkunci. Tak lama, mereka mengerumunimu. Berteriak sejadi-jadinya. Ya, siapa yang tak meradang ditinggal mati anak-bujang seorang?!
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #336600; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Aku masih tertawa ketika, di antara sikaduduk yang menyemak di sudut pemakaman umum, tempat akan digalinya liang untukmu, orang-orang menemukanku teronggok dikerumuni belatung. Beberapa bagian tubuhku ditutupi bahan katun, kain lasem yang buram coraknya, dan tentu saja tali tambang yang masih bergelung di tengkorak kepala. Itu adalah tali yang kuambil dari dapurmu di malam aku meninggalkan rumah itu. Kukaitkan di dahan beringin yang paling besar; demi beroleh restu ayah-ibu untuk merajammu malam tadi.
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/06/cerpen-sihir-tumis-ibu-oleh-risda-nur.html" target="_blank">cerpen Sihir Tumis Ibu</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-33967649965255928652017-07-28T01:49:00.000-07:002017-07-28T01:49:40.707-07:00CERPEN ANAK IBU OLEH BENNY ARNAS<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://3.bp.blogspot.com/-Qwev6H1I3us/WXr5hju3byI/AAAAAAAADFo/yvwmJQmxDb42eM620T04dcHL3r9PRx71ACLcBGAs/s1600/seorang-ibu1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="anak ibu" border="0" data-original-height="800" data-original-width="620" height="320" src="https://3.bp.blogspot.com/-Qwev6H1I3us/WXr5hju3byI/AAAAAAAADFo/yvwmJQmxDb42eM620T04dcHL3r9PRx71ACLcBGAs/s320/seorang-ibu1.jpg" title="anak ibu" width="247" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="https://greenyazzahra.wordpress.com/2010/05/24/kasih-ibu-gratis-sepanjang-masa/" target="_blank">image</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif;">Apa Bahagia Itu, Anakku</span></div>
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #cc0000; font-family: "Merienda",serif;">
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Bahagia adalah ketika kau mendapatkan kegembiraan, kedamaian, dan rasa syukur, dalam waktu bersamaan. Hilang saja salah satunya, hidupmu akan timpang.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Kau nanti akan mendapati orang-orang yang berlebihan dalam banyak hal. Misalnya seorang hajjah, yang bila melenggang serupa manekin toko emas berjalan; bergelantungan perhiasan di leher, pergelangan tangan, centil telinga, bahkan lingkar kakinya. Tapi tak banyak yang peduli bahwa ia selalu dihantui kecemasan. Suaminya dibelit kasus korupsi, pun saban dua minggu harus cuci darah; anak-anaknya sudah tiga kali tertangkap basah nyimeng di belakang sekolah.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Kau jangan mencari kegembiraan dengan mengorbankan rasa damai, Anakku. Kau jangan lupa bersyukur hanya karena merasa semua didapat lewat kerja kerasmu. Kau jangan jadi orang kaya yang miskin!
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Seperti Neknang
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Mengapa orang-orang tua banyak yang renta?
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Selain perkara usia, karena mereka tak mampu mengambil saripati kehidupan yang sudah kapalan dilalui. Mereka hendak berehat saja ketika senja, namun lupa, rehat dapat membunuh hasrat untuk senantiasa siap. Maka, kautiliklah, orang-orang tua yang bersantai ketika waktu sudah sudah hampir bosan memeringati usia, akhirnya akan menjadi benalu dalam keluarga. Kehadirannya justru merepotkan orang saja (walaupun tak ada yang mengungkapkannya).
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Maka, kuceritakan padamu tentang Kakek. Dalam bahasa kampung kita, Neknang. Menjelang kepala delapan, ia masih berkebun, ia masih mengitari kampung saban petang, ia masih membaca koran (walau kadang minta ditunjuki arti beberapa kata atau kalimat serapan asing), bahkan ia masih punya cita-cita. Ke Tanah Suci.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Ibu ingin kau pun mewarisi semangatnya, Anakku. Menjadi tua, sudah ketentuan. Namun kau dapat menjadi muda, demi kehidupan!
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Kehilangan Matahari
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Kau tak tahu bagaimana kita sudah kehilangan matahari sekian lama. Sejak gedung-gedung itu tumbuh tinggi dengan cepatnya, mengalahkan tunas-tunas tanaman yang mesti disirami saban hari.O, kau juga tak tahu perihal pohon itu, kan?
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Suatu waktu Ibu akan keluar dari kampung tembok ini, Anakku. Akan kubawa ember dari rumah menuju tanah lapang yang dirimbuni ilalang. Siapa tahu ada anakan jambu terong atau anakan srikaya yang tiba-tiba menyeruak dari sana. Akan kucungkil tanah tempatnya tumbuh: ya, bersama tanahnya sekalian. Kumasukkan ke dalam ember.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Di rumah, setelah disiram sedikit air. Kukabarkan padamu bahwa itulah cikal-bakal pohon. Aku hanya masih berpikir, apakah benar anakan itu akan menjadi pohon, bila matahari selalu disembunyikan oleh tembok-tembok?
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Makan-makan
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Bila ada yang meninggal, kaukabarkan saja pada keluarganya dan mereka yang tahu agama. Bakda dimandikan dan dikafankan, baru kaumaklumatkan pada 40 orang. Sembahyangilah ia. Lalu tanamlah ia di pemakaman umum di selatan kelurahan. Tak usah kau tanam di dekat rumah. Ia juga ingin berkawan dengan orang-orang mati, bukan hanya dengan kalajengking, lipan, dan cacing-cacing berwarna cokelat bening.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Bila para tetangga hendak mendoakannya di rumah, kau bantu ahli-musibah menyiapkan buku Yaasin dan Al-Qur’an. Lalu jeranglah air sepuluh kali lebih banyak dari biasa. Itu saja. Tak usah kau petik nangka muda, tak usah menebang batang kelapa untuk diambil umbutnya dan diparut kulit daging buahnya, tak usah menyembelih ayam kampung, tak usah membeli bumbu-bumbu gulai di pasar pagi. Ia tak restu bila kalian mesti berutang demi menyelenggarakan malam-malam doa di rumah hingga 100 hari kematiannya.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Aku Akan Jadi Gurumu
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Maka, kuboyong kau ke sebuah kampung suatu hari. Kampung yang tersuruk. Nyaris dilupakan sesiapa (apalagi pembuat peta). Bukan tempat Ibu dilahirkan. Bukan pula tempat kakek-nenekmu hidup dulu. Ibu sudah lama mencari-cari daerah di mana Ibu dapat melihatmu tumbuh menjadi manusia yang paling manusia.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Ibu akan mengajarimu banyak perkara. Tak perlu kau mendaftar ke sekolah. Kau akan kudidik sendiri. Dengan tertib. Ibu tak ingin menitipkanmu ke gedung-gedung yang dibangun dengan batako yang dilapisi adukan semen dan pasir dengan perbandingan 1:7. Ibu tak ingin kau didikte pelajaran yang gurunya sendiri tak paham apa yang (hendak) ia berikan. Apalagi menurutku kau benar-benar tak perlu belajar bila sudah sekolah. Bukankah sudah ada tim sukses masing-masing sekolah yang akan mengisi lembar jawabanmu? Satu-dua siswa mereka tak lulus, dipecatlah kepala sekolahnya, digantilah kepala Dinas Pendidikannya, ditegurlah menterinya. Kita tak usah menyusahkan banyak orang, Anakku.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Bila Kau Jadi Pengarang
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/06/cerpen-mitos-bahu-tuhan-oleh-risda-nur.html" target="_blank">Cerpen Mitos Bahu Tuhan</a></span></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Bila kau menjadi pengarang, jadilah pengarang yang santun. Kau tak usah ikut-ikutan pengarang yang banyak bicara. Lain yang ditulis, lain pula tindak tanduknya.Yang kerjanya menghina karangan orang. Yang kerjanya menghardik pengarang lain. O ya, Ibu lupa kau perempuan, ya! Jadilah pengarang perempuan yang benar-benar perempuan. Tak usah kaukuak hal-hal busuk perihal kaummu. Tak penting itu. Hanya akan membuatmu terkenal karena kebusukanmu (bila ada yang bilang itu “wangi”, itu bukan urusanmu).
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Ingat Nak, mengarang itu menggambar atau bahkan membocorkan kenyataan agar orang lain ingat bahwa seperti ini rupanya hidup itu; kalau begini akan begitu, kalau begitu akan begini. Maka, bila berhubungan dengan pengarang lain, bercengkeramalah sebagaimana kau mengarang. Aku tak memintamu menjadi munafik. Aku memintamu bertanggungjawab terhadap apa-apa yang kau karang. Ingat pula, mengarang adalah mengingati orang lain tanpa mereka merasa digurui. Nah, bila tukang ingat-nya saja sembrono dalam bertabiat, bagaimana orang-orang yang membaca karangannya mendapatkan manfaat dari apa-apa yang (pura-pura) ia baik-baikkan dalam bahasa ceritanya?
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Senja yang Telat Pergi
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Kau harus tahu, di waktu-waktu tertentu, ada kalanya senja tak ingin pergi. Hingga, ketika jejak azan magrib sudah hilang dari gendang telinga pun, langit masih jingga. Jingga yang pucat. Dengar, itu bukan pertanda bahwa serombongan PKI hendak menggorok leher ibumu ini. Bukan pula karena Hantu Wewe tengah berkeliaran mau menyembunyikanmu di balik jubah landungnya. Itu adalah selingan alam.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Kadang-kadang kau tak tahu bagaimana ranting kering tiba-tiba patah tanpa didahului embusan angin yang kuat, tanpa didahului seekor prenja yang silap menghinggapinya. Nah, itulah. Tuhan kadangkala memainkan kekuasaannya pada hal-hal kecil, Nak. Kauresapilah.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Pun dengan senja itu. Tuhan hanya ingin memersilakanmu menikmatinya agak lama. Jangan kau menggerutu sebagaimana orang-orang merutuki hujan lebat yang membuat seng rumahmu berkereokan tak sedap didengar. Kau jarang berpikir, ketika itu anak-anak tetangga senangnya minta ampun setelah sekian lama tak mandi karena air sumur sudah bau belerang. Jarang ada yang berpikir, ketika senja hinggap lebih lama, anak-anak takut keluar rumah. Orang-orang tua bahkan menambah-nambah ketakutan mereka dengan cerita-cerita tak berbenang-merah. Jarang yang memanfaatkan kebersamaan dalam kekalutan itu, untuk membuat mereka bergegas mengambil wuduk: solat magrib bersama!
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Tamasya di Hari Lahir
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Apa yang akan kaulakukan ketika anakmu tiba-tiba ingat hari lahirnya?
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Kau akan berpikir keras tentang sejumlah uang yang akan kauhabiskan untuk merayakannya, bukan? Merayakan? Apa yang perlu dirayakan dari sebuah peringatan?
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Ibu bisikkan padamu. Kau ajaklah anakmu pergi ke tepian Lubuklinggau. Ke Siring Agung. Kaulintasi hutan karet di Kenanga Dua Lintas. Dalam perjalanan, kau kenalkan nama-nama pepohonan yang berbaris di tepi kiri-kanan jalan, yang berjajar serupa pagar-bagus pesta perkawinan. Biasanya pohon durian yang hampir ratusan tahun umurnya paling banyak di sana, pohon kopi yang bunganya bagai rerumpun melati yang tengah berpelukan, dan sedikit memasuki daerah Siring Agung, kau akan melihat pohon yang kelopak bunganya tak lembek: bunga kamboja. Di sana, terhampar pusara-pusara orang yang telah habis jatah hidupnya. Nah, lihat tahun lahir dan meninggal mereka. Bermacam-macam, bukan? Ada yang sudah sangat tua, ada pula yang seumuran dengan kau dan anakmu. Tentu, kau dan anakmu sudah khatam mendengarkan diktum kematian, bukan? Mau dibawa ke mana hidup ini bakda mati? Jangan lupa ya, Nak. Ajak anakmu ke sana di hari lahirnya.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Karib Nenek di Seberang
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Nenekmu punya seorang kawan yang tinggal di seberang pulau. Ia memiliki sembilan anak. Semuanya sudah berkeluarga dengan pekerjaan yang baik-baik pula. Kau tahu, ia hanya seorang tukang jahit. Ia sangat suka berderma. Ia selalu memasak gulai dengan melebihkan kuahnya. Agar dapat dibagi-bagi dengan tetangga, begitu alasannya. Bila masjid mengadakan acara, dari khatam Qur’an hingga Mauludan, ia yang paling banyak membawa penganan untuk para jemaah.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Bila dipikir-pikir, manalah mungkin ia mampu membiayai sekolah dan kuliah semua anaknya. Tuhan Maha adil, katanya. Aku takkan bercerita banyak perihal keajaiban itu, lanjutnya.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Ada-ada saja rezeki yang datang padanya, Anakku. Ibu akan selalu ingat sebuah kalimat sederhana yang dirawikan Nenekmu darinya: Banyak memberi takkan membuatmu jatuh miskin.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Semuanya Berkabut
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Dari banyak hal yang membuat Ibu gelisah, yang satu ini harus diceritakan. Kini, dan apalagi ketika masa kau besar nanti, tidak ada silaturahim yang murni. Kedatangan adalah jembatan menghantar keperluan. Senyuman adalah senjata untuk menyembunyikan kebusukan. Tolong-menolong haruslah diawali kesepakatan yang saling menguntungkan.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Demi Tuhan yang Maha Menurunkan Keajaiban, kuingin kau menjadi orang asing di masa itu, Anakku. Jadilah orang asing yang memegang tongkat Al Hakim. Jadilah orang asing yang jernih berpikir, teguh memegang kata hati. Semuanya akan berkabut, Anakku. Hanya yang sombong yang tak melihat kabut itu. Hanya yang asing yang merasa terganggu oleh kabut itu. Kau, kuingin kau selalu was-was terhadap kabut itu, Anakku.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Jadilah Orang Miskin yang Kaya
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Dengar, Anakku. Jangan pernah percaya pada kata-kata orang yang berdasi itu: Bila kau ingin berhasil, maka cintailah pekerjaanmu! Ingat, Anakku. Tak ada orang yang benar-benar mencintai pekerjaannya. Bila memang ia mencintainya, maukah ia menjabaninya tanpa imbalan?
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Hidup adalah tumpukan topeng yang tak berwujud. Berlapis-lapis ditimpuk, takkan membuat mukamu tampak berbeda. Ini perkara lama. Perkara yang sudah jauh-jauh hari Tuhan ingatkan kepada kita. Padaku. Padamu pula.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Kau pelihara saja harta yang telah kaubawa sejak lahir. Kejujuran, rendah hati, mencintai saudara. Jangan kau ganti harta-harta itu dengan harta-harta yang baru: ketenaran, gelar haji, jabatan, mobil, emas-permata. Maka, jadilah orang miskin yang kaya, Anakku! Orang miskin yang bahagia.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Malam Setan
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Malam, tak ubahnya siang hari. Bahkan lebih meriap. Kau akan mendapati perempuan jadi-jadian di sekitar rumah (rel kereta api tak lagi menguntungkan untuk mencari pelanggan).
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Aku bersyukur karena kau perempuan, Anakku. Bukan laki-laki. Maka, demi Tuhan, janganlah pula kau menjadi siluman. Kelak, bukan hanya banyak perempuan yang mengaku bahwa mereka terperangkap dalam kegagahan perawakan laki-laki. Namun, akan banyak pula laki-laki yang mengaku terperangkap dalam kemolekan tubuh perempuan. Sering-seringlah mengunjungiku, Anakku. Agar kau ingat padaku. Pada nasihat-nasihatku. Pada kematianku. Pada kematianmu.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Lelaki Pencuri Cahaya
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Sekarang kau sudah menjadi perempuan dewasa. Serupa aku beberapa tahun sebelum mengandung. Kau masih saja memakai pakaian yang landung-landung. Rok yang mencium mata tumit, dan baju kurung yang berkancing setengah kilan di atas payudara, membungkus lenganmu hingga ke gelang tangan.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Maka, carilah pemuda yang selalu membuatmu bercucuran cahaya karena mentari telah berhasil ia curi dan ia rasukkan ke dalam dirinya.* Dialah pemuda yang akan menjagamu. Menjaga pusara ibumu. Menjaga kehormatanmu. Menjaga anakmu agar tak menikah sebagaimana kau kelak: berwali hakim di hadapan penghulu.
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Anak Ibu
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Maafkan Ibu yang tak sempat menemanimu tumbuh, Anakku. Yang terang adalah, Ibu kini bahagia. Kau selalu mendoakanku, orang yang terbang ke langit bakda memersilakanmu menangis untuk pertama kalinya. Entah, kau mendoakan ayahmu atau tidak. Atau kau sudah tahu bahwa pemerkosa itu tak layak kaudoakan. Atau dokter yang menghadiahiku buah simalakama kala itu, menggugurkanmu agar aku hidup, atau melahirkanmu namun aku akan segera bertemu Munkar dan Nakir, telah menceritakan kepadamu bahwa aku kerap bercengkerama dengan perutku sendiri, menyampaikan ragam nasihat, harapan, dan impianku tentangmu, ketika layar monitor mesin pemindai kandunganku menyatakan kau perempuan?
</div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0000; font-family: merienda, serif; text-align: justify;">
Khidmatilah semuanya, Anakku. Mataku ada di mana-mana. Sebagaimana semua petuahku menyelusup dalam tindak-tandukmu.
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/06/cerpen-sungai-buntung-oleh-risda-nur.html" target="_blank">cerpen Sungai Buntung</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com7tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-45817193649104067282017-07-27T01:15:00.002-07:002017-07-27T01:15:48.142-07:00REVIEW NOVEL THE TIRD TWIN OLEH KEN FOLLET<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Artifika" rel="stylesheet"></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #990099; font-family: "Artifika",serif;">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://1.bp.blogspot.com/-ZPKrB6-SDS0/WXma3rXMGxI/AAAAAAAADFM/mk6H8rYwWOEqDjrwWFJ20wzDoHCZEwQPACLcBGAs/s1600/download.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="cover novel The Tird Twin" border="0" data-original-height="288" data-original-width="175" src="https://1.bp.blogspot.com/-ZPKrB6-SDS0/WXma3rXMGxI/AAAAAAAADFM/mk6H8rYwWOEqDjrwWFJ20wzDoHCZEwQPACLcBGAs/s1600/download.jpg" title="cover novel The Tird Twin" /></a></div>
<br />
Seorang laki-laki memiliki fantasi liar dalam hubungan sex. Dia selalu mendamba hubungan intim dengan cara kekerasan. Untuk menjalankan khayalannya dia menyamar sebagai security dengan memanfaatkan ruang ganti perempuan di Universitas Jones Fallen. Dengan cerdiknya rencana berjalan sesuai imaginasi. Gadis-gadis berteriak keluar begitu asap mengepul. Sedangkan Jennie sementara mandi segera berpakaian dan lari keluar ruangan. Sahabatnya Lisa tidak diketahui bagaimana keadaannya.
<br />
<br />
Perasaan Jennie resah tidak dapat menemukan Lisa. Saat semua orang sudah diluar hanya Lisa yang tidak dapat dia temukan. Pemadam kebakaran sudah mengecek di dalam sama sekali tidak ada lagi orang. Akhirnya, Jennie menemukannya lewat pintu darurat. Dalam keadaan terpuruk akibat kekerasan seksual dan diperkosa.
<br />
<br />
Karena orang-orang yang meminta keterangan Lisa tidak menunjukkan simpatik sama sekali. Dia memutuskan mencabut tuntutan. Keesokan harinya setelah diganti dengan sipir perempuan, Lisa memutuskan ingin melanjutkan proses penyelidikan.
<br />
<br />
Jennie yang berusia 29 tahun sedang melakukan penelitian di universitas Jones Fallen. Di waktu yang sangat tepat dia butuh pelarian karena diputuskan pacarnya demi perempuan yang dia sebut berotak kosong. Sementara berbicara dengan subjeknya, Steve tidak menyangka bertemu dengan Jennie. Wanita yang membuatnya terpukau lewat permainan tennisnya.
<br />
<br />
<blockquote>
Jennie, sebetulnya aku kemari untuk mengatakan bahwa memutuskan hubungan denganmu adalah kesalahan paling besar yang pernah kubuat dalam hidupku.</blockquote>
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Will tidak berengsek sebetulnya. Dia cowok yang baik. Dia cuma jatuh hati pada orang lain. itu saja. Menurutku dia kurang perhitungan dalam menentukan pilihannya. Kan kami belum menikah. Dia tidak melanggar apa-apa. Daia bahkan tidak pernah menghkhianatiku, kecuali mungkin sekali atau dua kali, sebelum dia menyingkapkan hal itu padaku.</blockquote>
<br />
Berkat alat yang sedang dia kembangkan. Diluar prakiraan Steve pun tidak menyangka. Jika hasil analisa Jennie menyatakan Steve memiliki saudara kembar identik. Kabar buruk menghampirinya. Seharian menganalisa Steve, yakin sama sekali tidak ada kesalahan. Dan tidak mungkin pula terjadi kesalahan pada alatnya. Namun, keadaan memperjelas ibu Steve mengatakan, dia yang mengandungnya dan sama sekali tidak memiliki saudara kembar.
<br />
<br />
Kejadian lain menimpa Steve, dia dituduh sebagai pelaku pemerkosa Lisa. Jennie tidak percaya, karena seharian mereka bersama sama sekali ada tanda-tanda dia memiliki prilaku sebagai kriminal. Steve yakin ini haya salah tangkap. Tapi, begitu Lisa datang diminta menunjuk siapa pelakunya. Ternyata tetap Steve harus jadi tahanan. Bahkan harapan satu-satunya menunggu hasil tes DNA, dia tetap terbukti sebagai pelaku.
<br />
<br />
<blockquote class="tr_bq">
Kau ingat apa yang dikatakan Sherlock Holmes? Setelah berhasil menyisihkan semua unsur yang tak mungkin, yang tinggal meskipun kedengarannya tidak masuk akal adalah kebenarannya, atau Hercule Poirot yang mengatakan itu?</blockquote>
<br />
Semakin banyak kau tahu semakin berbahaya posisimu. Ini menggambarkan keadaan Jennie. Dia menemukan sesuatu yang tidak seharusnya dia tahu. Tiga orang berpengaruh di negaranya memiliki rahasia yang sudah disimpan selama 22 tahun. Satu persatu ditemukan lelaki yang memiliki wajah yang mirip dengan Steve, bukan hanya wajah, prilaku penyimpangan sex, agrresiv, warna rambut, bahkan DNA mereka sama. Tapi, semuanya dilahirkan di waktu yang berbeda, dan di rahim yang berbeda.
<br />
<br />
Saya tidak akan menceritakan lebih banyak lagi. Akan lebih nikmat jika membacanya sendiri. Cerita yang 640 hlm, jujur ini kisah yang berhasil membuat saya begadang karena kepiawaian penulis merangkai plot, diksi, membuat tidak sabar ingin mengetahui kelanjutan cerita. Penulis berhasil memancing untuk terus menggali satu persatu petunjuk.
<br />
<br />
Ada banyak ketegangan dalam cerita. Cara mendeskripsikan keadaan sangat bagus hingga kita benar-benar merasakan ketegangan, takut, dan khawatir yang diciptakan penulis. Terlebih ini masalah yang sensitive. Tentang prilaku kriminal sex. Factor lainnya, mungkin karena saya perempuan.
</div>
<br />
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/03/review-novel-ayat-ayat-cinta.html" target="_blank">novel Ayat-Ayat Cinta</a></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-13904383637204284802017-07-26T00:18:00.001-07:002017-07-26T00:18:48.278-07:00REVIEW NOVEL THE BEST LAID PLAINS OLEH SIDNEY SHELDON<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Zilla+Slab" rel="stylesheet"></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #cc0000; font-family: "Zilla Slab",serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://2.bp.blogspot.com/-874HfDGFQTE/WXhBxZTwSOI/AAAAAAAADEs/Mf420QE4u6M1QkxAlEdBdJC1C2CzaSxwwCLcBGAs/s1600/Jual_novel_sidney_sheldon_%252816%2529.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="cover buku Rencana paling sempurna" border="0" data-original-height="300" data-original-width="300" src="https://2.bp.blogspot.com/-874HfDGFQTE/WXhBxZTwSOI/AAAAAAAADEs/Mf420QE4u6M1QkxAlEdBdJC1C2CzaSxwwCLcBGAs/s1600/Jual_novel_sidney_sheldon_%252816%2529.JPG" title="cover buku Rencana paling sempurna" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="https://www.bukalapak.com/p/hobi-koleksi/buku/novel/pijav-jual-rencana-paling-sempurna-the-best-lain-plans-sidney-sheldon" target="_blank">image</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="text-align: justify;">
Disaat Leslie memilih menyerah untuk berharap mendapatkan seorang pendamping hidup. Namun, kenyataan dia bertemu dengan Oliver, calon suaminya. Pertemuan mereka diawali dengan Oliver membutuhkan jasa Leslie untuk kampanye sebagai calon Gubernur. Disayangkan suara untuk Oliver semakin merosot, akhirnya orang-orang yang dulu memberi sponsor mundur. Tapi, Leslie tetap membantu semaksimal mungkin dan berusaha membantunya agar tetap bertahan sebagai calon Gubernur. Hubungan mereka semakin dekat, Oliver dan Leslie memutuskan untuk menikah.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Seminggu pernikahan Oliver keluar kota ada urusan pertemuan. Hingga mendekati hari resepsi Oliver masih tak ada kabar. Leslie menduga-duga keburukan apa yang menimpanya, mungkin kecelakaan. Lewat telepon kabar dinanti datang juga. Seorang wartawan menghubunginya, menanyakan pendapatnya tentang pernikahan Oliver dengan Jann. Merupakan putri dari senator Davis, yang akan banyak memberi bantuan mencapai kedudukannya. Banyak media menyorot Leslie, terlebih undangan sudah di sebar, terpaksa hadiah di kembalikan dan dia meminta maaf. Dengan elegan, Leslie menjawab pertanyaan media tetap mendoakan mereka semoga bahagia, dan merasa wajar saja Oliver bersikap demikian mengingat Jann adalah mantan kekasihnya. Saat Oliver dan Jann kembali ke Kentucky mereka akan menikah kembali di gereja yang seharusnya Oliver dan Leslie menikah. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Sejujurnya Oliver sempat ragu, karena Leslie wanita yang baik, dan benar-benar mencintainya. Namun keterlibatan senator Davis yang membujuknya akan mempelancar proses menuju pencalonan sebagai Gubernur, akhirnya Oliver tergoda. Tergoda dengan kedudukan dan uang. Leslie mampu tegar di depan kamera dan baik-baik saja, tapi dia tetap memiliki rencana untuk membalas perlakuan Oliver.
Leslie meninggalkan Kentucky dan tinggal di Poenix. Dengan rencana mendekati seorang pria kaya dan cukup tua. Dalam kurung waktu enam bulan mereka harus menikah, di luar dari target hanya dalam dua bulan dia berhasil mendapatkannya. Tidak lama setelah menikah, suaminya meninggal. Itupun akibat penyakit yang diderita. Leslie yang cerdas, percetakan surat kabar yang dimiliki suaminya berhasil dikembangkan, dan bahkan telah membeli stasiun TV.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Kedudukan Oliver semakin melejit. Bersama senator Davis yang membantunya, dia mengejar posisi gedung putih. Dalam sehari mengadakan kampanye di beberapa daerah. Hingga hari pemilihan dia behasil mendapatkan apa yang diincarnya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Leslie tidak kalah melejitnya dengan Oliver. Namanya semakin tenar. Dia berhasil menguasai berbagai media terbaik dan terbesar. Dengan satu misi, ingin menyerang Oliver walaupun sudah menduduki gedung putih.</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Ada beberapa bagian dalam cerita ini akan membahas keadaan di Sarajevo saat terjadi peperangan. Salah satu reporter dari media yang telah dibeli Leslie berada di sana. Disinilah bagian mengganjalnya cerita ini. Dana, salah satu tokoh dalam cerita, yang saya pikir akan banyak berpengaruh dan terhubung dengan dua tokoh utama Leslie dan Oliver. Kenyataannya jika pun tanpa membahas lebih banyak tentang Dana tidak akan mengganggu apa yang akan terjadi dengan cerita bagian Oliver dan Leslie. Padahal Dana tokoh figuran tapi memiliki bagian yang komplit. </div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Endingnya…. Bahagia tapi tidak adil, menurut pandangan saya. Jadi agak kecewa juga dengan ceritanya. Padahal dalang pembuat masalah disini adalah Oliver, tapi penulis membuatnya hidup bahagia. Sedangkan Leslie menjadi semakin buruk. Seharusnya penulis menunjukkan akibat dari perbuatan Oliver. Jadi seimbangkan Leslie dan Oliver mempertanggung jawabkan perbuatannya.
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com6tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-44483400774971966202017-07-22T23:40:00.000-07:002017-07-22T23:40:06.839-07:00CERPEN KOTA RAWA OLEH RAUDAL TANJUNG BANUA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Kurale" rel="stylesheet"></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #de8787; font-family: "Kurale",serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://3.bp.blogspot.com/-7HHuYnm_jTw/WXREb_7UtNI/AAAAAAAADEY/gAjwi2cWtR81m4gAzQbOzG8CW1KLjJ9wwCLcBGAs/s1600/mtgswamp_rav_richardwright.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="kota rawa" border="0" data-original-height="720" data-original-width="958" height="240" src="https://3.bp.blogspot.com/-7HHuYnm_jTw/WXREb_7UtNI/AAAAAAAADEY/gAjwi2cWtR81m4gAzQbOzG8CW1KLjJ9wwCLcBGAs/s320/mtgswamp_rav_richardwright.jpg" title="kota rawa" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Image <a href="https://scentofagamer.wordpress.com/2015/02/08/swamps-of-magic-the-gathering/" target="_blank">Richard Wright</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Di dunia yang diliputi bintang khayal, kabut imajinasi, nama-nama dan impian, tak semua kenyataan lahir dari bayangan, sebagaimana tak semua bayangan lahir dari kenyataan. Kita hidup di dunia ketiga dari matahari1, demikian Bob Perelman dalam sebaris sajak yang tak kepalang menghentak.</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Entah kenapa, ia meletakkan khayalku di antara malaikat dan kurcaci. Nomor tiga. Kita bisa saja menghitungnya dari Merkurius, di mana bumi memang terletak di urutan ketiga dari matahari. Tapi sejak bertahun-tahun lalu, orang-orang dari negara maju menganggap dunia ketiga itu identik dengan kemiskinan, dunia sedang berkembang. Jadi antara sebutan dan kenyataan bisa berbeda, kadang tak terduga.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Itulah yang kurasakan ketika perlawatan membawaku ke sebuah kota yang tak pernah kubayangkan, namun kemudian kutapaki dengan mesra. Aku tiba mula-mula dengan hasrat ingin melihat kerbau kalang atau kerbau rawa. Di Banjarmasin kudengar kabar kalau kerbau rawa digembalakan di hamparan rawa yang luas bernama Danau Panggang, terletak di Hulu Sungai Utara hingga selatan. Di sana dibangun kandang-kandang kayu yang disebut kalang, lengkap dengan rumah pengembala, menjadi semacam atol di tengah vegetasi rumput yang menghampar hingga ke batas cakrawala.</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Sebenarnya itu bukan danau, tapi rawa menyerupai danau,” kata Agus Suseno, sahabat yang biasa mangkal di Taman Budaya dan akrab kami sapa ”Tukang Kebun”. Dari si ”Tukang Kebun” aku mendapat pelajaran pertama tentang kemungkinan rawa sebagai ”dunia antara”; bayangan yang memproyeksikan diri dan kenyataan. Danau, tapi bukan danau, tak sepenuhnya air tapi juga tak sepenuhnya tanah; air campur lumpur, semacam deru campur debu2. Antara air dan tanah, sungai-darat, laut-muara, terbentang wilayah ”terra cognita”, paya-paya lembab basah. Tak heran, aku menemukan istilah-istilah yang merangsang minat kemudian: nelayan rawa, sunset rawa, ikan rawa, taman rawa dan… kota rawa!
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">***
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">YA, kota rawa. Ke sanalah aku dipertemukan, bersama Hajrin, sahabat yang mencintai puisi sebaik ia mencintai politik. Kami naik mobil kesayangannya, opel gardan ganda yang cocok belaka dengan alam dan jalanan Kalimantan. Tak lupa kami singgah di makam mursyid Arsyad Al-Banjari di Kalampaian yang penuh bunga melati dijajakan ibu-ibu di pinggir jalan. Usai berdoa sambil menyaksikan orang-orang sakit yang mengaduh memohon kesembuhan, kami melanjutkan perjalanan. Karena bertujuan ke daerah rawa, kukira kota terakhir adalah Kandangan, kota kecil pelintasan di kaki Meratus, terus ke pedalaman. Setelah itu rawa tak bertepi. Tapi ternyata tidak.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Ketika melewati seutas jalan yang ditinggikan di antara hamparan rendah gambut, sempit dan berdebu, dengan jembatan-jembatan kayu terbelintang sekadarnya, perlahan aku merasa sedang menuju ke suatu tempat yang berdenyut hidup. Hidungku mulai mencium bau perapian, bergalau dengan bau rawa yang masam dan rumput terbakar. Lalu rumah-rumah merapat ke tepi jalan. Serambinya nyaris menempel ke aspal yang mengelupas, sementara bagian belakang menjorok ke rawa-rawa, ditopang tiang kayu gelam, jenis kayu paling ajaib di bumi; makin kuat tiap terendam. Ukurannya tak besar, sehingga jika saja ia mengarah ke atas maka akan tampak seperti tali-temali yang menggantung rumah-rumah itu di udara.</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Di celah semak dan gelagah liar, terlihat perahu-perahu terikat di tiang, sebagian melaju dikayuh orang-orang bercaping lebar. Merekalah para nelayan (nelayan rawa!) yang hidup dengan bubu, pancing dan jala. Perahu mereka sarat ikan (ikan rawa!) hasil tangkapan: pepuyu, aruan, baung, lais, sepat, dan entah apa lagi. Aruan atau ikan gabus, biasa dijual basah, sepat dan pepuyu dijual kering. Cara mengeringkannya unik, sebagaimana kulihat dijemur di atap dan tepi jalan. Ikan-ikan dibelah dan digarami lalu dirangkaikan satu sama lain sehingga tampak seperti lembaran kriya yang indah, mengingatkanku pada kulit lembu bahan tata sungging di Yogya.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Tapi tak semua rumah memajang ”kriya ikan sepat”, sebagian rumah dipenuhi aneka gerabah. Piring, cangkir, periuk, belanga, celengan, anglo, bahkan kloset. Meski glasirnya tak sehalus keramik Kasongan atau Minahasa, namun justru memunculkan gurat-gurat kekuatan manusia rawa. Semua dibiarkan seperti warna aslinya: merah cokelat kuning –warna lumpur tanah rawa, bukan merah tanah liat. Jenis buah-buahan diberi warna mencolok melebihi warna buah yang sebenarnya; rambutan anggur merah nyala, pisang-pisang kuning cerlang, mangga alpukat hijau terawang. Semuanya menggandoli dinding dan tiang. Aku menikmatinya dari kendaraan yang tak bisa berlari kencang.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Kata Hajrin, orang sini juga ahli membuat baling-baling kapal dan alat rumah tangga dari aluminium, besi, segala baja. Jika orang Madura dikenal sebagai pengusaha besi tua, maka orang-orang rawa dari Hulu Sungai Selatan mengolah besi jadi apa pun. Di saat sama, mereka ahli mengolah segala yang lunak: lumpur, tanah, rumput, ternak, dan ikan-ikan…
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">***</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Ki lama jalan kian sempit dan rumah tambah padat. Jalan yang menyusut, ataukah kampung yang mengembung? Seharusnya kami ke sini naik perahu, dan memang begitulah dulu kehidupan warga di sini, kata Hajrin. Sungai sebagai ”jalan utama” dicapai dari berbagai arah, langsung dari tangga rumah. Air membawa mereka pergi lebih jauh ke hulu atau kuala. Hajrin tahu banyak kehidupan di sini karena ayahnya salah seorang manusia rawa yang sukses berdagang kayu, dan ketika kayu surut ia membuka gudang sewaan di Surabaya. Sebelumnya ia punya kapal dagang pemasok kebutuhan pokok ke pedalaman. Jalan raya kemudian dibuat, meski seadanya, sebagaimana yang kulihat, tapi cukup membelah dunia air, seperti tongkat Musa. Perahu dan kapal-kapal kian semu, seolah dalam pusaran sihir maya. Sebaliknya, bayangan ”dunia antara” makin kentara; antara air dan darat – yang cair dan mengalir, yang keras dan mampat!
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Bagaimanapun jalan inilah yang mempertemukanku dengan sebuah kota di atas rawa; bukan dengan bim salabim tongkat Musa. Ditandai derak roda melewati jembatan panjang berlantai kayu tebal di atas Sungai Alai, mataku lalu tertumbuk menara dan kubah Masjid Jami’ Ibrahim. Warnanya kuning kecokelatan seolah memantulkan warna sungai, dan sungai memantulkan kubah-kubahnya. Di samping masjid, pasar yang ramai. Lembaran ikan kering tampak digantung dan ditumpuk; ikan-ikan yang hidup menggelepar dalam baskom. Juga unggas yang dikandangkan. Itulah belibis yang banyak hidup di rawa, sekilas menyerupai itik-itik gadis-belia, konon dagingnya lebih enak.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Masjid dan pasar menjadi titik koordinat geliat kota, dari mana sambung-bersambung rumah-rumah kayu dan bata, lalu memecah mengikuti simpang jalan, disambut rumah-rumah lanting di air tenang. Di bawah jembatan Andi Tajang yang berderak setiap saat, batang-batang bambu yang dialirkan dari Loksado, terapung-apung menunggu diangkut ke darat. Dekat situ ada dermaga kecil di mana perahu nelayan merapat menurunkan ikan tangkapan, termasuk lobster sungai. Perempuan-perempuan perkasa menjunjung baskom di kepala, membawa ikan dengan gembira. Pakaian mereka kuning keemasan, disepuh riak cahaya. Sedikit ke kiri, terdapat satu jembatan lagi, tak kalah panjang, melintasi Sungai Nagara. Persis di pangkalnya tegak papan nama tua, nyaris tak terbaca: SMU Negeri Daha Utara.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">O, aku telah bertemu kota yang menakjubkan di antara dua sungai, di atas rawa yang kukira tak akan bisa menerima arsitektur sebuah kota. Ajaib, Nagara, ya, kota kecil Nagara, ibu kota Kecamatan Daha, tegak penuh keyakinan di atas rawa yang kita tahu lunak goyah itu, dan karenanya tak bakal kekal. Tapi lihatlah, tegak ia menyambut apa pun, siapa pun, yang tiba: angin santer, panas siang, burung-burung migrasi, banjir, kanal-kanal lumpur, dan air bumi. Juga ketakjuban-ketakjubanku yang tak terpermanai.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">***
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">BEGITULAH aku terdampar di Nagara-Daha. O, bukan terdampar, sebab ia lunak dan airnya membawaku ke mana saja, menyentuh apa yang tak tersentuh, mencium segala bau. Lumpur yang menguarkan aroma kampung halaman. Getah rumput beraroma tajam. Datanglah angin, mula-mula pelan semilir, mengangkut aroma masam, menerbangkan bulu-bulu belibis dan itik-itik di pematang. Tapi lebih sering angin santer, memukul-mukul kusen dan jendela, menggeriapkan rumput dan gelagah.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Di tepian, di antara rumah-rumah lanting dan jamban, bersandar kapal-kapal ke pedalaman. Memuat dan menurunkan barang, lalu angkat jangkar, untuk pergi berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Adakalanya mereka kembali berlabuh pada bulan Ramadan, lantaran jauhnya jarak tempuh ke kota-kota air yang menunggu: Kuala Kapus, Muara Teweh, Puruk Cahu, Tanjungkulan, dan kota-kota lain yang tak tercatat. Sementara di hamparan rawa, air membangun jalur-jalurnya sendiri di antara gelagah, seakan mencari celah dari pepatnya vegetasi paya. Jalur-jalur itu saling bertemu dan memisahkan diri membentuk persimpangan ke berbagai arah, ke kota-kota kecil di tepian rawa, atau kampung terdekat. Marabahan, Amuntai, Alabio, Babirik, Pandak Daun, Sungai Pinang, Habirau dan Bayanan. Atau tidak ke mana-mana, hanya melingkar dan berujung pada sebuah kandang.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Menyusuri rawa di atas kapal kecil yang disebut klotok, sebagaimana kulakukan kemudian, aku terceguk suasana ngelangut. Dinding-dinding rumah berderet membelakangi sungai, menguning disepuh cahaya matahari. Melihat kota dari luar, dalam gerak kapal yang merentang jarak perlahan, lain sekali rasanya dibanding melihat dari dalam, menyusuri jalanan. Diriku seperti bertolak, namun sembari merengkuh semua dinding, semua kubah dan dermaga. Bila aku berada di dalam, kotalah yang merengkuhku lewat jalan-jalannya berdebu, seolah jari-jemari tak dikenal membekapku hingga sesak.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Di Baruh Kambang, klotok membelok ke jalur yang dipenuhi galah-galah bambu dan keramba. Seperti di perumahan, jalur itu dipasangi portal kayu. Seorang nelayan di atas perahu bergegas membukanya. Kecipak dayungnya campuran air dan lumpur. Julak Ahim, tukang klotok yang kutumpangi, melambaikan tangannya. Ia dan nelayan itu saling sapa dalam bahasa Banjar, kadang kudengar seperti tutur bahasa Sunda. Dari sang julak yang artinya paman, aku tahu jalur-jalur rawa memang dijaga nelayan atau penggembala.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Klotok kini melaju di antara rumput yang memanjang. Teratai dan eceng gondok yang mati-layu hanyut menuju sungai. Sekilas seperti sesaji alam, mengingatkan zaman Kuripan. Yang hidup memunculkan bunga-bunga segar, di mana kawanan bangau terbang berputar-putar lalu hinggap mengerkap katak, udang dan ikan-ikan. Maut dan kehidupan jumpalitan di sebalik rumput dan bunga liar. Di taman rawa yang pesonanya tak ditemukan pada taman-taman lain di dunia, keliaran menjadi aura yang mewarnai jagad raya. Di alur lumpur, belibis-belibis berbaris mandi, persis itik yang digembalakan, sebagian terbang menggaris cakrawala.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Yang menakjubkan, di tengah rawa kami tak hanya bersua nelayan pencari ikan, dengan galah dan tangkai pancingnya seolah menggores bola bulat matahari, tapi juga penggembala yang tinggal bersama kerbaunya di atas kalang. Sejenak mengingatkanku pada bagan atau jermal yang dibuat nelayan di tengah laut, dari bambu dan batang nibung. Kerbau-kerbau dilepas pagi hari, berenang menyusuri jalur air untuk mencapai hamparan rumput, dan sorenya pulang sendiri ke atas kandang.3</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Jika musim hujan tiba, jalur-jalur kecil ini akan lenyap ditutupi air yang menghampar rata dengan sungai, sehingga hanya gelagah dan rumput-rumput lampai panjang yang kelihatan. Saat itulah rawa berubah jadi danau, kerbau-kerbau dipasok pakan, rumah-rumah di kampung membiarkan separo tiangnya terendam. Bila air surut, rumput bertambah hijau, tiang-tiang kemilau, dan begitulah segala sesuatu secara pantas mengekalkan dirinya di bumi paya-paya lunak kekal ini. Di kejauhan, membubung asap pembakaran, ramping menggurat kaki langit dengan kelembutan cahaya petang. Seseorang mungkin sedang berladang, menerabas rumput, membersihkan lahan. Memang, rawa yang kering biasa untuk bertanam palawija. Di musim hujan, lahan yang sama tempat keramba. Berkah rawa sepanjang masa!
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Asal jangan ditanami sawit, sebab mengubah rawa jadi lahan kering selamanya,” kata Julak Ahim. ”Kami menolak perusahaan sawit masuk kemari. Dari Masjid Jami’ kami naik truk ke kantor bupati di Kandangan menuntut pembatalan izin.” Wajah julak basah keringat. Aku mengacungkan jempol tanganku, meski tahu semua menunggu waktu.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Kembali kulayangkan pandang ke kejauhan. Asap yang menari, kian sayup ke arah Alabio. Itu kota kecil lain di tepi rawa yang terkenal dengan itik dan tikar purunnya. Juga pintu masuk Muhammadiyah pertama kali ke tanah Banjar. Ke utara sedikit, Kota Amuntai, tempat kerajaan Banjar Siwa-Budha pertama bernama Kuripan, sebelum pindah ke Nagara-Daha ini. Seorang kawanku pernah bercerita mengenai sepasang anak muda, cucu keturunan opsir Belanda. Mereka datang ke ibu kota Hulu Sungai Utara itu mencari bekas rumah opanya. Berbekal selembar foto saat si opa bertugas di sana. Dan rumah itu masih ada, berdiri dengan sedikit perubahan di tepi sebuah jalan. Begitulah mereka menjaga sejarah dan silsilah: datang ribuan mil menyusuri jejak leluhur.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Aku berpikir: jika rawa-rawa ini kelak dikuasai perusahaan sawit, adakah jejak dan kenangan bisa dikekalkan? Aku pejamkan mata, merapal doa yang sama saat kudawamkan di makam Syekh Arsyad di Kalampaian.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">***
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/06/cerpen-mitos-bahu-tuhan-oleh-risda-nur.html" target="_blank">Cerpen Mitos Bahu Tuan</a></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Tak puas menyusuri kota ini sehari-dua, aku turuti kehendak hati mengenalinya barang setapak lagi, meski kutahu, semakin didalami semakin hatiku tak sanggup merengkuhnya. Dari rumah bibi Hajrin tempat kami menginap, aku susuri tepiannya yang lembab, bertemu jalan-jalan kecil kering berdebu, mengular ke hamparan lain yang lebih kerontang di mana bahkan rumput tumbuh seperti di atas batu, di bakar sepi4. Antara yang kering dan yang basah hidup berdampingan di sini: tepian, rumah-rumah lanting, rumah-rumah bata, geletar mesin klotok, deru kendaraan, berbaur simpang-siur, di persimpangan. Selain titik koordinat masjid dan pasar yang menandai geliat darat, sesungguhnya ada koordinat bayangan di air yang tidak saja memantulkan wajah kota sekarang, juga masa lama berselang.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Itulah titik pertemuan dua sungai besar: Nagara dan Alai –lazim disebut ”tumbukan banyu”. Titik yang telah menumbuhkan kota dalam rupanya yang azali dan jejaknya hidup dalam mitos abadi. Jika di Jawa dikenal ”kali tempur” tempat keramat ritual kungkum, di Daha, Putri Junjung Buih, permaisuri Pangeran Suryanata, raja termasyhur orang Banjar, diyakini muncul di tengah arus pertemuan itu. Bersama Lambung Mangkurat, patih sakti penuh martabat, raja meletakkan pancang pertama Nagara-Daha.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Sukar dibayangkan bagaimanakah berabad lalu membangun ibu kota di atas tanah lunak berlumpur? Bagaimanakah tiang-tiang istana ditegakkan dan taman-tamannya dirancang? Adakah dulu bukan rawa melainkan hutan raya hingga ke kaki Meratus sana?
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Entahlah. Semua mesti dicipta ulang. Hidup menuntut manusia membangun kota di mana pun, kadang seperti di luar kesanggupan. Dari pegunungan hingga lembah yang dalam, di karang batu hingga ke pantai tersembunyi, di rawa dan kanal-kanal, di gurun, bahkan bawah tanah. Telah kubaca kota-kota dari lumpur dan debu seperti Jaipur di India atau Timbuktu di Sahara; kota di atas payau seperti Bagan Siapi-api di Riau; kota-kota air di sepanjang Mahakam dan Barito, kota-kota kecil berdinding batu di pegunungan Sewu. Tapi baru sekaranglah aku temui sebuah kota di atas rawa. Di atas, bukan di tepi-tepi, seperti Tamban dan Bati-bati yang pernah kutemui dengan hanya sebelah dindingnya menghadap paya. Di Nagara, sebelah-menyebelah, semua dinding semua pintu, menghadap ke rawa yang sama karena tegak dalam kepungan rumput, eceng gondok, gelagah, dan teratai-teratai ungu.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Kudengar azan dari Masjid Jami’ Ibrahim. Merdu. Aku berbelok. Kubasuh muka dan ragaku. Kudawamkan lagi doa di Kelampaian, lalu masuk. Di dalam masjid peninggalan Tuan Guru dari abad ke-17 itu, kulihat sebuah kubah kecil terletak tepat di bawah cungkup kubah utama. Bentuknya persis, kecuali warnanya yang dibuat hijau. ”Kubah dalam kubah,” bisik Hajrin yang tiba menyusulku,”Ini uniknya masjid habib.”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Sebagaimana si ”Tukang Kebun”, dari Hajrin aku dapatkan pelajaran berikutnya sebelum pulang. Tentang spiritualitas ”dunia antara”; bayangan dan semesta saling memproyeksikan diri, membuat segala sesuatu menjadi ada. Sungai memantulkan kubah maya di kejauhan, lantai dan dinding-dinding meniru kubah utama di kedalaman, dekat dalam dekapan. Dan di sisi bayangan kubah sejati itu kulihat sang muazin tersenyum padaku. Dialah Julak Ahim. Paman yang mencintai rawa sebaik ia mencintai kubah dan tiang-tiang kotanya.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">***
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Di sebuah kedai aku berhenti, memesan kopi pahit sambil merenungkan perjumpaanku yang sengit. Kakiku terasa masih berdenyar, aura kota merasuk tak hanya lewat mata, juga aliran darah yang membuatku teleng. Telah aku tapaki ia dengan hati-hati dan leluasa, sesuai kontur tanahnya yang lembab-basah, namun kerontang pada bagian tertentu. Bunga-bunga kering perdu, teratai-teratai basah ungu, jadi penanda ”dunia antara” yang kuangan dan kujumpai.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Kedai ini menghadap rawa dan tepian sungai, o, tidak, padang rawalah yang justru mengepungnya dari segala sisi. Di malam-malam tanpa bintang, kubayangkan rawa-rawa menyeringai seperti habis mencekik dua sejoli dirajam sepi5. Ah, aku mulai ngelantur lantaran pertemuan ini melebihi fisik. Ia menyentuh juga ingatan masa laluku. Dulu, ada sebentang rawa yang memisahkan kampungku dengan pantai. Itulah wilayah misteri tak teraba; sarang yang nyaman bagi nyamuk malaria, ular, lintah dan kura-kura. Juga jenis pohon pemangsa disebut kayu angeh; getahnya melepuhkan kulit hingga memar sampai ke daging. Tak seorang pun berani melintasinya. Untuk ke pantai orang harus memutar jalan ke muara. Sungguh pun begitu, vegetasi rawa dengan semak dan rumput hijau, cukup buat penggembala menghalau kerbau di tepi-tepi. Tak lebih. Di tengah, rawa tak ubahnya pasir hisap, membenam yang terperosok, mencekik tiap yang bergerak.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Itulah yang terjadi ketika suatu hari kerbau Pak Pili yang hamil tua tergoda rumput lebih hijau di bagian tengah, dan terperosok! Kerbau itu melenguh dengan mata mendelik serta kaki menggapai-gapai. Tentu saja tak mendapat pijakan karena jauh di bawah hanya air dan lumpur, bagai sumur tanpa dasar 6. Malahan makin bergerak, lumpur kian membenam. Hidungnya berbuih dan air hitam keruh mulai mengalir masuk. Kami sesama gembala mendorongnya dengan tongkat bambu, tapi ujung tongkat pun tak menyentuh apa-apa kecuali kecipak lumpur pekat. Pak Pili yang sedih dan putus asa malah mencambuk si ”Minah” –demikian ia memanggil kerbau kesayangannya itu– supaya berdiri, sia-sia.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Dan ketika si ”Minah” diam pasrah, saat itulah tubuhnya berhenti diisap bumi, sekarang gantian Pak Pili yang melenguh menangisi dua kerbaunya yang lenyap sekaligus: ”Minah” yang malang dan anaknya dalam kandungan. Sementara aku, untuk berhari-hari ke depan dibayangi hantu teror terkenang mata seekor makhluk tak berdaya, takluk tercekik paya-paya.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Dan berhari-hari pula aku menyaksikan pemandangan yang mengusik bintang khayal. Kerbau malang itu seperti kapal terdampar di sarang penyamun yang tak mengenal belas kasihan. Sekali waktu tampak seperti mahkluk purba terakhir menunggu punah, dengan lintah-lintah hitam gendut kemerahan berpesta mengisap sisa darah selagi maut menabungnya segobang-segobang7. Tapi bahkan ketika maut pergi, lintah-lintah tetap bersigayut, seolah lintah rawa tak hanya hidup dari darah, juga daging yang koyak. Di waktu lain, kulihat tanduk kerbau persis atap rumah gadang yang ditinggalkan; daging-dagingnya mulai berlepasan dan lengkung tulangnya menyumbul keluar; kuamsal sebagai dinding dan tiang-tiang, lapuk merana menunggu perantau pulang.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Kenangan masa kecil itu muncul menggetarkan ketika kulihat rawa yang luasnya tak kepalang ini. Lebih membuat gentar karena di tengahnya kutemukan sebuah kota! Nagara-Daha! Bertemu kota kecil di dalam hutan lebih mungkin membuatku tenang, sebagaimana jumpa pertamaku dengan Sungaipenuh di pedalaman Taman Nasional Kerinci Seblat. Setelah semalaman melewati Bukit Tapan, Sako yang lengang, dan jalan kubangan gajah, aku dapatkan Sungaipenuh dalam basuhan embun dan sepuhan cahaya pertama. Hatiku meriap, merasa siap menyentuhnya kapan saja. Tentu, karena selama ini aku merasa hutan di Bukit Barisan sebagai rumah sendiri tempat keluarga dan orang kampung membuka huma, tinggal berladang.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Aku juga terbiasa mendengar cerita tentang kota orang bunian, makhluk gaib di hutan, lebih ramai dan hidup, meski tak gampang terlihat mata telanjang. Satu-dua peladang yang tersesat konon pernah melihatnya, dan mereka terpesona hingga nyaris buta oleh cahaya dan kemilau rumah-rumah (ah, tentang ini lain kali saja kuceritakan!).
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Kembali ke kota rawa, bagaimana mungkin aku juga tak ‘kan buta? Segala sesuatu tentang rawa tertanam abu-abu dalam jiwaku. Meski luasnya tak seberapa, rawa kampungku memberi kesan tentang dunia yang tak utuh, tak penuh, mustahil berpenghidupan. Hanya lumpur hitam, air keruh cokelat. Rumput dan belukar pepat. Akar-akar saling belit seolah hendak mencekik diri sendiri. Pohon-pohon berwajah aneh dijalari akar berduri. Di atasnya, elang berkuik dan gagak-gagak berkoak. Tapi rawa ganas itu lantas menemui ajal ketika tali bandar digali. Air di tiap lekuk berangsur surut-kering, ikan-ikan menggelepar, dan panas kemarau membuat bongkahan demi bongkahan. Garing. Lalu orang-orang menimbunnya dengan batu gunung, rumah-rumah merangsek tak kenal ampun. Dalam waktu singkat, rawa-rawa masa kecilku mengeras, angslup bersama misteri dan kenangan dangkal.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Tapi Nagara-Daha, lihatlah, didirikan dengan rawa masih basah, lumpur lunak berkecipak dan air menghampar seperti danau, bukan, seperti lautan! Tiang-tiang kayu gelam yang tak lebih sebesar lengan menopang struktur kota penuh keyakinan, tenang tiada goyah, melebihi beton, besi dan baja. Beton bisa retak, besi berkarat dan patah, baja melengkung dalam takdirnya, tapi kayu-kayu gelam makin kuat tiap terbenam; alot terendam payau dan paya-paya. Jika satu-dua mulai payah, tinggal menggantinya saat itu juga, cukup dengan paku dan palu, penghuni rumah paling perasa sekalipun tak akan tahu ada penopang hidupnya telah diganti. Begitulah, kayu gelam mengimbangi watak rawa yang rahasia: mengerkap tiap yang meronta, walau dalam diam. Namun dalam situasi demikian, perlahan kudengar percakapan samar Marco Polo dan Kaisar Kaum Tartar –dari buku merah dadu kesayangan:
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Kota-kotamu tak nyata. Mungkin tak pernah ada. Aku juga yakin kota-kota itu tak akan pernah ada lagi. Mengapa kau menghibur diri dengan fabel-fabel menggelikan ini?”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Inilah maksud dari segala eksplorasi hamba: mengamati jejak-jejak kebahagiaan yang masih tampak sekilas…”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Aku tahu kekaisaranku membusuk seperti mayat dalam rawa-rawa… Mengapa tak kau utarakan hal ini kepadaku? Kenapa kau berbohong kepada Kaisar kaum Tartar, wahai orang asing?”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Ya, kekaisaran ini sakit, dan malangnya lagi, ia mencoba membiasakan diri hidup dengan penyakit kronis tersebut. Bila Baginda ingin tahu betapa kegelapan ada di sekeliling paduka, Baginda harus mempertajam penglihatan, berpedoman pada cahaya-cahaya redup di kejauhan.”8
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Tanpa terasa, percakapan acak yang kuhapal di luar kepala itu berbaur dengan percakapan nyata di sekitarku. Entah mana lebih dulu. Percakapan miris yang menyumbul dari ingatanku atau suara-suara pengunjung kedai kopi yang mistis berdengung ini:
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Mereka tak peduli aksi kita, bahkan tutup mata!”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Ya, mereka tambah lahan baru di selatan…”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Di Bajayau mulai ada kerbau mati minum limbah.”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Ulun tetap ingin jadi nelayan, seperti pian, hidup dari kerbau gembalaan.”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Tapi pemimpin kita terus memberi izin…”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">”Ya, karena mereka dibuat kenyang seperti itik pulang petang…”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Aku teringat wajah Julak Ahim di atas klotok tempo hari, wajah yang berkeringat. Terasa benar ia memikirkan sawit yang mengubah banyak hal di Kalimantan. Bukan. Bahkan setiap sudut negeri ini. Lahan dikuasai investor. Tanaman tunggal berpelepah sekeras besi menghampar seluas bumi. Selamat tinggal air-tanah, ladang-huma, tumpangsari! Dan sangketa demi sangketa menanti. Tapi entahlah, pemerintah senang bermain api, membuka hutan ulayat, merenggut jalur leluhur, mendirikan kekuasaan dari perbukitan hingga tepian. Tak meluputkan rawa-rawa, ”dunia antara”, penyanggah jagad raya.</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">***
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">AKU tahu, kekuasaan (meski tak kita sebut kekaisaran) sedang sakit, menunggu busuk. Para Kublai Khan enggan bercermin pada cahaya kecil di jauhan. Sementara Marco Polo, si orang asing, selalu takjub berlebih pada apa pun yang baru ia jumpai. Adakah keduanya cukup berguna? Tiba-tiba aku merasa tak yakin pada diri sendiri. Akulah juga si orang asing itu, tergeragap takjub pada pandangan pertama, pada tiang-tiang Nagara-Daha, menganggapnya akan abadi hingga lupa kefanaan di bumi.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Telah kuusap dinding-dindingnya yang kuning disepuh cahaya petang, kupoleskan lumpur ke tiang jembatan, dan kupotret taman rawa dalam keliaran tak tergantikan. Tapi apa yang kukatakan pada kaisar-kaisar kecil, para pejabat terhormat kaum banua yang mulai mengintai luas rawa-rawa sepi ini? Tak ada.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Tak ada? O, ada barangkali, memang bukan rumus ilmu yang penuh janji!9. Hatiku megap dari kelumpuhan. Sebagaimana Marco, aku coba menghidupkan jejak kebahagiaan yang masih tampak sekilas dan mungkin tinggal, dalam perjumpaan menggetarkan. Meskipun cerita pahit kedai kopi serasa ingin merenggutnya lebih awal, secepat kopi jadi dingin dan cahaya sore lekas jadi pudar, dihembus-hempas angin santer. Tak apa. Bahkan sebentar lagi gelap dan rawa semata kelam. Tapi kehidupan di dalamnya, di atas tiang-tiangnya, di galur-galur air-lumpurnya, akan tetap berdenyut seperti insang ikan-ikan. O, para klan Kublai Khan, lihatlah cahaya bintang dan kunang-kunang di atas rumput dan gelagah, lampu-lampu di air dan di rumah-rumah kota tercinta; Nagara, Nagara-Daha… ***
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">/Rumahlebah Jogjakarta, 2012-2014
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">Catatan:
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">1. Terjemahan Saut Situmorang, “Cina” (Jurnal CAK No. 2/1995)
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">2. Kumpulan puisi Chairil Anwar, terbit pertama 1949.
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">3. Lebih lanjut tentang kerbau kalang, lihat catatan perjalanan saya di Koran Tempo, 6 September 2009
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">4. Puisi Sitor Situmorang, “Bunga”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">5. Ingatan pada sebuah puisi Subagio Sastrowardoyo
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">6. Judul drama Arifin C. Noor
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">7. Puisi Sutardji Calzoum Bachri, “Hemat”
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">8. Dikutip secara acak dari Kota-kota Imajiner-Italo Calvino (terj.Erwin Salim, Freshbook, 2006)
</span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;"><br /></span></div>
<div style="font-family: kurale, serif; text-align: justify;">
<span style="color: #bf9000;">9. Puisi Subagio Sastrowardoyo, “Manusia Pertama di Angkasa Luar”
</span></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/06/cerpen-sungai-buntung-oleh-risda-nur.html" target="_blank">cerpen Sungai Buntung</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com4tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-4520542848447510782017-07-22T23:26:00.001-07:002017-07-22T23:26:22.540-07:00CERPEN 2010 OLEH PUTU WIJAYA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Itim" rel="stylesheet"></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #de8787; font-family: "Itim",serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://3.bp.blogspot.com/-Cvx4-_Ico2k/WXRBYANco7I/AAAAAAAADEQ/I5LAM9QsCOYnLx7x11Z2sTq8RUTwTmrHgCLcBGAs/s1600/composed_of_colorful_flowers_vector_number_2010_154062%2B%25281%2529.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="floral number" border="0" data-original-height="219" data-original-width="566" height="122" src="https://3.bp.blogspot.com/-Cvx4-_Ico2k/WXRBYANco7I/AAAAAAAADEQ/I5LAM9QsCOYnLx7x11Z2sTq8RUTwTmrHgCLcBGAs/s320/composed_of_colorful_flowers_vector_number_2010_154062%2B%25281%2529.jpg" title="floral number" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://all-free-download.com/free-vector/floral-numbers.html" target="_blank">image </a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tak terasa 2010 datang. Semua orang bertanya, apa yang akan terjadi?</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Kalau boleh memilih, lebih baik para koruptor, manipulator tertidur pulas semuanya. Negara kita akan aman. Ketimbang banyaknya para dermawan yang rajin menyumbang bencana alam ataupun kemiskinan, yang akhirnya jadi dagelan, karena semua jatuhnya bukan ke tangan korban yang sebenarnya!” kata seorang tetangga.
Saya manggut-manggut.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Setuju. Tapi kalau dipikir-pikir, segala bencana yang menimpa kita itu sebenarnya sebuah pembelajaran!” jawab saya, “Bayangkan, dengan adanya berbagai rongrongan, justru hukum kita, para cendekiawan kita, para politisi kita, bahkan juga wartawan dan rakyat jelata, jadi terlatih untuk bersikap awas dan kritis! Ya, nggak?!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tetangga itu ganti manggut-manggut.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Memang dalam ilmu persilatan, pendekar-pendekar dari Shaolin itu berlatih dengan cara disiksa! Tapi bangsa ini kan bukan pendekar silat. Jangankan main silat, memainkan lidah saja tidak mampu karena tiap hari sudah kena tipu. Yang kita perlukan di tahun 2010 adalah kiamatnya kejahatan, matinya semua koruptor dan manipulator, termasuk pemimpin-pemimpin yang hanya memperkaya dirinya sendiri! Supaya rakyat banyak bisa hidup! Selama mereka yang hidup kita akan terus dikubur!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tanpa peduli reaksi saya tetangga itu kontan cabut pergi. Saya lalu pulang dan menjual kembali obrolan itu di rumah.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Jadi kita wajib mensyukuri juga segala rongrongan yang sudah terjadi, karena berkat itulah kita menjadi dewasa. Lihat saja, kalau tidak ada pencuri yang membobol rumah kita, kita tidak akan pasang terali besi, sehingga ketika tetangga-tetangga habis disikat oleh pencuri, satu-satunya yang selamat adalah rumah kita ini,” kata saya berpidato di depan siapa lagi kalau bukan istri.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tapi seperti biasa, istri saya sama sekali tidak menanggapi. Saya terpaksa mencari anak saya.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Bagaimana pendapatmu, Ami?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Tentang apa?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Apa yang kamu harapkan akan terjadi di tahun 2010?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Hanya satu!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Apa?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Bapak beli mobil!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya kecewa.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Jawaban kamu menunjukkan bahwa kamu juga sudah terperangkap pada kebutuhan materi! Semua diukur dengan mobil. Kamu payah, Ami!”
Ami tertawa.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Habis yang ditanya harapan.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Memang! Tapi jangan salah! Harapan itu bukan mimpi. Itu namanya ngelamun. Harapan itu keinginan keras untuk mewujudkan sesuatu yang ada hubungannya dengan kebersamaan. Jangan hanya untuk kepentingan diri sendiri, thok!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya hampir saja memberi kuliah panjang lebar, keburu istri saya muncul dari rumah tetangga.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Bapak kok belum berangkat juga?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ke mana?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ya nengok tetangga yang diopname itu. Nanti dia keburu pulang!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Orang sudah mau pulang buat apa lagi ditengok?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Justru harus ditengok sebelum pulang. Itu yang disebut silahturahmi. Kalau terlambat, nanti didahului keluarganya yang sudah siap-siap mau jemput. Ayo cepetan ke situ, sebelum dia pulang. Dulu kan dia yang paling rajin nengok waktu Bapak sakit?! Cepet!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya terpaksa buru-buru ganti pakaian, lalu keluar rumah.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Naik apa?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Naik ojek saja. Nanti orangnya keburu pulang!”
Istri saya mengulurkan ongkos ojek.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Cepet!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya menyambut uang itu, lalu terbang. Tapi di mulut jalan yang biasanya ramai tukang ojek, sama sekali sepi. Setengah jam saya menunggu, tak satu pun hidung tukang ojek yang nongol. Karena tidak sabar, akhirnya saya naik angkot.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tapi begitulah angkot. Tiap sebentar berhenti, seperti anjing yang tiap beberapa meter kencing. Belum lagi jalanan macet. Bahkan angkot sengaja masuk ke terminal dan antre di belakang angkot-angkot lain untuk menjaring penumpang yang dengan malasnya turun dari bus.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Hampir dua jam saya baru sampai di rumah sakit. Begitu masuk ke kamar yang menurut istri saya dihuni tetangga kami, orangnya sudah pergi. Di tempat tidurnya sudah ada pasien lain.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Baru saja pulang, Pak,” kata perawat.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya misuh-misuh, lalu berbalik pulang. Saya langsung ke rumah tetangga yang sakit itu. Anehnya, rumah itu juga sepi. Kata yang jaga rumah, semua baru saja berangkat ke rumah sakit untuk menjemput. Amat membingungkan. Setelah dicek dengan teliti, ternyata kamar yang tadi saya masuki salah.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Gila. Tergopoh-gopoh saya kembali ke rumah sakit. Tapi, sekali lagi, saya terlambat. Kamar itu sudah kosong. Dengan heran, perawat yang sama memberi keterangan yang sama: “Baru saja pulang, Pak!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Dengan amat sangat kesal saya keluar dari rumah sakit. Untuk mengobati hati saya yang luka, saya tidak segera pulang. Pulang juga tidak ada gunanya, hanya akan didamprat istri. Saya coba menenangkan otak dengan jalan-jalan ke mal. Meskipun dihina banyak orang bahwa mal-mal yang balapan –bahkan maksa-maksa– berdiri di semua kota sudah membunuh pasar tradisional, nyatanya pusat perbelanjaan itu menjadi hiburan buat rakyat jelata.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tapi, tak disangka-sangka, ketika masuk restoran mau makan ayam goreng buatan Amerika, saya berpapasan dengan tetangga yang sakit itu. Ia kelihatan lebih sehat dari orang sehat. Saya tak habis pikir, orang sebugar itu kok masuk rumah sakit.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Pak Amat mau ke mana?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Habis dari rumah sakit, mau nengok Anda. Tapi katanya baru saja pulang. Sudah sembuh ya?”
Dia tertawa.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Belum.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Belum kok sudah gentayangan di mal?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ya itulah gunanya mal. Ini rumah sakit yang paling baik untuk cuci mata dan cuci otak di samping cuci kantong. Ya kan, Pak?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Dia tertawa lagi dan mengguncang tangan saya.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Jadi?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Saya mau pindah ke rumah sakit lain. Di situ tidak betah. Perawatnya judes-judes. Tapi, sebelum masuk rumah sakit, saya pingin makan burger. Sudah dua minggu ini makan daging busuk yang direndam air comberan. Mana ada makanan enak di rumah sakit, ya kan, Pak?!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“O, begitu?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ya iyalah, Pak. Hidup ini kan hanya sekali, jadi harus dinikmati. Buat apa kita banting tulang cari uang melulu. Jadi kalau uangnya sudah didapat mesti dibanting balik supaya bisa kita cari lagi. Ya kan, Pak!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Dia tertawa lagi. Waktu itu saya mulai yakin bahwa dia memang sakit.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/06/cerpen-cerita-menyentuh-dari-nenekku.html" target="_blank">Cerpen Cerita Menyentuh Dari Nenekku</a></span></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Jadi mau masuk rumah sakit lagi?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ya. Mau pindah rumah sakit. Seminggu di situ saya mules-mules dan muntah terus habis makan.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Jadi sekarang mau ke rumah sakit mana?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Tidak. Sekarang mau pulang dulu.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Pulang?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ya. Habis sudah sehat, kan sudah makan burger. Terima kasih sudah nengok!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Dia mengguncang tangan saya lalu pergi. Saya menatap takjub. Makanan cepat yang sering dikutuk sebagai sampah dan racun itu, ternyata sudah bikin dia sehat. Saya jadi merasa diri saya bego.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Banyak sekali yang sudah berubah,” komentar hati kecil saya, “orang ke rumah sakit tidak karena sakit lagi, tapi karena mau istirahat dan dapat pelayanan yang manis dari para perawat yang sudah terlatih untuk memanjakan pasien. Rumah sakit sudah jadi bisnis rumah bersenang-senang.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Langit sudah dimerahkan ketika saya kembali ke rumah. Istri saya tidak ada. Kata Ami sudah sejak tetangga itu pulang, ibunya ngerumpi di tetangga. Saya melanjutkan termangu-mangu dan ngobrol dengan perasaan saya.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Ami jadi penasaran.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Bapak kenapa?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Kamu percaya tidak, Ami?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Apa?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Rumah sakit bukan lagi rumah sakit. Rumah sakit adalah tempat untuk mendapat kemanjaan buat orang-orang yang berduit.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Memang.”
Saya tercengang.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“O ya, jadi kamu setuju?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Bukan setuju atau tidak. Faktanya memang begitu!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Tapi kamu setuju atau tidak?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Kenapa mesti setuju atau tidak? Saya tidak dalam posisi itu!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya menatap anak saya. Lalu saya bertambah yakin bahwa dia memang makhluk lain yang datang dari planet lain. Bukan sejenis saya atau istri saya.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Kok Bapak melotot begitu?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Kamu aneh!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Saya atau Bapak yang aneh?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Kami saling memandang. Dan saya tahu kami memang sama-sama merasa aneh. Dan itu tidak ada kesepakatan. Saya selalu membiarkan perbedaan itu mengapung di antara kami yang menjadi pembelajaran kami setiap hari dalam banyak hal. Dari sana saya mulai banyak memahami berbagai hal.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tidak seperti biasanya, saya mencoba berdamai.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Kalau begitu, Bapak sekarang mengerti mengapa harapanmu pada tahun 2010 itu hanya mobil.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“O begitu?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ya. Sebab mobil buat kamu, bukan lagi kendaraan mewah, seperti waktu Bapak muda. Waktu muda Bapak menganggap mobil adalah kendaraan dewa-dewa. Siapa yang punya mobil berarti dewa. Mobil adalah status sosial. Tapi sekarang mobil hanya alat transportasi. Kelengkapan bekerja, seperti alas kaki atau sepeda yang sangat penting karena kecepatan adalah tuntutan masyarakat kota yang serba bergegas.”
Ami ketawa.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Salah.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Salah?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ya! Ami menyebut mobil hanya untuk mancing, supaya Bapak ingat kembali pada cita-cita Bapak yang sudah mulai luntur.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Cita-citaku yang sudah luntur?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Persis!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ngarang! Cita-citaku tidak pernah luntur!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“O ya? Apa cita-cita Bapak yang tidak pernah luntur itu?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya terkejut lalu segera mulai membongkar-bongkar. Tapi terlalu lama. Ami kontan mengejar.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Apa coba?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya masih memilih-milih. Kemudian istri saya muncul. Rupanya ia sudah mendengarkan sejak tadi, lalu langsung menolong saya menjawab.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Hidup harus diabdikan pada kepentingan bersama!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Ami tertawa lalu masuk ke kamarnya. Istri saya tersenyum. Dia kembali berhasil memberikan saya tamparan yang telak. Padahal, kendati memang saya yang melakukannya, tetapi sebenarnya inspirasinya datang dari dia juga. Dialah yang sudah memprovokasi suaminya, saya yang lemah ini, terus mencari peluang untuk meningkatkan kenyamanan hidup dengan dalih masa depan yang lebih baik. Tak peduli itu bisa mengganggu kenyamanan orang lain.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Bapak yang baru kembali dari rumah sakit itu memergoki Bapak tadi di mal makan ayam goreng Amerika ya?”
Saya tertawa.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Bukan dia, aku yang memergoki dia makan burger. Orang sakit kok makan makanan sampah di mal!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Itu dia. Makanya dia masuk rumah sakit! Bapak mau ikut-ikutan sakit?!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya tidak meneruskan percakapan itu. Saya tidak perlu menang di dalam rumah. Yang penting istri tersenyum dan anak tertawa, itu kebahagiaan saya. Besoknya saya jumpai tetangga.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Saya kira Bapak betul,” kata saya mencoba membuka percakapan yang tertunda sebelumnya.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tetangga itu tercengang.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Apanya yang betul?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ya. Kita tidak perlu dermawan. Cukup asal para koruptor, manipulator dan pemimpin-pemimpin palsu itu tidur, negeri kita pasti akan aman.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tetangga itu memperhatikan saya dengan sinis.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“O, jadi itu sebabnya Bapak belum mengembalikan edaran sumbangan warga itu?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ah? Edaran sumbangan apa?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Edaran sumbangan dari warga untuk diberikan kepada para satpam sebagai hadiah tahun baru atas pengabdian mereka 24 jam bertugas tiap hari itu?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya tertegun.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ya Pak?”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Akhirnya saya terpaksa menjawab.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Ya.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Kenapa?”</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Sebab itu akan mengajarkan mereka moral pengemis. Bukan etos kerja profesional. Mereka harus bangga sebagai petugas keamanan, sebab itu profesi mereka dan mereka profesional. Jangan hanya bekerja untuk menunggu kita mengedarkan surat edaran para warga untuk diberikan sebagai sumbangan. Itu pengemisan. Naikkan gaji mereka sesuai dengan pekerjaannya yang berat berjaga 24 jam tiap hari. Buat mereka bangga pada pekerjaannya dan menjadi profesional!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tetangga saya hanya manggut-manggut. Nampak kagum. Dia pasti tidak ingat, yang dulu, pertama dan paling getol menolak kenaikan gaji satpam adalah saya. Karena saya lihat mereka semua pemalas. Kebanyakan tidur bahkan sering meninggalkan gardu jaganya kosong.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Sebelum tetangga itu sadar bagaimana caranya menjawab dengan telak, saya langsung ngacir untuk menutupi rasa malu. Ketika melintas di depan gardu satpam, saya berhenti, lalu membagikan kepada keenam satpam yang kebetulan sedang kumpul di situ masing-masing selembar 50 ribuan. Supaya meredam api amarah, kalau omongan saya ke tetangga tadi, nanti masuk ke telinga mereka.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Sambil menunggu kehadiran 2010 saya selalu berpikir bahwa tak ada obat yang mujarab. Semua memerlukan proses. Banyak lubang yang akan terus bertambah, kalau yang kita sumbat hanya satu-satu. Mesti semuanya. Dan itu memerlukan waktu, sebab kita semua sekarang memandang dari kaca mata yang berbeda-beda.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“2010 hanya 2 tahun dari kiamat yang diramalkan suku Maya yang keseramannya sudah dibayangkan oleh film yang nyaris dilarang MUI itu, memerlukan kesabaran kita. Boleh banyak berharap, tetapi banyak khawatir juga perlu, supaya berimbang sehingga kita tetap awas,” komentar hati kecil saya.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Istri saya mendengar, lalu ngomel, seperti biasa.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Sabar itu tidak berarti diam. Itu namanya malas. Sabar itu adalah tahan banting sembari terus mencari peluang untuk membuat istrimu selalu senyum, anakmu tertawa, rumahmu bercahaya, dan para tetangga menyapa ramah!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Anak saya juga nimbrung.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“2010 tak akan jadi datang, kalau kita hanya mau menerima separonya. Mesti diterima penuh. Total. Tidak berarti menerima itu setuju atau tidak setuju, tapi berani menghadapinya lalu menyelesaikannya secara jantan!”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya mencoba tertawa.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Di tahun 2010, apakah matahari masih akan terbit setiap hari di timur dan tenggelam di barat? Apakah malam tetap silih bergantian dengan siang? Adakah hal-hal yang baik masih saling berselipan dengan yang buruk? Akankah hidup kembali menjadi hidangan sepiring gado-gado? Berbagai unsur tersaji, tinggal siapa dan bagaimana menyantapnya. Semuanya dikembalikan kepada manusia yang akan mengisinya.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Kepada setiap orang apa ada kesempatan menuliskan riwayat hidupnya. Bahwa menolak dan pasrah tidak berarti akan dituliskan, tetapi sudah merakit sendiri. Bahwa manusia selalu mendapatkan peranan dan menjalankan peranan. Bahkan kematian dan kemusnahan pun tidak memutuskan riwayatnya.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Kearifan lokal mengatakan ada itu tak ada, tak ada itu ada. Maka 2010 sudah datang sebelum datang. Dan sudah pergi sebelum kita alami. Kita tak pernah tahu hanya peran pembantu yang tak mampu mengubah nasib. Kita adalah para penulis yang mencipta dan meletakkan sendiri bagaimana cerita akan berjalan atas kehendak-Nya.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Tiba-tiba HP saya ada SMS:
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Kecemasan itu perlu untuk membatalkan yang tidak kita kehendaki mungkin terjadi. Baik Djojobojo, Nostradamus atau suku Maya, mereka sudah memahaminya. Ramalan adalah sebuah kearifan lokal untuk membalikkan takdir menjadi nasib yang ditulis oleh manusia, tetapi semuanya juga atas kehendak-Nya.”
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Siapa yang sudah mengirim pesan itu?
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
“Aku,” bisik 2010.
</div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #de8787; font-family: itim, serif; text-align: justify;">
Saya pikir, tak ada kata akhir, selama kita masih mau berpikir.
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/06/cerpen-hidup-matinya-sebuah-kota-oleh.html" target="_blank">cerpen (Hidup) Matinya Sebuah Kota</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-67553906718184296362017-07-21T23:58:00.002-07:002017-07-21T23:58:35.580-07:00CERPEN PELUKAN OLEH MASHDAR ZAINAL<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Amaranth" rel="stylesheet"></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #666633; font-family: "Amaranth",serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-z4IjHOknWHU/WXL3A2LnzSI/AAAAAAAADD8/hI8EJhVxbg0P7l7Eajtnn_2DDk5yk77UACLcBGAs/s1600/coming-home-terry-ganey.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="seorang ibu memeluk anaknya" border="0" data-original-height="672" data-original-width="900" height="237" src="https://1.bp.blogspot.com/-z4IjHOknWHU/WXL3A2LnzSI/AAAAAAAADD8/hI8EJhVxbg0P7l7Eajtnn_2DDk5yk77UACLcBGAs/s320/coming-home-terry-ganey.jpg" title="seorang ibu memeluk anaknya" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://9drawings.com/drawings/military-hug-drawings.html" target="_blank">image</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Setiap pagi, di depan gerbang sekolah, Hardi selalu menyaksikan adegan peluk-memeluk yang begitu menggetarkan. Pagi-pagi, sebelum masuk ke dalam kelas, Hardi selalu berdiri berlama-lama di depan gerbang sekolah, demi menghitung adegan peluk-memeluk yang ia saksikan, yang begitu indah dan ia idam-idamkan. Mata Hardi menyipit dan hampir tak berkedip mengawasi Siska dipeluk dan dicium mamanya sebelum masuk kelas. Sepulang sekolah, ia juga selalu memperhatikan bagaimana Bram meloncat-loncat setelah dipeluk kakeknya, sebelum masuk ke dalam mobil jemputan. Ia juga selalu melirik Bu Guru yang sangat suka memeluk erat-erat anaknya yang masih TK, dengan bonus kecupan di kening.</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Banyak sekali adegan peluk-memeluk yang ia saksikan sepanjang hidupnya, dan ia hanya bisa menggigit jari. Membayangkan tubuhnya yang kecil dapat memeluk atau dipeluk seseorang. Hardi merasa, hidupnya sangat menderita. Selama tinggal di panti asuhan, ia tak pernah memeluk atau dipeluk siapa pun. Bahkan, dalam mimpi sekalipun, Hardi tak pernah memeluk atau dipeluk siapa-siapa. Menyedihkan sekali, bukan?
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Di panti asuhan yang ia huni, untuk mendapatkan sebuah pelukan, beberapa balita harus menangis terlebih dahulu, hingga ibu pengasuh datang dan kemudian mendiamkannya dengan pelukan. Tapi Hardi sudah masuk SD, dan hampir kelas dua, ia merasa malu jikalau harus menangis. Ia terngiang kata Bu Guru di TK, setelah masuk SD seorang anak, apalagi anak laki-laki, tidak boleh menangis. Lagi pula, menangis bukan perkara mudah. Pernah sekali ia mencoba mencubit pahanya sendiri sampai merah, tapi ia tetap tidak bisa menangis. Sejak itu, Hardi bertekad, ia ingin mendapatkan pelukan dengan cara yang lain.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
BILA malam mulai larut, dan Hardi sudah naik ke ranjang susunnya, Hardi akan memeluk guling pesingnya berlama-lama sampai ia tertidur. Memeluk guling sebelum tidur rasanya sangat nikmat. Seperti memeluk seseorang yang sedia menemaninya sepanjang malam, ketika lampu dimatikan dan kamar menjadi gelap. Hmm, memeluk guling saja sudah begitu hangat dan nyaman, apalagi memeluk seseorang. Pasti jauh lebih hangat dan nyaman, pikirnya.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Pagi hari, sampai di sekolah, Hardi kembali menyaksikan adegan peluk-memeluk: Siska dan ibunya, Bram dan kakeknya, Bu Guru dan anaknya, dan masih banyak lagi. Hardi melongo. Keinginannya untuk memeluk dan dipeluk seseorang kian menjadi-jadi. Hingga ketika jam istirahat tiba, Hardi memutuskan untuk memeluk seseorang. Hardi akan mencari seseorang yang cukup berpengalaman untuk ia peluk. Dan Hardi sudah memutuskan, ia akan memeluk Siska atau Bram, dan kalau boleh, Bu Guru juga.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Namun, rupanya kenyataan tak semanis yang dia bayangkan. Ketika ia mencoba untuk memeluk Siska, Siska malah mendorongnya hingga ia terjerembab. Ketika ia mencoba memeluk Bram, Bram malah menjotosnya dan mengatainya homo. Hardi benar-benar bingung. Memeluk seseorang ternyata bukan pekerjaan yang mudah.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Tak selesai sampai di situ, setelah mendorongnya hingga jatuh, rupanya Siska masih belum puas dan melaporkan kejadian itu pada Bu Guru. Bu Guru memarahinya dan menyuruhnya berdiri di muka pintu, sambil memeluk daun pintu, selama satu jam pelajaran penuh. Teman-teman sekelas Hardi tertawa tak karuan. Hardi kian sedih, mengapa tak ada seorang pun yang sudi memahaminya.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Sambil memeluk daun pintu, Hardi terus bertanya-tanya, apakah memeluk seseorang tanpa izin termasuk perbuatan tak pantas, hingga ia dihukum sedemikian rupa—memeluk daun pintu satu jam pelajaran lamanya. Ketika jam pelajaran selesai, Bu Guru baru mempersilakannya duduk. Kaki dan tangan Hardi terasa pegal-pegal semua setelah memeluk daun pintu yang keras, gepeng, dan hanya diam tak berperasaan, selama satu jam pelajaran penuh.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Sesampainya di rumah panti, Hardi berjanji dalam hati, akan lebih berhati-hati. Ia tak akan memeluk orang sembarangan lagi. Ia juga akan menahan sekuat mungkin perasaan ingin memeluk atau dipeluk seseorang. Sampai malam tiba, seperti malam-malam sebelumnya, Hardi akan kembali mengobati keinginannya untuk dipeluk dengan memeluk guling pesingnya. Ya, memeluk guling memang lebih aman. Bu Guru tak akan mungkin memarahinya, apalagi menyuruhnya memeluk daun pintu.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Keesokan harinya, Hardi tidak ingin lagi memperhatikan adegan peluk-memeluk di depan gerbang sekolah. Karena itu bisa membuat keinginannya untuk memeluk atau dipeluk seeorang bertambah parah. Ia akan berjalan sedikit menunduk sampai pintu depan kelas. Hardi tak mau keinginanya untuk memeluk atau dipeluk seseorang kembali menjadi malapetaka. Hardi tak berniat memeluk siapa pun. Hardi tak ingin Bu Guru menyuruhnya memeluk daun pintu lagi.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Bel jam pelajaran pertama sudah berbunyi. Pelajaran Bahasa Indonesia.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Anak-anak, hari ini kita akan belajar tentang perkenalan,” Bu Guru melenggang. Tiba-tiba Hardi memperhatikan lengan Bu Guru yang jenjang, juga dadanya yang lebar. Pasti mujur sekali menjadi anak Bu Guru, pikirnya. Setiap hari mendapatkan pelukan yang nyaman.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/sesaat-sebelum-berangkat-oleh-puthut-ea.html" target="_blank">Cerpen Sesaat Sebelum Berangkat</a></span></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Sekarang, mari kita menuliskan identitas kita masing-masing, mulai dari nama, alamat, tanggal lahir, hobi, dan cita-cita. Nanti akan kita bacakan satu per satu, di depan,” Bu Guru masih terus mengoceh di depan, sementara Hardi masih terbengong-bengong, membayangkan dipeluk Bu Guru.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Hardi!” bentak Bu Guru membuyarkan khayalannya. Ia mengkhayalkan dipeluk Bu Guru, tapi Bu Guru malah membentaknya dan membuatnya kaget. Benar-benar tidak setimpal.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Perhatikan!” tegas Bu Guru lagi.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Hardi mengangguk, merunduk-runduk.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Baiklah,” Bu Guru kembali melenggang di depan kelas, “sekarang tuliskan identitas kalian, Bu Guru kasih waktu sepuluh menit.”
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Serentak anak-anak mulai sibuk dengan pensil dan buku tulis masing-masing, termasuk Hardi.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Yang sudah selesai boleh dikumpulkan di depan,” ujar Bu Guru setelah beberapa menit berlalu.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Di antara 30 anak, Hardi selesai paling pertama. Beberapa anak mulai menyusul. Satu per satu, Bu Guru meneliti tulisan anak-anak. Bu Guru berhenti agak lama ketika membaca buku tulis milik Hardi.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Hardi,” seru Bu Guru.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Hardi kaget. Apakah ia mendapatkan giliran pertama untuk membaca di depan kelas?
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Coba bacakan ini, hobi dan cita-cita kamu, di depan, yang keras.”
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Hardi maju ke depan kelas dan mulai mengeja tulisannya sendiri. Terbata-bata.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Nama Hardian, alamat….”
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Stop, stop, baca hobi dan cita-citanya saja,” pekik Bu Guru.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Hobi saya…,” berhenti sejenak, “memeluk.”
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Tawa-tawa anak sekelas meledak. Serentak.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Siapa yang tertawa?” Bu Guru menggebrak meja, “ayo lanjutkan!” Bu Guru memelototi Hardi.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Dengan suara terlunta, Hardi melanjutkan bacaannya, “Cita-cita saya… ingin dipeluk.”
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Alunan tawa kembali menggelegar. Gempar.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Diam!” Bu Guru kembali menggebrak meja, sebelum kembali memelototi Hardi, “Apa ini maksudnya, hobi kok aneh, memeluk, cita-citamu malah lebih aneh, dipeluk. Apa ini maksudnya? Mau melucu? Mau cari perhatian?”
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Hardi mengerut. Tak tahu di mana letak kesalahannya, sehingga Bu Guru kembali marah-marah dan memelototinya.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
“Memalukan! Kecil-kecil otaknya sudah nggak jelas. Sekarang kamu Bu Guru hukum memeluk tiang di teras depan, supaya kamu tidak ngawur. Hobi sama cita-cita kok sama-sama nggak jelas. Besok harus kamu perbaiki. Harus lebih jelas. Ingat. Je-las.”
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Sepulang sekolah kepala Hardi berdenyut-denyut memikirkan kata-kata Bu Guru. Ia tak paham, “harus lebih jelas” yang dimaksudkan Bu Guru itu seperti apa. Sepanjang malam Hardi berpikir bagaimana memperjelas hobi dan cita-citanya. Setelah menggigit pensil sampai hampir patah barulah Hardi mengangguk-angguk. Matanya berbinar, ia akan menulis begini: hobi saya memeluk Bu Guru, dan cita-cita saya ingin dipeluk Bu Guru. Sangat jelas.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Hardi yakin, Bu Guru akan puas.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Keesokan harinya, jam pelajaran Bahasa Indonesia ada di jam terakhir. Hardi tak sabar menunggu komentar Bu Guru tentang hobi dan cita-citanya yang sudah sangat jelas. Ia berkhayal lagi, setelah membaca hobi dan cita-citanya, barangkali Bu Guru akan terharu dan kemudian benar-benar memeluknya.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Namun, seperti sebelum-sebelumnya, kenyataan memang tak pernah berpihak pada Hardi. Tak seperti yang ia bayangkan, setelah membaca hobi dan cita-citanya yang baru, Bu Guru malah semakin marah dan kembali menghukumnya. Kali ini Bu Guru menyuruhnya memeluk pohon mangga yang ada di depan ruang guru. Kata Bu Guru, sambil marah-marah, hobi itu paling tidak harus menggambar, memancing, berkebun, nonton tivi, atau sejelek-jeleknya bermain game. Sedangkan cita-cita lebih banyak lagi pilihanya, bisa menjadi pilot, polisi, ABRI, dokter, pelukis, atau petani juga boleh.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Hardi benar-benar kesal dengan Bu Guru yang tak pernah mau memahaminya. Lepas dari itu, Bu Guru juga sudah melakukan pemaksaan terhadap dirinya. Sungguh, dalam hati kecilnya, Hardi tak pernah suka menggambar, memancing, berkebun, nonton tivi, apalagi bermain game. Hobinya memang memeluk. Hanya satu. Memeluk. Meski hobi itu tak pernah terlaksana dengan baik, kecuali memeluk guling, daun pintu, tiang, dan pohon mangga di depan ruang guru.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Terlebih tentang cita-cita yang ditawarkan Bu Guru, sama sekali tak ada yang menggiurkan. Keinginannya cuma satu, cita-citanya cuma satu; dipeluk. Lebih jelasnya dipeluk Bu Guru. Tapi, setelah kejadian menjengkelkan itu, sertamerta cita-citanya berubah: ia ingin dipeluk siapa pun yang penting bukan Bu Guru. Ia sudah terlanjur membenci Bu Guru.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Sampai di rumah panti, kejengkelan Hardi terhadap Bu Guru masih belum padam. Hardi jadi berpikir, jangan-jangan, di dunia ini memang tak ada seorang pun yang benar-benar ikhlas untuk memeluk atau dipeluk orang lain, kecuali keluarganya. Buktinya, ia tak pernah melihat Siska dipeluk orang lain, kecuali mamanya atau terkadang papanya. Ia juga tak pernah menyaksikan Bram memeluk orang lain selain kakeknya. Begitu juga dengan Bu Guru, yang hanya sudi memeluk anaknya.
</div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #666633; font-family: amaranth, serif; text-align: justify;">
Pikiran Hardi semakin ke mana-mana. Bukankah ia tinggal di panti asuhan? Tanpa ibu, tanpa ayah, tanpa keluarga yang sebenarnya. Dan itu artinya, takkan pernah ada orang yang mau untuk ia peluk atau memeluknya. Menyadari hal itu, Hardi semakin sedih. Masa iya, aku harus memeluk tubuhku sendiri, batinnya. Hatta, berulang kali Hardi mencoba menyilangkan kedua tangan untuk memeluk tubuhnya sendiri, namun tetap saja, kedua tangannya tak cukup panjang untuk tubuhnya. Bagaimanapun, seseorang memang tak pernah bisa memeluk tubuhnya sendiri, ia tetap butuh orang lain. Sampai matanya terlelap, Hardi masih bertanya-tanya, adakah seseorang yang sudi memeluknya?
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/di-sini-dingin-sekali-oleh-puthut-ea.html" target="_blank">cerpen Di Sini Dingin Sekali</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-78499035899137361552017-07-21T23:40:00.000-07:002017-07-21T23:40:04.686-07:00CERPEN KABUT TAK PERNAH BERDUSTA OLEH IRWAN KELANA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Vidaloka" rel="stylesheet"></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #cc0099; font-family: "Vidaloka",serif;">
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://3.bp.blogspot.com/--q5nqK2UMLU/WXLzETK5IHI/AAAAAAAADDw/RlJ8bk2eVk4BD4Mmuj691wM70cwCfgSJgCLcBGAs/s1600/1521362a7-0.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="seorang wanita berdiri di tengah kabut" border="0" data-original-height="301" data-original-width="459" height="210" src="https://3.bp.blogspot.com/--q5nqK2UMLU/WXLzETK5IHI/AAAAAAAADDw/RlJ8bk2eVk4BD4Mmuj691wM70cwCfgSJgCLcBGAs/s320/1521362a7-0.jpg" title="seorang wanita berdiri di tengah kabut" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://www.jingdianshuoshuo.net/show/8398.html" target="_blank">image</a></td></tr>
</tbody></table>
29 Februari! Makin mendekati tanggal tersebut, Sabila Granada makin gelisah. Inilah kedelapan kalinya ia menjumpai tanggal kabisat tersebut. Dengan kata lain, usianya kini 32 tahun! Usia yang sudah lebih dari matang untuk menikah. Bahkan, sudah sangat terlambat untuk menikah bagi seorang wanita.</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Teman-temannya saat SMA, teman kuliah, maupun rekan kerja yang seumur dengannya, semuanya sudah menikah dan punya anak. Hanya Sabila yang hingga saat ini masih sendiri.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Kalau saja tragedi kecelakaan pesawat itu tidak terjadi, saat ini ia pun sudah menjadi seorang istri dan ibu. Mungkin, dengan satu atau dua orang anak yang lucu-lucu.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Ia selalu teringat saat itu. Rabu, ia bersama keluarganya dan keluarga besar calon mertuanya menjemput Fadlan ke Bandara Soekarno-Hatta Cengkareng.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Fadlan yang merupakan kakak kelasnya waktu di STEI SEBI Depok, Jawa Barat, baru saja menyelesaikan S-2 Ekonomi Syariah di Pakistan. Mereka akan menikah pada Jumat. Tempat acara di rumah orang tua Sabila di Depok.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Namun, pesawat yang ditumpangi Fadlan tak pernah mendarat di Soekarno- Hatta. Pesawat itu mengalami kecelakaan dan tercebur ke laut. Butuh waktu berhari- hari hingga akhirnya jasad Fadlan ditemukan. Jasadnya bisa diidentifikasi karena di dompetnya ada foto Sabila dengan tulisan di belakangnya: Bidadari Surgaku.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Kehilangan calon suami di saat pernikahan tinggal dua hari lagi, undangan sudah disebar, gaun pengantin sudah dipesan, kue-kue sudah dipersiapkan, dan bayangan ijab kabul yang indah, sungguh berat bagi Sabila.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Selama tiga tahun lamanya ia menutup hati terhadap lelaki. Padahal, banyak sekali lelaki yang ingin mempersuntingnya. Dari rekan kuliah, teman sekantor, kliennya di perusahaan tempatnya bekerja, bahkan atasannya, duda beranak dua. Tak seorang pun mampu membukakan kembali hatinya yang terkunci rapat.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Hingga suatu hari, setahun berikutnya, ia bertemu dengan Fajri, seorang pemuda berusia 24 tahun yang selalu ceria. Ia mengaku karyawan sebuah perusahaan logistik yang berkantor di gedung yang sama.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Padahal, ia sebenarnya anak pemilik perusahaan itu. Mereka sering bertemu di mushala saat shalat Zhuhur dan Ashar berjamaah. Keduanya juga rajin mendengarkan kultum Zhuhur.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Sejak awal bertemu, Fajri menyatakan tertarik kepada Sabila dan ingin memperistrinya. Bahkan, walaupun Sabila mengatakan bahwa usianya terpaut empat tahun darinya, Fajri tidak peduli.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Tidak mudah bagi Sabila menerima Fajri. Fajri harus berjuang selama enam bulan untuk meyakinkan Sabila. Begitu Sabila menyatakan bersedia menjadi istrinya, Fajri tak sabar membawa Sabila untuk bertemu orang tuanya.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Sore itu, sepulang kerja kantor, Fajri mengajak Sabila ke rumah orang tuanya di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Begitu memasuki halaman rumah mewah tersebut, firasat Sabila mengatakan, ia tidak akan diterima oleh keluarga orang kaya tersebut.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Benar saja. Saat Fajri memperkenalkan Sabila kepada mamanya, pertanyaan pertama wanita itu adalah, “Berapa tahun usiamu?”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Manakala mendengar jawaban Sabila, ia langsung berteriak kepada anak satu- satunya itu, “Apa kamu tidak bisa mencari wanita yang lebih muda darimu? Paling tidak, seumur denganmu. Apa kata orang kalau mama punya menantu usianya empat tahun lebih tua dari kamu? Nanti dikira anak mama tidak laku!”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Sabila langsung meninggalkan rumah itu dan menyetop taksi. Tak dihiraukannya Fajri yang berseru memanggil namanya sambil mengejarnya. Sepanjang perjalanan, ia tak berhenti menangis. Hal itu membuat sopir taksi khawatir.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Maaf, Mbak. Mbak tidak apa-apa? Apa perlu saya belikan obat atau saya antar ke dokter?”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Sabila menggeleng lemah. Air matanya masih berderai. “Tidak usah, Pak. Langsung ke rumah saja,” sahutnya lemah. Sejak itu, Sabila kembali menutup hatinya untuk laki-laki.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Tiga tahun berlalu, hingga akhirnya ia kembali dipertemukan dengan salah seorang imam sebuah masjid Agung di Jakarta. Suatu malam, seusai iktikaf akbar malam 27 Ramadhan, ia diajak teman kuliahnya yang juga pengurus masjid agung tersebut untuk menikmati makan sahur di ruang pengurus.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Malam ini, imam qiyamullail Syekh Muhammad dari Madinah. Makanya, pengurus masjid menyiapkan makanan khas Arab, nasi kebuli dan nasi mandi yang dipesan dari Restoran Abu Nawas. Kamu pasti suka. Ayo ikut aku,” tuturnya.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Masjid agung tersebut mempunyai enam imam rawatib yang dibagi menjadi tiga pasang. Tiap pasang bertugas selama dua hari, lalu libur sehari, kemudian bertugas lagi, begitu seterusnya.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Pada iktikaf akbar itu, semua imam hadir. Semua sudah menikah, kecuali Iqbal. Melihat Sabila, teman-teman Iqbal pun sambil bercanda berupaya menjodohkannya dengan Sabila. </div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Iqbal serius. Dia berusaha meyakinkan Sabila bahwa ingin menikahi wanita tersebut, walaupun usia Sabila lebih tua darinya.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Cita-citaku sederhana, tapi agung. Aku ingin punya anak hafizh Alquran dan menjadi imam Masjid al-Haram, Makkah. Kalau anak kita jadi imam masjid itu, tentu ayah dan ibunya bisa kapan saja datang ke Makkah untuk berhaji atau berumrah. Alangkahnya bahagianya hatiku kalau engkau mau bersamaku mewujudkan cita- cita tersebut.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Betapa ingin Sabila bersama-sama Iqbal mewujudkan cita-cita indah itu. Ia selalu bercita-cita akan mendidik anak-anaknya agar menjadi pencinta dan penghafal Alquran dan ahli sedekah. Tapi, apakah hal itu mungkin? Mungkinkah semuanya berakhir indah?
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Sepekan menjelang hari ulang tahunnya, Sabila sengaja mengambil cuti. Pagi itu, ia naik sepeda motor dari Depok menuju Kampung Sarongge, Desa Ciputri, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Di daerah puncak itulah, di kaki Gunung Gede, keluarga Pak De Dadang tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Pak De Dadang seorang petani, sedangkan Bu De Tuti guru SD.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Jarak Depok-Cipanas sekitar 90 km. Cukup jauh untuk seorang wanita. Tapi, Sabila sudah berniat menempuh perjalanan itu dengan sepeda motor, sebab ia ingin menikmati kesendiriannya.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Ia mampir di Bogor untuk membeli oleh-oleh roti unyil merek Venus untuk keluarga Pak De Dadang. Kemudian, melanjutkan perjalanan. Memasuki Gadog-Ciawi, udara sejuk kawasan Puncak sudah mulai terasa. Makin ke atas, makin dingin. Beberapa kali, ia mengusap wajahnya yang terasa dingin meski sebagian tertutup masker.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Ketika kendaraan yang ditumpanginya melewati Taman Safari Indonesia, Cisarua, ia segera menjumpai pemandangan sangat indah. Sepanjang mata memandang di kiri kanan jalan, yang tampak adalah hamparan kebun teh menghijau. Tampak para wanita asyik memetik pucuk daun teh.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Tak lama kemudian, ia tiba di Masjid At-Ta’awun. Ia shalat Dhuha empat rakaat. Menikmati sekuteng hangat, baru kemudian melanjutkan perjalanan. Tiba di Pacet, Cipanas, kira-kira enam kilometer dari Desa Ciputri, Sabila kembali berhenti. Kali ini, ia menikmati satai maranggi dan uli bakar.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-malam-sebuah-kota-oleh-raudal.html" target="_blank">Cerpen Malam Sebuah Kota</a></span></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Tiap kali kunjungan ke Cianjur bersama keluarganya, Sabila tak pernah melewatkan satai maranggi dan uli bakar yang terkenal tersebut. Kabarnya, setiap hari tukang satai maranggi itu mampu menjual sekitar 3.000 tusuk.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Ia tiba di rumah Pak De Dadang pukul 11 menjelang siang. Pak De Dadang masih berada di sawah, sedangkan Bu De Tuti belum balik dari sekolah. Tak sabar, Sabila langsung menyusul ke sawah.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Assalamualaikum, Wak,” ujarnya.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Pak De Dadang yang tengah menyiangi rumput di sela tanaman wortel terkejut campur senang.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Walaikumsalam. Sabila? Sama siapa?”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Sabila mencium tangan Pak De Dadang.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Sendiri, Wak. Saya cuti. Mau menginap di Sarongge. Boleh kan?”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Wah, Wak senang banget kalau Sabila mau menginap di sini. Mau sepekan atau sebulan juga boleh.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Sepekan aja, Wak. Saya mau ikut Wak ke sawah tiap hari.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Boleh. Tapi, nanti kulit kamu jadi hitam kebakar matahari.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Ah, nggak apa-apa, Wak. Yang penting sehat.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Di Sarongge, hari terasa berjalan lambat. Pukul sembilan, matahari baru keluar. Sebelum pukul dua siang, matahari sudah menghilang.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Pagi-pagi, Sabila menikmati sarapan teh manis dan rengginang. Ada juga ragining (semacam rengginang yang terbuat dari beras) dan opak singkong yang di sana lebih dikenal dengan sebutan enye.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Seusai sarapan dan shalat Dhuha, Sabila pergi ke sawah untuk membantu Pak De Dadang yang bertani wortel, labu siam, kubis, caisim, dan bawang daun. Bertani membuatnya sejenak bisa melupakan duka hatinya.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Ahad pagi sekitar pukul 10.00 WIB, Sabila menyusuri kebun teh Gambung Sarongge. Tak henti-hentinya ia mengagumi kebun teh yang hijau itu, diselingi dengan pohon lamtorogung di kiri kanan dan tengah pembatas petakan kebun.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Kabut tebal turun menutupi pemandangan Gunung Gede di belakangnya. Ia terkejut saat mendengar suara seseorang memanggilnya.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Sabila! Sabila!”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Iqbal?!” Sabila berbicara dengan dirinya sendiri.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Sabila!” Kali ini, wajah Iqbal terlihat beberapa meter dari tempat Sabila berdiri.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Dari mana dia tahu saya ada di sini? Ia tidak memberitahukan siapa pun ke mana ia cuti. Hanya Ustazah Maemunah, tempatnya belajar banyak tentang Islam, ia memberitahukan ke mana ia cuti.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Iqbal tidak sendirian. Di belakangya ada sepasang lelaki-perempuan yang berusaha menyejajari Iqbal.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Dengan napas tersengal-sengal, Iqbal akhirnya tiba di hadapan Sabila.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Assalamualaikum, Sabila.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Wa ‘alaikumsalam.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Sabila, kenalkan ini kedua orang tuaku.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Assalamualaikum, Bu, Pak.” Sabila mencium tangan kedua orang tua Iqbal.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Iqbal, kok kamu tahu saya ada di sini? Dan apa tujuan kamu ke sini?” tanya Sabila hati-hati.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Ustazah Maemunah guru mengaji ibu, Nak,” Mutia, ibunya Iqbal, menyela. “Dari beliaulah Ibu tahu bahwa kamu adalah seorang Muslimah yang salehah. Dan bahwa kamu cuti ke Cianjur.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Maafkan aku, Sabila. Aku datang untuk kembali meminta kesediaanmu menemaniku mewujudkan cita-citaku mempunyai anak-anak penghafal Alquran dan imam Masjid al-Haram. Kamu mau kan?”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Sabila terdiam.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Mutia memegang bahu gadis itu.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Apakah Iqbal pernah menyakit hatimu, Nak?”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Sabila mengeleng.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Apakah Iqbal pernah berbuat kurang ajar padamu?”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Lagi-lagi, Sabila menggeleng.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Iqbal sangat sopan dan selalu menjaga akhlaknya terhadap perempuan, Bu.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Atau, apakah anak Ibu kurang ganteng untuk jadi suamimu?”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Tiba-tiba, Sabila menghambur ke dalam pelukan Mutia. Ia menangis sesenggukan.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Mutia membelai kepala gadis itu.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Setelah beberapa waktu, barulah Sabila bisa berkata terbata-bata. “Saya trauma, Bu. Saya … saya takut ditolak dan dihina lagi. Beberapa tahun lalu, ada pemuda seperti Iqbal yang menyatakan ingin menyunting saya. Namun, setelah tahu usia saya lebih tua dari anaknya, ibunya langsung menolak dan menghina saya dengan kata-kata kasar.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Mutia mengangkat wajah gadis itu menyapu air matanya dengan selembar tisu.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Nak, tentu saja ibu tersebut menolak kamu. Sebab kamu memang bukan diciptakan untuk anaknya. Allah sudah menyiapkan kamu untuk jadi istri Iqbal dan jadi menantu ibu.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Air mata Sabila kembali menitik.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Bu … apakah Ibu mau punya menantu seperti saya? Ibu tidak malu kepada tetangga dan kerabat? Usia saya empat tahun lebih tua dari Iqbal,” suara Sabila bergetar.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Mutia tersenyum. “Pertanyaannya di balik. Maukah Sabila jadi menantu Ibu?”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Air mata Sabila kembali menderai. Ia tak kuasa menjawab. Lagi-lagi, ia menjatuhkan wajahnya di dada perempuan yang berhati pengasih itu.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Ayah Iqbal, Fakhruddin, yang sedari tadi menyaksikan pemandangan itu tersenyum.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Sabila.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Sabila bangkit dari pelukan Mutia.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Ya, Bapak.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Tahukah kamu, usia ibunya Iqbal lima tahun di atas Bapak? Tapi, Bapak malah sering lupa tuh. Rasanya, Bapak dan ibunya Iqbal seumur, bahkan lebih tua Bapak. Muda-tua perempuan itu bukan hanya ditentukan usia biologisnya. Justru keikhlasan, ketulusan, syukur, dan senyum, semua itu yang membuat perempuan jadi awet muda.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Bapak pertama kali bertemu ibunya Iqbal waktu kelas satu MTs. Ibunya Iqbal kelas tiga MA atau kelas XII. Kami sama-sama di pesantren. Sejak itu, Bapak jatuh cinta kepadanya.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Kami terpisah beberapa tahun lamanya. Ibu kuliah di UIN Malang. Bapaknya Iqbal menjadi penulis novel Islami yang top. Suatu hari, ada acara bedah buku di UIN Malang. Ibu jadi moderatornya. Kami pun kembali bertemu,” tutur Mutia.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Hingga beberapa tahun kemudian, setelah melalui suka duka dan alur yang panjang, kami pun menikah,” Fakhruddin menimpali.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Subhanallah. Luar biasa kisah cinta Ibu dan Bapak,” ujar Sabila.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Sabila. Kau lihat kabut itu?” tanya Fakhruddin.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Sabila mengangguk.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Cobaan dalam hidup itu bagaikan kabut. Bukankah kita sering merindukannya? Bapak, setiap kali pergi ke Puncak, selalu berharap kabut turun dan Bapak bisa menikmatinya. Kabut memang menghalangi pandangan kita, namun memberikan keindahan rasa yang luar biasa. Dan, setelah kabut pergi, langit kembali biru, kita bisa melanjutkan perjalanan kembali. Kabut tak pernah berdusta, percayalah.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Tanpa sadar, Sabila kembali mengangguk.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Nak, kamu cuti sampai kapan?” tanya Mutia.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Hari ini terakhir, Bu. Besok saya masuk kerja lagi.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Kalau begitu, kamu pulang bareng Ibu ya.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Tapi, saya bawa motor, Bu.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Motor kamu biar Iqbal saja yang bawa pulang,” kata Mutia seraya melirik Iqbal.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Mendengar itu, Iqbal pura-pura kesal. “Ibu …!” ujarnya merajuk.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Ibu nggak rela Sabila pulang sendirian ke Depok naik motor. Kalau ada apa-apa dengan calon menantu Ibu yang secantik dan sesalehah ini, Ibu akan menyesal seumur hidup.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Untuk pertama kalinya, Sabila tersenyum. Mata indahnya melirik Iqbal yang juga tersenyum. Spontan, ia memalingkan wajah. Namun, pipinya telanjur merona merah.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Mutia dan Fakhruddin yang menyaksikan pemandangan itu turut tersenyum.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
“Ayo, Nak. Kita turun. Temui pakdemu. Sekaligus kami mau meminta izin membawamu pulang untuk mengatur waktu lamaran dengan orang tuamu.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Betapa penuh hati Sabila. Spontan, ia mencium tangan Mutia. “Terima kasih, Bu.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Ia juga mencium tangan Fakhruddin. “Terima kasih, Pak.”
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Perlahan, mereka menyusuri kebun teh itu menuju pintu gerbang. Angin berkesiuran lembut membelai tubuh dan terasa meresap hingga ke dalam hati.
</div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc0099; font-family: vidaloka, serif; text-align: justify;">
Sabila menoleh ke belakang. Kabut sudah pergi, berganti pemandangan Gunung Gede yang hijau kebiruan bagaikan hamparan permadani. Benar kata ayahnya Iqbal, kabut tak pernah berdusta.
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-kota-kota-rantauan-oleh-raudal.html" target="_blank">cerpen Kota-Kota Rantauan</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com3tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-22364711810294552172017-07-19T23:38:00.001-07:002017-07-19T23:38:45.885-07:00CERPEN KEMATIAN HEARTFIELD OLEH GUNTUR ALAM<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Handlee" rel="stylesheet"></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #cc9900; font-family: "Handlee",cursive; font-size: 14pt;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://4.bp.blogspot.com/-PSJhiGPkmJg/WXBNybEEQrI/AAAAAAAADCw/F7GsAZCoIKc95myr2ArL_374S6YKHNObwCLcBGAs/s1600/5493_suicide-Murder-Death-Dead.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="kematian " border="0" data-original-height="440" data-original-width="660" height="212" src="https://4.bp.blogspot.com/-PSJhiGPkmJg/WXBNybEEQrI/AAAAAAAADCw/F7GsAZCoIKc95myr2ArL_374S6YKHNObwCLcBGAs/s320/5493_suicide-Murder-Death-Dead.jpg" title="kematian " width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://www.thehansindia.com/posts/index/Crime/2017-02-15/Delhi-Plumber-beats-wife-to-death-hacks-body-into-pieces-on-Valentines-Day/280807" target="_blank">Represemptational </a>Image</td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 14pt;">Sampai sekarang, orang-orang masih bertanya-tanya: Kenapa Heartfield, pengarang yang diceritakan Haruki dalam Kaze No Uta O Kike, memilih bunuh diri dengan cara terjun dari Empire State Building pada tahun 1938 itu? Tahun ketika ibunya meninggal. Seharusnya dia bisa bunuh diri dengan cara yang lebih indah dan baik dan gagah. Yah, semisal dia menembak kepalanya sendiri dengan revolver 38 mm yang berhiaskan mutiara di gagangnya itu. Bukankah dia sangat membangga-banggakan senjatanya itu? Bahkan dia pernah berujar, “suatu saat nanti aku akan menembak diriku sendiri dengan benda ini.”</span></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Tapi pada kenyataannya, dia mati dengan cara loncat dari balkon Empire State Building. Memang sih, cara dia bunuh diri itu tetap terasa luar biasa. Bayangkan saja, di pagi hari Minggu yang cerah pada bulan Juni, dia loncat indah dari ketinggian puluhan kaki, mendekap lukisan Hitler di tangan kanan dan payung yang mengembang di tangan kiri. Cuma tetap saja, itu bukanlah kematian yang bagus. Badannya ringsek. Dan dia terlihat konyol –menurutku.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Nah, orang-orang terus bertanya, kenapa Heartfield memilih mati seperti itu? Itulah yang ingin aku ceritakan. Aku punya sedikit cerita rahasia. Dan karena ini sebuah cerita pendek, kau boleh percaya atau tidak. Sebab dalam cerita pendek, kita bebas bercerita sebuah kebenaran atau dusta. Bisa jadi pula, kita sebenarnya bercerita tentang kebenaran melalui dusta. Apa pun itu, cerita pendek memerlukan sedikit dusta agar dia menarik. Karena tak ada satu pun redaktur koran yang berkenan memuat cerita tak menarik di medianya. Pembaca juga seperti itu, tak mau membaca cerita buruk. Apalagi jika yang membaca AS Laksana, kau akan diceramahi sampai tuli jika tulisanmu jelek. Sebenarnya itu baik, tapi bila kau tak kuat mental, kau bisa bunuh diri mendengar ocehannya. Ah, sudahlah, tak usah pikirkan itu. Kita kembali pada cerita kematian Heartfield.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Kupikir kau perlu tahu siapa Heartfield itu. Dari cerita Haruki, namanya Derek Heartfield. Dia lahir di salah satu kota kecil di Ohio pada tahun 1909. Dan bunuh diri tahun 1938. Usia yang masih sangat muda. 29 tahun.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Apa mungkin dia bunuh diri karena patah hati?
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Ayahnya seorang insinyur telekomunikasi yang pendiam dan ibunya seorang ibu rumah tangga yang pintar membuat kue serta mahir meramal. Heartfield kecil tumbuh menjadi remaja laki-laki yang membosankan. Dia tak punya teman. Kerjanya cuma baca komik, majalah, makan kue buatan ibunya, dan tentu saja masturbasi sebagaimana remaja pada umumnya. Masa remajanya yang menyedihkan itu berlangsung sampai dia lulus SMA.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Kuterka, Heartfield pasti tak pernah punya pacar dan berkencan dan merasakan berdansa di kelulusan SMA dan bahkan dia belum pernah berciuman sekalipun sampai kelulusan itu.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Apa mungkin dia bunuh diri karena tak kunjung mendapatkan kekasih?
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Selulus SMA, Heartfield bekerja di kantor pos. Tapi tidak berlangsung lama. Dia berhenti. Itu katanya. Tapi aku yakin sebenarnya dia dipecat. Dan itu lebih masuk akal bila mengingat betapa dia laki-laki yang membosankan. Dia tak pandai tersenyum pada costumer. Juga tak mahir mengoceh untuk menyenangkan orang-orang. Sejak itu, dia benci dengan kantor pos. Sebenarnya, dia benci banyak hal. Tapi ada dua yang paling dia benci: Kantor pos dan perempuan.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Mungkin dia benci perempuan karena tak ada satu pun yang tertarik dan jatuh cinta padanya, lalu mengajaknya berkencan. Atau mungkin sebenarnya Heartfield seorang gay? Tak tahulah, dia juga tak punya teman laki-laki, selain seekor kucing jantan yang sangat dia sayangi. Dalam hidupnya memang hanya ada tiga hal yang paling disukainya; senapan, kucing jantannya itu, dan kue yang dipanggang ibunya –diingat, kue bukan ibunya.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Ajaibnya, berdasarkan cerita Haruki, Heartfield ini kelak bisa menulis cerita pendek dan novel dan bahkan novel petualangan yang berseri sampai empat puluh dua seri! Tentu itu terdengar agak ganjil.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Cerita-ceritanya juga ganjil dan aneh dan kurang masuk akal.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Di novelnya yang berseri itu. Wald: The Adventure Kid. Dia bercerita tentang Wald yang meninggal 3 kali, membunuh 5000 orang musuh, dan tidur dengan 375 perempuan, termasuk perempuan alien alias dari Planet Mars.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Ketika orang-orang bertanya; “tidakkah novelmu itu kurang masuk akal?” Heartfield menjawab dengan santai, “apa artinya menulis novel yang isinya sudah diketahui orang lain?”.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Dan memang, cerita-cerita Heartfield banyak tak masuk akal.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Apa sebenarnya dia memang kurang waras dan karena ini dia bunuh diri?
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Heartfield menulis selama delapan tahun dua bulan sebelum mengakhiri hidupnya. Dan menurut cerita, dia pengarang yang gagal. Plotnya kacau, kalimatnya sukar dipahami, tema ceritanya kekanak-kanakan, dan banyak lagi kekurangannya. Berbeda sekali dengan pengarang sezamannya: Hemingway dan Fitzgerald.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Apa mungkin dia bunuh diri karena dianggap pengarang gagal?
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Ada beberapa cerita yang terdengar tentang muasal Heartfield memilih bunuh diri. Ada yang terdengar konyol dan ada juga yang menurutku masuk akal. Terlebih bila aku teringat jika cerita-cerita yang Heartfield tulis dan disinggung Haruki, juga banyak yang konyol dan tak masuk akal. Dan perlu diingat, yang Heartfield tulis itu fiksi. Sementara kita tahu, cerita di dunia nyata terkadang lebih konyol dan lebih tak masuk akal daripada fiksi.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Cerita pertama. Sebelum ibunya meninggal dan akhirnya Heartfield bunuh diri, kucing kesayangan Heartfield lebih dulu mati.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Kau ingat. Di dunia ini cuma ada tiga hal yang disukai Heartfield. Salah satunya kucing jantannya ini. Kucing ini bukan mati karena tua, tapi dia mati karena bunuh diri. Kucing itu menabrakan dirinya pada mobil dan mati.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/07/cerpen-pastu-oleh-oka-rusmini.html" target="_blank">Cerpen Pastu</a></span></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Dari cerita seseorang yang tak bisa disebutkan namanya, karena dia tahu kisah ini dari seseorang yang pernah mendengarnya dari seseorang, kemudian seseorang lagi, dan seseorang lagi, seseorang lagi, yang ujungnya seseorang itu mendengarnya dari Heartfield atau keluarganya atau membaca catatan Heartfield tentang ini –tak bisa dipastikan, yang jelas bukan dari Haruki.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Kucing jantan itu memilih bunuh diri karena dia patah hati. Terdengar ganjil, kan? Tapi itulah cerita yang berembus. Seumur hidup kucing jantan itu, dia tak pernah berkencan, kawin, atau bahkan sekadar memiliki pacar seekor kucing betina. Selama ini, tak ada satu pun kucing betina yang tertarik padanya. Itulah kenapa kucing itu begitu menyukai Heartfield juga. Mereka memiliki kesamaan. Sama-sama tak disukai lawan jenis.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Lalu, pada suatu musim panas, ada sebuah keluarga yang baru pindah ke daerah mereka dan keluarga itu punya kucing betina yang cantik. Kucing jantan itu jatuh cinta pada pandangan pertama. Sialnya, dia ditolak mentah-mentah. Berbagai cara kucing jantan itu lakukan, tetap tak berhasil. Dari merayu dengan seekor ikan, seiris paha ayam goreng, bahkan sampai kue kegemarannya yang dipanggangkan ibu Heartfield, tak ada satu pun yang membuahkan hasil.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Biadabnya, kucing betina itu justru jatuh cinta pada kucing tetangga samping rumah Heartfield. Dan kucing jantan ini sejak dulu membenci kucing jantan tetangganya. Karena kucing itu memiliki hidup yang menyenangkan; dikelilingi gadis-gadis. Karena patah hati, kucing jantan itu memilih bunuh diri. Seumur hidupnya, baru kali itu dia sangat-sangat jatuh cinta pada kucing betina. Dan ditolak. Jadi dia memilih bunuh diri.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Heartfield sangat terpukul. Dia kehilangan satu dari tiga hal yang dia sukai di dunia ini.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Saat itu, Heartfield sudah berniat ingin bunuh diri juga. Tapi urung dia lakukan, karena di masih memiliki ibu yang memanggangkan kue enak untuknya. Dia juga masih punya senapan revolver 38 mm kesayangannya. Dan cerita yang beredar kedua berhubungan dengan senapan yang gagangnya berhiaskan mutiara ini.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Pada hari saat dia ingin menembakkan sebutir peluru dari revolver 38 mm itu ke kepalanya –memang hanya ada sebutir peluru di dalamnya. Tiba-tiba saja Heartfield mendengar senapan itu berteriak dan memakinya.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Edan! Senapan bisa berteriak dan memaki?
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Ya, dan kupikir hanya ada dalam cerita pendek sebuah senapan bisa berteriak dan memaki. *
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Revolver 38 mm itu berteriak karena dia ketakutan melihat otak Heartfield berhamburan nantinya. Dia juga takut pada darah. Dan senapan itu juga takut ditinggalkan. Selama ini, senapan itu tak punya siapa-siapa selain Heartfield yang mencintainya. Bila Heartfield mati bunuh diri, dia akan kesepian.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
“Sebagai seorang kawan, aku tak akan sudi membunuhmu!” teriak revolver 38 mm itu.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
“Kau terlalu goblok! Masih ada aku dan kue buatan ibumu! Setidaknya masih ada yang kau cintai dan mencintaimu! Kau juga belum berhasil jadi pengarang! Jangan mati dulu!”
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Karena itulah, Heartfield mengurungkan niatnya bunuh diri di hari kematian kucing jantan kesayangannya itu.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Lalu cerita ketiga?
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Tentu saja kau bisa menebaknya. Ini berhubungan dengan ibunya.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Saat ibunya mati di tahun 1938 itu. Heartfield sangat terpukul. Dia kehilangan kue kesukaannya, sekaligus satu-satunya perempuan di dunia (yang mungkin) dia cintai. Dia sudah berusaha menghibur diri dan menganggap hidupnya akan baik-baik saja karena dia masih punya senapan kesayangan. Tapi dia gagal. Dia telah berjuang untuk melewatinya.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Karena tak mungkin bunuh diri dengan revolver 38 mm kesayangannya, Heartfield memilih loncat indah dari atas gedung. Dan beberapa orang yang mengenalnya lewat Haruki mengenang betapa cara dia bunuh diri itu sangat romantis. Dan aku tak tahu di bagian mananya romantis yang dimaksud? Karena dia memeluk lukisan Hitler bukan Monalisa atau perempuan cantik lainnya.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Begitulah cerita yang beredar tentang muasal kematian Heartfield. Seperti yang kukatakan di awal, kau boleh percaya, boleh juga tidak. Termasuk bila kau meyakini jika Heartfield cuma seorang tokoh rekaan oleh Haruki. Bagaimanapun aku harus menulis cerita pendek yang menarik jika ingin dimuat dan bisa kau baca. Jadi aku menulisnya seperti ini. </div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Juni 2013.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Setelah membaca novel “Dengarlah Nyayian Angin” karya Haruki Murakami.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: handlee, cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
</div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-palung-oleh-oka-rusmini.html" target="_blank">cerpen Palung</a></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-27613961874613496842017-07-19T22:59:00.000-07:002017-07-19T22:59:51.164-07:00CERPEN KOTA ORANG-ORANG BISU OLEH DADANG ARI MURTONO<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Philosopher" rel="stylesheet"></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #cc9900; font-family: "Philosopher",sans-serif;">
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://3.bp.blogspot.com/-fXapeOUTr5Y/WXBFs5AmJKI/AAAAAAAADCk/FKhRCB-7uXwnTsNaucwr4I_ByoJ3C2RTQCLcBGAs/s1600/a0b262218b4cd483a89b13982909a5f4--blood-photos-dark-art-photography.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="perempuan yang bisu" border="0" data-original-height="344" data-original-width="550" height="198" src="https://3.bp.blogspot.com/-fXapeOUTr5Y/WXBFs5AmJKI/AAAAAAAADCk/FKhRCB-7uXwnTsNaucwr4I_ByoJ3C2RTQCLcBGAs/s320/a0b262218b4cd483a89b13982909a5f4--blood-photos-dark-art-photography.jpg" title="perempuan yang bisu" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">image <a href="https://id.pinterest.com/pin/289637819759755304/" target="_blank">Steve</a></span></td></tr>
</tbody></table>
Siapapun pasti akan sulit percaya bila aku katakan bahwa saat ini aku sedang berada di sebuah kota yang tak ada dalam peta. Kota dengan penghuni yang bisu. Ya. Bisu. Semua penduduknya bisu.</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Dan karena semua penduduknya bisu, maka mereka hanya saling tersenyum atau menganggukkan wajah bila berpapasan sebagai tanda menyapa. Mereka menunjuk barang apa saja yang ingin mereka beli di toko. Dan karena semua bisu, maka sebanyak apa pun penduduk kota itu, suasana tetap saja begitu hening.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Kota itu adalah kota yang tua. Begitu tua. Kau bisa mengetahuinya hanya dengan melihat bangunan-bangunan yang ada di kota itu. Semua mengesankan bahwa bangunan-bangunan itu telah ada semenjak ratusan tahun yang lampau. Begitu pula dengan model pakaian yang mereka kenakan. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Aku menduga karena posisinya yang begitu sulit dicari (bahkan, peta paling lengkap pun tak sanggup menggambarkan letak kota itu), maka kota itu menjadi terputus dengan peradaban yang ada di luar kota tersebut.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Konon, dulu sekali, penduduk kota itu sama seperti orang normal kebanyakan. Tidak bisu. Bisa bicara. Pada waktu itu, kota tersebut dikuasai oleh seorang penguasa yang kejam. Yang begitu haus kekuasaan. Yang takut kekuasaannya bakal direbut orang lain. Tidak sekali dua kali si penguasa menerapkan kebijakan yang sama sekali tidak bijak. Misal: menetapkan tarif pajak yang sama dengan penghasilan penduduknya. Atau ketika si penguasa hendak merenovasi kediamannya yang besar selayaknya istana, mewajibkan setiap penduduk kota itu bekerja di sana tanpa upah. Persis kerja rodi. Atau romusa. Si penguasa juga menjadikan segala tambang yang ada di kota itu (dulu, kota itu memiliki banyak tambang, mulai tambang emas, tambang minyak bumi, hingga tambang batu bangunan) menjadi milik pribadinya.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Tidak ada yang berani melawan si penguasa. Si penguasa memiliki pasukan yang kuat dengan persenjataan yang canggih. Siapa pun yang berani melawan, akan bernasib tragis. Pagi melawan, sore mati. Begitulah selama bertahun-tahun.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Tidak ada yang secara terang-terangan mencoba melawan si penguasa. Semua penduduk merasa ketakutan. Dan orang yang takut, pada akhirnya, hanya berani bergunjing di belakang. Membicarakan segala sesuatu tentang si penguasa yang buruk-buruk.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Namun, seperti kata pepatah, sebaik-baik menyimpan bangkai, baunya akan tercium juga, begitu pula dengan gunjing-gunjing tersebut. Entah bagaimana, si penguasa akhirnya tahu juga bila semua warga kota itu selalu menggunjingnya, membicarakan keburukannya.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
“Suatu hari, gunjing-gunjing itu bisa berubah menjadi gerakan pemberontakan!” demikian kesimpulan si penguasa. “Ketika waktu itu tiba, bukan tidak mungkin sekuat apa pun pasukanku, tidak akan dapat meredam orang-orang itu,” pikirnya lagi.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Maka begitulah. Pada suatu ketika, dengan tujuan agar tak ada lagi penduduk kota yang membicarakan keburukannya, yang kemungkinan besar bisa membahayakan kedudukan si penguasa di kemudian hari, si penguasa mengeluarkan kebijakan yang aneh. Kebijakan paling aneh yang pernah dibuat. Memotong lidah semua penduduk kota itu.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Dan bukan hanya lidah orang yang sudah dewasa yang dipotong, melainkan juga lidah anak-anak. Bahkan, lidah mereka yang masih bayi. Lalu begitulah. Entah kenapa, setelah semua lidah penduduk dipotong, setelah semua yang ada di kota itu menjadi bisu, setiap bayi yang lahir, tiba-tiba saja sudah tak berlidah. Semua orang menjadi bisu. Hingga hari ini.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Itu memang cerita yang sulit diterima akal sehat. Namun, cerita itu bukanlah satu-satunya cerita tentang asal mula bisunya penduduk kota tua itu.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-sipleg-oleh-oka-rusmini.html" target="_blank">Cerpen Sipleg</a></span></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Ada cerita lain. Konon, dulu, penduduk kota ini adalah orang-orang yang banyak bicara. Tidak sedetik pun mereka tidak bicara. Bahkan, dalam tidur pun, mereka bicara. Mengigau. Semua selalu ingin bicara. Semua selalu ingin ucapannya yang didengar. Namun siapa yang mendengar bila semua orang hanya ingin bicara? Semua seolah lupa kenapa Tuhan menciptakan satu mulut dan dua telinga. Semua seolah lupa bila Tuhan ingin kita lebih banyak mendengar daripada berbicara. Dan keadaan seperti itu semakin parah karena ternyata yang mereka bicarakan semata bualan! Bualan belaka!
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Pada waktu itu, entah dari mana, seseorang yang konon adalah wali Tuhan, sampai ke kota itu. Si wali begitu terkejut mengetahui betapa orang-orang di kota itu teramat suka membual. Namun si wali tahu, lidah bisa membual, tetapi tidak halnya dengan mata. Mata selalu jujur perihal apa yang ada di dalam hati. Segala yang ada di hati, yang sebenarnya, seperti tersirat dari pandangan mata. Mata seolah telaga bening dengan dasar berupa hati. Itu pula sebabnya orang-orang menyebut mata sebagai jendela jiwa.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Konon, kemudian si wali yang prihatin berdoa. Berdoa agar semua orang di kota itu berhenti membual. Agar orang-orang di kota itu tidak lagi bicara dengan mulut dan lidah. Melainkan dengan mata.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Semenjak itu pula, semua orang menjadi bisu. Bisu hingga turun temurun. Hingga hari ini.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Aku tidak tahu cerita versi mana yang benar. Dan itu tak penting benar bagiku. Aku datang ke kota ini dengan niat awal untuk tinggal di sini. Tinggal bersama kekasihku. Kekasih yang pada awal-awal percintaan kami berkata bahwa dia akan selalu mencintaiku. Kekasih yang bersumpah hanya akan mengucap cinta kepadaku.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Waktu itu, aku percaya. Hingga kemudian, beberapa waktu yang lalu, aku tahu, ia menggunakan lidah dan mulutnya untuk mengucap cinta kepada lelaki lain. Dan bukan hanya mengucap cinta, lidah dan mulut itu juga mengecup serta mengulum mulut dan lidah lelaki lain. Bahkan, mungkin, bukan hanya lidah dan mulut lelaki lain itu saja yang ia kecup dan kulum. Mungkin juga bagian tubuh yang lain dari lelaki itu.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Aku cemburu. Aku menuntut sumpahnya. Tapi ia bilang aku terlalu mengada-ada. Ia bilang aku terlalu cemburu. Ia bilang ia tidak melakukan apa-apa yang aku tuduhkan kepadanya. Ia berkata lagi, ia bersumpah lagi tetap mencintaiku. Dan aku meminta pembuktian. Aku meminta kepastian bahwa lidahnya tidak bakal mengucap cinta kepada lelaki lain. Aku meminta kepastian bahwa lidahnya tidak bakal menjilati tubuh lelaki lain.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Begitulah. Dengan bersusah payah, dengan cara yang teramat sulit dijelaskan, kami sampai ke kota ini. Kota tua bisu. Aku yakin, ada enggan di dalam hati kekasihku. Barangkali kadarnya cuma sedikit. Tapi ada. Dan aku memaksanya.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Demi cinta.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
“Di sana, di kota orang-orang bisu, tidak bakal ada yang melihat kita dengan aneh. Tidak ada yang memandang kita dengan pandangan kasihan. Bukankah sangat tidak nyaman menyadari bahwa orang memandang kita dengan pandangan yang serupa itu, bukan? Bukankah kita hidup di negeri yang aneh? Negeri di mana orang- orang suka meremehkan orang-orang yang mereka anggap cacat? Di kota itu, di kota orang-orang bisu itu, kita tidak akan mendapat pandangan yang aneh. Kita tetap menjadi manusia yang utuh, manusia normal ketika berada di sana,” kataku. Meyakinkan.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
“Bukankah kau mau membuktikan kalau kau memang benar-benar mencintaiku?” desakku.
</div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #cc9900; font-family: philosopher, sans-serif; text-align: justify;">
Begitulah mulanya kami sampai di kota itu. Kami saling mengucap cinta. Mengucap nama masing-masing. Itulah kata-kata terakhir yang lidah kami ucapkan. Sebab setelah itu, kami sama-sama menghunus pisau. Saling memotong lidah. Saling membisukan diri.</div>
<span style="color: #cc9900; font-family: "philosopher" , sans-serif;"><span style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"></table>
</span></span></div>
</div>
</div>
Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-sang-penulis-oleh-noor-h-dee.html" target="_blank">cerpen Sang Penulis</a></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-19593158614662301962017-07-18T23:35:00.000-07:002017-07-18T23:35:38.224-07:00CERPEN BELAJAR SETIA OLEH BENNY ARNAS<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Berkshire+Swash" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #cc3300; font-family: "'Berkshire Swash",cursive;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://3.bp.blogspot.com/-fBPlKYhQZ1A/WW79adFb4QI/AAAAAAAADCM/zVbYrDQhZLocTS-0slvtpsphTBqZlC5TACLcBGAs/s1600/69174410-roof-wallpapers.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="perempuan setia menunggu" border="0" data-original-height="1000" data-original-width="1600" height="200" src="https://3.bp.blogspot.com/-fBPlKYhQZ1A/WW79adFb4QI/AAAAAAAADCM/zVbYrDQhZLocTS-0slvtpsphTBqZlC5TACLcBGAs/s320/69174410-roof-wallpapers.jpg" title="perempuan setia menunggu" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;"><a href="http://www.guoguiyan.com/roof-wallpapers.html" target="_blank">image</a></span></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive; text-align: justify;">
Pada kedatangan tak diundang dan tanpa pemberitahuan, pemuda 27 tahun itu sudah menyiapkan sebuah cerita untuk Mayang, perawan yang saban petang selalu menyendiri di simpang kabupaten. Kebiasaan yang sudah berumur 25 tahun. </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><br /></span></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Namun alih-alih mendengarkannya, perempuan itu bahkan tidak serta-merta bisa menerima kedatangan seorang tak dikenal. Pemuda itu berusaha tampak tenang, seolah sudah mengantisipasi semua kemungkinan. Ia katakan bahwa sudah hampir dua tahun ia mencari perempuan itu. Jadi, adalah konyol apabila ia harus kembali tanpa menuntaskan maksudnya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Saya datang dari Binjai, sebuah dusun di Muarakelingi, katanya. Namun apalah arti sebuah tempat bagi kedatangan yang tiba-tiba. Mayang bergeming seperti tidak mendengar apa-apa. Bagi si pemuda, itu pertanda baik. Apalagi perempuan itu lalu membuka daun pintu lebih lebar dan menyilakannya masuk.
Ah, lampu-lampu di sepanjang jalan tujuannya mulai menyala. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Namun, baru saja ia duduk di kursi rotan tua dalam rumah papan itu, perempuan itu sudah mengejutkannya. “Namamu Musmulikaing,” begitu gumamnya. Intonasinya datar sehingga kalimat itu tak menjadi kalimat tanya. Dan, ia sepertinya memang tak memerlukan jawaban. Ia hanya menatap si pemuda tanpa selidik. “Aku tak pernah berpikir kalau kali ini mimpiku akan jadi kenyataan.” Lalu ia berlalu ke bilik belakang, menyeka tirai kerang yang sudah jarang dan renggang. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Pemuda itu diam. Matanya mengekor punggung si perempuan yang lenyap di balik bilik. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Sudah puluhan tahun, ada suara yang selalu berdenging dalam mimpi-mimpiku. Seorang pemuda bernama Musmulikaing akan datang dalam waktu dekat.” Suara Mayang terdengar jelas dari balik bilik kayu itu. Sesekali bunyi sendok yang beradu dengan cangkir sayup mengetuk gendang telinga. “Namamu memang rada aneh tapi kedengarannya tak asing. Aku tak tahu kapan dan di mana namamu pernah kuakrabi. Ah biarlah, namanya juga mimpi, kadang tak bisa dinalar.” Perempuan itu sudah kembali menerobos tirai dengan secangkir teh hangat di tangan kirinya. “Tapi mimpi kali ini, bagaimanapun, rasanya ada yang lain.” Ia meletakkan cangkir teh itu di atas meja lalu duduk di kursi rotannya. “Minumlah. Tamu adalah raja. Apalagi tamu dari alam mimpi.” Ia tertawa kecil, seperti mengejek kata-katanya sendiri. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Pemuda itu cengengesan. Tangan kanannya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Di zaman sekarang, mimpi yang benar-benar mengisyaratkan sebuah kejadian sudah langka. Mimpi tak lebih sebagai perpanjangan kehendak seseorang; apa-apa yang tidak atau belum mampu diraih di alam nyata, ia bawa ke dalam tidurnya. Mimpi yang begitu, yang disebut bunga tidur, mimpi yang tak berguna!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Lalu untuk apa seseorang dalam mimpi itu mendatangimu?” tanya pemuda itu setelah menyeruput teh. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Mayang menggeleng. “Tapi… bukannya, kau ingin bercerita?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
*** </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Syahdan, seorang laki-laki mengungkapkan rahasia terbesar dalam hidupnya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Ketika masih muda, ia menjalin hubungan dengan seorang gadis. Pemuda itu ingin mempersembahkan kejutan kepada gadisnya dengan meminangnya tiba-tiba. Benar! Apa yang ia lakukan memang mengejutkan. Pinangannya ditolak. O, bagaimana ia lupa kalau seseorang yang lahir, tinggal, dan berdikari di Binjai, dusun rumah tinggi yang hidup dari menyadap karet dan menjaring ikan seluang di anak Sungai Musi, taklah mampu berdiri di atas anak tangga yang sama dengan gadis keturunan pesirah di Kayuara. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Tercorenglah keluarga besar sang pemuda. Betapa malunya. Sang gadis benar-benar kecewa dengan apa yang keluarganya perbuat. Ia memang menyesalkan tingkah kekasihnya yang tiba-tiba datang dengan 20 orang sanak kerabat, 12 nampan berisi bejek ketan hitam, 6 tandan pisang tanduk, dan sepikul beras dayang rindu. Namun, sungguh, semuanya menguap dan menjadi tak berarti bila dibandingkan dengan ketakterimaannya atas kepongahan keluarganya. Maka, lewat seorang pesuruh yang setia, ia mengirimkan sepucuk surat kepada si pemuda. Ternyata maksud tak selamanya selaras dengan kenyataan. Surat yang dilemparkan si pesuruh—sebagaimana amanah si gadis—lewat daun jendela kamar si pemuda, tertangkap pandang oleh ayah si pemuda. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Sebuah rencana pembalasan pun disiapkan. Sang ayah tak pernah menyampaikan surat itu kepada putranya. Bahkan, hingga putranya ia jodohkan dengan seorang perempuan yang masih berkerabat jauh satu tahun kemudian.
Ia tahu, putranya menerima begitu saja karena kecewa pada kekasihnya yang tiada kabar berita setelah pengusiran itu. Bagi si pemuda, peristiwa memalukan itu bagai menegaskan bahwa gadis itu sengaja menjauh darinya, melepas hubungan yang sudah sekian lama dikebat…. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Istrinya, karena tak kuat menjadi pajangan yang hanya digauli di malam punai, akhirnya meradang berpanjangan. Sebenarnya, tiadalah si pemuda bermaksud demikian. Namun, alam bawah sadar bagai menuntunnya untuk melakukan hal-hal yang bukan tabiatnya. Mereka tak ubahnya dua orang asing yang dirumahkan. Tanpa sapa, canda, apalagi cerita mesra. Entah karena ajal yang sudah tiba atau rajaman kenelangsaan, sang istri meregang nyawa beberapa hari seusai melahirkan anak pertama; laki-laki. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Suaminya membesarkan putra semata wayangnya sendirian. Ia ingin membuktikan kepada ayahnya yang sudah renta bahwa cintanya kepada gadis Kayuara itu tak akan luruh hingga kapan pun, oleh apa pun. Awalnya sang ayah tak mengacuhkan. Namun, mendapati kenyataan bahwa putranya mampu hidup sendirian sembari membesarkan cucunya hingga bujang, adalah tamparan keras baginya. Ia trenyuh. Sungguh, sebenarnya ia benci pada ketaklukannya. Namun begitu, sejatinya ia lebih benci lagi pada keegoisannya yang berlumut dan baru terkikis setelah hampir seperempat abad kemudian—walaupun ia jua takkan lupa kesombongan keluarga si gadis. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Maka, pada suatu malam yang temaram, di ujung sakit tersebab usia yang berkarat, ia membuka rahasia itu. Tentang surat itu. Tentang pertemuan—di simpang kalangan dekat pohon merbau di Muarabeliti jelang terbenamnya matahari—yang tak pernah ia beritakan kepada putranya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
*** </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-malam-sebuah-kota-oleh-raudal.html" target="_blank">Cerpen Malam, Sebuah Kota </a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Simpang Muarabeliti—ibu kota kabupaten?” Tiba-tiba perempuan itu menyela.
Pemuda itu mengangguk. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Petang?” Pemuda itu mengangguk lagi. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Jadi surat itu tak pernah dibacanya? Apakah laki-laki itu tahu bahwa, hingga saat ini, gadisnya masih melajang?”
Pemuda itu diam. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“… dan hidup sebatang kara karena keluarganya tak sudi punya anak pembangkang, tak sudi serumah dengan gadis yang mencintai pemuda tak sepadan.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba perempuan itu bangkit dari tempat duduknya. “Mengapa, mengapa ceritamu….” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Ya, mungkin Ibu heran mengapa ceritaku sangat mirip dengan kisah hidup Ibu, bukan? Ibu pernah tinggal di Kayuara?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Jangan sok tahu!” Suara Mayang meninggi. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Bukannya Ibu yang sok tahu?” Pemuda itu balas berseru. “Ibu sok tahu kalau gadis dalam ceritaku masih melajang hingga kini!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Mayang tercenung seperti terhenyak. Lalu perlahan ia kembali duduk. “Ternyata penantianku adalah panggilan tanpa bunyi dan jawaban.” Suaranya terdengar lempang tanpa gairah. Matanya memerah. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Penantian? Menantikan laki-laki dalam ceritaku?” Suara pemuda itu lirih, hampir tak terdengar. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Mayang tak menjawab. Hanya air matanya yang tiba-tiba meleleh. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Menantikan Semibar?” Suara pemuda itu bagai tercekat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Dan kau adalah Musmulikaing.” Suara Mayang memarau. Ada senyum tipis, sangat tipis, menggurat di bibir perempuan itu. Ia menyeka air matanya dengan ujung baju katunnya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Bukan!” tukas pemuda itu cepat. “Aku….” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Ya, bukan hanya itu!” potong Mayang tak kalah cepat. “Musmulikaing adalah buah perkawinan Semibar dengan Jeruma yang tak berumur lama.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Mulut pemuda itu terkunci. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Dan gadis Kayuara itu adalah Mayang Nilamsari binti Umar Hamid, kan?!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Pemuda itu tiba-tiba merasa kerongkongannya menyempit. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Perempuan itu kini tersenyum, benar-benar tersenyum. “Terima kasih atas ceritamu. Ayahmu memang pujangga ulung. Untuk menjelaskan semua keganjilan masa silam kami, ia bahkan merasa perlu mengutusmu untuk bertandang dalam mimpi-mimpiku sebelum akhirnya hadir di hadapanku.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Pemuda itu tersenyum, senyum yang lebih mirip seringaian. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Aku tidak marah pada Semibar. Tak ada guna. Aku bahkan memaklumi perkawinan itu. Cinta yang tulus adalah tinta daun bilau yang menetes di kain kafan, nodanya takkan terkelupas apalagi terhapus oleh air hujan sekalipun. O ya, sampaikan pada ayahmu: ‘Ada salam dariku’.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya. Sebenarnya ia ingin menjelaskan kalau namanya bukan Musmulikaing. Tapi hal itu menjadi tidak penting lagi ketika mendapati kenyataan yang begitu menggetarkan: seorang perempuan rela melajang hingga usianya merayap separuh abad. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Pemuda itu mencium punggung tangan Mayang dengan takzim, seolah tengah mengucapkan selamat tinggal kepada ibu kandungnya, untuk membawa kabar gembira nan memilukan ke tepian anak Sungai Musi lalu menyampaikannya kepada Semibar. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Kepada ayahnya.</div>
</span><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #cc3300; font-family: "'berkshire swash", cursive; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody></tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-rasa-oleh-putu-wijaya.html" target="_blank">cerpen Rasa</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-81625616979712297222017-07-18T23:24:00.000-07:002017-07-19T00:32:48.504-07:00CERPEN KUNANG-KUNANG DI LANGIT JAKARTA OLEH AGUS NOOR<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Aclonica" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="font-family: "'aclonica", sans-serif;">
<div style="text-align: justify;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #ff9900; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-e23JAIKZvWo/WW76yxcfm4I/AAAAAAAADCI/Ms5DeSGpEEIdp60KPT62yo14q8fQVmOHQCLcBGAs/s1600/original.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="kunang-kunang di langit" border="0" data-original-height="826" data-original-width="1102" height="238" src="https://1.bp.blogspot.com/-e23JAIKZvWo/WW76yxcfm4I/AAAAAAAADCI/Ms5DeSGpEEIdp60KPT62yo14q8fQVmOHQCLcBGAs/s320/original.jpg" title="kunang-kunang di langit" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://weheartit.com/entry/141798583" target="_blank">image</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: "aclonica, sans-serif";">
</span></div>
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #ff9900; font-family: "'aclonica", sans-serif;">
<span style="font-family: "aclonica, sans-serif";">Ia kembali ke kota ini karena kunang-kunang dan kenangan. Padahal, ia berharap menghabiskan liburan musim panas di Pulau Galapagos—meski ia tahu, kekasihnya selalu mengunjungi pulau itu bukan karena alasan romantis, tapi karena kura-kura. Kura-kura itu bernama George. </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">Mata Peter akan berbinar setiap menceritakannya. Ia termasuk keturunan langsung spesies kura-kura yang diamati Charles Darwin ketika merumuskan teori evolusinya pada abad ke-19. Berapa kali ia sudah mendengar Peter mengatakan itu? Kau harus melihat sendiri, betapa cakepnya kura-kura itu. Ia botak dan bermata besar. Ia tua dan kesepian memang. Namun, sebentar lagi ia akan punya keturunan. </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">Ada benarnya juga kelakar teman- temannya. “Kau tahu, Jane, itulah risiko punya pacar zoologist. Kamu harus lebih dulu menjadi primata yang menarik untuk membuatnya tertarik bercinta denganmu.” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">“Justru itulah untungnya. Aku tak perlu cemas. Karena Peter lebih tertarik memperhatikan binatang langka ketimbang perempuan berambut pirang.” Dan ia tertawa walau sebenarnya merasa konyol bila menyadari: betapa ia mesti berebut perhatian kekasihnya, justru dengan binatang-binatang langka seperti itu. </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">Peter pernah cerita perihal burung bulbul langka yang berhasil ditemukannya bersama rombongan peneliti Worldwide Conservation Society di perbukitan kapur dataran rendah Laos; penemuan yang menurut Peter begitu menakjubkan, karena belum pernah dalam 100 tahun terakhir ditemukan spesies baru di Asia. Kau tahu, kicau burung bulbul itu jauh lebih merdu dari burung bulbul dalam dongeng HC Andersen. Bulu-bulunya hijau mengilap. Peter pernah pula bercerita tentang kucing emas yang misterius dan tak mungkin dijumpai, tapi ia berhasil melihatnya di pegunungan Tibet, sedang melesat memanjat pepohonan dengan gerakan yang bagai terbang. </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">Setiap saat ada kesempatan mereka bertemu—saat mereka seharusnya menghabiskan setiap menit dengan bercinta—kekasihnya justru sibuk bicara soal katak berwarna ungu yang ditemukannya di Suriname, kumbang tahi, kadal tanpa kaki, duiker merah, galago kerdil, mokole mbembe di Sungai Zambeze, sejenis tikus bermoncong panjang yang disebutnya Zanzibar, burung Akalat Ukwiva—dan entah nama-nama aneh apa lagi—sampai obsesinya menemukan spesies putri duyung yang diyakininya masih hidup di perairan Kiryat Yam, Israel. Aku akan menjadi orang kedua setelah Richard Whitbourne, kapten kapal yang pada tahun 1610 pernah melihat putri duyung di pelabuhan Newfoundland St James…. </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">Langit mulai menggelap dan keriuhan kendaraan yang memadati Horrison Street menyelusup masuk Café Gratitude. Jane Jeniffer ingat, tujuh tahun lalu, saat ia menikmati house lemonade di kafe ini, ia bertemu dengan Peter Bekoff, yang muncul dengan seekor iguana di pundaknya. Karena nyaris tak ada kursi kosong, laki-laki itu mendekati mejanya. </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">“Kau tahu, kenapa aku ke sini membawa iguana? Karena kalau aku datang bersama Jennifer Lopez pasti kafe ini seketika dipenuhi paparazi, dan kau tak bisa dengan tenang menikmati house lemonade-mu itu…” </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Entahlah, kenapa saat itu, ia menganggap lucu kata-kata itu. Mungkin itulah sebabnya, sering kita kangen pada saat-saat pertemuan pertama. Kita memang ingin selalu mengulang kenangan. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">*** </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">“Bukankah kau ingin melihat kunang-kunang?” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Dulu, semasa kanak, ia memang pernah terpesona dengan makhluk yang bagai hanya ada dalam buku-buku dongeng. Di San Francisco yang hiruk pikuk, tempat ia tinggal sejak kanak-kanak, ia tak pernah melihat kunang-kunang secara langsung. Ia melirik Peter yang begitu asyik memandangi kunang-kunang yang disimpannya dalam stoples. Cahaya kuning kehijauannya membias pucat. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">“Ini kunang-kunang istimewa, bukan golongan Lampyridae pada umumnya. Para penduduk setempat percaya, kunang-kunang ini berasal dari roh penasaran. Roh para perempuan yang diperkosa….” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Saat menyadari Jane tak terlalu memperhatikan kunang-kunang itu dan lebih sering memandangi langit muram San Francisco yang membayang di jendela, Peter menyentuh lengannya. “Percayalah, di sana, nanti kau akan menjumpai langit yang megah dipenuhi jutaan kunang-kunang.” Lalu suaranya nyaris lembut, “Dan kita bercinta di bawahnya….” </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Tapi ia tak merasa kunang-kunang itu istimewa, seperti dikatakan Peter. Mungkin karena saat itu, ia memendam kekecewaan, sebab tahu bahwa pada akhirnya Peter tak akan mengajaknya menikmati kehangatan Pulau Galapagos, tetapi ke kota yang panas dan bising ini. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Ini jelas bukan kota yang ada dalam daftar yang ingin dikunjunginya pada musim libur. Peter membawanya ke permukiman padat kota tua tak terawat. Banyak toko kosong terbengkalai, dan rumah-rumah gosong bekas terbakar yang dibiarkan nyaris runtuh. “Di gedung-gedung gosong itulah para kunang-kunang itu berkembang biak,” ujar Peter. Padahal, sebelumnya ia membayangkan hutan tropis eksotis, atau hamparan persawahan, di mana ribuan kunang-kunang beterbangan. Peter seperti abai pada kedongkolannya, sibuk mengeluarkan kamera, fotograf dan beberapa peralatan lain dari ranselnya. </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-maaf-oleh-putu-wijaya.html" target="_blank"><span style="color: black;">Cerpen Maaf</span></a></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: "times" , "times new roman" , serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Ia menunggu tak jenak. Ketika senja yang muram makin menggelap, dalam pandangannya gedung-gedung yang gosong itu seperti makhluk-makhluk ganjil yang rongsok dan bongkok, menanggung kepedihan. Dan dari ceruk gelap gedung-gedung itu seperti ada puluhan mata yang diam-diam manatapnya. Seperti ada yang hidup dan berdiam dalam gedung-gedung kelam itu. Lalu ia melihat kerlip lembut kekuningan, terbang melayang-layang. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">“Lihat,” Peter menepuk pundaknya. “Mereka mulai muncul. Kunang-kunang itu….” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Itulah detik-detik yang kemudian tak akan pernah ia lupakan dalam hidupnya. Ia menyaksikan puluhan kunang-kunang menghambur keluar dari dalam gedung-gedung gosong itu. Mereka melayang-layang rendah, seakan ada langkah-langkah gaib yang berjalan meniti udara. Puluhan kunang-kunang kemudian berhamburan seperti gaun yang berkibaran begitu anggun. Beberapa kunang-kunang terbang berkitaran mendekatinya. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">“Pejamkan matamu, dan dengarkan,” bisik Peter. “Kunang-kunang itu akan menceritakan kisahnya padamu….” </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Ia merasakan keheningan yang membuatnya pelan-pelan memejamkan mata, sementara Peter dengan hati-hati menyiapkan micro-mic, yang sensor lembutnya mampu merekam gelombang suara paling rendah—menurut Peter alat itu bisa menangkap suara-suara roh, biasa digunakan para pemburu hantu. Keheningan itu seperti genangan udara dingin, yang berlahan mendesir. Pendengarannya seperti kelopak bunga yang merekah terbuka; geletar sayap kunang-kunang itu, melintas begitu dekat di telinganya, seperti sebuah bisikan yang menuntunnya memasuki dunia mereka. Ia terus memejam, mendengarkan kudang-kunang itu bercerita. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">“Lihatlah api yang berkobar itu. Setelah api itu padam, orang-orang menemukan tubuhku hangus tertimbun reruntuhan….” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Suara itu, suara itu menyelusup lembut dalam telinganya. Dan ia seperti menyaksikan api yang melahap pusat perbelanjaan itu. Menyaksikan orang-orang yang berteriak-teriak marah dan menjarah. Ia menyaksikan seorang perempuan berkulit langsat diseret beberapa lelaki kekar bertopeng. Asap hitam membubung. Beberapa orang melempar bom molotov ke sebuah toko, kemudian kabur mengendarai sepeda motor. Api makin berkobar. Perempuan itu menjerit dan meronta, diseret masuk ke dalam toko yang sudah ditinggalkan penghuninya. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">“Lihatlah gedung yang gosong itu. Di situlah mereka memerkosa saya….” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">“Mereka begitu beringas!” </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">“Mayat saya sampai sekarang tak pernah ditemukan.” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">“Roh kami kemudian menjelma kunang-kunang….” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">“Lihatlah… lihatlah….” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">Ia melihat puluhan kunang-kunang terbang bergerombol, seperti rimbun cahaya yang mengapung di kehampaan kegelapan. Puluhan suara yang lirih terus menyelesup ke dalam telinganya. Ia merasakan tubuhnya perlahan mengapung, seperti hanyut terseret suara-suara itu. </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">“Ayo, ikutlah denganku. Ayolah, biar kau pahami seluruh duka kami….” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">“Jane!!” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">Ia dengar teriakan cemas. </span></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"><br /></span>
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">“Jane!!” </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">Ada tangan menariknya, membuatnya tergeragap. Peter mengguncang bahunya, “Jane! Kamu tak apa-apa?!” Suara-suara itu, perlahan melenyap. Tapi bagai ada yang tak akan pernah lenyap dalam hidupnya. Ia menatap kosong, seakan ada sebagian dirinya yang masih ada di sana. Seakan sebagian jiwanya telah dibawa dan terikat dengan kunang-kunang itu. Lalu ia lebih banyak diam, memandang takjub pada ribuan kunang-kunang yang muncul berhamburan dari gedung-gedung yang gosong, seperti muncul dari mulut goa. Semakin malam semakin bertambah banyak kunang-kunang memenuhi langit kota. Jutaan kunang-kunang melayang, seperti sungai cahaya yang perlahan mengalir dan menggenangi langit. Langit kota dipenuhi pijar cahaya hijau kekuningan yang berdenyut lembut; seperti kerlip bintang-bintang yang begitu rendah, dan kau bisa menyentuhnya. </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Malam itu ia merasakan sentuhan dan pelukan Peter meresap begitu dalam. Ciuman-ciuman yang tak akan terlupakan. Ciuman-ciuman yang paling mengesankan di bawah hamparan cahaya kunang-kunang. Ciuman-ciuman yang selalu membawanya kembali ke kota ini dan kenangan. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">*** </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;"><br /></span>
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Pertama kali, kunang-kunang itu terlihat muncul pertengahan tahun 2002, empat tahun setelah kerusuhan. Seorang penduduk melihatnya muncul dari salah satu gedung gosong itu. Makin lama, kunang-kunang itu makin bertambah banyak, terus berbiak, dan selalu muncul pertengahan tahun. Para penduduk kemudian percaya, kunang-kunang itu adalah jelmaan roh korban kerusuhan. Roh perempuan yang disiksa dan diperkosa. Orang-orang di sini memang masih banyak yang percaya, kalau kunang-kunang berasal dari kuku orang yang mati. Dari kuku orang mati itulah muncul kunang-kunang itu. Sering, orang-orang mendengar suara tangis muncul dari gedung-gedung gosong yang terbengkalai itu. Gedung-gedung itu seperti monumen kesedihan yang tak terawat. </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Peter menceritakan semua itu, seolah-olah ia bukan zoologist. “Sering kali ilmu pengetahuan tak mampu menjelaskan semua rahasia,” kata Peter, bisa menebak keraguannya. “Bisakah kau menjelaskan apa yang barusan kau alami hanya dengan logika?” </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Memang, ia hanya bisa merasakan, seperti ada yang ingin diceritakan oleh kunang-kunang itu padanya. Suara-suara gaib yang didengarnya itu seperti gema yang tak bisa begitu saja dihapuskan dari ingatannya. Ia percaya, segala peristiwa di dunia ini selalu meninggalkan gema. Seperti gema, mereka akan selalu kembali. Karena itulah ia pun kemudian selalu kembali ke kota ini. Untuk kunang-kunang dan kenangan. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Ia selalu terpesona menyaksikan jutaan kunang-kunang memenuhi langit kota. Langit menjelma hamparan cahaya kekuningan. Itulah satu-satunya pemandangan termegah yang selalu ingin ia nikmati kembali. Ia dan Peter suka sekali berbaring di atap gedung, menyaksikan berjuta-juta kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Pada saat-saat seperti itu, sungguh, kau tak akan mungkin menemukan panorama langit yang begitu menakjubkan di belahan dunia mana pun, selain di kota ini. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">“Kelak, bila aku mati, aku akan moksa menjelma kunang-kunang. Aku akan hidup dalam koloni kunang-kunang itu. Dan kau bisa selalu memandangiku ada di antara kunang-kunang itu….” </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Saat itu, ia hanya tertawa mendengar omongan Peter. Semua menjadi berbeda ketika telah menjadi kenangan. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">*** </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Ia tengah dalam perjalanan bisnis ke Louisville ketika menerima telepon itu: Peter meninggal dunia. Tepatnya lenyap. Beberapa orang bercerita menyaksikan tubuh Peter terjun dari puncak ketinggian gedung. Mungkin ia meloncat. Mungkin seseorang mendorongnya. Tubuh Peter yang meluncur itu mendadak menyala, bercahaya, kemudian pecah menjadi ribuan kunang-kunang. Penggambaran kematian yang terlalu dramatis, atau mungkin malah melankolis! Mungkin memang benar seperti itu. Tapi mungkin benar juga desas-desus itu: Peter dilenyapkan karena berusaha menghubung-hubungkan fenomena kunang-kunang itu dengan kerusuhan yang bertahun-tahun lalu terjadi di kota ini. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">Dari tahun ke tahun populasi kunang-kunang itu memang makin meningkat. Kemunculan kunang-kunang yang memenuhi langit kota Jakarta menjadi fenomena yang luar biasa. Banyak yang kemudian menyebut sebagai salah satu keajaiban dunia. Menjadi daya tarik wisata. Setiap pertengahan Mei, saat jutaan kunang-kunang itu muncul dari reruntuhan gedung-gedung gosong—pemerintah daerah kemudian menetapkan gedung-gedung gosong itu menjadi cagar budaya dan wisata—banyak sekali turis yang datang menyaksikan. Para penduduk lokal bahkan telah menjadikannya sebagai acara tahunan. Mereka duduk menggelar tikar, mengadakan beberapa atraksi hiburan di sepanjang jalan, sembari menunggu malam ketika kunang-kunang itu memenuhi langit kota. Para pengunjung akan bersorak gembira ketika serombongan kunang-kunang muncul, terbang meliuk-liuk melintasi langit kota, dan berhamburan bagai ledakan kembang api. Betapa megah. Betapa indah. </span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Mata Jane selalu berkaca-kaca setiap kali menyaksikan itu; membayangkan Peter ada di antara jutaan kunang-kunang yang memenuhi langit Jakarta itu. Itulah sebabnya kunang-kunang dan kenangan selalu membuatnya kembali ke kota ini. </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Ia tengah memandangi langit yang penuh kenang-kunang itu dengan mata berkaca-kaca, ketika seorang pengunjung di sampingnya berkata, “Keindahan memang sering membuat kita sedih….” </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Jane tersenyum. “Saya tiba-tiba ingat peristiwa yang menyebabkan kunang-kunang itu muncul. Apakah Anda ingat peristiwa itu?” </span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<div style="color: #ff9900; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="font-family: aclonica, sans-serif;">Orang itu menggeleng. Jane tak terlalu kaget. Orang-orang di kota ini memang tak lagi mengingat peristiwa kerusuhan itu.</span><span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;"></span></div>
<div style="color: #ff9900;">
<span style="color: #ff9900; font-family: "aclonica" , sans-serif;">
</span>
</div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #ff9900; font-family: "'aclonica", sans-serif; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody></tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/sesaat-sebelum-berangkat-oleh-puthut-ea.html" target="_blank">cerpen Sesaat Sebelum Berangkat</a></div>
</div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-7011226961065165772017-07-17T23:10:00.003-07:002017-07-17T23:10:51.741-07:00CERPEN AKU OLEH ADI ZAMZAM<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Itim" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #6600cc; font-family: "'Itim", cursive;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://4.bp.blogspot.com/-hSYWAYzQwT0/WW2l8e5gFkI/AAAAAAAADB4/dpAe19za1DUeffqA_Vp_yiIqUuIuX6LqQCLcBGAs/s1600/stock-vector-abstract-abstraction-art-arts-man-men-black-white-drawing-drawings-sketch-sketches-illustration-317015483.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="sketsa aku" border="0" data-original-height="1600" data-original-width="1060" height="320" src="https://4.bp.blogspot.com/-hSYWAYzQwT0/WW2l8e5gFkI/AAAAAAAADB4/dpAe19za1DUeffqA_Vp_yiIqUuIuX6LqQCLcBGAs/s320/stock-vector-abstract-abstraction-art-arts-man-men-black-white-drawing-drawings-sketch-sketches-illustration-317015483.jpg" title="sketsa aku" width="212" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">image <a href="https://www.shutterstock.com/image-vector/abstract-abstraction-art-arts-man-men-317015483" target="_blank">mmffn</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive; text-align: justify;">
Akulah ketika kau mencinta. Akulah ketika kau mengasihi. Aku bercahaya ketika itu, sehingga hari-harimu menjadi terang. Lalu batangku menjadi kokoh seiring akarnya yang semakin nancap dalam hatimu. Lalu bertunaslah reranting, dan menjadi hijau, menjadi besar, menjadi kokoh, lalu berbuahlah pohonku di dalammu itu. Buah itu aku. Akulah buah. Cinta dan kasih adalah rasanya. Aku berjatuhan saat telah masak. </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><br /></span></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Seperti keputusan yang akhirnya terjadi setelah lama menggantung dalam pertimbanganmu. Sebagian dariku kau makan—menjadi perbuatan, sebagiannya lagi membusuk kembali ke kekosongan, kembali ke masa ketika pikiran-pikiran itu mengambang di depan mulut-mulut syarafmu. Sebagian dariku yang beruntung lalu bersemayam dalam tubuhmu. Mula-mula melalui mulut, lalu turun ke kerongkongan, lalu lambung, lalu darah, lalu aku menyebar ke tubuhmu. Ada juga yang melalui telinga dan mata, lalu ke syaraf penglihatan dan pendengaranmu, berakhir di otak. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku menggerakkanmu. Meski selalu kau abaikan. Seperti udara yang kau hirup. Akulah udara. Aku ada tapi sering tak kau anggap ada. Aku sering bisa dirasa dengan kelembutan karena kelembutan itu sendiri adalah aku. Aku lebih dekat dari urat nadi lehermu karena aku ada dalam tiap sel. Aku menyertai tiap denyut karena denyut itu sendiri adalah aku. Aku merasakanmu tapi kau belum tentu merasakanku. Ada yang menganggap aku ini hanya sebilah perasaan, tapi aku bukanlah itu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku melihatmu tapi kamu belum tentu melihatku. Sebenarnya aku tidak tertutup oleh sesuatu. Aku begitu nyata di depan mata. Kamu yang tidak memercayai keberadaanku lantas bilang bahwa aku hanyalah khayalan, bayangan, atau semacam ilusi. Itu karena kamu menutupi indramu sendiri sehingga semuanya pun jadi tertutup. Padahal aku ada pada setiap sudut, setiap ruang, setiap cahaya, setiap kegelapan, setiap gerak, setiap diam, setiap pandangan mata, setiap tarikan nafas, setiap desau suara, setiap kecapan rasa. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Keberadaanku sebenarnya tidak membutuhkan penjelasan karena banyak yang kemudian tertipu oleh penjelasan itu sendiri. Kata-kata dan bahasa seringkali menimbulkan salah tafsir. Aku adalah aku meski kau menganggapku ada atau tidak. Aku tak butuh saksi atas keberadaanku karena aku sendiri adalah saksi atas segala keberadaan. Apakah aku adalah yang suka menyembunyikan diri sendiri? Tidak, mereka yang tidak percaya keberadaankulah yang sebenarnya menyembunyikanku. Apakah keberadaanku membutuhkan tempat? Sebenarnya tidak bisa dibilang begitu karena tempat itu sendiri adalah bagian kecil dariku. Lantas bagaimana caranya menemuiku, bercakap-cakap denganku, mengeluh, bercengkerama, atau bahkan bersahabat denganku? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Sudah kubilang, aku adalah ketika kau mencinta, ketika kau mengasihi. Maka cintalah terhadap sesama, kasihlah terhadap semua. Tak usah memikirkan bagaimana kejadiannya, kau pasti akan bertemu denganku. Akulah udara. Meski kau tak bisa melihatku tapi kau bisa menghirupku. Rasakan saja itu. Nikmati dan hayati pelan-pelan. Dan jangan terpaku dengan satu indra karena setiap indramu memiliki pengertian yang berbeda-beda tentangku. Apakah aku ini sulit? Aku rasa tidak. Aku bahkan sering memperlihatkan diri dalam sesuatu yang sederhana. Saking sederhananya hingga kau kadang tak menyadari bahwa itu aku. Lihatlah kuku dan rambutmu yang terus bertumbuh itu. Setiap minggu kau harus memendekkannya. Itu adalah aku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
</div>
<div style="text-align: justify;">
Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-perempuan-yang-tergila-gila-pada.html" target="_blank">Cerpen Perepuan yang Tergila-Gila pada Mesin Cucinya</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku adalah tumbuh. Juga tunas-tunas pepohonan itu. Meski beberapa kali kau memotong atau menebangnya, aku akan terus tumbuh. Apakah aku terpengaruh kematian? Ah, itu pertanyaan yang kurang tepat. Kematian dan kehidupan adalah kedua tanganku. Tangan kananku menghijaukan, tangan kiriku menguningkan. Tangan kananku menyirami, tangan kiriku mengeringkan. Tangan kananku menumbuhkan, tangan kiriku memupuskan. Jangan bilang bahwa tangan kanan dan tangan kiriku saling bertentangan. Justru keduanya saling melengkapi. Bayangkanlah jika semua terus tumbuh, terus hidup, dan beranak-pinak. Tidakkah kalian berpikir bahwa dunia ini akan cepat meledak kelebihan penumpang? Kedua tanganku itu justru saling menjaga keseimbangan masing-masing. Keduanya bekerja beriringan. Jika salah satunya berhenti, maka terjadilah kekacauan. Lantas bagaimana caranya bercakap-cakap denganku? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku sebenarnya tak membutuhkan kata-kata untuk bilang sesuatu kepadamu. Kata-kata hanyalah alat buatanmu sendiri yang masih punya banyak kekurangan. Kata-kata terlalu terbatas untuk alat berkomunikasi denganku, karena bisa saja langsung kuhunjamkan jawabanku ke dalam dada atau kepalamu. Maka bertanyalah apa saja kepadaku. Aku mahatahu. Pengetahuan adalah aku. Akan kujelaskan jawabannya sebaik-baiknya kepadamu. Soal bagaimana caraku menjawab, entah seketika itu juga, besok, lusa, atau kapan-kapan, kau pasti akan tahu. Aku selalu menjawab setiap pertanyaan, meski hanya berbisik saat mengucapkannya, atau bahkan baru terlintas dalam hatimu. Telingaku persis berada di depan mulut dan hatimu. Jadi, apa pun uneg-unegmu tentang sesuatu, aku bisa tahu. Misalnya kau bertanya tentang sebuah penyakit, kau bingung dengan penyakit itu; apa penyebabnya, bagaimana cara menyembuhkannya? Mungkin kau tak langsung menemukan jawabannya seketika itu juga. Mungkin kau baru akan tahu bertahun-tahun setelahnya, setelah seorang peneliti mengamati dan menyelidikinya dengan begitu cermat. Ketika akhirnya peneliti itu tahu bahwa karakteristik penyakit itu begini, begini, begini, bahwa penyakit itu akan muncul jika kau begitu, begitu, begitu, bahwa penyakit itu akan sembuh jika begini, begitu, begini, maka apa yang diterangkan oleh si peneliti itu tadi sebenarnya adalah jawabanku yang berhasil ia bahasakan untukmu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Kadang memang butuh proses untuk memahamiku. Tapi jika kau benar ingin tahu apa jawaban atas pertanyaanmu, sebenarnya bukan hal sulit. Di antaramu ada yang menganggap bahwa aku ini acuh dan tak peduli atas segala pertanyaan yang kau desiskan. Mungkin kau hanya kurang melihat, kurang mendengar, atau kurang merasa. Padahal jika kau mau bersungguh-sungguh, semua pasti akan sampai pada jawabannya karena segala jawaban sebenarnya sudah tersedia sejak lahir pertanyaan. Jawaban-jawabanku selalu memancar tanpa henti. Aku memang selalu begitu dan akan terus begitu. Aku tak ingin berbuat setengah-setengah, karena hal itu bukanlah sifatku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku adalah ketuntasan. Aku adalah keutuhan. Aku adalah kebermanfaatan. Semua yang ada dalam genggamanku, utuh dan bermanfaat. Kalau ada yang terlihat cacat dan tak bermanfaat, itu hanya karena kau belum tahu saja. Maka ketika itu sejatinya kau belum mengetahui aku. Aku seperti matahari. Tak pernah padam dalam memberikan pengertian. Aku inti cahaya. Terang benderang jika kau telah sampai pada pengertianmu. Meskipun kau memadamkan semua lampu. Bahkan jika kau menutup mata sekalipun. Cahaya pengertianku tak terhalang materi. Cahaya pengertianku mampu menembus tembok bahkan yang kerapatannya besi. Maka tidak ada yang bisa menghalangi jika aku sudah berkehendak hinggap di kepala atau dada siapa pun. Meskipun dia ingkar atas keberadaanku sekalipun, aku tetap bisa singgah dalam rumahnya dan lalu bercakap-cakap tentang segala sesuatu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku tak membeda-bedakan siapa pun, baik antara yang mengakui keberadaanku maupun yang tidak mengakui keberadaanku karena keharusanku hanyalah tinggal dan lalu memberikan pengertian tentang apa yang dipertanyakan. Aku akan terus berbicara tentang segala tanpa diminta. Aku bukan suara tapi aku ada dalam suara. Aku bukan bunyi tapi aku ada dalam bunyi. Aku tak punya bentuk karena aku bukan benda. Aku tak butuh makan dan minum. Apakah matahari butuh makan dan minum? Tapi aku bukan matahari, meskipun cahayaku lebih benderang dari matahari yang paling pijar. Aku hanya memberi dan tak butuh diberi. Aku ada di mana-mana, tapi hakikatku tetaplah satu. Meski kau menyebutku dengan berbagai nama, aku tetaplah satu aku. Aku sumber dari segala sumber; pikiranmu, kreasimu, napasmu, denyut jantungmu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku ada di dalam aku juga ada di luar. Aku membuka segala yang tertutup, aku juga menutup segala yang terbuka. Aku tak terpengaruh siang dan malam; seperti kau yang tertidur di malam hari lantas terbangun setelah semua berubah benderang. Aku sangat lembut dan bisa menyusup dalam setiap selmu tapi aku juga sangat besar karena bisa menggenggam dunia. Aku mencatat tiap kelahiran, aku juga mencatat tiap kematian. Aku hidup dalam setiap kehidupan, aku juga mati dalam setiap kematian. Aku hidup saat kau hidup. Aku mati saat kau mati. Tapi aku akan selalu ada karena aku adalah aku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Seorang anak kecil bertanya kepada ayah ibunya tentang siapa aku, kutuntun ayah ibunya untuk menunjuk dadanya; aku selalu ada di situ. Jika ingin melihat dan bercakap-cakap denganku, tempat terdekat adalah dadamu—meski keberadaanku tak mutlak butuh tempat. Jika kau ingin leluasa mendengarkan suaraku, maka luaskanlah dadamu. Suaraku akan sulit didengar jika kau menyempitkan atau bahkan menutup pintu-pintu dan jendela dadamu. Dada adalah telingamu juga. Dada juga adalah mata karena bisa kau pergunakan untuk melihat segala kebenaranku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Sungguh sangat mudah untuk kita saling bertemu, saling melihat, dan saling memahami. Meskipun aku begitu besar dan tak terjabarkan, meskipun aku begitu lembut sampai kadang tak terindra, tapi sesungguhnya aku begitu dekat denganmu. Sungguh. Sampai-sampai kadang tumbuh pemikiran; aku adalah kau, kau adalah aku.</div>
</span><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #6600cc; font-family: "'itim", cursive; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody> </tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga mengispirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/07/cerpen-kampung-lapar-oleh-mashdar-zainal.html" target="_blank">cerpen Kampung Lapar</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-15714973214260964712017-07-17T23:01:00.001-07:002017-07-17T23:01:28.069-07:00CERPEN TRAKTOR OLEH ADI ZAMZAM<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Allerta+Stencil" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #3366cc; font-family: "'Allerta Stencil",sans-serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-lyJuTYuopaA/WW2kEzJL7CI/AAAAAAAADB0/3y5sIVXzMocieb9pVnyZGCaG_2CFuUZaACLcBGAs/s1600/20150325164202-Pengolahan%2BTanah%2BPada%2BLahan%2BSawah.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="petani mentraktor sawah" border="0" data-original-height="336" data-original-width="448" height="240" src="https://1.bp.blogspot.com/-lyJuTYuopaA/WW2kEzJL7CI/AAAAAAAADB0/3y5sIVXzMocieb9pVnyZGCaG_2CFuUZaACLcBGAs/s320/20150325164202-Pengolahan%2BTanah%2BPada%2BLahan%2BSawah.jpg" title="petani mentraktor sawah" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://cybex.pertanian.go.id/materilokalita/arsip?page=207" target="_blank">image</a> </td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif; text-align: justify;">
Nyalang mata Wo Rikan acapkali melihat derum benda itu. Meraung-raung seperti tengah mentertawakan dirinya yang kini jadi sering menganggur karena tak ada lagi pekerjaan. Padahal telah lama musim penghujan menjadi mimpi indah dalam kepala lelaki gaek itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><br /></span></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Ia mematung di pinggiran sawah dengan mulut mengerucut, menahan amarah yang telah berhari-hari bersarang dalam dada. Telah hampir satu jam lelaki berperawakan sedikit bungkuk itu menunggu di situ. Tak dipedulikannya orang-orang yang lewat seraya bertanya, “Sedang apa, Wo?” Tak ada yang dikerjakannya selain hanya mengamati benda itu dengan penuh kebencian. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Aku mau yang cepat, Wo. Kalau pakai sapi kan lama? Mahal sedikit tak apa, asal kerjanya bagus,” kalimat Haji Ali terus terngiang dalam telinganya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Saat itu Wo Rikan tak mengerti. Berselang hari kemudian barulah ia paham bahwa makhluk berisik itulah penyebabnya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Tak cuma Haji Ali, semua orang yang semula pelanggan tetap Wo Rikan kini beralih pula darinya. Hanya dalam seminggu, semua pekerjaan yang telah enam bulan ditunggu habis tak bersisa! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Kalau dengan traktor, dua kotak cuma butuh setengah hari. Biaya per kotaknya pun cuma seratus ribu. Coba bandingkan jika aku menyewa bajaknya Wo Rikan. Sehari cuma mampu menyelesaikan satu kotak, itu pun lebih mahal dua puluh ribu. Jadi ya…,” begitu kata mereka. Membuat Wo Rikan merasa dikhianati. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Kini ia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri, hanya dalam waktu satu jam, separuh pekerjaan hampir selesai. Tanah terbajak sempurna, sementara sang pengemudinya hanya terlihat duduk manis di sadel belakang. Terlihat amat santai. Beda dengan dirinya ketika harus duduk di tuas belakang sapi, yang disamping menjadi pengendali arah juga harus berusaha menjadi pemberat agar mata bajak bisa lebih dalam menghujam tanah. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Kata orang-orang benda itu bahkan mulai merambah ke desa-desa lain. Sungguh sebuah ancaman besar. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Kini tak ada pekerjaan yang tersisa selain mencangkul galengan [1] sawah. Sayangnya Wo Rikan bukanlah tukang cangkul yang ulung. Lagipula tubuhnya sudah ringkih. Habis mencangkul seharian, tiga hari berikutnya tubuh tuanya serasa remuk dihajar pegal-pegal. Tak seperti ketika ia masih muda dulu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Wo Rikan benar-benar galau dengan masa depannya. Sepertinya ia akan mati sampai di sini. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
*** </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Malam merangkak pelan. Kedua mata Wo Rikan masih juga nyalang menemani separuh rembulan yang terlihat di genting kaca di atas pembaringan. Tadi istrinya baru saja meributkan dirinya yang menganggur dan cuma hilir-mudik ke sana ke mari, tak mau cari-cari pekerjaan. Meskipun tak punya anak, bukan berarti hidup bisa dibuat bersantai-santai saja. Justru di masa tua begini harus rajin-rajin bekerja karena tak ada anak tempat bergantung. Apalagi jika tubuh sering sakit-sakitan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Wo Rikan hanya bisa menggerutu menanggapi kemarahan istrinya. Perempuan itu tak tahu bahwa sebenarnya ia sedang sibuk memikirkan sesuatu. Dan akhirnya ia telah menemukan sebuah rencana. Rencana itu akan dikerjakannya malam ini juga. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Ia bangkit sambil terus mengawasi istrinya. Dibukanya pintu dengan pelan. Ia tak mau perempuannya terbangun. Jika sampai itu terjadi, pasti perempuan itu takkan pernah berhenti bertanya yang macam-macam. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Dalam gelap Wo Rikan mengendap-endap. Terang betul matanya mengamati keadaan sekeliling. Hening. Tak ada siapa pun. Dan memang inilah yang diingininya. Tak ada seorang pun yang melihatnya ketika menuju sebuah rumah yang belakangan ini sering diawasinya. Benda yang tengah diincarnya itu ditambatkan di samping rumah layaknya peliharaan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Namun sesampainya di tempat tujuan, Wo Rikan malah kebingungan. Ia tak tahu bagaimana caranya menyakiti atau melumpuhkan benda keras itu. Ia berputar-putar mencari titik lemah yang kiranya bisa menciderai musuhnya itu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
*** </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-relikui-ibu-oleh-mashdar-zainal.html" target="_blank">Cerpen Relikui Ibu</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Berhari-hari Wo Rikan menjadi orang bingung yang seringnya hanya duduk-duduk melamun di blabak teras rumahnya. Mendengarkan radio menjadi pekerjaan utama yang paling digandrungi. Lagu campursari dan cerita pewayangan adalah acara yang paling ia cari. Meski Mbok Tu—istrinya, sering marah-marah melampiaskan kejengkelannya. Wo Rikan terlihat tak peduli. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Namun yang sebenarnya terjadi adalah Wo Rikan ingin melupakan kebenciannya terhadap benda bernama traktor itu, karena ia tahu hal semacam ini memang tak bisa dihindari. Ia ingat betul sebelum ada televisi, radionya terbilang benda mahal yang kala itu tak semua orang bisa memiliki. Tapi kini, radio telah menjadi sampah. Mungkin juga dirinya nanti, tak ada harganya lagi. Zaman yang terus bergerak akan menyingkirkan mereka yang sudah tua. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Hal itu susah betul diterimanya secara penuh. Setiap berpapasan dengan Dikin dan traktor piaraannya, kemarahan dalam dada Wo Rikan melonjak-lonjak. Derum traktor terdengar bagai riuh kaum kala [2] ketika merusak ketentraman kahyangan. Aneka rencana langsung berhamburan masuk tanpa permisi ke dalam kepala, berebut untuk meraih persetujuannya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Tak ada lagi pekerjaan yang bisa membuat Wo Rikan makan enak. Maka ia pun tak balas marah-marah kepada pendamping hidupnya yang setia itu. Ia biarkan perempuannya mengumpat-umpat dirinya sepuas hati saat melihat Wo Rikan yang malas-malasan membantu pekerjaannya mengumpulkan daun waru dan jati, berburu keong besusul, memanen genjer liar, juga mengambil petet cina yang tumbuh liar di sepanjang pematang sungai pinggiran sawah. Istrinya tak pernah tahu karena Wo Rikan memang tak pernah memberitahu bahwa kemalasannya adalah tersebab malam-malamnya yang selalu sulit tidur dan selalu dipenuhi dengan aneka rencana. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Tak pernah ada yang tahu pula kenapa Wo Rikan tiba-tiba suka tersenyum sendiri, terlebih ketika melihat Dikin yang selalu meributkan piaraannya. Ketika Pak Madi, Pak Kandar, ataupun Haji Ali menegur kebiasaan aneh itu, Wo Rikan hanya menjawab, “ Tadi malam Gatotkaca telah melumpuhkan Kala Pracona!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Pun ketika istrinya menegur karena teramat jengkel, Wo Rikan masih juga menjawab, “Tadi malam Gatotkaca telah melumpuhkan Kala Pracona!” tak peduli perempuannya semakin jengkel sampai pernah menyembunyikan radio tua itu, hingga Wo Rikan meradang dan tak mau lagi bantu-bantu pekerjaannya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Wo Rikan tak peduli meski ia tak dipedulikan lagi. Oleh istrinya, oleh pemilik sawah langganannya, bahkan oleh dunia sekalipun. Baginya, ketika Kala Pracona berhasil dilumpuhkan berkali-kali oleh Gatotkaca—meski hanya sementara—itu sudah sedikit mengurangi sakit hatinya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
*** </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Kalau aku mati nanti, apa kau akan cari suami lagi?” tanya Wo Rikan sebelum istrinya terlelap. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Kalau aku tak ada lagi, apa yang akan kamu lakukan?” bertanya lagi karena diacuhkan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Wo Rikan menoleh. Ternyata istrinya telah benar-benar terlelap. Ia mencoba memaklumi hal ini. Perempuannya memang selalu begini bila marah. Terutama semenjak ia merelakan Ngatimah—keponakan yang pernah ia ambil dari adik ipar semenjak masih umur tujuh—untuk kembali ke sisi orang tuanya karena dua saudaranya telah menetap di kota jauh. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Mbok Tu sering tak peduli dengan apa yang dilakukan dan dipikirkan Wo Rikan selain ketika lelaki itu membantunya mencari kebutuhan makan. Maka ketika shubuh itu lelakinya telah raib dari sisinya, ia pun lebih peduli dengan pesanan daun, bothok keong dan bothok petet dari para tetangganya ketimbang mencari tahu ke manakah gerangan suaminya pergi. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Hingga siang menjelang, dan seorang tetangganya terlihat tergopoh-gopoh mendekatinya, “Wo Rikan ditangkap polisi, Mbok!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
*** </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Kalau ingin Wo Rikan bebas, Mbok Tu harus mau mengganti rugi semua biaya perbaikan traktor saya selama ini,” wajah Dikin terlihat memerah saat menyebutkan satu per satu kerusakan yang pernah dibengkelkannya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Mbok Tu melangkah ke arah teralis suaminya. Menggerutu pendek, lalu mengakhirinya dengan kalimat, “Akan kujual salah satu sapimu.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Wo Rikan tersenyum. Akhirnya dunia mengakui dan menghargai keberadaannya juga! (*) </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Kalinyamatan – Jepara, September 2011 </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Catatan: </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
[1] Pembatas antar sawah </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
[2] Raksasa</div>
</span><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #3366cc; font-family: "'allerta stencil", sans-serif; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody> </tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah membaca. Semoga bermanfaat. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/teh-dan-kopi-oleh-leila-schudori.html" target="_blank">cerpen Teh dan Kopi</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-32004101102778157172017-07-17T01:10:00.000-07:002017-07-17T01:10:06.057-07:00CERPEN ANJING ANJING MENYERBU KUBURAN OLEH KUNTOWIJOYO<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Rancho" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #00cc99; font-family: "'Rancho",cursive; font-size: 14pt;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-eXPo_hyvjaw/WWxwV0j_7LI/AAAAAAAADBk/kkH_9r8gtdU7lQ5hwBPZqtoGE4eVrUP0gCLcBGAs/s1600/Pups-running-cmyk.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="anjing-anjing berlari" border="0" data-original-height="732" data-original-width="1600" height="146" src="https://1.bp.blogspot.com/-eXPo_hyvjaw/WWxwV0j_7LI/AAAAAAAADBk/kkH_9r8gtdU7lQ5hwBPZqtoGE4eVrUP0gCLcBGAs/s320/Pups-running-cmyk.jpg" title="anjing-anjing berlari" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">image <a href="https://martineztribune.com/2015/10/02/residents-continue-quest-for-dog-park/" target="_blank">Donna</a></span></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 14pt;">IA tidak usah khawatir. Sekalipun kecibak air sungai, bahkan batu yang menggelinding oleh kakinya di dalam air terdengar jelas, tapi tidak seorang pun akan mendengar. Gelap malam dan udara dingin telah memaksa para lelaki penduduk desa di atas menggeliat di bawah sarung-sarung mereka. Para perempuan mendekami anak-anak mereka seperti induk ayam yang ingin melindungi anaknya dari kedinginan.</span></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Tidak seorang pun di sungai, pencari ikan terakhir sudah pulang, setelah memasang bubu. Bilah-bilah bambu yang menandai bubu itu muncul di atas air, tampak dalam gelap malam itu. Tidak ada angin, pohonan menunduk lesu setelah seharian berjuang melawan terik matahari. Ketika perjalanannya sampai di persawahan, hanya kunang-kunang yang menemaninya.
Dan di ujung persawahan itu, ada gundukan tanah. Dalam gundukan tanah itulah terletak kuburan-kuburan desa. Dia tinggal mencari timbunan tanah yang masih baru. Kuburan itulah yang ia cari : seorang perempuan telah meninggal pada malam Selasa Kliwon. Itu telah disebarkan dari desa ke desa, seperti api yang membakar jerami kering di sawah.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Dengan celana dan baju tentara yang lusuh, yang dibelinya dari tukang rombeng di pasar, ia keluar rumah. Digulungnya baju itu ke atas, dan menyembullah otot lengannya. Ia berjalan tanpa sandal. Di tangannya adalah plastik hitam. Dalam gelap malam, plastik itu nyaris tak tampak. Ada teplok di rumahnya, tapi lampu itu kalah dengan gelap malam.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
“Ke mana, Kang?” Tanya istrinya, ketika dia keluar lewat tengah malam itu.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
“Ronda”.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
“Bukan harinya kok ronda?”
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
“Hh”
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Ia tahu orang desa akan menjaga kuburan itu sepanjang malam. Mereka akan bergerombol di sekitar petromaks yang dibawa dari desa. Mereka akan mendirikan atap dari daun kepala, mencegah kantuk dengan mengobrol atau main kartu. Makan, makanan kecil, dan minum akan dikirim dari desa. Tetapi itu pun tidak perlu dikhawatirkan. Ia telah membawa beras kuning dari dukun dalam kantung plastik. Apa yang harus dikerjakan ialah menabur beras itu di empat penjuru angin yang mengelilingi para penjaga kubur. Selanjutnya, biarkanlah beras kuning itu bekerja.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Ia mengendap-endap dalam gelap. Terdengar dari jauh canda orang-orang di bawah bertepe, atap dari daun kepala itu.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
“Mati kau! Terimalah, ini as!” kata orang itu sambil membantingkan kartunya di tikar plastik. Ia menaburkan beras kuning, tanda kemenangan, dan mengucapkan mantra.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
“Rem-rem sidem premanen, rem-rem sidem premanen, rem-rem sidem premanen.” Gurunya menyebut jimat itu dengan Begananda, aji penyirep yang diturunkan oleh Raden Indrajit, pangeran dari Alengkadiraja. Begananda telah menidurkan prajurit Rama, dan akan menidurkan orang-orang yang menjaga kuburan. Setelah selesai satu arah, ia harus bergerak ke arah lain. Setelah selesai dengan kiblat papat, arah yang keempat dan orang-orang sudah tertidur, ia harus menaburkan beras kuning yang kelima kali di pancer, pusat, tempat orang-orang menjaga. Ketika ia menaburkan beras kuning yang kedua kalinya, terdengar kentong dipukul jauh di desa. Beruntunglah ia, makam itu terletak di gundukan pinggir desa, sehingga kentong itu tidak berpengaruh apa-apa pada penduduk desa yang di makam itu.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Kentong terdengar lagi ketika ia menaburkan beras ketiga kalinya. Ada tanda-tanda bahwa orang mulai mengantuk. “Oahem suk ruwah mangan apem,” kata seorang keras-keras, sambil menguap. Dan suara-suara mulai berhenti ketika ia menaburkan beras keempat kalinya.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-maaf-oleh-putu-wijaya.html" target="_blank">Cerpen Maaf</a></span></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
IA menunggu sebentar. “Sabar, sabar, bekerja itu jangan grusa-grusu,” katanya pada diri sendiri. Ia keluar dari gelap.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Dilihatnya orang-orang sudah tertidur. Tempat itu seperti bekas orang bunuh diri minum racun. Disebarnya beras kuning terakhir, dan mengucapkan mantera. Orang-orang tertidur, dibuai mimpi indah yang tak ingin segera berakhir. Seorang pemain kartu terlena, ditangannya masih ada setumpuk kartu yang belum habis dibagikan. Semut yang menggotong butir nasi berhenti di jalan, tertidur. Cengkerik berhenti berbunyi. Rumput-rumput menunduk lesu. Kunang-kunang berhenti terbang dan mencari tambatan, tertidur di seberang tempat. Angin berhenti mengalir. Laki-laki itu menuju petromaks dan mematikannya.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Ia mendekati kuburan baru. Beruntunglah dia, tanah itu berpasir. Dia harus mengeduk kuburan itu dengan tangan telanjang, mengeluarkannya dan menggigit telinga kanan-kiri dengan giginya, dan membawanya lari dengan mulutnya ke rumah guru. Dia mencabut patok-patok, mulai menggali timbunan itu. Ini adalah laku terakhir baginya. Dan yang akan membuatnya kaya-raya telah memintanya bertapa tujuh hari tujuh malam, dan mencari daun telinga orang meninggal pada hari Anggara Kasih. Pada hari kelima pertapaannya di sebuah hutan yang gawat kelewat-lewat karena sangat angker seluruh tubuhnya serasa dikeroyok semut. Dan hari keenam dirasanya tempat itu banjir, membenamkannya sampai leher. Pada hari terakhir ia dijumpai kakek-kakek dengan janggut putih, dan ditanyai apa keinginannya. Ia sudah siap dengan air gula kelapa, yang akan dengan cepat memulihkan tenaganya.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Pendek kata, tujuh hari bertapa itu dia lulus. Dan sekarang ia menghadapi ujian terakhirnya! Kuburan orang yang meninggal Selasa Kliwon akan dijaga sampai hari ketujuh. Itulah sebabnya ia perlu bekal beras kuning dari guru.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Tidak, bukan karena ia kemasukan setan, kalau ia bekerja keras menggali kubur itu dengan tangannya. Karena dengan cara itulah ia akan bisa mendandani istrinya dengan sepasang subang emas berlian di telinganya, dan di tangannya melilit ular-ularan dari emas. Niatnya untuk mengganti gigi kuning istrinya dengan emas sudah lama diurungkannya, karena memakai gigi emas bukan zamannya. Anak-anaknya akan memakai sepatu ke sekolah, dan uang SPP tidak akan menunggak. Ia akan membelikan truk supaya keponakannya tidak usah ke kota. Dan adiknya yang bungsu, yang jadi TKI di Bahrain, akan dipanggilnya pulang, sebab cukup banyak yang bisa dikerjakan di rumah. Lebih dari segalanya, ia akan pergi pada lurah dan menyerahkan tanahnya yang seperempat hektar dengan gratis yang semula dipatok dengan harga lima ratus rupiah semeter untuk pembangunan lapangan golf. Ia akan membuka warung-warungan di rumahnya, sekedar untuk menutupi kekayaannya yang bakal mengucur tanpa henti. Benar, mungkin warungnya tidak laku, tapi uang di bawah bantalnya takkan pernah kering. Namun kalau terpaksa mencuri, akan dimintanya danyang hanya mencuri harta orang-orang kaya yang serakah. Setelah kaya, dia akan berhenti mempekerjakan danyangnya.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Sekalipun jari-jarinya kasar oleh kerja serabutan sebagai kuli, menggali kuburan dengan tangan itu membuat jari-jarinya sakit. Keringat yang keluar dari tubuhnya yang panas karena bekerja di ruangan sempit itu mengalir ke jari-jarinya dan terasa perih. Tetapi hal itu tidak dirasakannya. Eh, dalam benar mereka menggali. Peti kayu itu sudah tampak. Kaya juga orang ini, pakai keranda segala, pikirnya. Kayu-kayu dibuangnya. Dan sebagian tanah itu berguguran dan menutup mayat. Agak kesulitan dia mengeluarkan mayat itu, karena lubangnya sempit dan gelap, sinar bintang tertutup oleh tanah, dan dia tidak bisa berdiri di situ tanpa menginjak mayat. Akhirnya, dengan kedua kakinya mengangkang dia merenggut kain kafan mayat dan berusaha mengangkat. Mayat itu masih baru, bau kapur barus, amis, dan bau tanah bercampur kapur. Dia tidak peduli mayat itu rusak waktu dinaikkan.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Mayat itu dingin dan kaku. Dia berhasil mengangkat mayat itu, tetapi ruangan terlalu sempit baginya untuk menggigit dua telinganya. Ia memutuskan untuk menaikkan mayat itu. Dan mayat itu tergeletak di tanah.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Dengan cekatan dibukanya kain kafan yang menutupi kepala. Eh, rupanya rambut perempuan itu terlalu panjang dan menutupi telinganya. Pada waktu itulah dia mendengar baung anjing untuk pertama kalinya. Suara anjing itu panjang dan berat, memecah kesunyian malam, menambah betapa keramatnya malam itu karena suara itu dipantulkan oleh pohon-pohon, oleh bambu berduri yang mengelilingi desa, oleh sumur-sumur berlumut, dan rumah-rumah tembok.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
***
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
DITERANGI bintang-bintang di atas ia dapat melihat dua ekor anjing, seekor putih dan seekor tidak putih, menunggui dia bekerja. Sekalipun matanya tidak bisa melihat, tapi dia tahu bahwa anjing-anjing itu menjulurkan lidah, meneteskan air liur, dan memperlihatkan taring. Dia berpikir mungkin itu anjing siluman, sebab ia lupa bersila khidmat, “Demi periprayangan yang mbaureksa makam, jangan diganggu, izinkanlah cucumu bekerja.” Diucapkannya kalimat itu tiga kali. Tetapi anjing itu malah bertambah, jadi empat. Ia dapat melihat dalam temaram anjing-anjing itu menantikan kesempatan. Tahulah ia, bahwa bekerja cepat.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Ketika ia membungkuk, mau menggigit telinga, seekor anjing menyambar. Dia membatalkan niatnya, menggunakan tangan untuk mengusir anjing itu. Anjing yang tiga ekor berusaha merobek kain kafan dengan moncongnya dan cakarnya. Dia menggunakan sebelah kakinya untuk mengusir anjing-anjing itu. Didengarnya ada anjing-anjing lain menggonggong di pinggir makam. Mereka segera menyerbu mayat.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Celaka, anjing itu menjadi tujuh ekor. Mereka tidak memberi kesempatan baginya untuk menggigit telinga lagi. Sementara itu jari-jari tangannya yang terluka, mungkin oleh kerikil-kerikil tajam terasa pedih. Tapi dia tidak mau mundur. Setiap kali ia mau menggigit telinga ada saja mengganggunya. Kalau saja anjing-anjing itu mau diajak berdamai, sebenarnya dia hanya butuh dua telinga, selebihnya biarlah untuk anjing-anjing itu. Dia mau bilang pada anjing-anjing bahwa bagian kepala itu kebanyakan hanya tulang, kalau mau bagian yang berdaging, pahalah tetapi jangan kepala. Biarlah bagian penuh tulang itu untuk bangsa manusia, untuk bangsa hewan ya bagian yang berdaging. Tetapi anjing-anjing itu tidak mau berkompromi. Kain kafan itu robek-robek oleh moncong dan cakar anjing.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Sebagai orang desa matanya terbiasa dengan malam. Jelas terlihat bahwa daging di bagian paha mayat mulai robek. Dia melupakan urusan telinga itu. Yang akan dikerjakan ialah mengusir anjing-anjing, yang mungkin binatang liar yang tak tahu aturan. Jari-jarinya mulai mengeluarkan darah. Ia menahan rasa sakitnya, dan mempergunakan tangan dan kakinya untuk menyerang binatang-binatang itu. Dia ingat bahwa ada patok kayu di kepala dan kaki kuburan. Ditemukannya kayu-kayu itu. Dia mengamuk dengan kayu-kayu itu di tangan. Ternyata hasilnya lumayan. Anjing-anjing itu menepi dari mayat.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Itu memberinya kesempatan untuk kembali membungkuk. Yang dikerjakannya sederhana : menggigit telinga-telinga dan pergi. Tetapi anjing-anjing liar itu tidak memberi kesempatan. Begitu ia tidak memperhatikan mereka dan membungkuk, anjing-anjing mulai menyambar lagi. Rupanya ia harus mengusir anjing-anjing agak jauh. Dan dengan kayu dan “sh sh sh” ia berhasil mengusir mereka lebih jauh. Lagi, anjing-anjing itu menyerbu waktu ia membungkuk.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Darah di jari-jarinya menderas, membasahi kayu-kayu di tangannya. Matanya berkunang-kunang, dan ia merasakan badannya mulai lemas. Dan anjing-anjing itu semakin galak. Mereka tidak lari ke pinggir, tapi menahan kesakitan oleh pukulan-pukulan kayu yang makin lemah.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Suara-suara mereka yang gaduh dan lolongan– sebagian lolongan karena kesakitan – telah membangunkan orang-orang yang menjaga kuburan.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
Orang-orang itu masih sempat melihat dia mengayunkan kayu, sebelum akhirnya ia terjatuh, tak sadar. Anjing-anjing itu menyelinap ke balik kegelapan ketika melihat banyak orang datang. Mereka memandangi mayat dan laki-laki pingsan itu.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
“Pencuri!” kata seorang.
</div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; text-align: justify;">
“Penyelamat!” kata yang lain.
</div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #00cc99; font-family: "'rancho", cursive; font-size: 14pt; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody> </tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah membaca. Semoga bermanfaat. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/sesaat-sebelum-berangkat-oleh-puthut-ea.html" target="_blank">cerpen Sesaat Sebelum Berangkat</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-29460390868790421652017-07-17T00:50:00.002-07:002017-07-17T00:50:43.128-07:00CERPEN RUMAH YANG TERBAKAR OLEH KONTOWIJOYO<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Bubbler+One" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #cc0000; font-family: "'Bubbler One",sans-serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-yDPyqfBDAss/WWxsIK8IJOI/AAAAAAAADBY/6rzKgLHdgHMR4ffg2y2uPB8BeDmjiQNVgCLcBGAs/s1600/download.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="rumah yang terbakar" border="0" data-original-height="169" data-original-width="298" src="https://1.bp.blogspot.com/-yDPyqfBDAss/WWxsIK8IJOI/AAAAAAAADBY/6rzKgLHdgHMR4ffg2y2uPB8BeDmjiQNVgCLcBGAs/s1600/download.jpg" title="rumah yang terbakar" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://house-garden.eu/house-pictures/Burning-house-pictures.html" target="_blank">image</a> </td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif; text-align: justify;">
Ada dua pantangan yang tak boleh di langgar di dusun pinggir hutan itu. Kata orang, mahluk halus yang menunggu dusun, mbaurekso, akan marah bila ada yang berani menerjang larangan. Kemarahan tidak hanya ditimpakan pada pelanggarnya, tetapi pada seluruh warga. Tidak seorangpun, kecuali yang berani nyerempet-nyerempet bahaya melanggarnya. Itupun dengan resiko dikucilkan oleh penduduk. Pantangan pertama ialah orang tak boleh kawin dengan orang dari dusun di dekatnya, dusun yang terletak di sebelah utara pematang, meskipun secara administrative masuk dalam kelurahanyang sama. Kedua, orang tidak boleh mendirikan surau di dusun itu. </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><br /></span></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Pantangan pertama bisa dimengerti karena ada perbedaan pekerjaan. Di sebelah selatan adalah petani, sedang di sebelah utara adalah pedagang. Engkau tak akan berbahagia kawin dengan orang pelit, apa-apa dihitung, kata orang-orang tua. Pantangan yang kedua ada hubungannya dengan yang pertama. Dulu perbedaan pekerjaan itu telah menyebabkan perang antar desa. Karena itu orang selatan harus berbeda dengan orang utara dalam segala hal. Memakai bahasa sekarang, orang akan bilang “harus punya jati diri”. Kebetulan dusun di utara itu adalah dusun santri dan mau tidak mau orang selatan harus jadi abangan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Demikianlah, untuk menyambut kelahiran bayi orang-orang utara akan slawatan dan orang selatan klenengan. Perbedaan itu dulu konon jadi serius katika Pak Jokaryo (orang arab akan menyebutnya Zakaria ) dari dusun itu tiba-tiba jadi santri. Dia ingin mendirikan surau di pekarangannya. Tentu saja itu membuat marah besar danyang dusun. Kabarnya umpamanya suatu hari sebuah tiang selesai dibangun, pagi harinya tiang itu sudah pindah ke tengah hutan. Kalau suatu hari dinding-dinding telah dibuat, pagi hari dinding akan terlihat di tepi sungai. Seseorang yang kesurupan danyang dusun mengatakan bahwa surau boleh dibangun, tetapi di luar desa, di tengah hutan yang wingit, tidak boleh ada mihrab, bangunan yang menonjol tempat imam itu, jadi seperti rumah biasa. Orang harus percaya bahwa yang nyurupi adalah danyang desa. Bagaimana tidak. Yang kerasukan itu adalah petani-petani, yang tidak pernah makan sekolahan, tidak tahu pa-bengkong-nya kraton, tapi bahasa jawa kawinya bagus, lengkap dengan sira (“engkau”) dan ingsun (“aku”). Jokaryo pun mengalah, dan membangun surau tidak di desa, tapi di tengah hutan. Sehabis maghrib mereka bertemu, bersama-sama berdzikir sampai malam. Semacam gerakan tarekat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Rupanya tidak ada penerus Jokaryo, ketika dia meninggal surau itu dikosongkan. Kalau orang berkendaraan atau jalan melewati hutan itu orang akan melihat rumah dari kayu dan bamboo itu. Tetapi tentu saja rumah itu sudah berubah fungsi. Anak laki-laki Jokaryo ikut transmigrasi ke Kalimantan dan anak-anak perempuannya kawin, pindah desa. Di dusun itu tanah dan rumah yang ditinggalkan jadi milik dusun, dan siapa saja dapat memanfaatkan. Kira-kira selama lima belas tahun, rumah itu hanya dimanfaatkan untuk berteduh petani, pencari kayu, dan pejalan yang kelelahan. Ada gentong tempat air dan siwur untuk mengambil air. Malam hari orang yang lewat akan takut, sebab kata orang dusun rumah yang tak berpenghuni akan ditempati sebangsa lelembut, apalagi hutan itu dikenal keramat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Rumah itu begitu telantar, genting-gentingnya pecah. Maka datanglah Bu Kasno sebagai penyelamat. Dia mengganti genting-genting yang pecah, kayu-kayu yang lapuk, dan dinding-dinding yang menganga. Beberapa dicatnya. Pendek kata, orang yang lewat dan tidak tahu riwayat akan mengira itu rumah baru. Kata orang Bu Kasno berbuat itu karena perewangannya mengatakan bahwa syaratnya menjadi kaya ialah memperbaiki rumah itu. Rumah itu dibuat ramai kembali oleh Bu Kasno. Mula-mula orang-orang dusun berterima kasih pada Bu Kasno. Tetapi, tidak semua orang bergembira dengan “kebaikan hati” Bu Kasno. Rumah itu jadi aib dusun! Sekaligus membuat dusun kecil itu terkenal! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Bagaimana tidak terkenal, Bu Kasno telah menyulap banguna tua di tengah hutan itu jadi tempat yang hidup di malam hari. Rumah itu telah menjadi semacam pulau kebebasan yang terlengkap di dunia: ada tempat minum-minum, ada bordil. Pikiran untuk menjadikan rumah itu sebagai tempat judi juga, selalu dibuang jauh oleh Bu Kasno karena ia segan berurusan dengan polisi. Kabarnya perewangan pun setuju dengan kebijakan Bu Kasno. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Orang-orang dusun itu terbagi tiga. Yang tidak setuju dengan Bu Kasno berpikir bahwa tidak nglakoni (“ menjalankan syariat”) itu boleh-boleh saja, tapi tidak ada caranya untuk pergi ke perempuan nakal. Itu tidak sesuai dengan ajaran adapt manapun, tidak cocok dengan agama manapun. Perempuan tiu boleh asal yang baik-baik perempuan rumahan masih ada, mosok cari yang murahan. Mereka yang setuju dengan Bu Kasno berpendapat bahwa ia telah menyuguhkan hiburan yang paling top di dunia. Orang jawa itu harus ja dan wa, harus nglegena artinya telanjang, apa adanya, sewajarnya, tidak boleh mengatakan tidak butuh padahal memerlukan. Petani harus jadi petani, jangan berpura-pura jadi santri, tidak ada gunanya pura-pura alim. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Minum dan perempuan itu tidak dilarang oleh undang-undang. Yang bisa dihukum itu memperkosa, tetapi tidak hubungan yang suka-sama-suka. Sebagian kecil orang, terutama yang di sekitar masjid (tidak ada yang tahu kenapa akhirnya yang mbaurekso pun mentolerir pembangunan mesjid), sangat tidak setuju dengan ulah Bu Kasno. Mereka berpendapat itu telah mencoreng muka sendiri.
Orang-orang desa pun bertambah maju. Mereka juga tahu tentang cara-cara modern untuk menikmati servis yang disediakan Bu kasno itu. Begini: mula-mula minum, lalu ngamar. Minum menjadikan badan panas dan orang yang paling pemalu pun akan jadi pemberani, hilang sekat-sekat. Jangan terbalik. Atau, kalau terang bulan, minum sekadarnya lalu ajak salah seorang penghuni untuk jalan-jalan di hutan. Dan disanalah rumah yang paling alami, mungkin sama seperti nenek moyang sebelum peradaban sopan santun menjerat orang. Hutan yang dulu keramat dan banyak hantunya, telah ditinggalkan oleh para mahluk halus, karena mulai banyak orang lalu-lalang di situ. Lagi pula Bu Kasno telah membuat perjanjian bahwa mereka yang tidak kelihatan tak akan mengganggu “anak-anaknya”. Pada malam hari rumah itu akan di hiasi lampu-lampu gantung, sekalipun dari luar tampak sunyi, di dalam meriah, banyak orang. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/sambal-keluarga-oleh-puthut-ea.html" target="_blank">Cerpen Sambal Keluarga</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Yang paling gelisah dengan servis Bu Kasno ialah orang-orang sekitar mesjid. Masih banyak yang tahu persis bahwa rumah yang ditempati (mereka tidak sampai hati untuk menyebut rumah bordil apalagi pelacuran, sebab itu akan menyakitkan hati mereka sendiri) ialah bekas milik Jokaryo yang dulu untuk surau. Tetapi tidak ada cara menyalurkan kegelisahan. Menggugat ke desa hanya mengingatkan orang akan “luka-luka” lama. Kekhawatiran mereka akan kegagalan memang beralasan, sebab banyak aparat desa telah menjadi pelanggan Bu Kasno. Kalau berhasil akan beruntung, kalau gagal akan buntung selamanya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Di antara orang yang paling gelisah ialah Ustadz Yulianto Ismail. Dia telah datang jauh-jauh dari sebuah pesantren, tinggal disitu untuk mengajar, nyaris tanpa gaji, dan menghadapi tantangan yang begitu berat. Dia merasa bertanggung jawab. Dan susahnya, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Demikianlah usaha itu berjalan bertahun-tahun tanpa gangguan. Bu Kasno pun menjadi kaya. Dari rumah bamboo (orang menggambarkan rumah Bu Kasno yang dulu ibarat sarng laba-laba yang akan terbang oleh angina dan akan hanyut oleh hujan) telah menjadi rumah tembok (orang desa bilang rumahnya sekarang magrong-magrong, megah). Selain itu, Bu Kasno juga punya tiga buah colt yang menghubungkan desa pelosok itu dengan kota. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Akhirnya, jalan itu ditemukan oleh Ustadz Yulianto. Bu Kasno kematian suaminya, dan orang-orang desa menghubungkan kematian suami dengan kekayaan Bu Kasno. Dikabarkan, kematian itu termasuk dalam perjanjian dengan perewangan. Bu Kasno mengumumkan usahanya akan ditutup selama seminggu, selama tujuh hari penuh rumah ditengah hutan akan ditutup sama sekali. Untuk melaksanakan rencananya, Yulianto harus bekerja sendirian, sebab ini pekerjaan rahasia. Dengan sepeda sudah ditelitinya bahwa rumah itu sama sekali kosong, tidak seorangpun menjaga, hanya satu lampu minyak yang tetap dinyalakan di depan. Apa yang akan dikerjakan Yulianto? Membakar rumah alias surau bekas peninggalan Jokaryo ialah pekerjaan utama seorrang ustadz! Itu berarti nahi `anil munkar, mencegah kejahatan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Demikiankah pada lepas tengah malam Yulianto keluar membawa sepedanya. Ditangannya ada minyak tanah dalam kaleng plastic. Penduduk desa itu sudah tertidur karena lelah setelah tiga malam berturut-turut gaple di rumah Bu Kasno. Jadi tidak seorangpun akan menjadi saksi perbuatan ustadz itu. Ia keluar dari desa ketika terdengar seekor ayam jantan berkokok. Kata orang desa, ada jago berkokok tengah malam begitu berarti ada janda mengandung. Yulianto melihat jam tangan dengan korek api begitu ia memasuki kawasan hutan: pukul dua. Hutan itu sunyi, gelap, pohon-pohon jati berdiri kaku. Dengan ketetapan penuh dan semangat bernyala-nyala Yulianto mengayuh sepedanya. Ia menyandarkan sepedanya di pohon, syukurlah tidak ada orang. Bahkan mungkin bintang dan angina pun tertidur. Dia mulai menuangkan minyak pada dinding-dinding dari bamboo dan tiang dari kayu. Pekerjaan itu belum pernah dilakukannya, seumur hidup dan baru sekali, namun ia mengerjakan dengan sempurna. Sekarang ia mengeluarkan korek dan berdoa sebentar. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Dinyalakannya korek itu. Dinding bamboo menyambut api. Setelah yakin akan hasil kerjanya, usaha ini tidak boleh gagal, Yulianto menarik sepedanya dan kembali memasuki desa. Dia mencoba tidur, tapi sampai subuh tiba, badannya hanya miring ke kanan dan ke kiri. Ketika subuh tiba, dia mengambil wudhu, orang lain telah mendahului adzan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Selesai sembahyang, seseorang berkata,”Ustadz, rumah di tengah hutan itu terbakar:.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Alhamdulillah,” kata orang banyak.Jamaah masjid itu pergi keluar desa untuk melihat apa yang telah terjadi. Banyak orang mengerumuni rumah itu. Api telah padam. Orang mulai bergerak maju melihat apa yang tertinggal. Tiba-tiba seorang berteriak,”ada orang disini!”</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Orang pun mulai mengeluarkan mayat dari reruntuhan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Dua orang!” Orang menemukan dua mayat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Satu laki-laki, satu perempuan!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Rasanya mereka kenal betul dengan yang perempuan. Kerumunan itu disibakkan oleh seorang perempuan yang segera menubruk mayat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Oalah, nduk. Begitu besar tekadmu. Maafkanlah ibumu ini!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Tahulah orang bahwa mayat perempuan itu adalah gadis dusun itu, dan mayat laki-laki adalah pemuda dari dusun di utara pematang. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Orang tua gadis itu melarang mereka berhubungan. Mereka telah terbakar di tempat itu waktu berpacaran. Orang-orang berpikir mereka sengaja bunuh diri bersama. Dari kerumunan muncul Ustadz yang memandangi dengan nanar pada dua mayat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Astaghfirullah,” katanya, kemudian terjatuh tak sadar. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Yogyakarta, 25 Mei 1996</div>
</span><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #cc0000; font-family: "'bubbler one", sans-serif; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody></tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/di-sini-dingin-sekali-oleh-puthut-ea.html" target="_blank">cerpen Di Sini Dingin Sekali</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-51062703886105387032017-07-15T23:29:00.003-07:002017-07-15T23:29:47.704-07:00CERPEN KEKAYI OLEH OKA RUSMINI<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Federo" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #ff6600; font-family: "Federo", sans-serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-EqzUeQ2YMpI/WWsHo-p87oI/AAAAAAAADBM/YADPzM8813wlpUb191OLIlA2r0_e26zZQCLcBGAs/s1600/f32c4ab8-0665-43e4-8dc0-0968b028e610_570.Jpeg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="lukisan penari bali" border="0" data-original-height="570" data-original-width="449" height="320" src="https://1.bp.blogspot.com/-EqzUeQ2YMpI/WWsHo-p87oI/AAAAAAAADBM/YADPzM8813wlpUb191OLIlA2r0_e26zZQCLcBGAs/s320/f32c4ab8-0665-43e4-8dc0-0968b028e610_570.Jpeg" title="lukisan penari bali" width="251" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">image <a href="https://www.mutualart.com/Artist/Rustamadji/627FE1CD8126B918?test_related_artists=1&utm_expid=.stXbDAerRp2zt3YOasRDbg.1&utm_referrer=https%3A%2F%2Fwww.google.co.id%2F" target="_blank">Rustamadji</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif; text-align: justify;">
Perempuan tua itu masih menyisakan gurat-gurat kecantikan yang tidak dimiliki perempuan-perempuan lain di negeri ini. Matanya tajam, mata seorang penari yang begitu menggoda. Jika menatapnya, lelaki pasti akan bertekuk lutut dan menghamba kepadanya. Kerlingnya bisa mematahkan hati. Lelaki paling setia pun akan tunduk, takluk, dan melupakan istri yang dicintainya. </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><br /></span></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Mata itu mampu mengatur hidupnya, sesuai dengan keinginan dan kebutuhannya. Dialah perempuan yang sadar bahwa tubuh perempuan adalah alat, tepatnya senjata mematikan! Jika perempuan mampu memainkan dengan baik dan penuh percaya diri, tubuh itu bernama: kekuasaan! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
*** </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
PEREMPUAN tua itu juga suka menggulung rambutnya yang mulai berubah warna tinggi-tinggi, untuk memperlihatkan tengkuknya yang menggairahkan. Lehernya begitu jenjang, keriput tipis yang menghias kulit lehernya justru menjadi semacam aksesori, menambah gairah orang-orang yang melihatnya. Jika berjalan, ia selalu berjalan tegak dengan kepala sedikit mendongak. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Sanggulnya selalu dihiasi bunga cempaka berjejer, jumlahnya selalu ganjil. Perempuan itu percaya, hidupnya yang ganjil harus ditandai juga dengan ritual yang ganjil. Jika hari kelahirannya, Anggara-Ugu, tiba, perempuan itu hanya meneguk air putih dan makan semangkuk kuncup melati. Mengunyahnya tanpa pernah membuka mulut. Menjelang tengah malam, dia akan mandi kembang tujuh macam tujuh warna. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jika berdekatan dengannya akan tercium bau wangi yang misterius, sedikit mistis, karena perempuan tua itu melabur rambutnya yang kelabu dengan minyak rambut buatannya sendiri. Dia membuat minyak kelapa sendiri, kemudian dimasukkan ke dalam botol besar yang berbentuk mirip bambu yang memiliki tutup botol runcing, bergerigi sangat tajam. Di dalamnya ia masukkan pula potongan bunga kenanga dan irisan daun pandan berduri. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Warna kelabu rambutnya justru menambah kecantikannya. Kecantikan yang masih terlihat tegas dan nyata. Kecantikan yang memiliki taksu yang kuat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Tubuhnya ramping. Jika dilihat dari belakang, banyak orang berpikir bahwa perempuan itu adalah perempuan muda yang sangat cantik. Wajahnya juga masih memancarkan kecantikan memukau. Bahkan seorang kusir kuda berumur belasan tahun, terinjak kudanya sendiri ketika takjub menatap perempuan itu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
*** </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
SUDAH puluhan tahun perempuan itu selalu menghadap arah matahari, berharap dewa matahari bersimpati pada hidupnya, pada pengorbanan yang telah dia lakukan untuk hidupnya. Dia tahu, menjadi lakon di atas panggung hidup ini tidak ada yang gratis! Apa yang diambil harus dibayar. Yang datang pasti akan pergi. Yang hidup pasti akan mati! Cinta akan bertemu benci. Begitu hukum kehidupan ini. Tetapi mengapa hidup hanya merenggut semua miliknya, tanpa mau membayar kepadanya? Bahkan ratusan doa yang dia panjatkan dalam satu jam selama puluhan tahun belum dia rasakan. Kalau hidup berlaku tidak adil padanya, pada siapa dia harus mengadu? Protes dan marah? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Ke mana doa-doa yang telah dipanjatkan mengalir? Jika sungai bertemu dengan laut. Ke mana larinya doa-doanya? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Tubuhnya yang mulai berkerut, mirip kulit pohon kamboja yang berjejer di depan kamar tidurnya. Dia selalu terjaga pagi hari dengan amarah yang siap meledak. Kesabaran itu ada batasnya, perempuan hamil pun ingin segera memuntahkan dagingnya. Saat ini tak ada lagi yang bisa dipercaya kecuali matahari. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Perempuan tua itu begitu mencintai matahari, seperti dia mencintai dirinya sendiri. Juga hidupnya. Jika matahari diusir, menjelma gelap. Kesedihan mengepung hati dan pikirannya. Tetapi dia tidak ingin menumpahkan butiran air di matanya yang bulat dan indah. Baginya malam hari adalah saat paling membosankan dalam hidupnya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Aku tidak suka bau malam!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Kenapa? Malam justru menaburkan kedamaian. Keheningan. Kau bisa berbicara dengan dirimu sendiri. Aku menyukai malam, karena malam membuatku paham arti hidup. Bukankah para penyair selalu terjaga pada malam hari untuk menuliskan hal-hal indah dalam hidup ini?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Aku tidak suka malam!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Kenapa?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Malam membuat hidup ini tidak lagi menarik. Malam membuat hidup ini jadi cengeng dan melankolis. Aku tidak suka malam! Malam membuatku jadi perempuan lemah. Perempuan cengeng! Perempuan yang selalu mengeluh pada hidup! Perempuan yang menyesali perjalanan hidupnya sendiri. Hidup yang dipilihnya sendiri. Aku benci hal-hal yang berbau perasaan. Firasat. Dan hal-hal yang bagiku sudah tidak masuk akal. Cengeng.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Dulu kau suka para penyair mengidungkan karya-karya mereka di depanmu.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Itu karena aku bodoh!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Apa maksudmu?! Kau bukan perempuan bodoh!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Aku bodoh! Hanya perempuan bodoh yang mau menghabiskan waktu dengan hal-hal yang membuat dirinya mabuk. Tak ada keindahan dalam cinta! Romantisme. Puisi-puisi cinta, tatapan penuh kasih, kesetiaan, itu semua bohong! Aku mabuk pada diri sendiri. Terbenam dalam lautan kesedihan yang paling dalam. Ketika muda, aku adalah perempuan tolol! Yang mau saja dihidangi kidung-kidung cengeng. Membiarkan orang-orang datang dan menikmati kecantikanku. Tubuhku! Merampasnya dengan cara terhormat tanpa aku sadar. Mereka telah mencuri hidupku. Mencuri masa depanku! Kidung-kidung cinta itulah yang membuatku mabuk dan bodoh.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Kau menyesal jadi Kekayi?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Tidak! Aku menyesali kebodohanku sendiri. Aku tidak menyalahkan orang-orang yang menaburkan mimpi-mimpi kosong ke dalam hidupku. Aku juga tidak menyesal orang-orang menikmati kecantikan dan kemudaanku. Yang membuat aku menyesal, hidup telah memperlakukan aku tidak adil. Aku merasa dikhianati oleh hidup itu sendiri. Karena aku perempuan bodoh, perempuan yang tidak paham keinginannya sendiri. Perempuan yang mabuk karena kecantikannya. Kemudaannya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Aslinya aku perempuan tolol. Tolol sekali! Bahkan aku tidak mampu mengembalikan anakku. Aku tidak mampu meraih anak yang dua belas bulan hidup di tubuhku. Merampas seluruh makananku. Merampas pikiranku. Merampas seluruh kenikmatanku sebagai perempuan muda. Kau tahu, sering aku marah pada gumpalan daging yang tumbuh makin membesar di tubuhku. Merampas rasa laparku. Merampas tubuhkku. Kadang, pada tengah malam ia merampas napasku. Mungkin daging itu menginginkan aku mati pada tengah malam.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/marni-oh-marni-oleh-palti-r-tamba.html" target="_blank">Cerpen Marni! Oh, Marni!</a></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Ah… pikiranmu selalu aneh-aneh.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Aku tidak sedang berpikir. Aku sedang bercerita tentang hidupku sebagai perempuan muda. Hidupku sendiri. Hidupku yang kupilih dan kuyakini sendiri. Hidup yang telah kusia-siakan sendiri. Aku bercerita padamu, kuharap kelak kau bisa menuliskannya menjadi kidung, kakawin, atau serat. Aku tidak ingin diam saja, karena orang-orang tidak akan tahu pikiranku. Perjuanganku. Mereka hanya tahu aku perempuan culas! Perempuan jahat! Mereka harus tahu, aku juga punya mimpi dan cita-cita untuk hidupku dan keturunanku. Aku telah berkorban banyak dalam hidup ini. Juga untuk anak-anakku!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Kau tidak lagi muda, Kekayi!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Aku tahu!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Umurmu…’’ </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Umurku mungkin seratus tahun? Atau, seribu tahun. Aku tidak peduli angka-angka itu. Mau apa kau?! Kau percaya pada waktu? Aku tidak! Waktu telah lama berkhianat padaku. Aku tak percaya lagi padanya! Aku tidak peduli usiaku. Aku hanya peduli pada hidupku. Aku merasa, aku telah melakukan banyak hal untuk membuat pilihan hidupku menjadi impianku sebagai perempuan muda. Melahirkan raja-raja. Hidup sejahtera. Mendapatkan lelaki yang bisa mengangkat statusku makin tinggi, kalau bisa melebihi status sosial dan ekonomi seluruh perempuan yang ada di negeri ini. Sejak haid pertama, aku melakukan tapa. Memohon pada para Dewa. Sudah lama aku tidak menyentuh daging. Aku memutih. Semuanya kulakukan untuk hidupku sendiri!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Ah… Kekayi. Ambisimu telah membunuhmu!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Ambisi? Kau salah menilaiku. Bagiku, perempuan yang tidak memiliki ambisi, lebih baik mati saja! Aku telah menyerahkan seluruh hidupku. Seluruh keindahan tubuhku untuk mimpiku. Aku tak paham cinta. Aku tak paham berbagi gairah dengan lelaki. Yang merobek tubuhku dan melukaiku adalah Dasarata, lelaki tua yang begitu mabuk pada kemudaanku. Kecantikanku. Dia lebih cocok menjadi kakekku dibanding menjadi suamiku. Aku tidak pernah merasakan apa pun saat bersamanya. Bahkan ketika kami bersenggama, rasa sakit melumuri seluruh tulang-tulang dan urat dalam tubuhku. Tak sepotong manusia pun dititipkan di rahimku oleh lelaki tua bangka itu! Nafsunya yang menggebu telah melunturkan hasratku, lelaki tua itu tidak akan mampu menitipkan benih di rahimku. Berhari-hari aku harus melayaninya. Dia tidak peduli seluruh tubuhku sakit. Untungnya para Dewa tahu diri. Sejak haid pertama sampai disunting Dasarata, aku memilih tetap dalam tapa, memutih. Tidak makan apa pun selain nasi putih dan air putih.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Apa sesungguhnya yang kau inginkan sebagai perempuan?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Aku ingin dicintai secara tulus oleh orang-orang yang telah kubesarkan. Manusia-manusia yang tumbuh dalam tubuhku. Kupelihara dengan rasa sakit. Apakah Bharata tahu itu? Apakah Bharata tahu sulitnya menjadi perempuan? Sulitnya menjadi ibu? Sulitnya memeliharanya di dalam kandunganku, di tubuhku! Orang-orang yang tumbuh dalam tubuhku telah melukai pengorbananku sebagai Kekayi. Bharata anak lelakiku menolak jadi raja. Dan memakiku dengan kata-kata kotor.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
“Kau tidak cocok jadi ibuku. Jika aku boleh memilih, aku tidak ingin mengeram dalam tubuhmu, Kekayi! Aku malu punya ibu culas macam kau! Ibu yang menginginkan hak yang bukan menjadi haknya. Ibu yang menghancurkan anaknya sendiri karena keinginannya yang tidak masuk akal. Aku menyesal dan mengutuk diriku sebagai manusia! Karena terlahir dari rahimmu. Kau telah membuat hidupku penuh bencana karena ambisimu. Kau telah melukai dan menistakan hidupmu dan hidup anak-anakmu. Kerajaan ini adalah milik Rama. Bukan milikku. Kau lihat sendiri di luar sana. Rakyat menatapku dengan tatapan aneh. Tatapan penuh iba. Sekaligus benci. Kau telah membuatku menjadi anak yang tidak berbakti! Anak yang dilecehkan sepanjang hidupku. Karena aku memiliki ibu sepertimu. Aku menyesal menjadi anakmu!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Begitulah Bharata, anak lelaki tampan yang telah dirawat Kekayi dengan cinta dan doa yang tulus. Telah melukai hati perempuannya. Hati seorang ibu. Hati seorang perempuan yang sesungguhnya telah lama patah hati. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Tidak ada yang paham luka yang terus melumuri hidup Kekayi. Sejak muda perempuan itu selalu menghabiskan waktu bertapa. Memohon pada dewata agar memilihnya menjadi perempuan yang melahirkan raja-raja besar. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Sejak kecil Kekayi sadar, sebagai anak angkat Raja Kekaya, posisinya sangat lemah. Dia tidak mungkin menjadi ratu, menggantikan Kekaya memimpin Kerajaan Padnapura. Padahal sejak kecil, ketika berumur dua belas tahun, dan diangkat anak oleh Kekaya, Kekayi selalu membayangkan duduk dengan kepala tegak di kursi singgasana Padnapura. Bahkan dia telah mempersiapkan diri untuk menjadi lelaki. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Kekayi sejak kecil selalu minta dilatih bela diri, melempar tombak berburu, dan melakukan hal-hal yang biasanya tidak dilakukan anak perempuan. Kekayi akan marah besar jika Kekaya menolak permintaannya untuk bertarung dengan anak lelaki. Dan di setiap pertarungan Kekayi akan berpakaian seperti lelaki, sehingga para petarung tidak melihatnya sebagai perempuan. Di setiap pertarungan Kekayi selalu mudah menaklukkan lawan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Tetapi usaha kerasnya untuk menunjukkan pada Kekaya bahwa dirinya layak diperhitungkan sebagai salah satu calon penguasa sia-sia. Kekaya telah mempersiapkan seorang putra mahkota. Seorang lelaki yang lebih tua dari Kekayi. Putra mahkota yang sejak lahir sadar akan haknya sebagai penguasa. Lelaki bodoh, pemalas, dan sombong! Dia juga memperlakukan para perempuan muda di kerajaan dengan tidak hormat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Suatu pagi, dia meremas dada Kekayi, menepuk bokongnya sambil tertawa, bersama para pengawal dan saudara-saudara lelakinya. Kekayi menggunakan bagian ujung tangan—bagian yang bersentuhan langsung dengan objek—untuk memukul objek. Semakin kecil dan lancip ujung tangan yang digunakan untuk memukul, semakin mudah untuk meremukkan objek. Itu petunjuk dari gurunya. Kekayi pun mempraktikkan dengan riang teknik melumpuhkan lawan itu. Hasilnya, gigi calon raja itu rompal. Tangan kanannya patah. Leher terkilir. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Sejak itu, lelaki bertubuh badut itu tak berani menyentuh dan menatapnya.</div>
</span><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #ff6600; font-family: federo, sans-serif; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody> </tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/ibu-pergi-ke-laut-oleh-puthut-ea.html" target="_blank">cerpen Ibu Pergi ke Laut</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-39429319258299130702017-07-15T23:09:00.002-07:002017-07-15T23:09:22.668-07:00CERPEN PASTU OLEH OKA RUSMINI<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Special+Elite" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #666633; font-family: "Special Elite", cursive;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://4.bp.blogspot.com/-X3NEAyMX0Jk/WWsC82wdjwI/AAAAAAAADBI/TmZ0Mggslksf1rtyI20jv-PH0pTHRuvwwCLcBGAs/s1600/images.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="perempuan" border="0" data-original-height="162" data-original-width="310" src="https://4.bp.blogspot.com/-X3NEAyMX0Jk/WWsC82wdjwI/AAAAAAAADBI/TmZ0Mggslksf1rtyI20jv-PH0pTHRuvwwCLcBGAs/s1600/images.jpg" title="perempuan" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://winecountry.citymomsblog.com/" target="_blank">image</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive; text-align: justify;">
Percayakah kau bahwa di dunia ini tidak ada kebahagiaan? Setiap kebahagiaan yang aku petik, harus kubayar mahal dengan siksaan penderitaan? Benarkah hidup sekejam itu? Hidup hanya bisa menguliti, menyamak, juga menuangkan beragam racun ke seluruh napasku. Juga ke pori-pori darah. Lalu, di mana harus aku cari kebahagiaan? </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><br /></span></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Adakah seseorang telah menanam pohon kebahagiaan? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mengepung masa kanak-kanakku. Aku tumbuh dan tetap hidup, berharap menemukan pohon kebahagiaan. Mungkin seseorang telah menanamnya, sementara aku tidak tahu di mana pohon itu ditanam? Kalau aku temukan pohon itu, aku akan cabut, lalu kutanam di jantungku, agar akar-akarnya mampu mengaliri darahku. Dan, beragam pastu, kutukan yang mengaliri pori-pori darah perempuanku akan lenyap. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Belakangan ini aku hobi sekali berdiri di depan cermin. Rumah kecilku pun kusulap penuh kaca. Aku hobi sekali memandang diriku melakukan beragam aktivitas. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Di ruang tamu kupasang kaca besar. Aku bisa menyaksikan tubuhku, tampangku yang bermalas-malasan di sofa sambil minum teh atau kopi, lengkap dengan camilan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Di ruang makan, kupasang juga kaca besar. Aku bisa menonton diriku menghirup jus buah setelah senam atau yoga. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Di ruang tidur justru lebih parah! Sekeliling dinding kamar tidur kupasangi kaca. Jadi aku suka melihat diriku tertidur santai, kadang sampai terkantuk-kantuk. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Dinding kamar mandi pun kupasangi kaca semua. Aku bisa melihat seluruh tubuhku yang telanjang. Ternyata masih indah untuk usia menjelang 40 tahun. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Kamu kan gak pernah beranak, tidak heran tubuhmu indah. Kamu bisa menghabiskan banyak waktu untuk merawat tubuh. Gaji di kantor besar. Rumah ada. Mobil ada. Kurang apa?” Aku terdiam. Setiap sahabatku berkata dengan penuh nada iri pada kehidupan yang sedang kunikmati. Apakah aku bahagia denga kelajanganku? Aku juga pernah bertanya pada karibku itu, “Apakah perkawinan membuatmu bahagia?”</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
“Aku yang bertanya padamu,” jawabnya ketus. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Kalau sahabat perempuanku sudah merengut seperti itu, aku hanya diam, sambil mengunyah salad buah pelan-pelan. Aku tahu, belakangan ini dia pasti baru diteror. Penyakit musiman yang kunamakan “terror rumah perkawinan”. Sebetulnya mau kunamakan “teror cinta”. Terror yang membuatnya sedih, gelisah. Kecemburuan, ketidakpuasan, putus asa, entah menu apalagi yang terus keluar dari mulutnya. Sepertinya bagi si lajang model aku ini, perkawinan itu jadi makhluk buas yang siap mencabik dan memakanku hidup-hidup. Iiiih!
Kalau dia dalam kondisi seperti itu, akulah korbannya. Seharian dia hanya merokok saja. Atau datang pagi-pagi sambil membawa minuman alkohol dosis tinggi, lalu maboklah dia! Namun, meski seminggu dia kost di rumahku, suaminya tak pernah meneleponnya. Juga tidak mencarinya. Aneh sekali, kan? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku menyayanginya. Bagiku, pertemananku dengannya yang sudah kami mulai sejak duduk di bangku SMP begitu tulus. Tak tergantikan.
Namanya Cok Ratih, putri tunggal seorang pemilik hotel di Kuta, Ubud, dan entah di mana lagi. Yang pasti, sejak mengenalnya, aku pun ikut mapan karena Cok Ratih menganggapku sebagai saudara satu-satunya. Bagiku, kehadiran Cok Ratih dalam hidupku membuat aku percaya bahwa ada hal yang layak dipercaya dalam hidup ini. Persahabatan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Kata orang-orang, Cok Ratih egois. Bagiku tidak. Dia memberikan apa saja yang dia punya untukku. Cok Ratih mengajari aku berbagi. Hubungan kami ters terjalin begitu erat. Saking eratnya, banyak teman mengira ada yang salah dengan hubungan kami. Tapi kecurigaan mereka terbantahkan ketika Cok Ratih terlihat sering menggandeng I Made Pasek Wibawa. Semua orang pun mengira, Pasek (begitu aku dan Cok Ratih memanggil lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu), akan berbagi cinta. Aku dan Cok Ratih hanya tertawa. Hubungan mereka berdua begitu a lot. Keluarga besar Cok Ratih menentang hubungan itu. Orangtuanya juga. Tetapi Cok Ratih nekat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Hari gini masih ada sekat-sekat manusia. Kasta, derajat. Memuakkan! Hidup ini sudah rumit, kenapa masih dibuat rumit?” papar Cok Ratih santai. Cok Ratih memang bangsawan. Keluarganya tidak kurang harta, juga tidak kurang martabat. Perempuan itu keras kepala. Akhirnya dia pun hamil diluar nikah. Terpaksalah orangtuanya mengawinkannya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Kalau nggak hamil dulu, pasti ortuku nggak setuju,” katanya terkekeh. Bagi Cok Ratih, hidup begitu ringan dan tenang. Tak ada beban. Mungkin karena itulah persahabatan kami langgeng. Menurut orang-orang, aku perempuan yang terlalu serius. Bagiku, itu penilaian yang salah. Aslinya aku hanyalah perempuan yang takut melakukan kesalahan. Karena setiap kesalahan yang kuperbuat akan menimbulkan dampak psikologis yang begitu dalam bagi pertumbuhanku menjadi perempuan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Tiga bulan sudah menikah, Cok Ratih mengalami keguguran hebat. Usia kandungannya hamper tujuh bulan. Perdarahan yang tidak ada hentinya. Satu bulan dia dirawat di rumah sakit khusus. Berkali-kali tidak sadar. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Hyang Jagat, begitu luar biasanya tubuh perempuan. Hanya untuk memuntahkan seorang manusia saja begitu sulitnya? Aku menggigil. Kubayangkan tubuhku digelendoti gumpalan daging hidup yang siap memakan seluruh isi tubuhku. Hyang Jagat. Hyang Jagat!
Di tengah situasi berat seperti ini, Pasek diam-diam mulai merayuku. Dia terlihat genit. Menjijikkan. Berkali-kali dia menawarkan diri untuk mengantar pulang, menjemput, atau makan siang denganku. Aku tidak melihat keprihatinan di matanya. Lelaki apakah yang telah dikawini sahabatku itu? Sementara Cok Ratih telah meninggalkan kebangsawanannya. Hubungan baik dengan keluarga besarnya pun putus karena dia mnikah dengan lelaki yang tidak sederajat. Begitu banyak yang dikorbankan untuk cinta. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku pernah menyiramkan segelas besar wine ke wajah Pasek ketika dia berusaha memepetkan tubuhnya ke tubuhku pada acara gala dinner di sebuah perusahaan milik sahabatku. Semua orang menatap kami. Aku pun meninggalkan ruangan itu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Yang membuat aku panas, Pasek menyebar gossip bahwa akulah yang tertarik padanya. Ya. Hyang Jagat. Senista itukah aku? Tertarik pada lelaki menjijikkan seperti Pasek? Aku memang lajang, kadang-kadang rindu memiliki kekasih. Pengalaman hidup mengajarkanku, jangan pernah mengusik dan bermain api denga lelaki milik perempuan lain. Bagaimana kalau Cok Ratih tahu? Siapa yang akan percaya? Aku atau suaminya? Aku memejamkan mata. Makin hari, keinginanku utuk kawin makin jauh. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Namaku Dayu Cenana. Cenana berarti kayu cendana. Kayu yang keras. Entah bagaiman dan kenapa keluarga besarku memberi nama Cenana. Kupikir nama itulah yang membuat hidupku jadi pelik. Keras. Aku jarang sekali merassa puas pada apa pun yang telah dan akan kulakukan. Aku udah pattah dan kecewa. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/hujan-mulai-deras-malam-oleh-palti-r.html" target="_blank">Cerpen Hujan Mulai Deras, Malam!</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Semua bermula dari Aji, ayahku. Sejak ditugaskan mengambil spesialis mata, lelaki itu tidak pernah pulang ke rumah. Dia kecantol seorang janda beranak dua. Ibuku, Dayu Westri jadi stress berat. Dia sering menjerit-jerit tengah malam, lalu memesan arak, mabuk, muntah. Akhirnya ibuku bunuh diri dengan menyilet nadinya menggunakan pisau tatah milik Kakiang, kakekku, ayah dari ibuku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Kakiang adalah seorang lelaki tua yang sangat dihormati. Dia ahli membuat pratima, benda-benda suci yang disakralkan di pura-pura. Kematian ibu membuat Kakiang linglung. Makin hari kesehatannya menurun. Aku pun kemudian kehilangan Kakiang. Lelaki tua yang pandai menyanyikan kidung-kidung indah itu lebih suka berbicara sendiri, juga menjadi penyendiri. Kakiang pun akhirnya mati gantung diri di kamarnya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Tinggallah aku dengan Nini, perempuan sudra kebanyakan yang dikawini Kakiang. Nama asli perempuan itu Ni Luh Made Ragi. Karena menikah dengan Kakiang, bangsawan dari kasta tertinggi, Brahmana, Nini pun berganti nama menjadi Jero Tunjung. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku memanggil perempuan tua cantik itu Nini, yang berarti nenek. Dari dialah aku belajar banyak bahwa semua harus diselesaikan sendiri, tidak boleh mengeluh, tidak boleh menunda pekerjaan, selalu bersyukur pada leluhur. Dan yang membuatku </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
berpikir, Nini berkali-kali menasihati, menjadi perempuan itu jangan pernah menyakiti perempuan lain. Sekecil apa pun tidak boleh!
“Kalau Tugeg menyakiti perempuan lain, Hyang Widhi akan memuntahkan seluruh pastu, kutukannya padamu!” kata-katanya selalu terdengar penuh amarah. Makin dewasa aku makin paham arti kata-kata itu. Pengalamnku juga mengajarkan betapa sakitnya dikhianati. Makanya, jangan mengkhianati. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Perempuan sudra itulah yang membuatku mandiri. Dia hidupi aku, satu-satunya cucu miliknya dengan cinta yang aneh. Bagiku dia terlalu keras mendidikku. Setelah dia mati, baru kusadari bahwa perempuan itulah yang membuatku berani bertanngung jawab pada pilihan-pilihan hidup yang kuambil. Dia yang membiayai sekolahku, karena sejak kecantol janda itu, Aji tidak pernah pulang lagi. Aku telah kehilangan figur Aji pada usia 6 tahun, kehilangan Ibu pada usia 7 tahun, kehilanganKakiang pada 8 tahun. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Begitu banyak kematian memberi aroma bagi pertumbuhanku sebagai Dayu Cenana. Belum lagi kematian binatang peliharaanku, bunga-bungaku, juga beberapa teman bermain dan sekolahku. Aku tumbuh dari kematian yang datang hampir setiap tahun. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku terus dikepung rasa sunyi. Tetapi Nini telah membekaliku dengan kehidupan yang, setelah kupikir-pikir, luar biasa. Aku dibesarkan lahir-batin hanya oleh seorang perempuan. Perempuan tua cantik itu senang sekali melakukan ritual-ritual yang tidak biasa. Mandi bunga setiap purnama, bulan terang dan penuh. Tidur dengan kain kafan bila datang tilem, bulan mati dan langit jadi gelap, seolah mati. Setiap Selasa-Kamis, biasanya dia hanya makan nasi putih dan minum air putih. Kadang-kadang pada hari tertentu, Kajeng Kliwon, dia mandikan tusuk kondenya, keris, dan beragam batu-batu antik, lalu airnya dipakai untuk memandikan aku. Mungkin karena beragam pantangan yang dilakoninya, dia tumbuh makin kuat, makin cantik, dan bagiku dia luar biasa. Perempuan yang sangat menikmati hidupnya dengan kebenaran miliknya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Jadi perempuan itu harus bisa menghormati diri sendiri,” katanya suatu hari sambil menghaluskan bata menjadi serbuk. Nini tidak pernah gosok gigi dengan odol. Setiap pagi dia menumbuk bata merah. Juga kumur dengan air garam. Giginya kuat. Kelak, ketika kematian menggiringnya, giginya masih utuh. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku tidak pernah tahu berapa usianya ketika mati. Karena dialah satu-satunyapelingsir, perempuan yang dituakan di Griyaku, mati paling akhir. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Bisik-bisik sempat kudengar, Niniku memiliki ilmu pengeleakan, ilmu hitam. Bagiku gosip itu murahan. Nini tidak pernah mengajariku hal-hal aneh. Yang kutahu, entah benar entah tidak, seseorang yang memiliki ilmu pengeleakan bisa menjelma jadi api, babi, angsa, atau binatang lainnya. Aku hidup dengan Nini berpuluh-puluh tahun. Bahkan aku paham betul lekuk tubuhnya karena kami sering mandi di kali atau pancuran sawah. Airnya bening dan membuatku betah berlama-lama. Nini dengan sabar menunggui aku mandi sambil menggosok tubuhnya yang sawo matang dengan lumpur sawah, atau menggosok daki-dakinya dengan batu kali. Nini tidak suka mandi dengan sabun. Katanya aneh, licin, dan membuat badannya gatal. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Ketika Nini mati, aku pun memilih tinggal dan berkarier di luar rumah keluarga besar. Aku tidak pernah menginginkan perkawinan. Aku hanya menginginkan persahabatan yang tulus. Sampai kini, aku masih virgin. Memang terdengar kampungan. Aku menikmati hari-hari yang terus berjalan dengan menguras usiaku. Bagitulah aku hidup. Sejak muda, aku tidak tahu rassanya patah hati. Memulai mencintai lelaki pun aku tahu. Setiap ada lelaki yang mengatakan cinta padaku, aku demam. Seminggu aku migren. Apalagi kalau lelaki itu telah kuanggap sahabat baik. Tak ada cinta yang bisa kurasakan. Yang kubutuhkan adalah perhatian yang tulus, teman dialog, juga sesekali bermanja. Bagiku, cinta lelaki dan perempuan sama dengan seks. Aku tak mau hamil, melahirkan anak, karena aku takut anak yang lahir dari rahimku mengalami nasib seperti aku. Atau bahkan jadi lebih buruk! Aku menggigil. Dibunuh oleh pikiran-pikiranku sendiri. Keingat mengalir dari dahi, ketiak, dan seluruh tubuh. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Telepon genggamku bordering. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Apa?! Kapan?!” Aku berteriak histeris. Tubuhku limbung. Menjelang tengah malam, aku tersadar. Aku terbaring di lantai dekat pintu masuk kamar mandi, hanya ditutupi handuk. Cahaya bulan membangunkanku. Hari ini purnama? Aku bergegas bangun, menyalakan lampu. Aku takut dikepung gelap. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Tak ada upacara ngaben, pembakaran mayat. Hari ini, Cok Ratih dititipkan di ibu pertiwi, tanah lembab. Tubuh perempuan itu hamper tak kukenali lagi. Membengkak dan busuk. Cairan terus menetes dari tubuhnya. Tak ada lagi rona kecantikan di mayatnya. Sudah seminggu dia terbujur kaku di dalam kamar mandi kamar tidurnya. Tanpa diketahui lelakinya. Lelaki yang konon dicintainya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Sahabatku mati. Berkorban untuk cinta, tanpa pernah mendapatkan cinta yang sesungguhnya. Lelaki itu tak ada di rumah, bahkan tak pernah tahu istrinya telah menjerat lehernya dengan tali. Polisi yang menemukan tubuh Cok Ratih yang telah membusuk. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Desa Adat memberinya sanksi, mayatnya tak boleh diaben karena Cok Ratih mati salah pati, mati bunuh diri. Mati yang salah! Menurut konsep agama. Kutelan kegetiran itu. Apakah Tuhan tahu? Apa alasannya sahabatku yang riang dan bersemangat itu menjerat leher dan mengiris nadinya? Apakah Tuhan mau mengerti dan menerima alasannya? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku tak lagi bisa menangis. Ketika upacara penguburan itu selesai. Apakah Tuhan masih mau menghukum Cok Ratih? Perempuan yang mengorbankan seluruh hidupnya untuk mendapatkan cinta dari seorang lelaki? Lelaki yang tak pernah cukup dengan satu cinta? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Selama ini Cok Ratih terus-menerus berusaha menyembuhkan lukaku. Katanya, kehidupan perempuan baru disebut sempurna jika sudah kawin. Perkawinan membuat perempuan sadar arti menjadi istri, juga arti menjadi ibu. Tapi kalau nyatanya kawin malah bikin susah dan rumit, apakah perkawinan masih bisa dijadikan alasan bahwa pohon kebahagiaan itu hanya bisa ditemukan di dalam rumah perkawinan? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku bertambah menggigil. Menatap langit yang makin muram. Apakah ini pertanda suassana kematianku kelak semuram warna langit petang ini?</div>
</span><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #666633; font-family: "special elite", cursive; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody> </tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/pemenang-ii-sayembara-cerpen-femina-2015.html" target="_blank">cerpen Rumah Masa Kecil</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-16468823761402688452017-07-15T00:07:00.001-07:002017-07-15T00:07:29.687-07:00CERPEN MATA MERINDU OLEH IRWAN KELANA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Salsa" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #6600ff; font-family: "Salsa", cursive;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://1.bp.blogspot.com/-stdHwajT48Y/WWm-_X2qyTI/AAAAAAAADA8/dyDlK-fn2EYP6SWP_CTT3wRTntkBDkglQCLcBGAs/s1600/tumblr_m8iva0sKAf1r4mn88o1_500.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="ekspresi wajah merindu" border="0" data-original-height="639" data-original-width="500" height="320" src="https://1.bp.blogspot.com/-stdHwajT48Y/WWm-_X2qyTI/AAAAAAAADA8/dyDlK-fn2EYP6SWP_CTT3wRTntkBDkglQCLcBGAs/s320/tumblr_m8iva0sKAf1r4mn88o1_500.jpg" title="ekspresi wajah merindu" width="250" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">image <a href="http://imgfave.com/collection/92161/Draw-this" target="_blank">Alexandra White</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive; text-align: justify;">
Pesawat Citilink yang aku naiki bersama dengan anakku, Khalid, mendarat mulus di Bandara Lombok Praya. Aku melirik jam tangan. Pukul 09.05 Waktu Indonesia Tengah (WITA). Pesawat tiba tepat waktu. Pesawat berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma Jakarta pukul 05.45. Ada perbedaan waktu satu jam. </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><br /></span></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Inilah untuk pertama kalinya dalam setahun ini aku keluar kota. Sejak istriku, Rindu Ramadhan, meninggal setahun lalu, tepat pada malam Nuzulul Quran 17 Ramadhan, aku tak pernah mau menerima undangan ceramah ke luar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Aku pun hanya menerima undangan ceramah siang hari. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku tak ingin meninggalkan Khalid, anakku satu-satunya yang baru berusia lima tahun, sendirian di rumah pada malam hari. Ia baru saja kehilangan ibu yang dicintainya, seorang Muslimah yang salehah, adik kelasku di Al Azhar. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Kalau pada akhirnya aku memutuskan mau datang ke Lombok karena info dari Mansur, wartawan Republika yang juga sama-sama aktif di Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat. Aku di Komisi Fatwa, sedangkan Mansur di Komisi Budaya bersama dengan sastrawan yang juga sama-sama alumnus Al Azhar, Mesir. Seperti Kang Abik, panggilan akrab Habiburrahman El Shirazy, Mansur juga alumnus Al Azhar yang memilih sastra sebagai medan dakwah. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
v
“Kang, Tuan Guru yang meminta Akang untuk mengisi ceramah Ramadhan di Masjid Hubbul Wathan, Islamic Center NTB, Mataram. Ini merupakan rangkaian acara Pesona Khazanah Ramadhan 1438 yang diadakan sebulan penuh. Event yang baru pertama kali diadakan di NTB, bahkan di Indonesia ini merupakan kerja sama Pemda NTB dengan Harian Republika. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Pemda NTB mengundang empat imam besar dari Suriah, Lebanon, Maroko, dan Mesir. Masing-masing bertugas selama satu minggu. Kegiatan keempat imam besar ini yaitu mengimami shalat serta memimpin tadarus dan doa pada malam Ramadhan. Juga memberikan kuliah Ramadhan bakda shalat Zhuhur. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Selain itu, Pemprov NTB juga mengadakan sebanyak 28 kegiatan lainnya seperti festival kuliner, pameran buku, ekonomi kreatif, diskusi panel Rembuk Republik, meet and greet dengan penulis, hijab tutorial, serta ceramah Ramadhan, ceramah Zhuhur, ceramah Nuzulul Quran, dan tausiyah zikir. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Tuan Guru ingin sekali Kang Fajar mengisi ceramah Ramadhan yang diadakan bakda shalat Isya, menjelang shalat Tarawih,” kata Mansur saat menemui aku pekan lalu di kantor MUI. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Tuan Guru yang dimaksudkan oleh Mansur adalah Tuan Guru Bajang (TGB), gubernur NTB saat ini. Nama aslinya adalah Tuan Guru Haji (TGH) Muhammad Zainul Majdi. Ia boleh dikatakan satu-satunya gubernur yang merupakan doktor tafsir lulusan Al Azhar, hafiz Alquran. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku adik kelasnya tujuh tahun di Al Azhar. Namun, aku masih sempat beberapa kali bertemu dengannya. Hal yang paling mengesankan, dan juga menjadi sumber inspirasi bagi banyak mahasiswa Indonesia di Mesir, adalah ketika Zainul Majdi berhasil menyelesaikan disertasi dan ujian doktoralnya di Al Azhar di tengah kesibukannya yang luar biasa sebagai gubernur NTB. Sempat aku dengar informasi, Zainul Majdi menyelesaikan disertasinya itu selama dua tahun, 2009-2011. Tiap malam ia mengerjakan disertai tersebut dari pukul satu malam sampai menjelang Subuh. Luar biasa. Aku menyusul diwisuda sebagai doktor tafsir tiga tahun kemudian. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Baiklah,” kataku kepada Mansur, “Tapi aku ambil yang hari Sabtu malam Ahad. Pulang hari Senin pagi. Tapi aku mengajak Khalid, boleh?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Siap, Kang. Tuan Guru pasti senang. Kalau Akang pulang Senin pagi, Akang bisa ceramah Ramadhan pada malam Ahad dan kuliah Zhuhur pada hari Ahad. Ajak Khalid, Kang. Semoga perjalanan ini jadi obat bagi hatinya,” kata Mansur. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
*** </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Ketika aku dan Khalid berjalan menuju pintu keluar bandara, Mansur sudah menunggu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Assalamualaikum, Kang Fajar dan Khalid. Selamat datang di Lombok. Bumi Seribu Masjid. Kenalkan ini Eki, sopir yang akan mengantar dan melayani Kang Fajar dan Khalid selama berada di Lombok,” ujar Mansur. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Assalamualaikum, Ustaz,” kata Eki seraya mencium tanganku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Kami naik Innova seri terbaru yang sudah diparkir di depan gerbang keluar bandara. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Terima kasih lho, Kang, sudah berkenan hadir memenuhi undangan Tuan Guru,” kata Mansur. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Terus terang, saya juga kangen kepada Tuan Guru. Makanya saya datang,” sahutku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Kang, biasanya para tamu atau pembicara menginap di Hotel Santika. Akang pun kami pesankan kamar di sana,” kata Mansur. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Antum menginap di mana?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
v
“Saya dan teman-teman Republika menginap di Fave Hotel. Letaknya dekat dengan Islamic Center. Hanya sekitar 100 meter. Jadi, bisa jalan kaki dari hotel ke Islamic Center.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Boleh tidak kalau saya pindah ke Fave Hotel? Supaya lebih dekat dengan Islamic Center?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Oh, bisa, Kang. Sebentar saya koordinasikan dengan rekan saya, Indra.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Mansur kemudian menelepon rekannya. Tak lama kemudian dia berkata, “Beres, Kang.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Mas Eki, kita langsung ke Fave Hotel ya,” kata Mansur. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Perjalanan dari bandara ke Kota Mataram lancar. Lombok boleh dikatakan tidak kenal macet seperti halnya ibu kota Jakarta. Namun, yang membuat aku selalu kagum dengan Lombok adalah masjid bertebaran di berbagai tempat. Ke manapun kita memandang, mata kita akan melihat masjid. Masjid-masjid yang indah, dengan bentuk kubah dan menara mirip Masjid Nabawi. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Sore hari Mansur mengajak aku dan Khalid ke Islamic Center. Selesai shalat Ashar berjamaah, dia mengajak aku keliling Masjid Hubbul Wathan tersebut. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Islamic Center dan Masjid Hubbul Wathan yang ada di dalamya pertama kali di gunakan pada MTQ Nasional ke-26 yang diadakan di Lombok, pada 2016,” kata Mansur. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba aku dikejutkan dengan sebuah poster raksasa. Isinya tentang talk show hijab dan kosmetik halal bersama Presiden Direktur Wardah Cosmetics Nurhayati Subakat. Acara tersebut akan digelar Ahad sore. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Yang membuatku terkejut adalah di situ ditulis nama moderatornya adalah Ziza Almeyda. Dia adalah staf di kantor MUI Pusat. Di baliho itu ada foto Nurhayati Subakat, ada pula foto Ziza. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Mansur, besok Ziza jadi moderator?” tanyaku tidak senang. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Iyyya, Kang,” jawab Mansur agak gugup. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Apa maksudmu? Engkau hendak mengejek saya ya? Setelah engkau melamar Ziza, sekarang engkau ingin menunjukkan Ziza kepada saya? Begitu?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Bukan begitu, Kang. Jangan marah dulu,” Mansur berupaya meredam amarahku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku menarik napas panjang. “Ya, apa hakku marah kepadamu? Bukankah aku yang selama ini beberapa kali menyuruh engkau untuk mengkhitbah Ziza? Usianya sudah 30 tahun. Dia wanita yang salehah. Namun, sampai sekarang belum menikah. Selamat, Mansur. Engkau sungguh lelaki yang beruntung mendapatkan wanita sebaik Ziza,” kataku dengan suara getir. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Terima kasih, Kang. Ziza datang besok pagi. Mohon izin, nanti saya pertemukan Ziza dengan Akang ya.”
“Ya, silakan.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
*** </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Sepanjang sore dan malam itu aku kepikiran Ziza terus. Ziza yang lembut. Ziza yang busananya selalu modis dan syar’i. Dia sangat pandai memadukan atasan, bawahan, dan kerudungnya. Apalagi kalau dia mengenakan overcoat warna hijau lumut atau sweter warna putih susu. Tak heran kalau dia menjadi salah seorang tokoh hijabers di Ibu Kota. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Terus terang, sejak Rindu meninggal dunia, aku menghindari untuk bertemu dan berbincang dengan dia. Kecuali kalau terpaksa dan terkait urusan dinas. Entah mengapa, setiap kali aku berbicara dengannya, dia langsung menundukkan wajahnya yang teduh.
Dia hanya berkata seperlunya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/pemenang-i-sayembara-cerpen-femina-2015.html" target="_blank">Cerpen Celana Kargo</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Keesokan hari, Mansur mengajak aku, Khalid dan Ziza naik Menara 99. “Menara 99 atau Minaret merupakan menara tertinggi dari lima menara yang ada di Islamic Center. Sekaligus menjadi bangunan tertinggi di Kota Mataram. Sesuai namanya, menara ini setinggi 99 meter, sebagai perlambang Asma’ al-Husna atau 99 nama indah Allah SWT. Dari Menara 99 ini kita bisa memandang Kota Mataram dari ketinggian, baik saat siang maupun malam hari,” Mansur menerangkan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Kami naik lift diantar petugas Menara 99. Ziza mengenakan setelan jilbab warna biru tua. Dia kelihatan sangat anggun. Apalagi postur tubuhnya tinggi semampai. Hidungnya bangir, mirip gadis-gadis Mesir. Berada di dalam lift, baru sekali ini aku berdiri begitu dekat dengan Ziza. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Tanpa sengaja aku dan Ziza beradu pandangan. Ia langsung menunduk, aku pun langsung menunduk. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Sampai di puncak tertinggi, kami keluar dari lift. Benar kata Mansur, dari puncak Menara 99 itu kita bisa memandang Kota Mataram yang dihiasi dengan taburan masjid di berbagai titik. Begitu indah. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Kang Fajar, bolehkah saya mengatakan sesuatu tentang Ziza?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Apa, Mansur?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Sesuai saran Akang kepada saya untuk mengkhitbah Ziza, seminggu menjelang Ramadhan, saya bersama adik perempuan saya, Maryam, mengantar Ziza ke rumah orang tuanya di Cirebon.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Selamat ya, Mansur, dan Ziza,” kataku perlahan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Kang, sepanjang jalan aku banyak bertanya kepada Ziza tentang hubungan dia dengan keluarga Akang. Dia mengatakan bahwa dia sangat dekat dengan istri Akang, Teh Rindu. Bahkan dia mengatakan, bahwa Teh Rindu adalah tempatnya berbagi duka, terutama mengenai masalah jodohnya yang belum juga Allah berikan. Bagi Ziza, Teh Rindu bagaikan kakak yang sangat perhatian kepadanya. Teh Rindu banyak memberikan nasihat kepadanya agar sabar. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Lalu, aku tanyakan kepada Ziza, bagaimana kalau Ziza menikah dengan Ustaz Fajar? Mula-mula ia terkejut, dan berpura-pura menolak. Tapi aku katakan kepadanya, jangan pernah menolak seorang laki-laki saleh yang datang kepadamu untuk menawarkan pernikahan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku pun bertanya kepadanya apakah dia menyimpan perasaan cinta kepada Akang? Dia menjawab dengan anggukan kepala kemudian menunduk. Maka aku katakan kepadanya, “Baiklah, Ziza. Saya mengantar Ziza ke Cirebon untuk meminta izin orang tua Ziza, bahwa saya akan mengkhitbahkan Ziza untuk Ustaz Fajar.”
“Apakah Ziza mau?” spontan aku bertanya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Ziza tidak langsung menjawab. Hanya butiran air mata yang meleleh di pipinya ketika itu. Kemudian dia mengangguk. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Kang Fajar, inilah usaha saya sebagai seorang sahabat untuk Akang. Semoga Akang dan Ziza memang digariskan Tuhan untuk memintal kehidupan penuh cinta, kasih dan, sayang dalam sebuah biduk bernama rumah tangga.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
v
*** </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku menatap Ziza. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Ziza,” panggilku lembut. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Ya, Ustaz.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Afwan, bolehkah saya meminta kamu memanggil saya, Kak Fajar?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Iyyyyaaa, Kak.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Aku menggenggam tangan Khalid. Ziza, di hadapanmu ini ada seorang duda beranak satu. Dia bukan orang kaya. Dia hanya orang biasa. Tapi dia punya cita-cita besar membina keluarga yang takwa, mencetak para penghafal Alquran dan imam besar Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan masjid-masjid raya di berbagai belahan dunia. Maukah engkau mendampingi dan menemaninya mewujudkan cita-citanya itu?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Saya bersedia, Kak. Terima kasih Kak Fajar memilih saya untuk menjadi ibu bagi generasi Muslim yang hebat itu. Maafkan saya, saya mungkin tidak sebaik Teh Rindu,” tuturnya lembut. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Saya yang berterima kasih kepadamu, Ziza. Engkau mau menerima saya apa adanya. Semoga Allah selalu memuliakan Ziza di dunia dan akhirat.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
Ziza dan Khalid asyik melihat-lihat dan memilih buku bacaan di tempat pameran buku. Aku menarik Mansur ke tempat pameran pedang Rasulullah yang berada di sebelah tempat pameran buku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Mengapa akhirnya engkau memutuskan untuk menjodohkan aku dengan Ziza?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Aku melihat mata Kang Fajar dan mata Ziza.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Ada apa dengan mata kami?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Setiap kali aku melihat Kang Fajar berbicara dengan Ziza, aku melihat mata Akang selalu gelisah. Begitu pula mata Ziza selalu gelisah. Akang dan Ziza kalau bicara hanya satu atau dua kalimat, namun aku menangkap bahasa tubuh dan sorot mata kalian berdua.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Terus?” aku jadi penasaran. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Mata itu adalah mata yang merindu. Akang dan Ziza sesungguhnya saling mencintai, meskipun Akang tak pernah berterus terang kepada Ziza maupun sebaliknya. Tapi sorot mata Akang dan Ziza sudah lebih dari cukup bagi saya untuk mengerti bahwa kalian saling mencintai.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Sok tahu kamu akh,” kataku pura-pura kesal. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Aku kan novelis, Kang. Aku paham banget bahasa tubuh dan sorot mata seseorang.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Terus terang, aku ingin jawaban yang jujur, apakah kamu sama sekali memang tidak berminat kepada Ziza?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive;"><div style="text-align: justify;">
“Tentu saja aku sangat ingin punya istri seperti Ziza. Laki-laki mana yang menolak mendapatkan jodoh wanita yang salehah, cantik dan lembut seperti Ziza? Tapi aku merasa sangat berdosa kalau aku mengkhitbah Ziza, sedangkan batinku mengatakan bahwa Akang dan Ziza saling mencintai? Biarlah untukku, Allah pasti sudah menyiapkan jodoh yang lain, yang semoga salehah juga seperti Ziza.</div>
</span><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #6600ff; font-family: salsa, cursive; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody> </tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga menginspirasi. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/pemenang-ii-sayembara-cerpen-femina-2015.html" target="_blank">cerpen Rumah Masa Kecil</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-34700957763761084012017-07-14T23:29:00.001-07:002017-07-14T23:29:25.652-07:00CERPEN REMBULAN DI MATA IBU OLEH ASMA NADIA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Ubuntu+Mono" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://2.bp.blogspot.com/-6QhAmMMv5O0/WWm1woSFaFI/AAAAAAAADA0/rWdLoAViJIAK03Fia0nQ9nTRr1OwmWbXACLcBGAs/s1600/c687e67bd32aed755271ab59eeee44b9--white-eyes-galaxy-black-and-white.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="rembulan di mata" border="0" data-original-height="444" data-original-width="499" height="283" src="https://2.bp.blogspot.com/-6QhAmMMv5O0/WWm1woSFaFI/AAAAAAAADA0/rWdLoAViJIAK03Fia0nQ9nTRr1OwmWbXACLcBGAs/s320/c687e67bd32aed755271ab59eeee44b9--white-eyes-galaxy-black-and-white.jpg" title="rembulan di mata" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">image <a href="https://id.pinterest.com/pin/562316703459276777/" target="_blank">Favim</a></td></tr>
</tbody></table>
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace; text-align: justify;">
Kupandangi telegram yang barusan kubaca,
Batinku galau.
Ibu sakit Diah, pulanglah! </div>
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #339933; font-family: "Ubuntu Mono", monospace;">
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><br /></span></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Begitu satu-satunya kalimat yang tertera di sana. Mbak sri menyuruhku pulang? Tapi …. Benarkah Ibu sakit? Bayangkan Ibu, dengan penampilannya yang tegar berkelebat. Rasanya baru kemarin aku masih melihatnya berjalan memberi makan ternak-ternak kami sendirian. Melalui padang rumput yang luas. Berputar-putar di sana berjam-jam. Mengawasi rumah kecil kami yang hanya berupa noktah dari balik bukit. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Tidak. Ibu bahkan tak pernah kelihatan lelah dimalam hari. Saat semua aktivitas seharian yang menguras kekuatan fisiknya berlalu. Ibu selalu kelihatan sangat kuat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Tak hanya kuat, dari mulutnya pun masih kerap terdengar ungkapan-ungkapan pedas, khususnya yang ditujukan kepadaku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Jadi perempuan jangan terlalu sering melamun Diah! Bekerja, itu akan membuat tubuhmu kuat!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
komentarnya suatu hari padaku. Padahal, saat itu aku sama sekali tidak menganggur. Sebuah buku berada dipangkuanku. Tapi, Ibu tak pernah menghargai kesukaanku membaca. Di mata beliau, itu hanyalah kegiatan tak berguna yang tak menghasilkan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Di waktu yang lain Ibu mengecam kebiasaanku rapat dengan para pemuda desa. Ibu sama sekali tak mau mengerti kalau rapat-rapat yang kulakukan bukan tanpa tujuan. Kalau kami, anak-anak muda yang berkumpul disana sedang mencoba menyumbangkan pemikiran bagi kemajuan desa. Bagi wanita sederhana itu, menghalau ternak lebih berguna daripada bicara panjang lebar, dan adu pendapat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“kau pikir bicara bisa membuatmu mendapatkan uang?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Ingin sekali saat itu aku mengangguk dan menantang matanya yang sinis. Tak tahukah Ibu, di kota sana, banyak sekali pekerjaan yang mementingkan kemampuan bicara. Seharusnya Ibu melihat kegiatan pemilihan lurah desa, dan tak hanya berkutat dengan ternak – ternaknya di padang rumput.
Pak Kades takkan terpilih kalau dia tak punya kemampuan meyakinkan dan menenangkan rakyatnya! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Akan tetapi, kalimat itu hanya ketelan dalam hati. Tak satu pun kumuntahkan di hadapannya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Caraku berpakaian pun tak pernah benar dimatanya. Ada saja yang salah. Yang tak rapilah, kelihatan kelaki-lakianlah dan segalanya. Sebetulnya aku heran, kenapa tiga mbakku yang semuanya perempuan itu bisa melalui hari dengan keterpasungan pemahaman Ibu. Mereka bisa sekolah, paling tidak sampai es em pe dan es em a tanpa banyak bertengkar dengan Ibu.
Lulus sekolah, menikah dan punya anak … dan sekali lagi, tanpa mengalami pertentangan dengan Ibu. Sedangkan aku? Rasanya tak ada satu hal pun, yang pernah kulakukan, yang dianggapnya benar. Selalu saja ada yang kurang. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Dahulu sekali aku pernah mencoba menyenangkan hati wanita itu. Kucoba memasakkan sesuatu untuknya. Meski semua saudaraku tahu, aku benci kegiatan dapur itu. Hasilnya? Aku menyesal telah mencoba karena Ibu sama sekali tak menghargai usahaku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“beginilah jadinya kalau anak perempuan Cuma bisa belajar. Tak tahu bagaimana memasak! Siapa yang mau menikahimu nanti kalau begini Diah?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Dan saat itu aku makin tersungkur dalam ketidakberdayaanku menghadapi Ibu. Perlahan aku malah berhenti berusaha menenangkan hatinya.
Aku capek.
Maka saat ada kesempatan pergi meninggalkan rumah, dan meneruskan pendidikan ke bangku kuliah, dengan peluang bea siswa, kegempur habis kemampuanku, agar kesempatan itu tidak lepas dari tangan.
Aku harus pergi, menjauh dari Ibu, dari komentar – komentarnya yang menyakitkan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Masih terngiang di telingaku suaranya yang bernada mengejek waktu melihat aku mempersiapkan diri menghadapi tes bea siswa itu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Kau tak kan berhasil Diah! Tak usah capek-capek! Wanita akan kembali ke dapur, apapun kedudukannya!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Tak kuhiraukan kalimat Ibu. Seperti biasa aku selalu berusaha menahan diri. Setidaknya hingga saat itu. Kala pertahanan diriku roboh ke tanah. Dan untuk pertama kali aku berani menantang matanya yang selalu bersinar sinis, dan kurasakan tanpa kasih. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Saat itu aku merasa begitu yakin. Wanita tua yang kupanggil Ibu selama ini, tak pernah dan tak akan pernah mencintai diriku! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Diah … kok melamun?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Aku mengusap air mata yang menitik. Laila yang menangkap kesedihanku menatapku lekat. Ada nuansa khawatir pada nada suaranya kemudian. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“ada apa? Tulisanmu ada yang ditolak? Mana mungkin!” ujarnya mencoba melucu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Aku tertawa pelan, mencoba mengurangi beban dihatiku, kubalas tatapan matanya. Wajah tulus sahabat baikku itu memancar di balik kerudung coklat yang dikenakannya.
Aku berdehem berat.“Li … percayakah kamu kalau aku bilang, ada Ibu yang tak pernah mencintai anaknya?”. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Laili menatapku bingung. Pertanyaan ini mungkin aneh di telinganya. Apa lagi aku tahu keluarganya adalah keluarga terhangat yang pernah kutemukan. Ibu Laili tak hanya bijaksana, tapi juga selalu melimpahinya dengan banyak kasih dan perhatian. Jauh sekali bila dibandingkan Ibu! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Aku rasa, mencintai adalah naluri yang muncul otomatis saat seseorang menjadi Ibu, Diah! Itu karunia Allah yang diberikan pada setiap Ibu. Rasa kasih, mengayomi, dan melindungi!” jawab Laili hati-hati. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Aku mengalihkan pandangan dari matanya. Kami sudah tinggal satu kos selama hampir lima tahun. Kupercayakan seluruh kegembiraan dan saat-saat sulitku padanya. Tapi, tak pernah sekalipun aku bercerita tentang Ibu, dan ketidakadilan yang diberikan wanita itu padaku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Sekali lagi airmataku menitik. Ingat, selama kurun lima tahun ini, aku tak pernah menjenguk Ibu. Ya, tidak sama sekali pun! Meski batinku terasa kering. Bagaimanapun sebagai anak, aku punya kasih yang ingin bisa kupersembahkan pada wanita yang melahirkanku.
Sayangnya, tak pernah ada kesempatan bagiku untuk mewujudkannya itu. Ibu tak pernah menangkap sinar kasih dimataku, apalagi membalasnya dengan pelukan hangat. Ibu tak pernah peduli! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Bagaimana aku tidak mulai membencinya secara perlahan? Mungkin tidak dalam artian kata benci sesungguhnya. Terus terang, aku mulai menghapus namanya dalam kehidupanku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Dalam tahun-tahun yang telah kulalui aku hanya mengirim surat dan foto pada semua kakak dan keponakanku. Tak satu pun kualamatkan untuk Ibu. Kalaupun secara rutin kusisihkan uang honor menulisku untuk Ibu, itu pun tak pernah kukirimkan langsung. Selalu lewat salah satu kakakku. Paling sering lewat mbak Sri. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Aku belajar menyingkirkan kebutuhanku akan kasih sayang dan sikap keibuan darinya. Aku belajar … melupakan Ibu! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Diah … kenapa kamu menanyakan itu?” suara Laili kembali terdengar. Batinku makin kisruh. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Apa pendapatnya kalau tahu, teman baiknya, selama ini telah melupakan Ibunya? Padahal dalam Islam tertera jelas keutamaan untuk berbakti dan menghormati Ibu. Selama ini aku selalu berdalih di hadapan-Nya dalam shalat – shalat yang kulalui. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Bukan aku tak mencintainya. Tapi … sepertinya itu kehendak Ibu sendiri untuk dilupakan! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Ibuku sakit Li! Apa yang harus kulakukan?”
tanyaku akhirnya tanpa daya.
Laili tersenyum. Tangannya kembali menggenggam jemariku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Itu aja kok, bingung! Barangkali dia kangen padamu. Tengoklah Ibu, Di! Eh, kapan terakhir kali bertemu?” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Teman baikku itu seperti teringat saat-saat libur kuliah yang tak pernah kumanfaatkan untuk pulang kampung, sebaliknya malah berkunjung ke tempatnya atau menghabiskan waktu di kos, merentang hari. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Aku tak pernah pulang, Laili. Sudah lima tahun!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
jawabanku membuat Laili tersedak. Pantas saja gadis itu kaget. Lima tahun bukan waktu yang singkat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Kamu harus pulang secepatnya, Di! Biar aku yang memesankan tiket kereta. Jangan lupa bawa oleh-oleh untuk Ibumu. Hm…apa ya, kesukaan beliau?”
Tiba-tiba Laili dilanda kesibukan dan kepanikan luar biasa. Seakan membayangkan mengunjungi ibunya sendiri, yang tak pernah ditemuinya selama lima tahun! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Tak perlu repot-repot Laili! Biar kuurus sendiri!” tolakku halus, tetapi Laili tetap bersikeras. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Hey … jangan begitu dong, Di!selama ini kamu selalu repot-repot saat mengunjungi kami. Jadi .. biarkan aku yang mengurus perjalananmu kali ini. Lagi pula, kamu masih harus mempersiapkan presentasi skripsimu, kan?”
Aku menyerah.
Sebelum Laili pergi, aku menatapnya sekali lagi,“Kamu yakin aku harus pulang, Li?”
Pertanyaanku hanya disambut senyum hangatnya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Tentu, pulanglah, Ibu pasti kangen kamu Diah!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Ahh… andai Laili tahu, perempuan macam apa Ibuku itu! Beliau lebih keras dari karang Laili, karang masih bisa terkikis air laut, tetapi Ibuku?
Rumah mungil kami tak banyak berubah. Juga rumah petak-petak kecil disampingnya. Dimana ketiga mbakku dan keluarganya tinggal.
Saat aku masuk kedalam, kulihat ruangan tampak tidak serapi biasanya. Barangkali kehilangan sentuhan tangan Ibu. Mbak Sri bilang, setahun belakangan ini Ibu beberapa kali jatuh sakit. Akan tetapi, beliau tidak pernah mengijinkan mereka mengabarkan padaku.
Karena Ibu tak butuh kehadiranku, bisikku dalam hati.
Mbak Ningsih yang melihat kecanggunganku menjelaskan. Di pangkuannya duduk dua bocah cilik bergelayut manja. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Ibu tak ingin aku mengganggu kuliahmu, Diah!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Aku tersenyum sinis mendengar perkataan kakak tertuaku itu. Sejak kapan Ibu memikirkan kuliahku? Bukankah baginya anak perempuan Cuma akan ke dapur? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
<< </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Mbak Rahayu yang lebih banyak diam pun ikut menambahkan, “Ibu sering bertanya pada kami Diah, berkali-kali malah. Sudah tahun ke berapa kuliahmu? Berapa lama lagi selesai.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Sebetulnya Ibu sangat kangen kepadamu Diah, tapi Ibu lebih mementingkan kuliahmu.” Mbak Sri menambahkan di tengah aktivitas menyusui anaknya.
Tapi, aku tak merasa perlu diyakinkan. Aku kenal Ibu. Dan selama jadi anaknya, tak pernah Ibu bersikap kasih padaku. Tidak sekali pun, perkataan kakak-kakakku barusan semata-mata untuk menyenangkan hatiku. Agar aku tak merasa kejadian lima tahun yang lalu, pertengkaran hebatku dengan Ibu. Pertengkaran yang makin memantapkan hatiku untuk pergi.
Malam itu Ibu berkali-kali menumpahkan kalimat-kalimat pedas padaku. Tujuannya satu, agar aku tak pergi.
Bagiku, sikap Ibu saat itu sangat egois dan kekanak-kanakan. Sementara orang lain akan menyambut gembira keberhasilan anak-anaknya meraih bea siswa macam ini, beliau sebaliknya. Tak tahukah Ibu, kalau aku harus menyingkirkan ribuan orang untuk meraih prestasi ini?
Kucoba menuliskan telinga, tetapi kalimat-kalimat pedasnya tak berangsur surut. Malah bertambah keras. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/pemenang-ii-sayembara-cerpen-femina-2016.html" target="_blank">Cerpen Dia Masih Bisa Tergelak</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Pergi ke kota bagi perempuan macam kau Diah, hanya akan menjadi santapan laki-laki! Tak ada tempat aman kecuali di kampung sendiri. Ibu tak ingin kau membuat malu keluarga. Pulang dengan membawa aib!”
Astagfirullah … Ibu kira perempuan macam apa aku? Mulutku sudah setengah terbuka siap membantahnya, tetapi ketiga saudaraku mencegahku. Melihat sikapku yang menantang, kemarahan Ibu makin tak terbendung. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Jangan coba membantah! Kurang baik dan terpelajar apa si Retno? Lalu Sumirah? Bahkan anak pak Haji Tarjo? Pulang-pulang malah jadi perempuan jalang! Aku tak ingin punya anak jalang!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
cukup! Aku tak bisa menahan kesabaranku lebih lama. Darahku seperti mendidih mendengar kalimat-kalimat Ibu. Kalau saja Ibu cukup mengenalku, kalau saja Ibu punya sedikit kepercayaan pada anaknya sendiri!?? Ibu Cuma percaya pada dirinya sendiri. Seakan semua orang akan mengalami nasib buruk. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Saat ditinggal Bapak! Ya, Bapak memang meninggalkan kami. Janjinya, bahwa, lelaki itu akan kembali dari kota dengan membawa perubahan pada nasib kami, cuma omong kosong. Di sana Bapak justru menikah lagi. Dan Ibu yang menganggap dirinya sempurna sebagai wanita, merasa sakit hati. Setelah itu semua yang berbau pembaruan dan kemajuan dimusuhinya habis-habisan. Termasuk niatku ke kota untuk mencari ilmu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Kutatap mata Ibu dengan sikap menantang. Suaraku bergetar saat berkata-kata padanya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Seharusnya Ibu bangga padaku! Seharusnya Ibu menyemangati, bukan malah terus-terusan mengejekku, Bu! Sekarang Diah tahu kenapa Bapak meninggalkan Ibu!” kataku berani. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Di depanku, Ibu menatap mataku tajam. Matanya diliputi kemarahan atas kelancanganku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Kenapa Bapak meninggalkan Ibumu? Ayo jawab, kenapa?!!!
Sia-sia usaha mbak-mbakku yang lain untuk mengerem mulutku. Dalam kemarahan, kulontarkan luka yang mungkin akan melekat selamanya di hati Ibu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Karena Ibu picik! Itu sebabnya!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Kubanting pintu kamarku dan mengurung diri semalaman. Menangis. Batinku puas, telah kukatakan apa yang menurutku harus didengar Ibu.
Besoknya, pagi-pagi sekali, hanya berpamitan pada mbak-mbakku, aku pergi, dengan bongkahan luka di hatiku. Barangkali juga di hati Ibu. Tapi, aku tak peduli. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Saat aku mengenal Laili dan teman-teman Muslimah lain. Baru kusesali sikapku. Seharusnya aku tak bersikap sekasar itu pada Ibu. Tak membalas kekasarannya dengan tindakan serupa.
Meski begitu, penyesalanku tak bisa mengubah perasaan yang kadung hampa terhadap Ibu. Aku masih tak menyukai wanita yang melahirkanku itu. Seperti juga beliau tak menyukaiku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Diah … Ibu sudah bangun.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Mbak Sri menyentuh tanganku. Mengembalikanku dari kenangan masa lalu.
Kubuka pintu kamar Ibu. Suara derit engsel yang berkarat terdengar. Kulihat Ibu terbaring lemah di dipan. Keperkasaannya selama ini, kulihat nyaris tak tersisa. Tangan kurusnya mengajakku mendekat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Di bawah cahaya lampu teplok, kurayapi wajahnya yang penuh guratan-guratan usia. Ibu tampak begitu tua. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Apa kabarmu Diah?” suaranya nyaris berupa bisikan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Baik, Bu.” Kusadari suaraku terdengar begitu datar. Barangkali mewakili kehampaan perasaanku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Ibu tak memandang kaget penampilanku, yang pasti merupakan pemandangan baru baginya. Atau Ibu terlalu sakit untuk mencela busana muslimah yang kukenakan? Sekali lagi hatiku berkomentar sinis, tanpa bisa dicegah. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Kamu kelihatan kurusan Nduk!” ujar Ibu setelah beberapa saat kami terdiam.
Aku tak menanggapi. Sebaliknya, mataku mengitari ruangan kecil itu. Semuanya hampir tak berubah. Kenapa Ibu bertahan dalam kesederhanaan ini? Bukankah seharusnya dengan ternak – ternak itu Ibu mampu hidup lebih layak? Belum lagi ketiga mbakku, mustahil mereka tidak memberikan tambahan masukan, biarpun sedikit, untuk Ibu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Aku memperhatikan ranjang Ibu. Kasur tipis diatas dipan yang pasti tak nyaman untuknya. Cahaya penerangan pun tidak memadai. Padahal, di rumah ketiga saudara perempuanku sudah diterangi cahaya listrik. Lalu … uang kirimanku yang rutin meski tak seberapa mestinya cukup meringankan Ibu. Tapi kenapa? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Kulihat meja jati tua disamping Ibu. Ada beberapa botol obat di sana. Kertas-kertas dan beberapa foto yang dibingkai. Kudekatkan tubuhku untuk melihat jelas. Mendadak mataku nanar … masya allah! Aku tak sanggup berkata-kata. Segera kutahan diriku sebisanya untuk tak menangis. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Ibu yang menyadari arah pandanganku menjelaskan, “Jangan salahkan mbakmu Diah. Foto-foto itu Ibu yang maksa minta. Kadang Ibu pandangi, jika Ibu kangen kamu. Lihat, itu pasti waktu kamu masih tingkat satu, ya? Belum pakai jilbab! Yang lainnya sudah rapih berjilbab.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Kulihat ibu tersenyum. Dimatanya ada kerinduan yang mendalam. Batinku kembali terguncang. Ibu kangen padaku? Betulkah? Apa yang membuat Ibu begitu berubah? Usia tuanyakah? Waktu lima tahunkah? Hatiku terus bertanya-tanya. Kemana larinya sikap keras dan ketus Ibu? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Tolong Ibu, Nduk, Ibu ingin duduk di beranda,” pintanya sekonyong-konyong.
Kupapah tubuh ringkihnya keluar. Diatas sana langit mulai gelap. Beberapa bintang meramaikan rembulan yang mulai muncul. Langit jingga tampak terbias indah menyambut malam. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Bersisian kami duduk di beranda. Beberapa waktu berlalu dalam keheningan. Tanpa kata-kata, tetapi bisa kulihat wajah Ibu tampak cerah menatap langit yang dihias purnama. Lalu … </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Ning … Ningsih….” Tergopoh-gopoh mbakku muncul mendengar panggilan dari Ibu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Dalem Bu…” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Tolong ambilkan kotak kayu Ibu di bawah tempat tidur, ya…” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Tak lama Mbak Ning sudah muncul lagi. Sebuah kotak kayu yang terlihat amat tua diserahkannya kepada Ibu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Bukalah Diah, itu untukmu. Ibu selalu takut tak sempat memberikannya kepadamu. Ibu sudah tua Diah,” suara Ibu. Matanya masih menatap langit.
Meski tak mengerti, kuturuti permintaan orang tua itu. Dan tanpa bisa kucegah, kedua belah mataku terbelalak melihat isinya. Uang! Dimana-mana uang! Begitu banyak, darimana Ibu mendapatkannya?
Ibu terkekeh sendiri melihat keterkejutanku.
Beberapa giginya yang sudah ompong terlihat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Itu untukmu Diah..”
aku menutup kembali kotak kayu itu, kuserahkan kepada Ibu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Diah ndak butuh uang Ibu. Beberapa tahun ini sudah ada kerja sambilan. Jaga toko sambil nulis-nulis,” ujarku berusaha menolak. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Ibu tahu .. Ibu baca surat yang kirimkan kepada mbak-mbakmu .. tapi itu uangmu. Kau membutuhkannnya. Mungkin tak lama lagi.” Suara Ibu memaksa.
Ahh..wisudaku…itukah yang Ibu pikirkan? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Wisuda tak perlu biaya sebanyak ini, Bu ….” Tolakku lagi. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Tapi kau harus menerimanya Diah, itu uangmu. Uang yang kirimkan selama ini untuk Ibu lewat mbakmu. Sebagian ada juga hakmu dari penjualan ternak,” jelas wanita itu lagi. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Aku melongo. Teringat dipan tua yang kasurnya tipis, lampu templok, kursi diruang tamu yang sudah jelek dan bufet yang kusam. Bukankah dengan uang itu Ibu bisa hidup lebih layak? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
‘Kenapa tak Ibu pakai untuk keperluan Ibu?” tanyaku heran.
Ibu hanya tersenyum. Matanya mencari-cari rembulan yang setengah tertutup awan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Ibu tak butuh uang sebanyak itu, Diah! Lagi pula .. Ibu khawatir tak bisa lagi memberimu uang.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Diah kan sudah jelaskan ke Ibu, Diah sudah bisa cari uang sendiri meski sedikit-sedikit. Ibu tak perlu repot memikirkan aku,” ujarku keras kepala.
Tapi, lagi-lagi Ibu memaksaku.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Kau akan membutuhkannya Diah, untuk pernikahanmu nanti. Semua mbakmu hidup sederhana. Anak mereka banyak, mungkin tak kan banyak bisa membantumu jika hari itu tiba!” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Deg! Hatiku berdetak. Untuk pernikahanku? Sejauh itukah Ibu memikirkanku?
Kata-kata Ibu berikutnya bagai telaga sejuk mengaliri relung – relung hatiku. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
“Maafkan Ibu jika selama ini keras padamu Diah! Kau benar … ibu memang picik! Itu karena Ibu tak ingin kau terluka. Ibu tak ingin kau kecewa. Itu sebabnya Ibu tak pernah memujimu. Kau harus punya hati sekeras baja untuk menapaki hidup. Ibu ingin anak bungsu Ibu menjadi sosok yang berbeda. Seperti rembulan merah jambu, bukan kuning keemasan seperti yang biasa kita lihat.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Ibu menunjuk purnama yang benderang. Aku mengikuti telunjuknya. Batinku terasa lebih segar.
Rembulan merah jambu … itukah yang di inginkan Ibu, menjadi seseorang. Menjadi orang dalam arti sebenarnya. Punya karakter dan prinsip yang berbeda. Siap mengarungi kerasnya selama ini?
Hatiku berbunga-bunga. Semua kehampaan, kebencian, dan kekesalanku pada wanita tua itu tiba-tiba terbang ke awan. Aku tak lagi membencinya! Ternyata aku cukup punya arti dimata Ibu. Aku rembulan di hatinya! Tanpa ragu, kepeluk Ibu erat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace;"><div style="text-align: justify;">
Bersama-sama, kami menghabiskan waktu yang tak terlupakan di beranda memandangi langit, dan … rembulan yang kini merah jambu dalam pandanganku!…</div>
</span><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #339933; font-family: "ubuntu mono", monospace; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody> </tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/pemenang-iii-sayembara-cerpen-femina.html" target="_blank">cerpen Menghidu Warna</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com20tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-62612309038330502662017-07-14T00:19:00.002-07:002017-07-14T00:19:45.592-07:00CERPEN GERIMIS YANG MENARI OLEH WENDOKO<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=PT+Sans" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: maroon; font-family: "Kite PT Sans", sans-serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://3.bp.blogspot.com/-GdDNBPavIq0/WWhwNYB8llI/AAAAAAAADAk/QRE78q8523YY9ryJIE5BtqPpAyrmcO0ZgCLcBGAs/s1600/a9167366ac98c05fb6349beac881fe7f_f172225.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="gerimis saat demo" border="0" data-original-height="550" data-original-width="990" height="177" src="https://3.bp.blogspot.com/-GdDNBPavIq0/WWhwNYB8llI/AAAAAAAADAk/QRE78q8523YY9ryJIE5BtqPpAyrmcO0ZgCLcBGAs/s320/a9167366ac98c05fb6349beac881fe7f_f172225.jpg" title="gerimis saat demo" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;"><a href="http://www.bailiwickexpress.com/jsy/life/current-affairs/hundreds-gather-rain-anti-brexit-protest-london-despite-event-technically-being-cancelled/" target="_blank">image</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif; text-align: justify;">
LEWAT teleskop di senapan Steyr-nya, ia mengamati keadaan di bawah sana. Ia melihat kerumunan mahasiswa, mungkin lebih dari 1.000 mahasiswa, memenuhi jalan dari gerbang kampus sampai ke dekat kantor lama walikota. Ia hanya berjarak 400 meter dari mereka. Hampir seluruh mahasiswa itu berjaket biru-tua, tapi ia juga melihat beberapa orang yang berjaket kuning dan krem-pudar. Lalu beberapa orang berkaus oblong tapi mengikatkan jaket ke pinggang atau melingkar di leher. </div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><br /></span></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jam 15.11. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Hujan sudah lama reda. Sekarang turun gerimis kecil. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Ia melihat hampir seluruh mahasiswa itu duduk atau berjongkok di aspal, dengan beralas robekan koran. Sebagian lagi duduk-duduk di kantin trotoar, atau berdiri menggerombol dengan spanduk ‘Turunkan Harga’ dan ‘Mahasiswa Menuntut Demokrasi dan Reformasi’. Beberapa yang lain membawa bendera. Di sudut yang agak jauh, beberapa orang mengusung spanduk besar bertulisan ‘Rakyat Minta Presiden Mundur’. Tapi semua mata menatap ke satu titik di depan kantor lama walikota, pada seseorang yang berorasi dengan mencangklongkan corong di bahu. Ia tak bisa mendengar apa yang dikatakan orang itu, tapi ia melihat sesekali mahasiswa berteriak dan beberapa orang melakukan gerakan-gerakan, seperti menyanyi. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Lalu 20 meter dari orang yang sedang berorasi, tampak kawan-kawannya dari angkatan bersenjata membentuk barikade empat lapis. Lapis pertama adalah polisi dengan tameng dan tongkat. Lapis kedua juga polisi, dan mereka bersenjata senapan. Lapis ketiga bukan polisi, tapi angkatan darat. Ia mengenali dari corak seragam mereka. Di baris paling belakang kelihatan 10 sepeda motor. Masing-masing dengan pengemudi dan pembonceng, serta senapan menyerong di dada. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jam 15.17. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Ia lalu menatap ke arah kampus, yang berjarak 200 meter dari kantor lama walikota. Di dalam kampus kelihatan kerumunan mahasiswa dalam jumlah besar. Lebih banyak dibanding yang turun ke jalan. Tapi sebagian mahasiswa mulai meninggalkan kampus lewat gerbang samping. Kampus itu terletak di persimpangan perempatan jalan. Jadi ada dua pintu gerbang. Tak jauh dari gerbang samping, ia melihat barikade angkatan darat dengan dua truk dan lima panser. Angkatan darat juga tampak berjaga di jalan layang dan di jalan samping pusat perbelanjaan, di seberang kampus. Sementara di jalan layang tepat di depan kampus, beberapa polisi berjongkok dan laras senapan mereka mengarah ke kampus. Polisi juga memblokir jalan tol di bawahnya, dan menaruh regu penembak di jembatan penyeberangan. Diam-diam ia tersenyum kecil. Kampus yang terletak di salah satu perempatan paling sibuk itu sekarang betul-betul terkepung! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Tetapi dari kerumunan di dekat kantor lama walikota, ia mendapati pemandangan yang unik. Lewat teleskop di senapan Steyr-nya, ia melihat beberapa mahasiswa tersenyum atau tertawa. Ia melihat dua-tiga wartawan asing, yang menelepon dengan muka tegang—dan ditertawakan oleh para mahasiswa. Ketika salah seorang wartawan mengangkat kamera, beberapa mahasiswa mendekat dan berpose sambil berangkulan. Ia juga melihat dua mahasiswa membagikan minuman kemasan pada polisi-polisi di barikade, lalu meminta foto bersama. Beberapa polisi malah menyelipkan bunga—mungkin pemberian para mahasiswa—di senapan mereka. Meskipun semua mata mengarah pada orang yang sedang berorasi, suasana di depan kantor lama walikota itu tampak santai. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Sekali lagi ia tersenyum kecil. Sejak unjuk rasa mahasiswa merebak lebih dari dua bulan lalu, ia tak pernah percaya bahwa ribuan mahasiswa yang sudah turun ke jalan-jalan itu betul-betul serius meneriakkan tuntutannya. Mungkin banyak dari mereka yang serius, tapi pasti lebih banyak lagi yang ikut-ikutan—sekadar menunjukkan solidaritas di antara mahasiswa. Dan pemandangan hari ini, pemandangan di depan kantor lama walikota, paling tidak menunjukkan dugaannya tidak meleset! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jam 15.30. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Lewat pengeras suara, polisi mengumumkan unjuk rasa itu hanya diizinkan sampai jam 16.00. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Terdengar teriakan-teriakan dari kerumunan mahasiswa, disusul lolongan “huuuu” yang panjang. Tapi setelah itu semua mata kembali tertuju ke ‘mimbar’, pada orang yang tadi berorasi dan sekarang duduk dan digantikan oleh orang lain. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Lalu ia melihat sesuatu di jembatan penyeberangan. Ia mengarahkan teleskop ke sana, dan mengamati. Kelihatan seseorang, mungkin wartawan asing, yang sedang memotret ke bawah—ke arah kerumunan. Orang itu juga kelihatan menawarkan donat pada regu penembak, lalu memotret salah seorang di antaranya yang tersenyum sambil mengacungkan jempol. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Sekarang ia teringat. Orang itu, wartawan asing itu, adalah orang yang beberapa waktu lalu berjalan bolak-balik di depan kantor lama walikota. Orang itu juga berjalan melintasi kampus, sampai ke barikade di jalan samping. Di sana orang itu terlihat mengobrol cukup lama dengan salah satu personel angkatan darat, sebelum keduanya bersalaman, dan dengan leluasa orang itu memotret di depan barikade. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Kali ini ia tersenyum kecut. Kepalanya menggeleng lambat. Inilah mental bangsa ini, umpatnya dalam hati. Bangsa ini memang bermental hamba dan cenderung merendah di depan orang asing. Tetapi ketika berhadapan dengan sesamanya, bangsa ini bisa berubah beringas. Unjuk rasa mahasiswa hanya salah satu contoh yang menunjukkan keberingasan itu. Sejak dua bulan lalu, entah sudah berapa mahasiswa atau kawan-kawannya dari angkatan bersenjata yang dirawat di rumah sakit. Unjuk rasa mahasiswa yang mulanya hanya aksi keprihatinan sudah berubah anarkis dan destruktif, sejak mereka turun ke jalan-jalan. Mereka menuntut reformasi di bidang ekonomi, politik dan hukum. Lalu mereka meneriakkan pengunduran diri Presiden dan pembubaran kabinet. Terakhir mereka mulai berani membakar potret atau patung Presiden. Ketika itulah kawan-kawannya dari angkatan bersenjata dikerahkan untuk menertibkan, dan sejak itu muncul bentrokan-bentrokan. Dalam tiap bentrokan selalu ada yang luka. Makin lama makin banyak, dan makin banyak yang dirawat di rumah sakit. Bahkan beberapa hari lalu, ia mendengar tentang seorang mahasiswa dan seorang polisi meninggal dalam dua bentrokan terpisah. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Belum lagi kalau bicara tentang kerusuhan rasial yang akhir-akhir ini mulai merebak. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Terus terang, ia menyesalkan semua aksi unjuk rasa itu. Saat ini negara tengah dilanda krisis ekonomi yang parah. Nilai mata uang terus merosot. Harga-harga melambung. Kebutuhan pokok makin sulit didapat. Banyak perusahaan gulung tikar, yang berakibat tingginya jumlah pengangguran. Belum lagi ditambah bencana yang datang beruntun dalam setahun terakhir. Kebakaran hutan. Panen yang gagal. Kelaparan di pulau terjauh negara ini. Lalu wabah demam berdarah di 12 provinsi. Seharusnya dalam kondisi ini semua pihak bisa menahan diri, dengan membiarkan pemerintah bekerja. Mahasiswa tak perlu berunjuk rasa dan menambah kerumitan. Tapi persoalannya, pihak rektorat universitas mengizinkan, dan mahasiswa mendapat dukungan dari banyak tokoh oposisi yang mulai bersuara lantang. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jam 16.05. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-palung-oleh-oka-rusmini.html" target="_blank">Cerpen Palung</a></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Polisi memasang pita garis-polisi di depan kantor lama walikota. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jam 16.11. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Lewat pengeras suara, polisi menegaskan unjuk rasa itu hanya diizinkan sampai jam 16.00. Karena sekarang sudah lewat 16.00, mahasiswa diminta kembali ke kampus. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Beberapa mahasiswa berdiri dan berjalan ke arah kampus. Tapi sebagian besar tetap duduk di jalan aspal. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jam 16.17. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Polisi menegaskan agar mahasiswa kembali ke kampus. Jika menolak, akan diambil tindakan untuk memaksa mereka kembali ke kampus. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Kali ini banyak mahasiswa berdiri dan merangsek ke arah barikade. Beberapa mahasiswa yang tadi duduk di baris paling depan langsung merapat sambil bergandengan tangan. Mereka membentuk pagar betis untuk menahan laju mahasiswa yang lain. Ada jarak 15 meter antara kerumunan itu dengan lapis pertama barikade, yang mulai bersiaga. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Ia mengarahkan laras senapan Steyr-nya ke kantor lama walikota.
Lalu ia melihat dua orang memaksa masuk ke ruang kosong 15 meter itu. Satu dari kedua orang itu tak ia kenali, tapi yang seorang lagi ia kenali dengan baik. Wajahnya sudah sangat familiar. Itu adalah hakim agung, tepatnya mantan hakim agung, yang sudah diberhentikan karena memenangkan pihak penggugat, yaitu sebuah majalah berita mingguan yang izin terbitnya dicabut. Keduanya tampak berbicara pada mahasiswa, lalu berbalik ke arah barikade. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Ia menunggu. Tampaknya terjadi tawar-menawar yang cukup lama. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Langit mulai berwarna keruh. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jam 16.38. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Lewat pengeras suara, komandan barikade mengucapkan terima kasih karena mahasiswa sudah berunjuk rasa dengan tertib. Lalu barikade itu bergerak mundur. Tak lama kemudian mahasiswa juga bergerak mundur. Beberapa mahasiswa yang membentuk pagar betis tetap bergandeng tangan menutup jalan, seolah menuntun kawan-kawannya kembali ke kampus. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jumlah mahasiswa di jalan terus berkurang. Sekarang mungkin hanya tersisa sekitar 500 orang. Ia menatap ke kampus. Di dalam kampus, jumlah mahasiswa yang masih bertahan juga jauh berkurang. Mungkin hanya berkisar ratusan orang. Sebagian tumpah ke pintu gerbang, memesan makanan atau minuman dari para pedagang yang berjualan di sana. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jam 16.45. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Tiba-tiba ia melihat orang itu, orang yang menjadi target bidikannya hari ini. Lewat lensa teleskop, ia melihat orang itu di depan salah satu gedung yang disebut Gedung A, tak jauh dari gerbang kampus. Orang itu berdiri pada posisi yang sangat terbuka. Ia tak mungkin salah! Wajah itu sudah tak asing lagi, sejak potret orang itu diberikan padanya dalam amplop tertutup tadi siang. Ia sudah memandangi potret itu cukup lama, sampai-sampai wajah orang itu seperti berpindah dari potret ke dalam kepalanya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Ia mulai membidik, ke satu titik di antara kedua alis mata dan beberapa sentimeter di atas pangkal hidung. Ia hanya berjarak 400 meter dari orang itu. Dengan peluru 5,56 mm di dalam senapan Steyr-nya, dan kecepatan tembakan 992 meter per detik, peluru akan mengenai kepala orang itu kurang dari setengah detik. Tak mungkin meleset, karena sore ini hampir tak ada angin. Peluru akan menembus kepala dalam garis diagonal, merusak otak dan sistem saraf, lalu keluar lewat tempurung belakang dan meninggalkan luka mengeroak. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Tapi saat ini belum saatnya menembak! Belum ada isyarat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jam 16.56. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Hujan mengucur dengan deras. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Lalu ia melihat ada keributan di dekat kantor lama walikota. Seorang berbaju putih tampak berlari ke barikade, dan beberapa mahasiswa mengejarnya. Orang itu menghilang ke dalam barikade. Lalu terjadi aksi saling dorong antara mahasiswa dengan lapis pertama barikade. Beberapa mahasiswa bahkan memukul-mukulkan bambu pengikat spanduk atau bendera. Ia melihat lapis kedua barikade mulai mengokang senapannya, sementara di tengah kedua kelompok itu tiga atau empat mahasiswa berusaha melerai sambil berteriak-teriak. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Keributan itu memancing para mahasiswa yang sudah berada di dalam kampus berlari keluar. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Bentrokan itu tak lama. Pelan-pelan suasana mereda. Mahasiswa berbalik kembali ke kampus. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Sekali lagi ia tersenyum kecut. Sangat mudah ditebak, kalau orang berbaju putih yang berlari tadi adalah intel yang sengaja ditaruh polisi di tengah massa mahasiswa. Dan pasti bukan perencanaan yang baik, karena orang itu ketahuan. Tapi bukankah kejadian hari ini bukan yang pertama kalinya? </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Jam 17.07. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Target bidikannya masih berdiri di depan Gedung A. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Lalu ia merasakan sesuatu yang aneh. Seperti ada yang salah pada cuaca sore ini. Hujan mereda, tapi setelah itu muncul gerimis yang aneh. Gerimis yang serupa serbuk-serbuk air. Jumlahnya sangat banyak dan berjarak rapat. Ia melihat serbuk-serbuk air yang kecil-halus dan hampir menutup seperti kabut, yang mengapung dan bergerak lambat-lambat. Ia melihat serbuk-serbuk air tanpa bobot yang tersendat, tapi mengayun-ayun tiap kali bergesek dengan angin yang tipis. Mengayun dan menari. Ini gerimis yang menari! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Ia tersentak. Suasana di bawah sana tiba-tiba berubah. Ia seperti mencium aura ketegangan, berkat latihan bertahun-tahun dan keterlibatannya dalam banyak pertempuran—terutama di ujung paling barat negara ini. Ia melihat regu penembak di jalan layang dan jembatan penyeberangan mulai bersiaga. Juga barikade di jalan samping dan beberapa personel angkatan darat di seberang kampus. Ia juga melihat tiga sosok mengendap-endap di atap salah satu gedung dalam kampus. Lalu ada yang melempar batu ke arah barikade di depan kantor lama walikota. Serentak lapis pertama barikade merangsek maju. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Inilah isyarat itu! </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif;"><div style="text-align: justify;">
Ia membidik. Orang itu masih saja berdiri di depan Gedung A. Tapi sepersekian detik setelah ia menarik pelatuk senapan, seperti ada seseorang yang menutup target bidikannya.</div>
</span><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: maroon; font-family: "kite pt sans", sans-serif; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody> </tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung.Semoga bermanfaat. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/04/pemenang-i-sayembara-cerpen-femina-2016.html" target="_blank">cerpen Harimau Lepas</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-59759183336738152152017-07-13T23:37:00.002-07:002017-07-13T23:37:49.751-07:00CERPEN KAFE, IMPRESI OLEH WENDOKO<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Kite+One" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #3333cc; font-family: "Kite One", sans-serif;">
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://4.bp.blogspot.com/-JNoaH0GmTSA/WWhmc5KkWwI/AAAAAAAADAc/pz041OSSORck3qJT9q_VtzTVjYRsmyzlgCLcBGAs/s1600/cup-of-coffee6-390x285.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="secangking kopi dari kafe" border="0" data-original-height="285" data-original-width="390" height="232" src="https://4.bp.blogspot.com/-JNoaH0GmTSA/WWhmc5KkWwI/AAAAAAAADAc/pz041OSSORck3qJT9q_VtzTVjYRsmyzlgCLcBGAs/s320/cup-of-coffee6-390x285.jpg" title="secangking kopi dari kafe" width="320" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">image <a href="http://www.dailyedge.ie/best-time-of-the-day-to-drink-coffee-1151334-Oct2013/" target="_blank">Shutterstock</a></td></tr>
</tbody></table>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Kafe adalah tempat perhentian. Tempat orang-orang bertemu atau singgah, pada satu jeda waktu. Tetapi pernahkah kau berpikir, berapa orang di kafe yang saling mengenal? Berapa banyak yang tak mengenal? Orang-orang selalu datang ke kafe, lalu duduk—sendiri atau mengelompok—dan berceloteh, pada satu jeda waktu. Atau hanya duduk diam, menyeruput kopi, dan mengamati sebelum akhirnya pergi lagi. Begitu banyak yang terjadi. Seperti waktu dan penggal peristiwa yang datang dan pergi.</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Dan di kafe aku bertemu banyak orang, setiap hari. Orang-orang yang sama, dan berbeda. Kadang waktu aku berhenti di depan barista, atau ketika mengangkat muka dan melihat seseorang melintas. Atau ketika saling menatap dengan orang di seberang meja—seolah mengenali—untuk waktu sedikit lebih lama. </div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Aku katakan orang-orang yang sama, dan berbeda. Kadang orang yang sama, yang pernah singgah, kembali ke kafe. Ia akan datang pada jam yang hampir sama, meminta kopi yang sama, duduk di meja yang sama lalu berkutat dengan laptopuntuk waktu yang lama. Kadang ia datang dengan tatanan rambut yang baru diubah, dengan pasangan lain, memesan kopi yang lain, lalu duduk atau berceloteh—tapi selalu berlarat-larat untuk segelas kopi. </div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Aku katakan, orang-orang yang sama—dan berbeda. Kadang orang yang sama tak kembali ke kafe. Orang lain yang datang, yang melewati pintu kaca, satu-satunya pintu kaca. Ia akan datang pada jam yang acak, tapi selalu mengulang adegan yang sama. Memesan kopi, menunggu di konter pengambilan, duduk diam atau berceloteh, berkutat dengan laptop atau telepon genggam, lalu mengotori meja dengan tisu, kertas gula, sedotan, dan kadang tumpahan kopi….
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
14 MEI.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Pintu kaca itu selalu membuka ke dalam, ketika seseorang mendorong atau menarik—mendorong untuk masuk atau menarik waktu keluar dari kafe.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Kafe tak terlalu penuh. Ada dua anak tanggung di meja dan bangku kayu. Lelaki dan perempuan berjejer di sofa jingga-ungu, di dekat palem kerdil dan rumput plastik dalam pot kayu. Lalu, di sudut yang agak redup perempuan itu termangu. Perempuan bersetelan Chanel warna gelap tapi bukan hitam, yang sesekali menyeruput kopi, dan menyeka mulut. Wajahnya agak bulat dengan rambut legam berserat cokelat dan mata agak sipit dan sedikit menukik di ujung dekat alis.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Tetapi aku tahu, sebulan yang lalu dua lelaki duduk di meja dan bangku kayu. Bercakap dalam suara rendah—lalu diam, sampai kafe hampir tutup. Dua anak tanggung bermain kartu di sofa jingga-ungu, sampai dua anak tanggung lain muncul di kafe. Di sudut yang agak redup, ada lelaki memesan dua gelas kopi. Lelaki dengan ujung kemeja menyembul, dan berdasi miring dengan manset. Wajahnya gembung, dan ia terus menelepon, dengan hanya satu gelas kopi, sebelum bergegas keluar dari kafe.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Kadang aku berpikir, orang-orang hanya masuk ke kafe, tapi tak pernah benar-benar keluar dari kafe. Seolah ada yang tertinggal pada dinding-dinding berwarna krem-muda, plafon cokelat-hitam, lantai separuh kayu dan separuh keramik dan karpet. Atau pada fasade kaca yang membingkai lanskap kota—dengan langit yang meleleh waktu hujan, gelap dan terang bertubrukan, bintik-bintik cahaya yang diam atau melingkar. Seolah coretan di sebuah kanvas berwarna hitam.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Dan pintu kaca itu selalu membuka ke dalam….
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Di depanku ada caffe latte. “Campuran 1/3 espresso dan 2/3 susu,” kata barista waktu menyorongkan kopi dengan busa tipis sampai ke bibir cangkir. Lalu ada jazz menyeruak di ruang beraroma kopi—di tengah gradasi lampu-lampu, jingga dan kuning.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
14 JUNI.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Kafe agak penuh. Suara-suara bergaung di setiap sudut—tapi tak ada yang kudengar utuh. Hampir tak ada bangku kosong. Di dekat kaca, seorang perempuan dengan rambut berserat marun dan kaos yang terbelah di bahu. Di depannya perempuan berkawat gigi dan berambut bop. Ada perempuan dengan anting-anting seukuran gelang, yang berkedip dalam cahaya lampu. Di dekat konter, seorang lelaki dengan pipi mengendur dan rambut tipis di kening yang sedikit berkerut.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Aku terus mengaduk caramel macchiato sambil mengamati warna putih-keruh di dasar gelas. Kukira itu steamed milk, yang perlahan menjernihkan warna espresso. Di muka gelas ada taburan serbuk cokelat, di tengah busa susu. Aku terus mengaduk dengan sedotan sampai susu bercampur, dan tinggal warna cokelat yang lembut. </div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Aku lalu menyesap kopi itu. Manis. Lebih manis dari cappuccino es. </div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Di sampingku, seorang lelaki tambun berkaos Lacoste dan celana Cinos. Rambutnya sudah mundur ke ubun-ubun. Mukanya gemuk, dengan kacamata plus. Sedari tadi kepalanya menggeleng, lalu mengangguk. Kakinya mengetuk-ngetuk, sesekali mulutnya melenguh. Ada earphone di telinganya yang juga gemuk. </div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Tetapi di depanku, di sudut yang agak redup—kulihat perempuan itu. Eh, bukankah perempuan itu juga duduk di sudut itu sebulan yang lalu? Malam ini ia bercelana jins hitam, dengan kaos biru-pekat di balik blazer hitam. Sedari tadi ia kelihatan merenung di bawah dinding cetakan mural di balik dua camgkir keramik mungil di meja. Tapi kopi apa yang diseduhnya dalam dua cangkir itu?
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Aku terus mengaduk kopi. Warna cokelat lalu memudar, tapi masih ada endapan susu di dasar gelas. Kopiku tinggal setengah, tapi perempuan itu tak juga menyesap kopinya. Waktu aku masuk, rasanya ia sudah ada di kafe—dan aku lalu mengamati wajahnya yang putih dengan hidung agak mencuat. Tapi dua cangkir di atas meja? Adakah yang ia tunggu, malam ini?
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
14 JULI.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
“Ini kopi konsentrat, yang didapat dengan menyemburkan air panas. Hasilnya, cairan mirip sirop yang kental. Larutan lebih padat, dan crema, busa cokelat kemerahan yang mengambang di permukaan.” Aku lalu mengamati espresso dalam cangkir.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
“…Kadar kafein kopi ini juga sangat tinggi. Satu ons cairan setara 1/3 kafein kopi lain dalam cangkir enam ons cair. Ibaratnya kopi tapi tak diseduh dengan air atau susu. Ini hanya satu shot.”
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Aku lalu menyesap kopi itu. Agak pahit, dan waktu kuteguk ada rasa atau aroma asam yang tertahan di mulut.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times, Times New Roman, serif;">Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-sang-penulis-oleh-noor-h-dee.html" target="_blank">Cerpen Sang Penulis</a></span></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Terdengar Miles Davis menyodokkan Summertime dengan trompet yang melantur, tapi mendesak. Ada ketukan-ketukan drum pada latar, yang menyendat. Satu kerangka musik dalam skala yang seperti pentatonik kukira, dan bernada A minor. Ada progresi harmoni yang lambat, menyarankan blues. Ada juga anasir lagu rakyat pada suara-suara yang seolah menyelusup angin itu.
Lalu kulihat lagi perempuan itu. Perempuan yang duduk sendiri, di sudut yang agak redup. Aku teringat, sebulan yang lalu ia juga duduk di sudut itu, diam, tapi tak menyeruput kopi.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
“Perempuan itu sering kemari,” kata barista waktu mengantarkan cairan gula. “Dan duduk di sudut itu. Ia tak mau bangku atau sofa lain. Selalu begitu. Ia akan datang pada jam yang sama, tanggal yang sama, dan memesan dua espresso. Tapi ia tak menunggu siapa pun. Tak menelepon atau bicara pada seorang pun. Ia hanya duduk, dan meneguk satu cangkir. Pernah sekali, waktu ia muncul, sudut itu sudah ditempati pelanggan lain. Ia berbalik, lalu pergi…. Ah, kau juga memesan espresso malam ini?”
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Aku lalu memandang perempuan itu. Malam ini wajah bulatnya agak redup. Mungkin karena ia duduk tegak dalam temaram lampu. Ia memakai blazer warna gelap, dan rok yang tertarik ke lutut waktu menyilangkan kaki. Di baliknya blus dengan satu kancing terbuka, memperlihatkan kalung di lehernya yang putih. Sedari tadi ia menatap ke satu titik di kafe, ke fasad kaca yang digelayuti gelap. Di luar hujan melompat liar, memukul-mukul kaca, pecah, lalu mencair. </div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Aku masih mengamati perempuan itu—meneliti wajahnya di tiap sudut. Juga waktu ia mengusap mulut dengan tisu. Kata orang, sekali kau dilukai, kau akan mampu melihat luka orang lain. Dan wajah itu seperti membuka diri, lapis demi lapis.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Malam terlamunkan di cangkir kopi….
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
14 AGUSTUS.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Kopi ini agak pahit, seperti kopi hitam tapi tanpa ampas. Warnanya juga cokelat-hitam—dalam gelas kertas merah-cokelat.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
“Americano. Ini espresso yang diseduh dengan air panas. Satu atau dua shots dalam 16 ons air. Americano itu menghilangkan crema. Sama kuatnya dengan drip coffee, tapi berbeda rasa. Ada banyak varian. Lungo misalnya, yang mengekstraksi espresso untuk waktu lebih lama dan dengan lebih banyak air. Atau red eye, seperti drip coffee tapi tak diseduh air panas.”
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
“Kau tak takut aku mencuri resep-resep ini?”
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Barista itu tersenyum, “Sobat, kau bisa membaca di mana saja. Tapi tiap kafe punya ramuan sendiri. Juga soal kecakapan si peramu, aku sendiri.”
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Tapi malam ini ada yang berubah di kafe. Ada lemari-lemari merapat ke dinding berisi gelas dan cangkir. Lalu tumbler dan coffee press dalam aneka bentuk dan ukuran. Di dinding samping cetakan mural, ada potret hitam-putih. Juga lukisan bermotif batik.
Selebihnya hanya aneka sofa dan kursi yang ditata dalam pola lingkar baris.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Kafe agak kosong. Perempuan muda dengan kereta bayi di meja dekat pintu. Perempuan lain membaca buku di dekat partisi lengkung. Ia berkaos turtleneck warna ungu, yang terus ditarik-tariknya selagi ia membaca buku. Rambutnya digelung. Hidungnya agak bengkok, dengan pahatan tulang pipi yang menonjol. Jari-jarinya berderap di tepi cangkir, yang mengepul.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Di sampingnya seorang lelaki termangu. Lelaki berotot, berambut cepak, dan sedikit berjanggut. Lehernya menjulur di balik dasi hitam dan kemeja marun. Ia juga membaca dengan mata mengernyit di balik kacamata tanduk.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Perempuan yang membaca buku mulai menyeruput kopi. Lelaki di sampingnya lalu menggeser kursi. Tapi buku apa yang dibacanya sejak tadi? Eh, Sex and the City!.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
SEKARANG, 14 OKTOBER.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Hampir jam 8. Lampu-lampu menyorot di fasad kaca. Juga di pilar-pilar dan dinding krem-muda yang buram. Di muka konter pengambilan, lima anak tanggung di tiga meja yang terpisah masing-masing dengan laptop di meja. Dua perempuan di sofa bundar terus menelepon, berbicara terlalu cepat atau seperti terengah. </div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Terdengar trompet Miles melantunkan Boplicity, di sela saksofon dan trombon. Satu kerangka musik dalam harmonisasi alat tiup. Piano hanya muncul pada 1/3 terakhir lagu, dengan latar drum yang jauh. Sebuah cool jazz yang rileks, mengalir dalam struktur yang berkelok. Agak ketinggalan pada beat, dengan suara-suara teredam, yang terpola menguatkan akor.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Di luar kafe, malam bertambah gelap pada langit yang dipenuhi lekuk-lekuk awan, yang lebih pucat. Cahaya membercak di rumput, helai daun, dan pelataran yang basah. Tapi ada kelengangan merangkak di dinding kaca. Lewat decit rem, klakson, aliran mobil, gedung-gedung memagar langit, atau siluet orang lalu-lalang tak bersuara.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Lalu ketukan-ketukan drum. Lalu dengung organ dan suara-suara berkelindan. Ada saat drum menghilang dan organ melambat. Saksofon menyodok perlahan. Lalu trompet, dan suara-suara undur ke belakang. Piano dan drum mendedas. Organ mendengung pada nada yang datar. Irama yang kaku, bergoyang tapi tak mengayun. Miles memainkan In a Silent Way yang kental dengan warna rock. Bukan rock, tapi tidak juga jazz yang biasa. Ada elemen sonata klasik. Tapi suara-suara kadang berselisih dalam irama tak standar dan bertumpu pada ekspresi. Suara yang tumpang-tindih. Begitu banyak suara, seolah muncul dari balik kepala. Sebuah gema, dalam disonansi yang retak mengendap, seolah kau masuk ke lorong saat subuh jam 3.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Tapi kenapa ada bau rokok di kafe?
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
…Eh, lama aku tak melihat perempuan yang duduk di sudut yang agak redup itu.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
“Sejak malam itu, waktu kau memesan espresso, ia tak kembali ke kafe,” kata barista, yang malam ini bertopi bisbol dan bercelemek cokelat-karamel.
Hampir jam 9.
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
“Tapi ia menitipkan kunci di konter, malam itu.”
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
“Kunci….”
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
“Ya. Katanya seorang lelaki akan mengambilnya.”
</div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; text-align: justify;">
Aku lalu teringat My Blueberry Nights. Hmm, kapan sebetulnya aku pernah menonton film itu?
</div>
<table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #3333cc; font-family: "kite one", sans-serif; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody> </tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah membaca. Semoga bermanfaat. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-sipleg-oleh-oka-rusmini.html" target="_blank">cerpen Sipleg</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-2522894223448468208.post-90060134497553720312017-07-12T23:27:00.000-07:002017-07-12T23:27:10.072-07:00CERPEN TANGAN-TANGAN BUNTUNG OLEH BUDIR DARMA<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<link href="https://fonts.googleapis.com/css?family=Alice" rel="stylesheet"></link><link></link>
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><a href="https://3.bp.blogspot.com/-vrU7MYopSos/WWcLMF5UHxI/AAAAAAAADAE/TBZ2Vn5EJSY9l7m4OnsbV_JbYDTOQwosgCPcBGAYYCw/s1600/images.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: auto; margin-right: auto;"><img alt="presiden tanda tangan berkas" border="0" data-original-height="160" data-original-width="316" src="https://3.bp.blogspot.com/-vrU7MYopSos/WWcLMF5UHxI/AAAAAAAADAE/TBZ2Vn5EJSY9l7m4OnsbV_JbYDTOQwosgCPcBGAYYCw/s1600/images.jpg" title="presiden tanda tangan berkas" /></a></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">image <a href="https://aclj.org/national-security/hawaii-loses-to-president-trump-again-this-time-at-the-9th-circuit" target="_blank">Jordan</a></td></tr>
</tbody></table>
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #e6b800; font-family: alice, serif; text-align: justify;">
Tidak mungkin sebuah negara dipimpin oleh orang gila, tidak mungkin pula sebuah negara sama-sekali tidak mempunyai pemimpin. </div>
<div .0001pt="" 0cm="" margin-bottom:="" margin:="" style="color: #e6b800; font-family: "Alice", serif;">
<div style="text-align: justify;">
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><br /></span></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Selama beberapa hari terakhir, sementara itu, semua gerakan baik di dalam negeri maupun di luar negeri mendesak, agar Nirdawat segera disyahkan sebagai presiden baru. Karena Nirdawat tidak bersedia, maka akhirnya, pada suatu hari yang cerah, ketika suhu udara sejuk dan langit kebetulan sedang biru tanpa ditutupi oleh awan, ribuan rakyat mengelilingi rumah Nirdawat, dan berteriak-teriak dengan nada memohon, agar untuk kepentingan bangsa dan negara, Nirdawat bersedia menjadi presiden. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Akhirnya beberapa di antara mereka masuk ke dalam rumah Nirdawat, lalu dengan sikap hormat mereka memanggul Nirdawat beramai-ramai menuju ke Gedung M.P.R. Sementara itu, teriakan-teriakan “Hidup Presiden Nirdawat,” terus-menerus berkumandang dengan nada penuh semangat, namun sangat syahdu. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Demikianlah, semua anggota M.P.R. menyambut kedatangan Nirdawat, dan segera menggelandang Nirdawat dengan halus dan penuh hormat untuk tampil di mimbar. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Ketua M.P.R. pun berpidato, singkat tapi padat. Inti pidato: rakyat sangat merindukan pemimpin yang baik, dan pemimpin yang baik itu tidak lain dan tidak bukan adalah Nirdawat. Maka Jaksa Agung dengan khidmat melantik Nirdawat sebagai Presiden Republik Demokratik Nirdawat (bukan salah cetak, memang presidennya bernama Nirdawat, dan nama negaranya diambil dari nama presidennya). </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Setelah menyampaikan pidato pelantikannya sebagai Presiden, dalam hati Nirdawat berkata kepada dirinya sendiri, bahwa dia akan bekerja dengan sebaik-baiknya, dan sebelum masa jabatannya berjalan satu tahun, dia tidak akan pergi ke luar negeri dengan alasan apa pun. Banyak persoalan dalam negeri harus dia hadapi, dan semuanya itu akan diselesaikannya dengan sebaik-baiknya. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Namun karena Nirdawat dikenal sebagai pribadi sederhana dan
pekerja keras serta tidak mementingkan diri sendiri, maka begitu banyak pemimpin negara berkunjung ke Republik Demokratik Nirdawat, tentu saja khusus untuk menemui Presiden Nirdawat.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Hasil pembicaraan dengan sekian banyak pimpinan negara itu mudah diterka: kesepakatan kerja sama dalam perdagangan, pendidikan, kesehatan, industri, dan kebudayaan. Ujung dari semua kesepakatan juga mudah diterka: dengan tulus tapi bersifat mendesak, semua pemimpin negara mengundang Presiden Nirdawat untuk mengadakan kunjungan balasan. Semua kunjungan balasan akan berlangsung paling sedikit tiga hari, karena dalam setiap kunjungan balasan, masing-masing pemimpin negara dengan bersungguh-sungguh menunjukkan kemajuan-kemajuan negaranya, dan juga kekurangan-kekurangan negaranya. Demi kepentingan semua negara, kerja sama harus segera dilaksanakan, juga dengan sungguh-sungguh. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Begitu sebuah kunjungan pemimpin asing usai, berita mengenai keengganan Presiden Nirdawat untuk melawat ke luar negeri muncul sebagai berita-berita besar, dan menarik perhatian hampir semua warga negara Republik Demokratik Nirdawat. Akhirnya, dengan berbagai cara, tokoh-tokoh masyarakat sekuler, tokoh-tokoh agama, dan tokoh-tokoh pemuda menyuarakan hati nurani mereka yang tulus, bahwa untuk kepentingan negara dan bangsa, Presiden Nirdawat benar-benar diharapkan untuk memenuhi undangan sekian banyak pimpinan negara-negara asing itu. Desakan demi desakan terus berlangsung. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Terceritalah, setelah malam tiba, dalam keadaan lelah Presiden Nirdawat masuk ke kamar tidur, dipeluk oleh isterinya, kemudian digelandang ke dekat tempat tidur. Dengan lembut isterinya memberinya beberapa ciuman, kemudian melepas baju Nirdawat, lalu melepas kaos dalam Nirdawat, dan akhirnya menelungkupkan tubuh Nirdawat di tempat tidur. Kemudian, dengan lembut pula isterinya memijit-mijit punggung Nirdawat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
“Nirdawat, cobalah kita kenang kembali masa-masa pacaran kita dulu. Kita berjalan-jalan di kampus, duduk-duduk di rumput, kemudian berjalan lagi ke bawah pohon jejawi, dan berbincang mengenai keinginan-keinginan kita. Bagi kita itulah keinginan biasa, tapi bagi teman-teman, keinginan itu merupakan cita-cita mulia.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
“Cobalah kita tengok peta dunia ini,” kata Nirdawat dalam sebuah pertemuan dengan teman-temannya setelah membentangkan sebuah peta dan menggantungkannya di dinding. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Bagi mereka yang tidak pernah menghadiri pertemuan itu, amat-amatilah nama sekian banyak negara dalam peta, maka tampaklah sebuah negara yang namanya beberapa kali berubah. Setelah sekian lama nama ini berubah, akhirnya negara ini punya nama baru, yaitu Republik Demokratik Dobol, lalu berubah menjadi Republik Demokratik Abdul Jedul, lalu disusul oleh nama baru lain, yaitu Republik Demokratik Jiglong. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Bukan hanya itu. Ternyata bendera negara ini juga berubah-ubah sesuai dengan nama negaranya. Maka pernah ada bendera dengan gambar seseorang berwajah beringas bernama Dobol, lalu ada bendera dengan gambar Abdul Jedul dengan wajah garang, disusul oleh bendera bergambarkan wajah tolol Jiglong. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Mengapa nama negara dan benderanya berubah-ubah, padahal negaranya sama? Tidak lain, jawabannya terletak pada kebiasaan di negara itu: dahulu, ketika bentuk negara ini masih kerajaan dan tidak mempunyai undang-undang dasar, ada kebiasaan untuk menamakan negara itu sesuai dengan nama rajanya. Yang mewakili
nama raja, dengan sendirinya adalah wajah raja, dan karena itulah, maka bendera negara juga disesuaikan dengan wajah rajanya.
Menurut cerita, seorang jendral kerajaan bernama Dobol berhasil menggulingkan kekuasaan raja terakhir, dan bentuk negara pun berubah menjadi Republik Demokratik. Republik karena negara tidak lagi dipimpin oleh raja tapi oleh presiden, dan demokratik karena siapa pun berhak menjadi presiden asalkan memenuhi syarat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
v
Maka, negara yang dulu diatur oleh kebiasaan tanpa undang-undang, semenjak Dobol menjadi presiden, kebiasaan pun diganti dengan undang-undang dasar. Karena Dobol beranggapan bahwa undang-undang dasar tidak boleh seluruhnya bertentangan dengan kebiasaan lama, maka dalam undang-undang yang kata Dobol bersifat sementara itu pun dengan tegas mencantumkan kata-kata, bahwa nama negara disesuaikan dengan nama presiden. Bendera negara pun, mau tidak mau, harus menampilkan wajah presiden.
Karena dalam kebiasaan lama masa jabatan raja tidak ada batasnya, maka, supaya undang-undang dasar tidak sepenuhnya
bertentangan dengan kebiasaan lama, dalam undang-undang dasar negara republik demokratik ini, pasal mengenai masa jabatan presiden pun tidak perlu dicantumkan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div style="text-align: justify;">
Baca: <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-sang-penulis-oleh-noor-h-dee.html" target="_blank">Cerpen Sang Penulis</a></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Demikianlah, Dobol menjadi Presiden Republik Demokratik Dobol, dan karena masa jabatan presiden tidak ada pasalnya dalam undang-undang dasar, maka Dobol pun menjadi presiden sampai lama sekali, sampai akhirnya Sang Takdir menanam sebuah biji bernama tumor ganas dalam otak Dobol. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Meskipun akhirnya lumpuh total, semangat Dobol untuk patuh kepada undang-undang dasar masih menyala-nyala dengan semangat penuh. Dalam undang-undang dasar dinyatakan dengan tegas, siapa pun berhak menjadi presiden, asalkan memenuhi syarat. Dan seseorang yang memenuhi syarat, tidak lain adalah Abdul Jedul bukan sebagai anak Dobol, tetapi sebagai warga negara biasa yang kebetulan adalah anak presiden negara republik demokratik ini.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Demikianlah, maka Abdul Jedul menjadi Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, sampai akhirnya Sang Takdir mengulangi tugasnya sebagai penguasa hukum alam: sebuah bibit tumor ganas disisipkan ke dalam otak Abdul Jedul, dan tamatlah riwayat Abdul Jedul. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Karena, sebagaimana halnya Dobol, Abdul Jedul juga sangat setia dengan undang-undang dasar negara yang kata Dobol dulu bersifat sementara, maka jatuhlah kekuasaan presiden republik demokratik ini ke tangan Jiglong, seseorang yang memenuhi syarat untuk menjadi presiden bukan karena dia anak Presiden Republik Demokratik Abdul Jedul, tapi karena sebagai warga negara biasa dia benar-benar memenuhi syarat untuk menjadi presiden. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Kebetulan Jiglong anak manja, malas, suka foya-foya, dan tentu saja suka main perempuan, dan karena merasa kekuasaan dan hartanya tidak mengenal batas, maka berjudi pun dia lakukan dengan penuh semangat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Setelah Jiglong merusak negaranya sendiri selama beberapa tahun, maka Sang Takdir pun mulai melakukan gerilya: kali ini tidak dengan jalan menanamkan bibit tumor ke dalam otak, tapi membuat otak Jiglong sedikit demi sedikit miring. Maka Jiglong pun tidak bisa lagi membedakan siang dan malam, dekat dan jauh, langit dan bumi, dan yang lebih payah lagi, Jiglong tidak bisa membedakan apakah seseorang itu laki-laki atau perempuan. Maka, diam-diam Jiglong suka keluyuran sendiri di kampung, berusaha memperkosa perempuan, tapi ternyata laki-laki. Para pengawal pribadi dia pun sudah agak acuh tak acuh. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Akhirnya, penggulingan kekuasaan pun terjadi, tanpa tahu siapa pemimpinnya, dan tanpa pertumpahan darah sama sekali. Tanpa diketahui siapa yang memberi komando, tahu-tahu Jiglong sudah diringkus dan dilemparkan ke rumah sakit jiwa. Juga tanpa diketahui siapa yang memberi komando, sekonyong-konyong serombongan anak muda merebut stasiun televisi dan radio, lalu secara spontan mengumumkan bahwa sejak saat itu nama negara diganti dengan Republik Demokratik Nirdawat, dengan bendera berwajahkan Nirdawat. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
“Kau harus melakukan sesuatu, Nirdawat, sekarang juga. Aku selalu mendampingimu,” kata isterinya dengan lembut, lalu menciumi Nirdawat lagi dengan lembut pula. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Keesokan harinya keluar Dekrit Presiden, terdiri atas tiga butir, yaitu mulai hari itu nama negara diganti dengan nama baru yang tidak boleh diubah-ubah lagi, yaitu Republik Demokratik Nusantara. Itu butir pertama. Butir kedua, bendera Republik Demokrasi Nusantara harus diciptakan dalam waktu sesingkat-singkatnya, tanpa
mencantumkan wajah siapa pun juga. Dan butir ketiga, masa jabatan presiden dibatasi paling banyak dua periode, masing-masing periode lima tahun. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Lagu kebangsaan, seperti yang lalu-lalu, tinggal diganti liriknya. Dulu nama raja dipuja-puji, lalu nama Dobol diangkat-angkat setinggi langit, disusul dengan pujian-pujian kepada Abdul Jedul. Terakhir, nama Jiglong dijejalkan ke dalam lagu kebangsaan, tentu saja dengan gaya puja-puji. Sekarang nama orang dihapus, diganti dengan nama negara, yaitu Republik Demokratik Nusantara.
Maka, sesuai dengan tugasnya, mau tidak mau Nirdawat sering melawat ke luar negeri. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Dalam sebuah perjalanan pulang dari kunjungan ke beberapa negara di Amerika Latin, dalam pesawat Presiden Republik Demokratik Nusantara memberi penjelasan kepada wartawan.</div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
“Sebagaimana kita ketahui bersama, semua kepala negara dan pejabat penting yang kita kunjungi pasti memuji-muji kita. Republik Demokratik Nusantara adalah negara hebat, perkembangan ekonominya luar biasa menakjubkan, dan presidennya pantas menjadi pemimpin dunia. Coba sekarang jelaskan, makna pujian yang sudah sering saya katakan.” </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
“Pujian hanyalah bunga-bunga diplomasi,” kata sekian banyak wartawan dengan serempak. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Mereka ingat, pada masa-masa lalu, semua pujian kepada negara mereka dari mana pun datangnya, dianggap sebagai kebenaran mutlak. Negara mereka memang benar-benar hebat, perkembangan ekonominya sangat mengagumkan, dan presiden negara ini benar-benar pantas menjadi pemimpin dunia. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Terceritalah, di bawah pimpinan Presiden Nirdawat, Republik Demokratik Nusantara makin melebarkan sayapnya: sekian banyak duta besar ditebarkan di sekian banyak negara yang dulu sama sekali belum mempunyai hubungan. Presiden Nirdawat, dengan sendirinya, harus hadir tanpa boleh diwakilkan. </div>
</span><div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<span style="color: #e6b800; font-family: alice, serif;"><div style="text-align: justify;">
Namun sayang, masih ada satu negara lagi yang belum terjamah oleh Republik Demokratik Nusantara, padahal negara ini terkenal makmur dan pemimpin-pemimpinnya hebat-hebat, setidaknya berdasarkan catatan-catatan resmi. Para pemimpin sekian banyak negara berkali-kali memuji keramahan penduduk negara itu, keindahan alam negara itu, dan kemakmuran negara itu. Maka, setelah waktunya tiba, datanglah Presiden Nirdawat ke negara itu. Laporan tlisik sandi ternyata benar: di negara yang sangat makmur ini, banyak pemimpin bertangan buntung. Hukum memang tegas: barang siapa mencuri uang rakyat, harus dihukum potong tangan.
Dan Presiden Nirdawat dari Republik Demokratik Nusantara pun sempat terkagum-kagum: ternyata, para pemimpin buntung justru bangga. Kendati mereka kena hukuman potong tangan, mereka tetap bisa menjadi pemimpin, dan tetap dihormati.</div>
</span><table cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="color: #e6b800; font-family: alice, serif; margin-left: auto; margin-right: auto; text-align: center;"><tbody> </tbody></table>
</div>
<div style="text-align: justify;">
Terima kasih sudah berkunjung. Semoga bermanfaat. Baca juga <a href="https://candumembaca.blogspot.co.id/2017/05/cerpen-sipleg-oleh-oka-rusmini.html" target="_blank">cerpen Sipleg</a></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/13541280106104182037noreply@blogger.com1