loading...

CERPEN SEBUAH SURAT UNTUK PHYTAGORAS OLEH SUNGGING RAGA


sebuah surat

Kita adalah sepasang angka sederhana, sepasang angka dalam rumus sisi miring segitiga. Apakah kita sedang berbalas puisi? 

Tiba-tiba sebuah algoritma menarik kita ke dalam malam yang sepenuhnya tak biasa. Malam yang menawarkan sudut pandang paling indah tentang cinta yang buram dan remang. Tak ada bulan malam itu, tak ada lampu merkuri yang membuat napasmu terang oleh cahaya. Hanya ada kata dan angka, yang membuat kita merasa sedang bercanda di bawah tetesan musim bunga. 

Seperti matematika, kau pun memilih untuk mencari jalan terjal untuk menyelesaikan rumus sederhana di hadapan kita, sebuah rumus air mata, sementara aku memutuskan untuk bersikap pengecut menunggumu tanpa romansa. Bahwa cinta bisa begitu berbatu oleh kata-kata, itu juga sudah kau ucapkan. Kau seperti menarikku ke dalam kepergian yang asing, yang belum sempat kucatat setiap jejaknya. Dan kau tahu? Kita tidak hidup di sebuah segi tiga sama kaki yang menjadikan segala yang simetris menjadi berharga, kita lebih suka untuk mendefiniskan segala sesuatu sebagai sebuah segi tiga yang memiliki sebuah sudut siku-siku, sehingga kita bercinta di garis phytagoras, dan aku ingin merangkulmu dari sudut yang paling sepi itu, tanpa terangnya romantisme yang penuh kamuflase, tanpa hakikat kesabaran merangkai asmara lewat jalinan air mata. Tetapi bukankah masing-masing dari kita terpenjara oleh perhitungan buta? Bahkan ketika pintu itu terbuka, ketika segi tiga rekayasa itu menelan setiap kata dan angka, kita tak pernah pasti menyatakan bahwa kita akan bercerita. Kau yang berdiam di sana, hanya merasa sebagai perempuan paling luka, sementara aku seperti lelaki yang paling mudah terbaca. 

“Apakah kita bisa melakukan sesuatu di dalam segi tiga ini?” 

Bahkan kesetiaan seperti lampu-lampu redup yang menaungimu. Bahkan aku tak tahu apakah hatimu seperti pintu keluar dari sebuah diskografi perpisahan. Ataukah kau hanya sebuah cermin dari setiap duka yang senantiasa merapatkan rongga-rongga perasaan. Sama seperti romansa sepasang remaja berkaca mata di dalam kelas matematika, kita menjadi terlalu rumit, sangat rumit untuk dipecahkan. 

Terkadang kubayangkan kita hanya manusia purba, hanya mengenal alam yang diam, ketika setiap kata-kata akan berbau daun-daun basah yang segar, atau hijau seperti bukit-bukit teh di dataran tinggi, atau kita hanya sepasang angsa yang hidup dalam puisi anak-anak, kubayangkan seperti itu, sehingga kita tak perlu membuat prasasti tersendiri untuk membubungkan cinta yang bergerigi. 


“Ini hanya segi tiga, bukan cinta segi tiga.” 

Dan waktu terasa berjalan amat cepat, padahal waktu tak beranjak. Detik masih terangkai di ujung jarum yang jauh. Tetapi kita telah membuat jarum sendiri, memutar keraguan kita sendiri. Aku tahu, bahwa keraguan bisa menjadi bangkai waktu, mungkin karena itulah aku ingin mempersingkat waktu, meski mereka bilang bahwa cinta akan lebih indah jika disampaikan lewat gerbong-gerbong metafora, tetapi aku ingin bicara saja dengan detonasi bocah kecil yang ceria. 

“Tunggu, padahal aku belum melakukan apa-apa,” katamu segera. 

Tunggu, bukankah seorang perempuan bisa melukai tanpa harus melakukan apa-apa? Bukankah perempuan bisa menggali setiap jurang dalam diamnya yang abadi? Mungkin kita adalah sepasang angka yang tersesat. Atau kau yang membuatku tersesat dari sebuah pintu keluar yang terbata-bata. 

Sebab ini panggung segi tiga. Rawan air mata. 

Bahwa pertanyaan-pertanyaan terkadang tidak memberikan pilihan jawaban, kau pun telah mengatakannya. Sebenarnya kita tidak membuat kerangka algoritma, sebab angka-angka telah siap, dan huruf-huruf berbaris rapi membentuk wajahmu yang maya. Tetapi perhitungan ini terlanjur menghitam, membentuk jalinan rumit tentang sebuah melodrama kesetiaan. 

Barangkali aku hanya berdiri di sudut paling lemah di kelopak matamu, sudut yang kadang terang kadang padam, dan aku tak memiliki ekspektasi apa pun untuk menyentuhmu. Kita tahu, kita hidup di dalam fiksi yang berjalan, kita adalah monolog yang bersilang di sisi miring phytagoras, yang jika bertumbukan maka hanya akan ada pecahan kematian abstrak. Dan kau seperti telah melakukan segala sesuatu, bahwa angka-angka dan kata-kata tidak benar nyata, kau seperti menggenggam sesuatu yang halus dalam diriku, sesuatu yang mudah raib, seperti air mata. 

Lalu bagaimana dengan kemungkinan-kemungkinan itu? Bahwa aku akan membawamu beranjak dari segi tiga itu, bahwa aku telah berjanji untuk mengajakmu berdiam di sudut-sudut terindah rel kereta, dan hanya kita berdua selamanya, maka aku akan tenang memandangmu, layaknya memandang langit yang menumpahkan sampah-sampah hujan. Oh. Apakah kita juga akan tertembus hujan? Sebab hujan adalah garis-garis yang tak pernah bisa diterjemahkan oleh angka-angka. Karena kita tahu, cinta yang tergesa-gesa selalu cemas oleh hujan. 

Sekarang sudah kutulis semua keraguan itu, kulenyapkan semua kemungkinan yang tak berpenghuni. Kelak jika bisa kugenggam erat tanganmu, akan kuajak kau ke stasiun paling bisu di sepanjang rel kereta itu, rel kereta yang mengenal betul jejak-jejak musim bunga, dan kubiarkan kau lenyap dalam batas rel yang mengerucut seperti segi tiga. 

Maka pejamkan matamu, sebab dalam jarak tak berhingga ini, kita akan saling menguji betapa imaji kita terlalu tajam, meski sesungguhnya aku tak punya cukup bahasa bahkan hanya untuk membayangkan rambutmu yang menumpahkan ilusi yang terus memanjang. 

“Sebab aku ingin bercinta tanpa mata di sini.” 

“Tanpa metafora?” 

“Tanpa metafora.” 

Ya. Bersama imajinasi yang tergesa ini, bersama sisa aroma kata-kata yang terbakar ini, aku telah berjanji, akan kutelusuri semua sudut segi tiga, dari sepasang bintik buta dan hatimu…. 

Sampai aku menjadi air mata terakhir di hatimu yang kaca, airmata yang terus meneteskan airmata.
Terima kasih sudah membaca. Semoga menginspirasi. Baca juga cerpen Menanti Bangau Lewat
CERPEN SEBUAH SURAT UNTUK PHYTAGORAS OLEH SUNGGING RAGA CERPEN SEBUAH SURAT UNTUK PHYTAGORAS OLEH SUNGGING RAGA Reviewed by Unknown on 12:34 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.