loading...

SIKAT GIGI OLEH DEE

gambar pensil sikat gigi
image toothbrush
Pujangga itu melongokkan kepala dari jendela mobil tanpa takut kepalanya tersambar kendaraan nakal yang kada menyalip dari kiri, tetap menatap langit yang berantakan oleh bintang lalu rebut sendiri. ia selalu histeris akan hal-hal yang tak kumengerti.

Setelah kami berdua duduk di atas rumput, dengan tabah ia menjelaskan. ‘Coba lihat. Langit begitu hitam sampai batasnya dengan Bumi hilang.akibatnya, bintang dan lampu kota bersatu, seolah-olah berada di satu bidang . indah, kan?’

Ia pun dianugerahi kemampuan untuk menjelaskan segalanya dengan tepat, rasional, dan masih kedengaran cantik. Itulah satu-satunya cara agar aku mampu mengerti keindahan yang ditangkap matanya. Aku bukan pujangga dan tak pernah bisa bermetafora. Monokrom dan kurang dimensi, katanya selalu tentang diriku. Praktis dan realistis, begitu aku menerjemahkannya.

Dengan segenap rasio dan akal, aku mencintai perempuan di sampingku itu. Egi, yang telah lama kukenal, teman baikku, sosok yang kubanggakan dan kukagumi. Ia mampu berpanjang lebar menjelaskan cinta dan adieksistensinya pada aku yang tak pernah mau repot menganalisis. Yang kutahu, aku peduli padanya, tidak pernah bosan seharian bersamanya, dna yakin bahwa kami dapat bekerja sama membina apa pun, termasuk rumah tangga. Itulah aplikais substansi berjudul ‘Cinta; bagiku. Cukup sekian. Egi juga itu.

‘Kamu kedinginan?’ tanyaku sambil siap-siap membuka jaket.

Mendengarnya, Egi yang hanya memakai cardigan tipis menjadi sadar akan dinginnya cuaca. Ia pasti telah hanyut jauh dalam dunianya sendiri. Di sana jiwanya barangkali dihangatkan, lalu merembet hingga ke kulit.

Dalam balutan jaketku Egi meringkuk. Sorot matanya masih melayang-layang. Aku tahu apa yang ia lamunkan, apalagi setelah mendengar helaan napasnya, tapi enggan aku bertanya. Buat apa mengungkit sesuatu yang hanya membuat pikiranku terganggu.

Tak lama kemudian kami kembali ke Jakarta.

‘SUdah lama kita tidak ke Puncak lagi,’ ujar Egi yang melanggang dengan sikat gigi di tangan. ‘Terakhir kapan, ya?’

‘Enam minggu yang lalu? Waktu langit dan Bumi jadi satu itu,’

Egi menatapku lucu ‘Kamu punya ingatan hebat, tapi kamu mengucapkannya sama datar dengan bilang 1+1=2…’

Suara sikat beradu dengan gigi menggema dari kamar mandi. Aku pun kembali membaca dengan kaki berselonjor di sofa panjang. Egi selalu lama bila menyikat gigi.

Tiba-tiba suara gosokan itu berhenti. Malam yang hening membuatku menjadi awas akan perbahan yang terjadi. dari pantulan kaca, kulihat pintu kamar mandi terbuka dan Egi tengah mematung dengan mulut penuh busa.

‘Egi, kenapa?’ terdengar suara berkumur. Keran dimatikan.

‘Tio, saya pulang, ya.’ Lunglai ia menghampiriku.

‘Kamu di sini saja. Besok pagi saya antar pulang. Saya malas keluar lagi,’ kataku sambil menguap. Tak perlu berbasa-basi dengan Egi. Kami sudah cukup dewasa dan cukup dekat untuk tidka lagi canggung kalau Egi terpaksa menginap di tempat tidurku, bangun pagi dan sarapan bersama, lantas aku mengantar dia pulang atau ke tempat kerjanya. Egi bahkan menginventaris sebuah sikat gigi di sini.

Mata itu bersaput air. ‘Saya merasa tidak karuan,’ gumamnya pelan.

Rasa bersalah mengigitku. Sikap terlampau kritis pada Egi dan air matanya seringkali mendorongku untuk menginjeksikan logika yang kupikir perlu, yang malah membuatnya tambah sedih dan menganggap aku tak bisa atau tak sudi menolongnya. Pantas jika ia memilih pulang daripada meledakkan tangisnya di depanku.

‘Silahkan kamu menangis selama mungkin. Saya janji akan diam.’ Aku tersenyum dan menariknya duduk di sampingku, kembali membaca.

‘Tio…’ panggilnya setelah lama mematung. ‘Saya suka sekali menyikat gigi. Mau tahu kenapa?’

Ingi kulontarkan jawaban spontan seperti ‘supaya gigi tidak bolong’, atau ‘afeksi berlebihan pada rasa odol, tapi kuputuskan untuk diam.

‘Walau saya menyikat gigi, saya tidak mendengar apa-apa selain bunyi sikat. Dunia saya mendadak sempit… Cuma gigi, busa, dan sikat. Tidak ada ruang untuk yang lain. hitungan menit, Tio, tapi berarti banyak.’

Aku tahu apa yang kau maksud, wahai Egi, pujanggaku sayang. Cukup lama aku terlatih membaca makna-makna tersirat dalam kalimatnya, walaupun belum cukup lama untuk mengerti alasan di balik itu semua, misalnya, buat apa ia pelihara luka hati yang Cuma bikin matanya berair?

Aku menatapnya iba. Egi dengan pipi basah, tangisannya yang tak pernah bersuara, dan linangan itu menderas ketika aku menutup bukuku, memilih untuk merangkulnya.

‘Kamu… pasti sebenarnya… sudah ingin ngomel-ngomel,’ ia berbisik susah payah.

Kutepuk-nepuk bahunya, ‘Saya tetap tidak mengerti. tapi semuanya terserah kami.’

Saat seperti ini selalu membuatku berpikir, jangan-jangan aku yang terlahir cacar. Ada satu bahasa di semesta ini yang tidak terikut ke dalam paket genetikku, makanya aku gagal mengerti. Padahal seorang ahlinya ada sangat dekat di sini, Egi, guru besar bahasa aneh itu. Bahasa dari planet tempat cinta punya logika serta hukum sendiri.

Aku dikutuk selamanya menjadi makhluk ekstra-teres-trial.

Ulang tahunnya yang ke-27. Setelah bersenang-sebang bersama serombongan teman, kini kami kembali berdua. Mata yang menerawang jauh, kaki yang meringkuk, napas yang mulai ditarik-ulur. Demikian Egi, bahkan pada hari seistimewa ini

Keheningan selalu membawanya ke perbatasan yang sama, batas antara dunia tempat kami ada dan dunia yang tak mengukutkanku serta. Tak pula ada yang bisa menahannya menyeberang pergi.

‘Ini… hadiah untuk kamu.’ Aku menjegal langkah terakhirnya sebelum menginjak antah berantah itu.

Egi terkejut melihat kotak di depan mukanya. ‘Sejak kapan kamu kasih kado segala?’

‘Usia 27 itu usia penting,’ jawabku sekenanya.

Tawanya semringah ketika tahu apa isi kotak itu.

Aku sibuk menjelaskan. 'Sikat gigi eletronik. Bergaransi, watt kecil, antiplak, sikatnya banyak dan masing-masing beda fungsi. Seri ini punya kemasan khusus buat travelling, cukup kecil untk kami bawa-bawa di dalam tas. ini buku panduannya…’

‘Tio,’ potongnya geli seraya menahan tanganku, ‘saya tahu kamu itu manusia praktis yang pasti memilih hadiah seperti ini, tapi… kenapa sikat gigi?’

Kutatap kedua mata itu, hanya untuk menemput kegugupan yang membuatu gelagapan. ‘Soalnya…ehm, soalnya…’ kubersihkan tenggorokan, mengursir jauh-jauh keparat yang menghabar lidah, melirik dan mendapatkan Egi tengah tersenyum menunggu jawbanku. Senyuman yang melonjakkan listrik di jaringan otak. Senyuman yang meyakikanku bahwa dunia ini cukup indah tanpa perlu lagi surge. Senyuman yang membuatku berkecukupan.

‘Saya tidak pernah mengerti dunia dalam lamunan kami,’ kata-kata itu akhirnya meluncur keluar, ‘pengharapan yang kamu punya, dan kekuatan macam apa yang sanggup menahan kamu begitu lama di sana. Tapi kalau memang sikat gigi itu tiket yang bisa membawa kamu pulang, saya ingin kamu semakin lama menyikat gigi, semakin asyik, sampai moga-moga lupa berhenti. Karena berarti kamu lebih lama lagi di sini, di dunia yang saya mengerti. satu-satunya tempat saya eksis buat kamu.’

Ia terperangah. Bahunya bergerak. Menjauh.

‘Egi… janga…’ bisikku waswas.

‘Kamu tahu perasaan saya, dan saya tidak mau membahas soal ini lagi.’

‘Tapi beginilah kenyataannya, saya tidak pernah berubah dari bertahun-tahun yang lalu… kamu tahu itu…’

‘Kamu sahabat saya… sahabat terbaik…; Ia makin menjauh. Bersiap menutup diri.

‘Sampai kapan kamu terus mengharapkan dia?!’ Tak tahan aku berseru. ‘Orang yang tidak pernah ada saat kamu paling membutuhkan dukungan, orang yang mungkin memikirkan kamu hanya seperseribu dari seluruh waktu yang kamu habiskan buat melamunkan dia, orang yang tidak tahu kalau kamu bahkan harus menyikat gigi demi melepaskan dia barang tiga menit dari pikiran kamu?’

‘Dia ingin datang. Biar itu Cuma dalam hati. dan dia akan menjemput saya, pada kesempatan pertama yang dia punya. Saya bisa merasakan kalau dia selalu memikirkan saya.’

‘Kapan kamu akan bangun?’ keluhku letih.

Tegas kepalanya menggeleng. ‘Ini namanya cinta sejatih. Satu hal yang tidak pernah kamu tahu.;

Aku balik menggeleng. ‘Itu kebutaan sejati. Kamu memilih menjadi tuna netra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. dan kesedihan kami pelihara seperti orang mengobati luka dengan cuka. Bukan obat merah.’

Lama Egi terdiam menatapku kasihan. Wajahku di sentuhnya sekilah. ‘Semoga satu saat kamu mengerti.’

Habis sudah persediaan kata-kata. Keyakiannya berada di luar akalku. Aku ini ET. Jadi, mana mungkin bisa ngerti’.

Aku mencintai Egi. Egi mencintai pria lain, yang menahun sudah membiarkannya terkatung-katung. Demikianlah fakta sedeharna yang kami ketahui bersama. Kemalangan itu diperparah lagi karena keinginanku yang logis utnuk memilikinya bukanlah cinta bagia Egi, sementara cintanya Egi masokis juga alien bagiku.

Jembatan kmunikasi kami runtuh. Dua manusia yang telah bersahabat bertahun-tahun lamanya berubah asing dalam semalam. Mungkin sudah saatnya.

Hampir genap setahun tak ada Egi dalam hari-hariku. Tidak ada lagi yang menerjemahkan keindahan alam. Tidak ada lagi yang menunjukkan signifikansi di balik hal-hal remeh. Tidak ada lagi yang duduk di sofa panjangku untuk melalap tulisan para filsuf yang mendedah makna hidup. Dan yang paling aku kehilangan adalah mendengarnnya menyikat gigi.

Setiap kali aku berusaha merasionalissasikan semua ini, kesimpulanku selalu sama, aku harus menemuinya lagi. bukan hal sulit untuk menemukannya. Ia masih Egi yang dulu, yang dapat kutemui sore-sore sedang membaca buku di bangku taman yang berbukit-bukit di kompleks rumahnya. Yang sulit justru mengungkapkan apa yang tak pernah kusadari, dan lebih sulit lagi untuk tidka punya harapan apa-apa sesudahnya.

baca juga cerpen filosofi kopi

‘Egi…’

Punggung itu berbalik, matanya bterbeliak tak percaya mendapatkanku muncul kembali dalam hidupnya begitu saja. lebih kaget lagi saat aku berlutut dan meraih jemarinya dengan tangnaku yang dingin. ‘Sebentar saja. saya tidak akan lama,’ ucapku cepat dengan kepala tertunduk.

Ia tidak berkata apa-apa, jemarinya saja ikut dingin.

‘Saya tidak akan pernah jadi pujangga dan tetap ngantuk kalau baca buku filsafat. Saya tetap Tio, si monokrom-whatever yang melihat segalanya dengan tiga dimensi, dan bukannya empat seperti kamu. Tapi sekarang saya mengerti kondisi aneh itu…’ aku menantang matanya, menelanjangi diri sendiri, ‘karena saya sudah mengalaminya. Kebutaan itu. saya tahu sekarang, saya mencintai kamu bukan hanya dengan logika dan rasio. Bukan sekadar kamu memenuhi standar ideal saya. tapi… karena saya juga mencintai kamu di luar akal. Satu tahun saya menemukan cukup banyak alternative yang masuk akal, tapi saya memang tidak ingin yang lain. hanya kamu. Apa adanya. Termasuk alam lamunan yang tidak pernah melibatkan saya.

‘Dan saya tetap Tio, yang kalkulatif dan tidak mau rugi tapi kali ini saya benar-benar mengarap apa-apa. Saya hanya ingin mengatakan ini semua, dan.. sudah.’ Aku menutup pertanyaanku dengan senyuman semampunya. Berusaha bangkit berdiri, walau berat rasanya menopang tubuh dengan lutut yang bergetar.

Tangan Egi yang sesejuk es menahanku.

‘Kamu mau ke mana?’ tanyanya lirih.

‘Jalan-jalan…’ jawabku tidak yakin.

‘Ikut,’ujarnya pendek seraya berdiri melipat buku.

Kami berdua berjalan meninggalkan taman, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Tak ada jejak spasi kosong dari satu tahun yang sepi itu.

‘Saya sendiri sudah banyak berpikir, murni dengan sel-sel otak seperti yang sekalu kamu anjurkan, menerjemahkan apa yang kamu anggap absuditas. Dan kesinm pulannnya…’ ia berkata mengeja, genggaman tangannya terasa hangat, ‘alam hati saya tidak mungkin dimengerti siapa-siapa. tapi ke mana pun saya pergi, kamu tetap orang yang paling nyata, paling berarti. Saya tidak mesti menyikati gigi untuk bisa pulang. Kamulah tiket sekali jalan.’

Egi tahu aku butuh jeda untuk memahami ucapannya, karena itu langkah kakinya berhenti dan, lewat sorot matanya, ia kirimkan pernyataan yang tak perlu diterjemahkan. Bahasa mutual kami pertama.

‘Kamu hidup nyata saya, Tio. Dan saya tidak mau ke mana-mana lagi. itu juga kalau kamu tidak keberatan kita menjaninya pelan-pelan…’ setengah berbisik ia menegaskan.

Perjalan singkat menuju mobilku sore itu menjadi gerbang sebuah perjalanan baru yang panjang.

Egi bernar. Banyak hal yang tidak bisa dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan. Dan kesempatan itu harus ditawarkan setiap hari oleh kedua belah pihak. Aku pun benar, kami berdua mampu membangun apa saja, baik persahabatan belasan tahun maupun kebersamaan seumur hidup.

Setiap kali aku duduk di sofa dan memandangi Egi yang asyuk menyikat gigi, ketakutan itu kadang-kadang datang. Ketakutan kalau suatu hari aku terpaksa harus menariknya pulang dengan paksa, dan sikat gigi tak mampu lagi menjadi tiketnya. Ketakutan kalau aku harus kehilangan dunia absud tempat perasaanku kepadanya bersemayam, dunia yang ternyata amat kusukai. Ketakutan yang justru timbul setelah aku benar-benar mengerti perasaan Egi dan semua alasannya dulu.

Perlahan aku bangkit, memandangi satu sosok di belakang Egi yang terpantul dalam kaca: Tio irasional dan buta. Aku tidak mau kehilangan dia.

Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa di Share. Baca juga biografi Dewi Lestari
SIKAT GIGI OLEH DEE SIKAT GIGI OLEH DEE Reviewed by Unknown on 12:14 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.