Friday, April 28, 2017

KUMPULAN PUISI MENARIK OLEH AGUS R. SARJONO


salju berbentuk hati
image Red Mittens
DEMOKRASI DUNIA KETIGA

Kalian harus demokratis. Baik, tapi jauhkan
tinju yang kau kepalkan itu dari pelipisku
bukankah engkau… Tutup mulut! Soal tinjuku
mau kukepalkan, kusimpan di saku
atau kutonjokkan ke hidungmu,
tentu sepenuhnya terserah padaku.
Pokoknya kamu harus demokratis. Lagi pula
kita tidak sedang bicara soal aku, tapi soal kamu
yaitu kamu harus demokratis!

Tentu saja saya setuju, bukankah selama ini
saya telah mencoba… Sudahlah! Kami tak mau dengar
apa alasanmu. Tak perlu berkilah
dan buang waktu. Aku perintahkan kamu
untuk demokratis, habis perkara! Ingat
gerombolan demokrasi yang kami galang
akan melindasmu habis. Jadi jangan macam-macam
Yang penting kamu harus demokratis.
Awas kalau tidak!


SINGER

Seorang lelaki
berkutat bebaskan budak
dalam diri,
menulis musuh
dalam kisah cinta sejati.
Tapi trauma dan masa lalu
bagai mantan istri
yang selalu memaksa
untuk rujuk kembali.

Dalih adalah Sang Tuan
dari rembang ingatan.
Bahkan di detik jingga
di nadi hidup
yang berdegup mesra,
selalu ada dalih bagi kita
untuk tetap tak bahagia.


SARTRE

Neraka keberadaan tak lain
adalah orang lain, ucapmu
dalam sebuah pintu tertutup
pada sebuah drama canggung
dari sebuah zaman yang murung.

Di tanah airku, ada dan ketiadaan
karcis menjadi tema utama
setiap hari raya. Stasiun dan terminal
tersengal oleh antrian: panjang
dan rapat seperti kalimat filsafat.
Kerumunan yang berdebar
tak sabar ingin memudikkan jiwa
dan badan ke surga kebersamaan
kerabat dan keluarga
karena neraka tak lain
adalah tanpa orang lain.

CHAIRIL

Pada kereta senja
Chairil menebal jendela
cinta dan bahagia
makin jauh saja
mendengking Chairil
mendengking kereta
sayatan terus ke dada.

Pada senja di pelabuhan kecil
kau datang padaku: Chairil
cinta insani di tangan kiri,
Amir Hamzah cinta Ilahi
di tangan kanan
dengan pandang memastikan
: untukku. Aku membisu
dicakar gairah dan cemas
bertukar tangkap dengan lepas.
Aku hilang bentuk
remuk. Seharian itu
kita tak bersapaan. Oh puisi
yang enggan memberi
mampus kau
dikoyak-koyak sepi.

Kekasih, dengan apakah
kita perbandingkan pertemuan kita
: dengan Amir sepoi sepi
atau Chairil menderai sampai jauh?
Kini habis kikis segala cintaku
hilang terbang, kembali sangsai
seperti dahulu di nyanyi sunyi
di buah rindu.

Amirlah kandil kemerlap
pelita Chairil di malam gelap
ketika dada rasa hampa
dan jam dinding yang berdetak.

Aku sendiri, menyusur kata-kata
masih pengap harap. Apatah kekal
kekasihku, airmata yang kenduri
di riuh nadi di gamang jiwa
sedang cerlang matamu
tinggal kerlip puisi
di malam sunyi.

Chairil dan Amir
di pintumu puisi negeriku mengetuk.
Mereka tak bisa berpaling.

Baca: kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono

CERVANTES

Dengan pena terhunus kau pacu keledai sastra
menerjang kincir keramat hikayat bangsawan
dan raja-raja hingga porak-poranda
dan menjelma jadi gelak tawa

Di negeri-negeri yang jidatnya sempit
dan muram, tank, panser, dan penjara
tersedia bagi Don Quixote dan keledai sastra
yang menggoyang kebajikan mapan
bungkus mulia bagi jiwa-jiwa deksura.

Adakah ksatria gelak tawa berbahaya
bagi negara, serupa ular berbisa di belukar
mendesis merayap menyusun makar?
Dia yang bijaksana tahu tak ada
mahkota dimakzulkan oleh cerita
jika ke dalamnya penguasa sedia berkaca.

Keledai sastra yang dungu bestari
senantiasa menggergaji satu kaki singgasana
agar sang raja belajar bijaksana di atasnya.
Atau mengecat tembok istana
dengan warna ganjil tak biasa
biar angker kekuasaan sedikit belajar
menertawakan diri dan agak jenaka.

Dengan pena terhunus kau pacu keledai sastra
menerjang kincir keramat hikayat bangsawan
dan raja-raja hingga porak-poranda
dan menjelma jadi gelak tawa

Kisah sehari-hari dan orang biasa
sejak itu berhak juga menjelma cerita.

PAMUK

Adalah salju
yang mempertemukan
orang sunyi dengan puisi
ketika perempuan yang tertindas
menghidupkan emansipasi
dengan bunuh diri

Bisakah manusia bahagia
sebagai pasangan cinta
menghuni rumah mungil berdua
tanpa direcoki perabot-perabot berat
dan sulit diangkat seperti negara
atau perkakas keras
tajam dan bergerigi
seperti ideologi?

Di Kars atau Tanjung Priok
di Kabul atau Istambul, sandiwara
bisa saja mengkudeta fakta
ketika remaja-remaja yang rindu
dan mereka yang mengusir pilu
dalam sebuah pertunjukan
terburai diserbu serdadu
hanya karena seorang komandan
yang bosan dan putus asa
mendadak ingin jadi sutradara.

Namaku merah, seperti darah
warna termegah dalam sejarah.
layar terpintal di sunyi Pamuk
membungkus puing-puing Attaturk

Negeri-negeri salju kastil-kastil kertas
sejarah mengeras di tapal batas
hari-hari timur hari-hari barat
hamba dan tuan bertukar tempat.

Musim mengeras di tapal batas.
Ada yang diam-diam bergegas
melaju di atas seribu bus seperti Pamuk
atau Osman atau Mehmet atau kau
memburu cinta, kematian, atau malaikat
dan tak mendapat apa-apa kecuali
identitas yang meranggas dan sekarat
antara masa kanak yang terkoyak
dan masa depan yang lembam.
Antara timur yang mendengkur
dan barat yang berkarat.

Dari Herat menuju ke Barat
merana tersungkur di Indonesia
ingatan adalah rakyat berkarat
menetas sia-sia dari telur amnesia.

Sambil menyusuri kota kelahiran
dalam ingatan silam, ditentengnya hidup baru
seperti menenteng kopor ayah
tempat istana salju dan buku hitam catatan harian
menyembul diam-diam bagai kenangan:
bacaan-bacaan masa muda
yang menggendong sukma ke Eropa,
dan hikayat-hikayat keramat
yang menuntun gelisah
kembali pulang ke rumah.

Di luar masih terhampar
dunia-dunia yang membenci
sebesar mencinta, yang bercumbu
sekerap bertengkar, bagai hujan salju
yang indah dan memisah hingga selalu susah
untuk bertegur sapa. Tapi akan selalu ada
yang sabar seperti Orhan, menyalakan lilin
untuk mencairkan salju yang membeku
di jembatan perjumpaan
biar segala yang lindap dan tak terucap
dapat bersijingkat temukan jalan.

GORKY

Di sebuah negeri gamang dan pilu
Gorky yang piatu melahirkan seorang ibu
untuk membuka hati dan mengasuh
hari-hari jelata yang rusuh. Bagai Musa
Ia menuntun jelata pekerja
untuk berhijrah dari kubangan vodka.
Di kerontang akar rumputan, kesadaran
konon tumbuh merimbun bagai palawija
berbuah mesra penuh janji
untuk dipanen kelak selepas fajar pagi.
Tapi sejarah selalu milik ayah.
Mereka memanennya malam-malam
hingga tak banyak yang tersisa
di ladang selain warna merah
dari jejak-jejak amarah.

Di lorong gelap jelata, di kedalaman
terbawah, ada pelacur dan pencuri
merayapi mimpi mengharap cerlang matahari.
Dan bangsawan afkiran, buruh harian,
pedagang asongan, sibuk menanam diri
dalam cerita warna-warni
karena sesekali, orang-orang merasa perlu
menyentuh jiwa papa kelabu
dengan sedikit warna ungu.

Dalam gairah, Gorky menyusun
masyarakat dari lembar-lembar kertas
dan penguasa melemparnya ke tungku
biar revolusi berkobar selalu.

Waktu berganti rezim berlalu
di tanah yang merah dan tak merah
semua berubah, kecuali pelaminan
tempat penguasa penuh gairah
menjamin jelata dan kemiskinan
agar senantiasa bisa menikah.

Tinggal Gorky: masai dan terlunta
dijahit penguasa menjadi bendera
berkibar-kibar seperti sejarah
tempat jelata terbungkam pasrah.

Terima kasih sudah berkunjung, semoga bermanfaat. Baca juga kumpulan puisi Armijn Pane

Thursday, April 27, 2017

REVIEW BUKU LASKAR PELANGI


cover buku Laskar Pelangi
image Rima Karmina
Daerah terpencil yang disebut dengan kampung Belitong berdiri sekolah sekian tahun dengan kondisi sangat mengenaskan. sekolah itu lebih cocok disebut gudang Kopra. Namun dua tenaga pengajar disekolah tersebut masih ingin mempertahankan dan memperjuangkannya. Pak Harfan sebagai kepala sekolah, dan Ibu Muslimah biasa dipanggil bu Mus. Karena keadaan minim harapan, pemerintah akan menutup sekolah tersebut jika siswanya tidak mencapai sepuluh.

Keadaan perekonomian warga sekitar yang sangat minim, dan menganggap pendidikan hanya akan jadi perkara memberatkan masalah ekonomi keluarga yang memang sudah lemah. Hingga banyak warga lebih memilih anak-anak mereka bekerja daripada sekolah. Walaupun sekolah Muhammadiyah hanya menerima bayaran sukarela, namun warga masih memilih anak-anak mereka bekerja untuk membantu keuangan keluarga.

Hari itu bu Mus dan pak Hasan dilanda kecemasan, begitupula dengan sembilan siswa yang sudah hadir. Jika sampai pukul sebelas masih tidak mencapai target sekolah itu akan tutup. Berjam-jam menunggu masih tak ada tanda jumlah siswanya akan bertambah. Dengan berat hati pak Hasan harus menyampaikan pidato terakhirnya, dan membesarkan hati siswa dan orang tua yang sudah hadir. Detik-detik terakhir dihujung penantian ibu Harun bersama anaknya mengantar dia ke sekolah. Lebih tepat sebenarnya ingin menitip anaknya yang terbelakang mental karena jika di rumah selalu menyusahkan. Terlepas apapun niat ibu Harun apa yang dilakukan hari ini benar-benar berharga. Dia telah menyelamatkan teman, orang tua, dan gurunya yang setia.

Semua siswa memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Hanya satu kesamaan yang pasti, memiliki ekonomi yang lemah. Diantara mereka yang mempunyai kepintaran yang paling menonjol adalah Lintang. Berasal dari Tanjong kalumpang, desa di pinggir laut. Jaraknya 40 km dari sekolah, setiap hari harus melewati jalur yang sama dengan naik sepeda. Tidak pernah sekalipun membolos walau harus melalui 80 km dalam sehari. Suatu waktu Lintang bertanya pada ayahnya “4x4”, demi menjawab pertanyaan Lintang ayahnya hilir mudik, saat Lintang lengah ayahnya berlari sekencang mungkin meminta bantuan dari orang-orang di kantor desa. Kemudian kembali lagi secepat mungkin dan menjawab “14 bujangku…” Lintang menatap mata ayahnya dalam-dalam, rasa ngilu menyelinap dalam hatinya yang masih belia, rasa ngilu mengikrarkan nazar aku harus jadi manusia pintar, karena Lintang tahu jawaban itu bukan datang dari ayahnya. Ayahnya bahkan telah salah mengutip jawaban. Enam belas seharusnya, tapi yang selalu diingat ayahnya hanyalah empat belas, yaitu jumlah nyawa yang harus ditanggungnya setiap hari.

Satu-satunya perhatian pemerintah berikan untuk sekolah miskin di kepulaun nun jauh. Seorang dari dinas kesehatan yang lengkap dengan penyemprot nyamuk yang rajin datang. Arsitektur bangunan sudah nyaris menyerah, tidak ada tanda-tanda bahwa itu sekolah kecuali papan nama sekolah yang miring bertengger depan sekolah. Tidak ada poster tokoh pahlawan menghias dinding, bahkan presiden dan wakilnya. Hanya satu yang nampak poster Rhoma Irama menutupi lubang besar di dinding papan.

Semangat sekolah mereka sangat gentar. Tidak peduli keadaan yang sedang dialami. Guru-gurupun selalu menunjukkan kasih sayang dan semangatnya dalam memberikan ilmu. Karena kekurangan guru bu Mus harus mengambil alih semua mata pelajaran dengan upaha beras 15 kilo per bulan. Sepulangnya harus menghabiskan waktu menjahit untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan adiknya.

Tanah Belitong dikenal dengan penghasil timah. Dan itu merupakan sumber penghasilan utamanya masyarakat sana. Namun kenyataan kontradiktif kemiskinan sudah jadi turun temurun yang dialami oleh rakyat asli Melayu Belitong. PN Timah merupakan penguasa tunggal pulau Belitong, memiliki lahan eksploitasi tak terhitung. Para penguasa ini tinggal di daerah Gedong yang merupakan Landmark dari Belitong. Tempat ini terisolasi oleh tembok tinggi berkeliling dengan satu akses keluar masuk seperti konsep cul de sac dalam pemukiman modern. Dan yang harus diketahui yang tinggal di tempat itu bukanlah warga asli Belitong. Tepat di depan Gedong tertulis “Dilarang Masuk yang Tidak Memiliki Hak”.

Tidak ada yang tahu siapa yang memulai hobi selalu menanti pelangi setelah hujan. Hingga setiap hujan usai, mereka bersama-sama menanti pelangi. Karena kegemaran kolektif terhadap pelangi maka Bu Mus menamai kelompok mereka Laskar Pelangi.

Terkecuali satu yang diketahui yang merupakan warga asli berhasil tinggal di kawasan Gedong. Flo merupakan salah satu anak sekolah PN. Dan bapaknya seorang Mollen Bas, bekerja bagian kepala kapal keruk. Ia seorang alumni pendidikan luar negeri dan merupakan teknisi yang cerdas. Berkat kerja keras dan usahanya sendiri, ia telah keluar dari garis kemiskinan.

Banyak orang yang berusaha mati-matian menemukan bakatnya dan banyak pula yang menunggu seumur hidup agar bakatnya atau drinya ditemukan, tapi lebih banyak lagi yang merasa dirinya berbakat padahal tidak. Bakat menghinggapi orang tanpa diundang. Jiak Lintang memiliki level intelektualitas yang demikian tinggi maka Mahar memperlihatkan bakat seni selevel dengan tingginya inteligensia Lintang. Mahar memiliki hampir setiap aspek kecerdasan seni yang terimpan seperti persediaan amunisi kreativitas dalam lokus-lokus di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi melahirkannya sebagai seniman serba bisa, ia seorang pelantun gurindam, sutradara tetater, penulis yang berbakar, pelukis natural, koreografer, penyanyi, pendongeng yang ulung dan pemain sitar yang fenomenal.

Demikianlah dari waktu ke waktu mereka selalu memperlakukan Mahar tanpa perasaan. Mereka lebih melihatnya sebagai seorang bohemian yang aneh. Mereka telah dibutakan tabiat orang pada umumnya, yaitu menganggap diri paling baik, tidak mau mengakui keunggulan orang, dan mencari-cari kekurangan orang lain untuk menutupi ketidakbecusan diri sendiri saya pikir kejadian seperti ini cukup ramai terjadi di era sekarang, semoga jadi intropeksi diri sendiri sajalah

Salah satu ciri orang-orang Melayu, sebagaimana biasanya, susah berorganisasi. Bukannya fokus pada ikhtiar untuk mencapai tujuan dan memenangkan persaingan tapi sebaliknya mereka gemar sekali berpolitik sesama mereka sendiri. Tak terima jika dikoreksi dan jarang ada yang mau berintropeksi diri. Di antara mereka selalu saja berbeda pendapat dan mereka senang bukan main dengan pertengkaran yang tal konstruktif. Tak mengapa tujuan tak tercapao asal tak jatuh nama dalam debat kusir. Dan selalu terjadi sesuatu gejala yang paling umum yaitu yang paling bodoh dan paling tak berpendidikan adalah paling lantang dan paling pintar kalau bicara. Jika orang Melayu membuat sebuah tim semuanya ingin jadi pemimpin. Akhirnya tim yang solid tidak pernah terbentuk. Akibatnya sembahyang rebut salah satu kegiatan peribadatan orang tionghoa tidak memperoleh apapun kecuali kesia-siaan.

Tanpa kabar apapun sepekan berlalu Lintang tidak pernah lagi masuk sekolah. Akhirnya bu Mus mengirim surat ke rumah Lintang. Sembilan tahun bu Mus mengajar tak pernah sekalipun ia meneteskan air mata. Namun balasan surat yang didapat tidak mampu membendung butiran air mata yang mendesak ingin menetes.

“Ibunda guru,

Ayahku telah meninggal, besok aku akan Kesekolah..”

Salamku Lintang.

Seorang laki-laki tertua di keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek dan pamannya yang tak berdaya, Lintang tak punya sedikitpun peluang untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling paling tidak empat belas, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dan pesisir ini, hari itu juga terkubur dalam ironi.

Baca: Review novel Ayat Ayat Cinta

Ada banyak kelebihan berupa nasehat yang bisa dipelajar dari novel ini. Hidup yang terbatas bukan berarti hambatan untuk berhenti mengejar ilmu. Bagian yang sulit dipercayai bahwa anak-anak sekecil mereka sudah mampu memahami kondisi dan mengambil pilihan dengan bijak. Hidup yang sederhana dan terbatas, pengetahuan dan pemahaman orang tua yang sangat awam bukan berarti harus melewati hari-hari dengan suram. Dalam hal ini terkadang penulis menyisipkan humor, yang ingin menyampaikan segetirnya hidup semuanya tetap dijalan dengan nikmat.

Sangat jelas pula dalam cerita penulis mengurai secara detail perbandingan antara keadaan warga asli Belitong dengan penguasa PN timah. Dimana penulis ingin menyampaikan bagaimana ketidak adilan, dan kekecewaaan, keadaan waktu itu.

Sisi kekurangan cerita. Khusus yang menguraikan tetang keadaan PN Timah, saya merasa seperti sedang membaca artikel, rasanya bagian ini terlalu kaku. Salah satu bagian terpenting jenis tulisan apapun, entah fiksi ataupun non fiksi, diksi(pilihan kata) salah satu bagian yang paling penting dalam sebuah tulisan. Ada banyak kata yang tidak umum digunakan dalam cerita, ini sangat bagus karena menambah kosa kata yang disayangkan karena penjelasannya tidak letakkan pada catatan kaki, seperti novel pada umumnya. Jika diletakkan bagian belakang butuh waktu lama untuk mencari kata hingga berasa terlalu mengganggu.

Bagia kekuranganya yang lainnya. Ada beberapa bagian terbilang terlalu kasar dalam menggambarkannya. Mendefenisikan keadaaan ataupun fisik seseorang dalam sebuah cerita memang termasuk point penting namun, saya menemukan bukan lagi termasuk mendefenisikan tapi sudah menjatuhkan. Setidak eloknya keadaan fisik seseorang cukup di uraikan sesuai apa adanya saja tidak perlu dibuat sampai perumpamaan-perumpamaan yang terlalu kasar. Karena pembacapun pasti sudah paham dengan uraian yang dibuat.

Secara umum isi dalam novel ini ada banyak pembelajaran moral yang wajib kita intropeksikan. Atau mungkin membantu orang-orang yang sebenarnya memiliki kemampuan seperti Lintang namun terbatas karena keadaan.

Semoga menginspirasi.Teruslah membaca dan membaca karya anak bangsa. Baca juga review Sabtu Bersama Bapak 

SESAAT SEBELUM BERANGKAT OLEH PUTHUT EA


lelaki yang terus berjalan
image carolinerwheeler
Aku menutup kembali pintu lemari pakaian. Isak tangis tertahan masih terdengar dari luar kamar. Tanganku meraih daun pintu, menutup pintu kamar yang terbuka sejengkal. Suara tangisan tinggal lamat-lamat.

Aku berjalan pelan menuju jendela, membukanya, lalu duduk di atas kursi. Pagi ini, langit berwarna kelabu. Sejujurnya, sempat melintas pertanyaan di kepalaku, kenapa aku tidak menangis? Kemudian pikiranku mengembara, menyusuri tiap jengkal peristiwa yang terjadi tiga pekan lalu.

”Kamu belum pernah punya anak. Menikah pun belum. Kalaupun toh punya anak, kamu tidak akan pernah punya pengalaman melahirkan. Kamu, laki-laki.”

Aku menatap wajah di depanku, wajah perempuan yang sangat kukenal.

”Aku, ibunya. Aku yang mengandung dan melahirkannya. Kelak kalau kamu punya anak, kamu akan tahu bagaimana rasanya khawatir yang sesungguhnya.”

Pelayan datang. Ia meletakkan dua buah poci, menuangkan poci berisi kopi di gelasku, beralih kemudian menuangkan poci teh di gelas perempuan di depanku. Pelayan itu lalu pergi setelah mempersilakan kami menikmati hidangannya.

”Apa yang dia lakukan selama seminggu berada di tempatmu?”

”Kami banyak jalan-jalan berdua, menonton film, ke toko buku, ke pantai. Kebetulan aku sedang tidak sibuk. Aku pikir, ia sedang liburan sekolah.”

”Sekolah tidak sedang libur, dan ia tidak pamit kepadaku.”

”Mana aku tahu?”

”Dan kamu tidak memberitahuku.”

”Aku pikir ia pergi dengan seizinmu.”

”Kamu bohong. Kamu tahu kalau ia minggat dari rumah.”

Aku diam. Tidak mau memperpanjang urusan pada bagian ini. Aku datang tidak untuk berdebat. Tiga perempuan masuk ke ruangan ini. Bau harum menebar ke seluruh penjuru ruangan. Perempuan di depanku mendesah. Tangannya meraih tas, mengeluarkan sebungkus rokok, menyulutnya.

”Ia kacau sekali…”

”Ia boleh kacau, tetapi tidak boleh minggat. Ia masih duduk di bangku kelas satu SMA!”

Aku tertawa. ”Kamu tahu, aku minggat pertama kali dari rumah saat kelas satu SMP…”

”Itu kamu. Setiap keluarga punya tata tertib yang tidak boleh dilanggar.”

”Minggat itu memang melanggar tata tertib keluarga. Dan itu pasti ada maksudnya. Tapi aku tidak mau bertengkar. Aku datang jauh-jauh ke sini, hanya untuk mengatakan sesuatu yang kupikir penting menyangkut dia.”

”Apa?”

Baca: kumpulan puisi Toto St. Radi 

”Jangan terlalu memaksanya untuk melakukan hal-hal yang tidak disukainya.”

”Hey, kamu hanyalah pamannya. Aku, ibunya!”

”Aku tahu, dan aku tidak sedang ingin merebut apa pun darimu.”

”Tapi kamu seperti sedang menceramahiku tentang bagaimana menjadi seorang ibu yang baik!”

Suaranya terdengar memekik. Orang-orang menoleh ke arah kami. Kami diam untuk beberapa saat. Sama-sama merasa kikuk menjadi perhatian beberapa orang.

”Jendra, anak yang manis. Tidak sepertimu…” desisnya kemudian.

Aku mulai merasa darahku naik.

”Ia penurut, dan tidak pernah menyusahkan orangtua. Tidak sepertimu.” Darahku semakin terasa naik.

”Aku tahu persis karena aku ini ibunya, ibu kandungnya!”

Dengan suara menahan marah, aku bertanya, ”Lalu kenapa dia minggat dari rumah?” Perempuan di depanku diam. Ia mematikan rokok di asbak dengan cara yang agak kasar. Aku gantian menyulut rokok.

”Risa, aku akan membuka sedikit rahasia yang kusimpan selama ini. Hanya sekali saja aku akan menceritakan ini untukmu… Aku selalu bermimpi buruk, sampai sekarang. Dan mimpi buruk yang paling sering kualami, aku tidak lulus sekolah. Kadang aku bermimpi tidak lulus SMP, SMA dan tidak lulus kuliah.”

Ia tertawa. ”Wajar kalau kamu mimpi seperti itu, kamu kan agak bodoh dalam hal sekolah…”

”Bukan itu poinnya!” suaraku, mungkin terdengar marah. Risa seketika menghentikan tawanya.

”Aku tidak suka sekolah, dan aku harus menjalani itu semua. Memakan hampir sebagian besar waktu yang kumiliki… Aku masih bisa merasakan sampai sekarang, gedung-gedung kaku itu, lonceng masuk, upacara bendera, tugas-tugas, seragam, suara tak tok tak tok sepatu para guru…”

”Kamu memintaku agar Jendra tidak sekolah?”

”Dengarkan dulu… Dan apa gunanya itu semua bagiku sekarang ini? Tidak ada. Ini kehidupan yang gila, aku tersiksa berbelas tahun melakoni sesuatu yang menyiksaku, yang kelak kemudian tidak berguna.”

”Bagimu. Bagiku, sekolahku berguna. Juga bagi Jendra.”

”Tapi kamu bukan aku.”

”Kamu juga bukan Jendra. Ingat itu!”

”Aku hanya sedang menceritakan diriku!”

”Kupikir kamu datang jauh-jauh untuk menceritakan soal Jendra yang minggat dari rumah dan tinggal di tempatmu! Bukan untuk menceritakan sesuatu tentang dirimu yang jelas aku tahu…”

”Itulah kesalahanmu sejak dulu, merasa tahu persoalan orang!” Aku menatap kakak perempuanku. Mungkin sudah ratusan kali, sejak aku kecil ingin menempeleng wajahnya. Tapi belum pernah kesampaian.

”Tahukah kamu, kalau sejak kecil kamu selalu menyusahkan orangtua kita?” Aku menarik napas panjang. Aku memandang cangkir kopi di depanku, dan ingin sekali melemparkan benda itu di mulut pedasnya.

”Dan tahukah kamu kalau sifat itu bisa menular?”

Kali ini, kupikir Risa sudah keterlaluan. ”Kamu pikir aku menularkan sifat burukku kepada Jendra?”

”Aku tidak bilang seperti itu. Kamu yang mengatakannya sendiri. Yang aku tahu, semenjak ia minggat dan tinggal di tempatmu, ia semakin berani kepadaku, semakin sering bolos sekolah dan tidak mau lagi mengikuti berbagai kursus!”

”Jadi kamu menuduhku sebagai biangnya!”

Risa hanya mengangkat bahunya. Dan tersenyum sinis. Aku benar-benar nyaris kehilangan kontrol. Untuk meredakan semua yang kurasakan, aku menuang kopi, menyeruput, dan menyulut lagi sebatang rokok.

”Jadi menurutmu, kenapa dia bisa minggat?”

”Mungkin dia ada masalah… Itu biasa saja. Kesalahannya yang paling fatal adalah… Ia minggat ke tempatmu!”

Begitu mendengar kesimpulan itu, aku merasa bahwa pertemuan ini akan berakhir dengan buruk. Rasa marah sudah benar-benar menjalar di dadaku. Tetapi aku sadar, sebelum keadaan ini bertambah semakin buruk, aku ingin mengatakan sesuatu yang harus kukatakan berhubungan dengan Jendra kepada Risa.

”Rif, kamu menikah saja belum.”

”Ris, tidak ada hubungannya hal itu dengan obrolan kita hari ini!”

”Ada! Mengambil beban tanggung jawab yang sesederhana itu saja kamu tidak sanggup, dan kamu ingin menceramahiku soal bagaimana mendidik anak…”

”Aku datang hanya untuk menyampaikan apa yang dikeluhkan Jendra kepada orang yang merasa bisa mendidiknya!”

”Apa yang dia katakan?”

”Dia ingin pindah sekolah.”

”Itu sekolah paling favorit.”

”Favorit menurutmu, tetapi tidak menurutnya.”

”Dia masih anak-anak… Dia belum tahu apa pentingnya ilmu.”

”Itu kesalahanmu…”

”Dia butuh jaringan untuk masa depannya, dan itu ada di sekolahnya!”

”Itu menurutmu…”

”Ya jelas menurutku, karena aku lebih banyak makan asam garam hidup ini. Dan punya tugas untuk memastikan dan menjamin masa depannya!”

”Ia ingin kursus bahas

a Perancis.” ”Boleh. Tetapi dia tidak boleh meninggalkan kursus bahasa Mandarin.”

”Dia ingin kursus main drum.”

”Boleh! Tapi dia tidak boleh meninggalkan kursus belajar piano.”

”Kenapa dia tidak boleh memilih?”

”Karena dia belum bisa memilih.”

”Dia terlalu capek dengan itu semua…”

”Dia harus belajar bekerja keras dari sejak kecil. Disiplin. Itu yang akan menyelamatkannya dari persaingan di masa depan.”

”Kenapa kamu menyuruhnya memutuskan pacarnya?”

”Dia masih kelas satu SMA!”

”Kamu dulu pacaran ketika masih kelas tiga SMP.”

”Itu aku, bukan dia! Jendra itu, makan saja kalau tidak disuruh, tidak makan!”

”Kamu merasa lebih baik dan lebih hebat dari Jendra, hah?”

”Aku, ibunya! Rif, sudahlah… Kalau kamu punya anak, kamu baru bisa merasakan apa arti anak bagi orangtua. Rif, aku hanya minta, kalau dia datang lagi ke tempatmu, segera hubungi aku!”

”Ris, aku bawakan hasil penelitian seorang psikolog tentang tingkat stres para pelajar di kota ini…”

”Aku tidak butuh informasi itu.” Kali ini, darahku benar-benar mendidih.

”Aku khawatir kelak kamu akan menyesal…” ucapku dengan nada mengancam.

”Kamu urus saja kehidupanmu. Jendra adalah urusan keluargaku.”

Pembicaraan terkunci. Dadaku bergolak. Kemarahanku sudah sampai pada pangkal leher. Aku hanya menekan-nekan dahi dengan tanganku. Aku ingin mengatakan apa yang sempat dikatakan Jendra kepadaku. Tetapi jika mulutku terbuka, aku khawatir gelegak itu akan membeludak.

”Kamu langsung pulang atau menginap?”

Aku diam.

”Aku masih ada urusan kantor.”

Aku memberi isyarat dengan kepalaku, ia boleh pergi. Ia bangkit, lalu melangkah pergi.

”Risa…”

Ia menoleh. ”Sudahlah, Rif. Aku bisa mengurusnya.”

Ia kembali berjalan menuju pintu.

Aku bisa saja mengejarnya, dan mengatakan apa yang seharusnya aku katakan. Tetapi aku sudah terlalu marah. Dan aku juga membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar apa yang seharusnya kukatakan. Ia mungkin hanya akan tertawa. Ia mungkin hanya akan semakin membuatku marah.

Perasaanku kacau. Aku keluar, menyetop taksi, pergi menuju ke bandara.

Aku bangkit, berjalan, membuka pintu kamar. Kudapati, Mita masih menangis di atas sofa. Ia melihat ke arahku. Aku berjalan, lalu duduk di sampingnya.

”Kenapa belum bersiap?” dalam isak, Mita bertanya.

Aku hanya diam. Mita memegang tanganku.

”Kita bisa ketinggalan pesawat…”

Aku hanya bisa menarik-narik rambutku ke arah belakang. ”Kupikir kamu saja yang berangkat.”

”Kenapa bisa begitu?”

Aku menatap wajah pacarku.

”Aku tidak sanggup datang.”

”Kamu tidak boleh begitu. Apa yang harus kukatakan kepada keluargamu?”

”Mereka tahu sifatku, jadi tidak usah khawatir.”

”Kamu yakin?” Aku menganggukkan kepala.

Mita bangkit dari sofa, perlahan menuju kamarku, merapikan diri. Sesaat kemudian dia keluar, meraih tasnya.

”Aku berangkat ya…” Aku mengangguk

”Rif… Kenapa Jendra bisa melakukan ini semua?”

Aku diam. Lalu menggelengkan kepalaku. ”Sudahlah, nanti kamu terlambat datang ke pemakamannya.” Mita melangkah pergi keluar.

Beberapa saat kemudian, aku membuka laptop di atas meja. Membuka berkas foto yang tersimpan di sana. Melihat kembali gambar-gambar Jendra terakhir di pantai bersamaku, sebelum keesokan harinya ia pulang kembali ke rumah orangtuanya. Di malam sebelum pergi, sepulang dari pantai, ia sempat mengatakan apa yang ingin dilakukannya. Omongan yang seharusnya kusampaikan kepada Risa. Tetapi aku terlalu marah, dan takut semakin marah membayangkan apa yang akan dikatakan Risa begitu mendengar omonganku.

Kini, aku tidak berani membayangkan bagaimana jika yang terjadi sebaliknya, begitu aku sampaikan apa yang sempat terlontar dari mulut Jendra kepadaku. Bagaimana jika kemudian Risa peduli pada omongan itu dan mengubah sikapnya kepada Jendra?

Kini, aku menangis keras-keras di dalam kamar. Sendirian.

Terima kasih sudah sempat berkunjung, Semoga memberi banyak inspirasi. Baca juga cerpen Sambal Keluarga dari Puthut EA

Wednesday, April 26, 2017

DI SINI DINGIN SEKALI OLEH PUTHUT EA


pengungsi gempa
image alamy.com
Ibu semakin jarang berbicara. Suaranya terbenam entah di mana. Tidak ada lagi dongeng, dan tidak ada lagi candanya. Semua lenyap. Hanya kini, suara-suara keluar dari tangannya. Apa saja yang dipegangnya selalu berisik. Kadang aku mengira, gempa susulan terjadi lagi. Terutama ketika ia sedang berada di dapur.

Seperti pagi ini. Aku bangun karena suara berisik dari dapur darurat yang terletak di dekat rumpun pohon pisang. Suara air yang dimuntahkan ke panci. Suara kayu bakar yang sedang dibelah. Suara-suara juga muncul dari tangan ibu ketika memarut kelapa atau memotong sayuran. Dan yang sering sekali membuat tubuhku begitu terasa dingin, ketika air dibiarkan mendidih terlalu lama. Mengeluarkan suara yang sangat menakutkan. Bergemuruh, seperti dulu ketika gempa besar terjadi.

Aku segera keluar dari tenda. Bapak sedang merokok dan menikmati kopi di dekat kamar mandi darurat, di dekat pohon mangga. Ia sedang mengantre mandi. Sebentar lagi, bapak akan pergi untuk kerja bakti. Kemarin ikut membangun masjid, kemarinnya lagi membangun sekolah, hari ini akan membangun balai dusun. Begitu terus, bergiliran. Tiga kali dalam seminggu.

Di dalam kamar mandi darurat, kakak laki-lakiku sedang mandi. Hari ini, ia akan pergi berdemonstrasi. Kemarin ia sudah membayar lima belas ribu untuk ongkos menyewa truk. Semalam ia tidak tidur di rumah. Ia tidur di posko, latihan pidato dan mengecat spanduk.

Sementara kakak perempuanku sedang bersiap-siap akan pergi. Ia sedang becermin di dalam tenda. Pagi ini, ia akan pergi ke kota, ikut pelatihan.

Hanya ibu yang ditinggal sendiri. Ia seperti biasa, pagi memasak, siang memasak, sore memasak. Kadang diselingi dengan membakar sampah di kebun. Kadang juga, harus membawa Maisaroh, adik perempuanku, pergi ke posyandu.

Seperti biasa, hari ini, aku harus pergi ke sekolah. Sudah beberapa bulan ini, aku sebetulnya malas ke sekolah. Aku harus bersekolah di dalam tenda yang panas. Dan debu selalu beterbangan di dalam ruang kelasku karena berlantai tanah. Tapi aku sedikit gembira karena ingat bahwa sore nanti akan ada kegiatan di posko anak. Pasti ada acara menggambar dan menyanyi. Lalu mendapat permen atau roti. Kadang juga mendapat buku atau topi.

Kakak laki-lakiku sudah keluar dari kamar mandi. Ia menyanyi pelan. Suaranya serak. Mungkin karena terlalu banyak demonstrasi dan terlalu sering bernyanyi keras-keras di posko pemuda.

Kakak laki-lakiku dan teman-temannya tidak disukai Pak RT dan Pak Dukuh. Ia dan teman-temannya sering mendatangi Pak RT dan Pak Dukuh untuk protes. Setelah itu sering juga mendatangi Pak Lurah dan Pak Camat. Katanya, sebentar lagi, ia dan teman-temannya akan mendemo Pak Bupati. Setiap kali pergi, ia minta uang ke ibu. Kalau tidak ada demonstrasi, ia hanya minta uang lima ribu untuk beli rokok. Tapi kalau ada demonstrasi, ia minta uang dua puluh ribu, untuk ongkos demonstrasi dan uang untuk rokok.

Bapakku masuk ke kamar mandi setelah membuang rokok di tangannya yang hampir habis. Ia sering menggerutu. Ia belum bisa bekerja karena bisnis bosnya ambruk gara-gara gempa. Ia ingin membangun rumah tetapi tidak ada biaya. Ia ingin bekerja lagi, tapi tidak tahu kerja apa. Akhirnya setiap tiga hari dalam seminggu, ia harus ikut kerja bakti. Karena itulah, ia semakin sering menggerutu. Kata bapak, enak menjadi orang yang sudah bekerja lagi, sebab tidak perlu ikut kerja bakti. Sementara yang belum bisa bekerja lagi seperti bapakku, tetap harus kerja bakti. Kalau tidak kerja bakti, menjadi omongan tetangga.

Tetangga sebelah rumahku datang. Ia istri Pak RT. Beberapa hari yang lalu, ia bercerita sambil menangis kepada ibuku. Ia bilang, tidak enak menjadi ketua RT. Kalau ada apa-apa, warga marah ke suaminya. Padahal menjadi RT tidak ada bayarannya.

Bu RT pernah bercerita, dulu suaminya disuruh mendata jumlah rumah yang roboh bersama beberapa petugas dari kabupaten. Mereka harus bekerja cepat, kalau tidak, atasan mereka akan marah. Setelah data terkumpul, bantuan tidak juga datang. Warga mulai marah. Ketika bantuan turun, ternyata bukan bantuan untuk rumah yang roboh. Melainkan bantuan beras dan uang lauk-pauk. Pak RT kena marah lagi. Kata warga, yang tidak bisa makan bukan hanya orang yang rumahnya roboh saja. Bu RT hanya bisa menangis mendengar suaminya dimarahi warga.

Anak perempuan tertua Pak Dukuh juga sering datang ke rumahku. Ia juga sering menangis di depan ibuku. Menjadi Pak Dukuh tidak enak, katanya. Saat banyak bantuan datang, orang-orang melihat bantuan itu jumlahnya besar sekali. Tapi Pak Dukuh harus membagi rata ke semua warga. Sampai di warga jumlahnya menjadi tidak seberapa. Warga marah dan mengira Pak Dukuh korupsi. Saat sudah tidak ada lagi bantuan yang datang, warga juga marah. Mereka bilang, Pak Dukuh tidak bertanggung jawab terhadap kehidupan warganya. Saking kesalnya, Pak Dukuh ingin meletakkan jabatannya. Tapi ia dimarahi atasannya.

Mendengar cerita seperti itu, ibu hanya diam. Paling-paling ia hanya bilang ke istri Pak RT dan anak perempuan Pak Dukuh supaya bersabar. Bu RT dan anak perempuan Pak Dukuh juga tahu, kakak laki-lakiku ikut mendemo Pak RT dan Pak Dukuh. Tapi mereka tidak pernah membicarakannya.

Bapak selesai mandi, dan aku masuk ke kamar mandi. Ketika hampir selesai mandi, aku mendengar Maisaroh menangis. Aku cepat-cepat keluar dari kamar mandi. Maisaroh menangis sambil tersengal. Wajahnya pucat. Tubuhnya dingin sekali. Hampir setiap pagi, Maisaroh selalu menangis. Biasanya ia menangis kalau ada gempa susulan, atau kalau ada mobil lewat di jalan dekat tenda kami. Kali ini Maisaroh menangis karena baru saja ada sebuah truk besar yang lewat. Maisaroh terbangun dari tidurnya dan menangis. Ia mengira ada gempa susulan.

Ibu menyusul masuk ke dalam tenda. Kemudian membujuk Maisaroh agar diam. Ibu memintaku agar cepat sarapan dan pergi ke sekolah. Aku ingin bilang ke ibu, aku tidak usah saja pergi ke sekolah pagi ini. Aku ingin menjaga dan menemani Maisaroh bermain. Tapi aku tidak berani bilang seperti itu.

Sepulang dari sekolah, aku bertemu dengan bapak di tengah jalan. Ia sedang menurunkan bambu batangan dan gedek bambu dari sebuah truk besar. Mobil itulah yang membuat Maisaroh terbangun dari tidur dan kemudian menangis, pagi tadi. Sambil lewat di sela-sela orang yang sedang menurunkan barang, aku mendengarkan pembicaraan mereka. Orang-orang ribut. Akan ada pembagian gedek dan bambu untuk rumah sementara. Tapi bahan itu tidak cukup untuk seluruh warga.

Di tepi jalan yang lain, Pak Dukuh sedang berbicara dengan orang-orang berpakaian necis. Orang-orang kemudian ikut merubung Pak Dukuh dan orang-orang necis itu. Suara-suara semakin terdengar keras. Aku takut. Aku lari ke rumah. Tubuhku terasa dingin sekali.

Sesampai di rumah aku melihat Maisaroh bermain sendiri. Aku kangen kepadanya. Ia tersenyum kepadaku. Aku menggendongnya. Sambil menggendong Maisaroh aku mencari-cari ibu. Ibu tidak ada di dalam tenda. Ia juga tidak ada di dapur darurat. Ternyata ibu sedang di kebun belakang. Melihat api yang membakar tumpukan sampah dengan diam. Aku tidak berani menyapanya. Aku balik ke dekat tenda, lalu mencari nasi untuk menyuapi Maisaroh.

Baca: Puisi menarik dari Toto ST. Radik

Siang itu, bapak pulang membawa beberapa batang bambu dan beberapa lembar gedek. Siang itu juga ia mulai memasang tiang-tiang bambu.

Menjelang sore, aku siap berangkat ke posko anak. Aku mengajak Maisaroh ke sana. Siapa tahu ia juga bisa mendapat permen. Sesampai di posko suasana masih sepi. Mbak Dane dan Mas Gandung, dua orang kota yang mengajari kami menyanyi dan menggambar, sedang berbincang-bincang di bawah pohon sawo. Lalu ada beberapa anak, termasuk Anto, ketua kelasku, terlihat sedang berkejar-kejaran. Setiap pelajaran menyanyi, Anto tidak mau menyanyi lagu-lagu yang diajarkan oleh Mbak Dane dan Mas Gandung. Anto selalu menyanyi lagu pilihannya sendiri. Ia selalu menyanyi lagu Radja. Setiap pelajaran menggambar, Anto juga tidak mau menggambar sesuai permintaan Mbak Dane dan Mas Gandung. Anto selalu menggambar kupu-kupu yang membentuk kata: Slank.

Aku paling tidak suka kalau ada acara menyanyi dengan cara maju satu per satu. Anak yang berani maju lebih dulu, pasti kebagian lagu yang bagus-bagus. Aku yang tidak berani maju lebih dulu, hanya kebagian lagu anak-anak. Aku tidak mau nyanyi lagu anak-anak. Aku sudah kelas tiga SD. Seperti kemarin, ketika aku ingin menyanyi lagu Buaya Darat, tiba-tiba Rina maju dan menyanyikan lagu itu. Aku lalu berpikir untuk menyanyikan lagu lain, setelah ketemu, tiba-tiba Yanti maju dan langsung bernyanyi dengan keras lagu yang sudah kupikirkan, “Bang sms siapa ini, Bang….”

Aku lalu berpikir untuk menyanyi lagu Radja. Tapi Anto sudah mulai bernyanyi-nyanyi kecil, bersiap-siap untuk menyanyikan lagu itu. Aku mencari lagu-lagu lain yang kuhafal, lalu aku ingat lagu Peterpan. Baru saja aku merasa lega, Amin sudah maju dan menyanyikan lagu pilihanku. Akhirnya, ketika tiba giliranku, aku hanya punya satu pilihan lagu: Topi Saya Bundar. Dan semua anak menertawaiku.

Akhirnya semua anak telah berkumpul. Acara dimulai. Sore ini, aku memberanikan diri untuk maju lebih dulu. Tapi ketika akhirnya aku maju, Maisaroh menangis. Ia tidak mau kutinggal untuk maju ke depan. Akhirnya, aku hanya melihat teman-temanku menyanyi lagu-lagu kesukaan mereka.

Tangan ibu semakin sering mengeluarkan suara. Sementara, suara mulutnya semakin lenyap. Hanya kadang-kadang saja ia berbicara kepadaku atau kepada Maisaroh. Selebihnya ia hanya diam. Bahkan semakin jarang pula bicara kepada kakak perempuanku. Ia juga masih sering didatangi Bu RT dan anak tertua Pak Dukuh.

Bapak semakin sibuk memasang rumah gedek kami. Sudah berhari-hari tetapi rumah itu tidak juga jadi. Suatu saat, aku mendengar bapak bicara kepada seorang tetangga, kalau cepat selesai membuat rumah nanti disuruh cepat kerja bakti lagi.

Kakak laki-lakiku masih sering tidur dan nongkrong di posko pemuda. Ia tetap rajin mengecat spanduk dan pergi demonstrasi. Kadang-kadang saja ia pulang untuk meminta uang kepada ibu. Tapi terakhir kali ia meminta uang, ibu mencopot kalungnya dan memberikan kepada kakak laki-lakiku. Kakak laki-lakiku diam. Ia tidak menerima kalung itu. Ia pergi. Tapi ketika berada di dekat dapur, ia menendang panci masak keras sekali. Sampai Maisaroh menangis lagi. Dan aku segera mendekap dingin tubuh Maisaroh.

Kakak perempuanku semakin sering pergi pelatihan. Kalau Pak Dukuh datang, atau ketua karang taruna datang, berarti sebentar lagi pasti kakak perempuanku pergi untuk ikut pelatihan. Setiap pulang dari pelatihan, ia selalu bercerita tentang tempat yang bagus dan makanan yang enak. Ia juga sering berkata kalau bertemu dengan banyak orang-orang pintar dan kaya. Kakak perempuanku ingin seperti mereka. Kalau tidak ada pelatihan, kakak perempuanku pergi keliling kampung sambil membawa spidol besar dan kertas-kertas lebar. Anak laki-laki di kampungku memberi nama baru bagi kakak perempuanku. Nama asli kakakku, Siti Hadijah. Kini, pemuda-pemuda kampung memberi julukan: Siti Partisipasi.

Malam ini, aku tidur bertiga di dalam tenda. Tiba-tiba aku mendengar suara sesenggukan. Aku menoleh pelan, mencari sumber tangisan. Ibu menangis.

Aku diam. Takut. Tubuhku terasa dingin. Tapi semakin lama, tangisan ibu semakin mengencang. Tubuhnya terguncang hebat mencoba meredam tangis. Aku mendekap Maisaroh. Mencoba menutupi kepalanya dengan selimut agar tidak mendengar suara tangisan ibu. Tapi Maisaroh malah terbangun. Karena takut Maisaroh tahu ibu sedang menangis, aku segera menggendong Maisaroh keluar dari rumah. Beruntung Maisaroh seperti mengerti apa yang sedang kami alami. Ia diam. Ia bahkan terasa ringan di gendonganku.

Di depan rumah, bapak duduk diam sambil kemulan sarung. Ia diam ketika melihat aku menggendong Maisaroh. Ia tetap diam melihat aku melangkah ke jalan kampung. Aku bingung hendak ke mana. Kakak perempuanku seperti biasa sedang tidak ada di rumah. Ia sedang ikut pelatihan.

Aku menuju ke posko kampung. Di sana penuh dengan pemuda kampung yang sedang bernyanyi. Semakin mendekati posko itu, aku langsung mual dengan bau menyengat, seperti bau bensin. Begitu kakak laki-lakiku tahu aku datang bersama Maisaroh, ia segera berteriak menyuruhku pergi. Matanya merah, suaranya serak.

Aku pergi ke posko anak. Di sana sepi sekali. Akhirnya aku memutuskan untuk tidur di sana. Tetapi baru saja mendekati posko anak itu, aku mendengar suara-suara aneh. Suara dengus napas, rintihan dan kecipak mulut. Pelan aku mengintip ke dalam ruangan. Dalam temaram malam, aku melihat dua orang, sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku takut sekali. Mbak Dane dan Mas Gandung sedang bertengkar dan saling menggigit. Aku lalu berlari menjauhi posko anak.

Akhirnya aku berlari ke arah sawah. Maisaroh tetap diam. Sesampai di pinggir sungai kecil, aku berhenti. Meletakkan Maisaroh ke tanah. Maisaroh diam. Dalam temaram cahaya bulan, aku melihat mata Maisaroh berkedip-kedip pelan. Ia memandangku, aku memandangnya. Tiba-tiba aku ingin menangis. Lalu aku memeluk Maisaroh. Tubuhnya dingin. Tubuhku juga terasa dingin. Semua terasa dingin. Ini kali pertama aku menangis tanpa mengeluarkan suara.

Terima kasih sudah berkunjung. Baca juga cerpen Panji Reni Oleh Gunawan Maryanto

SAMBAL KELUARGA OLEH PUTHUT EA


sambal ulek
image saviour angle
Di keluargaku, ada satu jenis sambal yang nyaris tidak pernah absen dari meja makan kami, terutama saat makan pagi. Sambal itu sangat sederhana, baik bahan maupun cara pembuatannya. Beberapa butir cabai hijau, ditambah sepotong kecil bawang putih dengan garam secukupnya, lalu ditetesi minyak goreng panas sisa menggoreng sesuatu. Setelah diulek, sambal itu dihidangkan begitu saja di atas cobek, berbaur dengan menu lain.

Sambal itu bukan menu tambahan atau menu penyempurna. Ia merupakan menu utama. Lauk yang lain seperti tidak ada jika sambal itu tidak hadir, tetapi sambal itu akan tetap menggiurkan dengan iringan lauk yang lain. Sambal itu tetap enak jika disandingkan dengan ayam goreng, telur, atau tempe. Tetap enak sekalipun hanya ada kerupuk atau pete.

Masing-masing anggota keluarga kami mempunyai nama sendiri-sendiri untuk menyebut sambal itu. Yu Sumi, orang yang bertahun-tahun membantu memasak di rumah kami, menyebut sambal itu dengan nama sambal korek. Mungkin karena sekalipun sambal itu sudah tandas, kami tetap mengoreknya dari cobek untuk mencari sisa-sisa. Ibuku memberi nama sambal itu dengan nama sambal galak. Alasannya, sambal itu terasa sangat pedas, galak di mulut. Bapakku menyebut sambal itu dengan nama sambal bahagia. Konon kata bapakku, sambal sederhana itu gampang membuatnya bahagia. Ayundaku, satu-satunya saudara kandungku, menyebut sambal itu dengan nama sambal malas. Maksudnya, sambal itu membuatnya malas untuk menyelesaikan sarapan, selalu ingin menambah nasi. Dan aku memberi nama sambal itu dengan nama sambal asal. Siapa pun orangnya, asal sudah bisa memegang cobek dan ulekan, pasti bisa membuatnya. Kalau sambal itu absen dari meja makan kami saat sarapan, masing-masing kami mempunyai kalimat antik untuk meresponsnya. Ibuku akan berkata, Yu Sumi sedang ngambek. Sedangkan bapakku akan mengatakan kalau penjual cabai hijau sedang menikah. Ayundaku lain lagi, jika sambal itu tidak hadir, ia selalu bilang, sidang kabinet batal. Ayundaku memang senang sekali menonton laporan khusus yang ditayangkan TVRI, terutama kalau Pak Harmoko membacakan harga-harga bahan makanan, termasuk harga cabai. Aku sendiri akan bilang, upacara tanpa bendera. Biasanya, sebelum makan, aku akan mengeluarkan aba-aba untuk diri sendiri jika tidak ada sambal tersebut di meja makan, “Upacara tanpa bendera, mulai!”

Sarapan pagi bagi kami adalah sebuah prosesi yang khusyuk tapi tetap cair dan ringan. Sambal adalah uba-rampe yang tidak bisa digantikan oleh apa pun. Sambal itu telah menjadi sambal keluarga.

Pada saat sarapan, kami juga saling menandai siapa di antara kami yang sedang mempunyai masalah. Kalau ada salah seorang di antara kami tidak antusias berebut sambal dari cobek, pasti ia sedang mempunyai masalah. Pasti.

Sampai aku dan ayundaku besar, sambal keluarga itu tetap menduduki rangking teratas di keluarga kami. Jika kami berkumpul di rumah, menu itu selalu dipastikan ada saat sarapan. Hanya ketika aku dan ayundaku sudah tumbuh besar, kami berdua memberi sebutan yang berbeda lagi untuk menu sambal. Beberapa bulan setelah aku kuliah, aku menyebut sambal itu dengan nama sambal proletar. Sedangkan ayundaku menyebutnya dengan nama sambal kenangan.

Keluarga kami bertemu di meja makan tiga kali dalam sehari. Pagi, ketika ibu-bapakku akan pergi ke kantor dan kami bersiap pergi ke sekolah, lalu siang ketika kami semua sudah tiba dari tempat masing-masing, dan malam hari seusai salat maghrib. Tapi hanya pada pagi hari kami benar-benar seperti “bertemu”. Di siang hari, aku yang satu selera dengan ibuku, lebih memilih santapan sayur asem, sedangkan bapakku dan ayundaku lebih memilih sayur lodeh. Di malam hari, makanan kami lebih sering dibeli dari luar rumah, dan kami pun membentuk konfigurasi selera yang berbeda, aku dan ayundaku lebih suka makan masakan Padang, sementara ibu dan bapakku lebih suka menikmati lontong sayur atau pecel lele.

Tidak bisa kumungkiri, menu makan pagi yang tidak tergantikan itu telah berubah menjadi begitu jauh, penuh dengan isyarat dan petanda yang lembut bagi kami sekeluarga. Seperti menenun sebuah jaringan mental yang gaib dan penuh rahasia.

Kalau ada tamu menginap di rumah kami, tidak peduli apakah itu saudara dekat seperti nenek atau bude, atau teman-teman ibu dan bapakku, bisa dipastikan menu itu bersembunyi, lenyap dari meja makan kami. Seolah kami saling melempar pesan, “Sekarang sedang ada orang lain.”

Hanya ada satu orang saja yang kami percaya untuk mengetahui rahasia lembut itu, Yu Sumi. Dialah yang menguntit proses itu bertahun-tahun, dan ikut menyukseskan ritual sarapan dengan baik. Dan karena itu, ia adalah bagian dari kami.

Dengan pelan dan pasti, aku mulai menyadari bahwa itu bukan sekadar perkara jenis sambal tertentu. Itu lebih rumit dari yang kami rasakan di lidah. Pertama aku menandai itu ketika ayundaku pergi kuliah di luar kota. Tetap ada menu itu di sarapan kami bertiga, tapi tetap seperti tidak biasanya. Dan kami butuh waktu untuk menyesuaikan, dan kami tahu, itu adalah cara menyesuaikan, bukan idealnya. Tiga tahun kemudian, ketika aku menyusul ayundaku kuliah di kota yang sama, tidak jarang kami pun sering mencoba membuat kedua menu itu, hasilnya sama, tidak akan pernah sama persis ketika itu kami santap di rumah bersama ibu dan bapak kami.

Sambal itu baru kami nikmati kembali sebagai sambal keluarga ketika kami berkumpul. Sambal itu bau benar-benar sambal karena ia berada di sana, di sebuah pagi, di rumah kami, ketika kami semua lengkap mengepung meja.

Lalu semua itu berkembang lebih jauh lagi. Aku masih mengingat saat itu, ketika kali pertama ayundaku membawa pacarnya pulang ke rumah, memperkenalkan kekasihnya itu ke kedua orangtua kami. Pagi saat sarapan, ayundaku terlihat sebagai orang yang paling resah. Ia langsung pucat dan tidak berselera, begitu di meja makan, di antara sekian banyak lauk-pauk tidak ada kedua menu itu. Sebuah isyarat telah dilempar ke meja makan. Dan ayundaku begitu lunglai.

Kali kedua ia membawa kekasihnya yang lain, ia pun mengalami hal serupa. Dan itu bukan hanya menimpanya, tetapi juga pernah menimpaku. Sekali menimpaku karena hanya sekali pula aku membawa pacarku pulang ke rumah. Semenjak itu, kami berdua harus berpikir berkali-kali kalau ingin membawa pacar kami pulang ke rumah.

Setelah mengalami ketiga kejadian itu, aku memberi nama sambal itu dengan nama sambal ujian, sementara ayundaku memberi nama sambal maut. Perubahan penyebutan itu hanya membuat kedua orangtuaku tersenyum ringan dan tetap tenang.

Saat kami berdua tidak tinggal serumah lagi dengan kedua orangtua kami, memakan sambal dengan lahap ketika berkumpul bersama keluarga menjadi semacam registrasi ulang untuk mengukuhkan sesuatu yang kami anggap penting. Sarapan pagi adalah ritual validasi atas diri kami berdua, aku dan ayundaku. Suatu kali, ketika hampir dua tahun ayundaku tugas belajar ke luar negeri, begitu pulang ke Indonesia ia langsung mengajakku pulang ke rumah. Paginya, dalam suasana makan pagi yang hangat, ayundaku menyantap sambal keluarga itu dengan cara yang tidak pernah ia lakukan. Kupikir, ia bukan sekadar rindu pada sambal dan suasana di keluarga kami, tapi juga dalam rangka menunjukkan sesuatu yang penting untuk disampaikan. Hasilnya, ia tidak makan siang dan tidak makan malam karena kekenyangan dan perutnya panas. Tapi keesokan harinya, ia tetap menyantap sambal itu dengan antusiasme yang tidak kalah dari pagi sebelumnya.

Dua tahun yang lalu, akhirnya, satu orang lagi menjadi bagian dari keluarga kami. Mas Rudi, yang sekarang menjadi suami ayundaku, lolos dari pedas sambal maut. Ketika pagi itu, ayundaku melihat sambal keluarga terhidang di atas cobek saat makan bersama, ia tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Ia langsung memekik dan mencium ibu-bapakku, dan merangkul Mas Rudi. Tentu saja Mas Rudi yang tidak tahu apa-apa hanya bengong.

Kini, mereka berdua telah dikarunia seorang putri yang lucu, dan sekalipun keponakanku itu mempunyai nama panjang yang bagus, toh ayundaku memanggil anaknya dengan panggilan sayang: Mbal….

Pagi ini adalah pagi yang paling membuatku salah tingkah. Ayundaku, Mas Rudi, dan putri mereka ramai bermain di beranda depan. Ibuku sedang mempersiapkan sarapan buat kami di dapur. Hanya bapakku yang tidak terlihat. Sementara Dian, kekasihku, masih berada di kamar. Sesekali, ayundaku masuk ke ruang tamu, tempat di mana aku mencoba mengatasi perasaanku yang serba tidak menentu. Beberapa kali ayundaku memberi isyarat supaya aku tenang. Bahkan tidak segan ia menepuk pundakku, seakan memberi semangat dan ketenteraman bahwa pagi ini, semua akan baik-baik saja.

Kemarin, ayundaku beserta suami dan putri mereka berkunjung ke rumah orangtua kami. Mereka dipanggil pulang ke rumah oleh ibuku setelah aku dan Dian memastikan bahwa kami berdua akan datang. Ini kali pertama Dian kuajak ke rumahku, dan ini berarti drama sambal keluarga akan dimulai.

Setahun lebih aku menjalin hubungan dengan Dian, dan baru kali ini aku memberanikan diri mengajaknya mengunjungi kedua orangtuaku. Hampir semua hal telah kami bicarakan berdua, kecuali satu hal: sambal keluarga.

Semalam, kami semua telah berkumpul. Semalam, suasana begitu akrab sehingga seharusnya aku tidak perlu terlalu khawatir akan drama pagi ini. Tapi bukankah seperti itu yang dulu terjadi kepada kedua mantan kekasih ayundaku dan mantan kekasihku? Malam yang nyaman, bukan berarti sebuah tiket yang bisa menentukan apa yang terjadi di pagi harinya.

Dian keluar dari kamarnya. Ia menemuiku, dan bilang akan membantu ibu di dapur untuk mempersiapkan sarapan. Tapi sebelum aku mengiyakan, ibu sudah memanggil-manggil kami dari dapur. Perasaanku semakin kocar-kacir, pikiranku semakin kacau. Ayundaku bersama Mas Rudi dan putri mereka segera masuk ke gelanggang pementasan. Dian memberi isyarat agar kami berdua segera menyusul ke dapur.

Pelan aku bangkit dan menggandeng tangan Dian. Pada tangan itu, aku ingin memastikan dan memperkuat sesuatu yang serba tidak menentu. Aku mendengar suara ramai di dapur, suara keponakanku ditimpali suara ayunda dan ibuku. Suara yang ringan dan bingar. Beberapa meter dari ruang makan, aku melihat semua sudah menempati kursi masing- masing, hanya Mas Rudi yang masih menggendong putrinya sambil terus bercanda. Bapakku yang dari pagi tidak kulihat juga sudah berada di sana, sementara Yu Sumi masih kulihat sibuk di dapur yang terletak bersebelahan dengan ruang makan.

Pelan kami berdua masuk, menuju tempat duduk yang tersisa. Dan mataku menyapu sajian di meja makan….

Jantungku berdetak mengencang dan mengeras. Kusapu berkali-kali dan kuperiksa dengan seluruh perhatianku, tetap saja aku tidak menemukan satu menu yang paling kutunggu-tunggu. Tubuhku terasa ringan. Tapi aku berusaha tetap tenang, dan duduk di kursiku. Yu Sumi masih melakukan sesuatu di dapur, mungkin masih di sana…. Semoga….

Rasa tidak menentu juga kulihat di raut muka ayundaku. Mas Rudi, orang yang akhirnya tahu tentang drama sarapan ini, setelah mengambil makanannya, keluar dari ruang pentas. Ia memberi alasan akan menyuapi putrinya di beranda. Tapi aku memaklumi, ia sedang tidak ingin mencampuri satu peristiwa yang mungkin tidak mengenakkan hatinya.

Sarapan dimulai. Tanganku gemetar, aku tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun. Berkali-kali, aku melihat ayundaku juga berusaha menghilangkan ketegangan dengan cara menarik napas dalam-dalam. Sementara ibu dan bapakku terlihat seperti biasa, tenang dan ramah. Dan Dian…, ia juga tenang.

Yu Sumi datang membawa sesuatu. Harapanku bangkit. Tapi setelah tahu apa yang ada di tangannya, yang kemudian diletakkannya di meja, kembali gelombang harapan itu kandas seketika. Kali ini, Dian melihatku dengan heran. Tapi ia meneruskan mengambil lauk yang ada di meja.

Percakapan-percakapan ringan mulai hadir. Ibuku bicara, bapakku bicara, Dian menjawab dan menimpali. Ayundaku sesekali ikut ambil bagian. Hanya aku yang belum mengeluarkan sepatah kata pun.

Yu Sumi datang lagi, ia membawa sesuatu. Harapanku naik lagi. Tapi lagi-lagi, ia tidak membawa sesuatu yang kuharapkan. Saat tahu itu, aku hanya punya satu pikiran… habis… aku habis!

Tapi tepat di saat pikiran buruk itu menguasaiku, ibuku bangkit. Ia menuju dapur. Tidak lama kemudian ia masuk lagi membawa cobek. Aku hampir memekik, tapi aku ingin memastikan sesuatu di dalamnya. Dan apa yang kuharapkan ada di sana, sambal keluarga datang!

Ibuku tersenyum. Bapakku tersenyum. Ayundaku bahkan langsung berteriak girang. Sementara aku menahan diri untuk tidak berteriak, tapi mengulum senyum lega. Dian juga tersenyum, aku tidak tahu apa maksud senyumnya.

“Mbak Dian, sambal… ini sambal keluarga kami,” ibu mengeluarkan suara.

“Iya, Dian. Sambal ini enak sekali,” ayundaku menimpali sambil tangannya mengeruk sambal dengan sendok dan menjatuhkan sambal itu di piringnya.

Aku yang begitu girang, masih berusaha menahan semuanya. Dadaku dipenuhi rasa syukur.

“Iya, Bu… saya juga suka sambal ini. Saya sering membuatkan sambal ini untuk eyang kakung saya…,” sambil berkata seperti itu, Dian mengambil sesendok sambal.

Aku benar-benar lega. Semua terasa lapang dan ringan.

Tapi beberapa detik kemudian, aku merasa ada yang berhenti di ruang makan ini. Aku melihat mata ayundaku terhenti pada sesuatu. Aku melihat mata ibuku juga terhenti pada sesuatu. Aku memastikan apa yang terjadi dengan itu semua….

Napasku seperti berhenti. Aku melihat satu adegan ringan tapi tajam. Tangan Dian mengambil sebotol kecap, dengan pelan ia menuangkan kecap itu di atas sambal yang sudah berada di piring makannya. Dengan tenang ia berkata, “Tapi saya paling suka kalau ditambah kecap.”

Aku diam. Ayundaku diam. Ibuku diam. Bapakku diam. Semua diam. Ibuku tersenyum. Bapakku tersenyum. Mereka berdua kembali mengeluarkan kalimat-kalimat ringan untuk mencairkan suasana.

Dian tetap makan dengan tenang, sambil sesekali menimpali pembicaraan.

dian

sambal muncul dengan dramatis

gembira

dian menuangi sambal yang diambilnya dengan kecap!