loading...

LARA LANA OLEH DEE

wanita berjalan di bandara
image destination
Sederet angka mencuat dari kertas putih, menusuk mata Lana. Ada sebersit takjub juga ngeri. Seberantakangnya yang susah dihafal mampu membongkar kengan usang dan memberinya makna baru. Dia yang baru. Aku yang usang.

Ruang tunggu selalu memancing dilemma dalam hatinya, tapi tidak pernah seperti ini. Lana betul-betul tergerak untuk menelpon. mungkin karena Lana sudah tak yakin kapan akan kembali, akankah dirinya kembali.

Lana memencet empat angka pertama dari sepuluh digit yang tertera. Dadanya berdegup kencang sampai sakit rasanya. Bibirnya bergetar resah, mengantisipasi. Begitu terdengar nada sambung nanti, Lana siap berekspresi layaknya pose untuk berfoto yang terakhir kali, kata ‘apa kabar’ akan meluncur dengan semangat penghabisan mentari sore sebelum dipadamkan malam. Lalu ia lancarkan sepaket basa-basi dalam urusna yang tepat, seperti yang selalu dilatihkannya dalam hati sebelum lelap tidur, agar percakapan mereka tercatat sejarah sebagai yang paling mengasyikkan.

Lalu perasaan itu. rasa rindu yang akan ia ungkap hati-hati, dicicil sehingga tidka terasa picisan. Rasa sayang dikemas dalam kiasan seperti membungkus puteri dalam faun pesta lalu dilepas anggin ke lantai dansa. Cantik mengundang tapi membuat segan. Semua itu telah dilatihkannya berhari-hari. Bertahun-tahun.

Dua angka sebelum digit terakhir. Jarinya tertahan oleh detik yang tahu-tahu beku. Detik yang rahu-tahu melebar dan membentangkan dua puluh tiga tahun perkawanan. Dia selalu memuja Lana, begitu kata semua orang. Tapi mereka tidak bisa bersama karena alasan yang tak perlu dipertanyakan lagi. kamu itu bajai bermesin BMW, begitu Lana mengungkapkan padanya saat didesak.

Lana kenal banyak BMW bermesin bajai, dan semua itu habis ia hina-hina. Untuk benar-benar bersading sebagai pacar Lana, seseorang harus jadi mobil mewah Eropa luar dalam. lana yang unik dan glamor. Kamu cukuo jadi kacung inteletualku saja, kata Lana padanya. Mereka berdua lantas tertawa-tawa, mereka suka perumpaan itu, sekalipun hatinya patah setiap kali kata ‘kacung’ terlontar dari bibir Lana yang menguncup menggemaskan.

Dia ingi jadi pendekat sakti, seorang master, ilmuwan kaya raya yang menciptakan temuan-temuan hebat utnuk memajukan umat manusia. Lanan ingin jadi anggota dari kelompok ultraelit yang memperoleh teknologi dari makhluk Mars untuk membangun koloni rahasia d bulan. Mereka percaya teori konspirasi dan secara cerkala bertukar informasi yang diakrang sendiri. tak ada orang lain yang mampu menghibur Lana sebegitu sempurna, memuaskan rasa himornya, menjajal daya khayalnya.

Masa kuliah mereka habiskan di tempat berbeda. Dia kuliah di UI dan untuk itu terpaksa menumpang di dapur pamannya di Lenteng Agung karena beliau beranak delapan danitulah satu-satunya tempat yang masih muat digelari kasur. Lana kuliah di USC yang mengharuskannya tinggal di Los Angeles. Sama-sama ‘LA’, baru kalau diuraikan perbedaan kelasnya terlihat, canda mereka selalu. Namun ada kalanya persamaan insignifikan itu, aksara L dan A, menjadi satu-satunya penghibur kala kangen mereka tak lagi terbendung.

Lana tidak menyelesaikan kuliahnya di USC, dan itu tidak masalah. bisnis keluarganya terlalu banyak untuk menunggu sebuah gelar kesarjanaan. Lain halnya dengan dia yang mncicil gelar demi gelar, mengetuk banyak pintu demi beasiswa, lalu kembali berjuang meniti karier akademis yang terjal, yang tak akan pernah mebuatnya sekaya raya Lana.

Saat dia menjadi dosen, hidup sederhana dalam rumah cicilan tipe 36 di perumahan milik universitas yang sebagian masih rawa-rawam Lana membantunya pindahan, bahkan menginap dan ikut tidur di atas tikar. Pendar-pendar televise pemberiannya menyemarakkan dinding polos yang tak berhias. Lana tidak punya koloni di bulan, tapi penghasilannya lebih dari cukuo untuk menghadiahkan telebisi.

Lana tingga seminggu di rumah itu. setelah kita mencoba hidup 24 jam x7 hari dengan seseorang dan tidak merasa bosan maka orang itu bisa kita nikahi, Lana berteori. Mendengar ucapan Lana, ia tertawa sampai berurai air mata, diikuti Lanan sampai terceking-cekik. Saya tidak mungkin menikahi kamu, ia berceletuk di ujung tawanya. Barulah Lana sadar mereka berdua tertawa karena alasan yang berbeda.

Satu hari dia bilang kalau dia punya pacar. Baru seminggu. Semorang gadis tingkat akhir yang lugu, kaku, dan tidak seru. Tidak percaya UFO, tidak suka Kho Ping Hoo, dan tidak peduli ada tidaknya konspirasi global selama nasi tersaji di meja makan keluarganya setiap hari, selama adzan masih berkumandang lima kali sehari. Kenapa kamu bisa suka, Lana bertanya. Karena dia mau sama saya, ia menjawab, Lana spontan tertawa keras dan lama. ia hanya tersenyum dan menunggu tawa lana Usai. Saya akan menikah, lanjutnya saat hening. Bagaimana kamu bisa menikahi orang yang baru kamu kenal, tah tak seru, yang tak bisa menghargai keunikan pikiranmu, yang tak bisa kamu ajak bercanda dan berkhayal semalam suntuk, cecar Lana yang mulai marah karena percakapan itu makin tidak lucu.

Dia diam, menatap Lana dengan lelah. Dia jemu menanti yang tak pasti. Dia jenuh menjadi pihak yang tak berdaya. Manusia mana yang tidak, pikir Lanan. Namun dirinya tak bisa berbuat apa-apa. Keadaan mereka terlampau jauh berbeda. Terkadang Lana berpikir keajaibalah yang melhirkan manusia satu itu. bagaimana mungkin lingkungan serba kekurangan, kolot, konservatif, ortodoks, kampungan, dan segla ajektif yang mendakan sindrom klaustrofobiks sosial, mampu menghadirkan dia yang sebegitu cangguh dan gila. Seolah dia terselah dalam dua dunia, dunianya bersama Lana, dan bersama sisa dunia tanpa Lana.

Lana ingat saat terakhir kali nomor itu tertera di layar ponselnya: Besok saya lamaran. Doakan, ya. Lana tergeli sendiri, apa yang haru didoakan? Hidup berjalan sesuai kontrak yang disepakat antar-roh sebelum terlahir jadi daging ke dunia. Apa pun yang terjadi bukanlah keberuntungan atau kesialan, melainkan eksekusi kontrak belaka. Jadi, apakah seseorang bisa dibilang sial kalau sebenarnya kesialan itu direncanakan? Lana tambah stress saat pertama kali mendengar konsep itu di retret antistres.

Akhirnya Lana tak tahan lagi, menelpon membabi buta: Saya mohon, jangan pergi melamar ke sana. Kalau kamu menikah, saya akan jado orang paling kesepian di dunia. Kalau perlu saya yang melamar ke orang tua kamu. Jangan bohongi diri kamu. Cuma saya yang mengerti siapa sebetulnya kamu…

Ia memotong, dingin, seolah disusupi roh asing yang tak lana kenal: Selama ini kamu Cuma mengenalku dalam versi kamu mau. Aku begitu karena kamu. Kamu tidak pernah tahu siapa diriku sebenarnya.

Baca juga cerpen Semangkok Acar untuk Tuhan

Lana menggeleng. Tidak mungkin. Barangkakali ia salah sambung. Perjanjian maca apa ini? benarkan ini roh yang sama, teman sebangkunya sejak SMA, yang selalu berkata mereka adalah sejiwa terbelah dua, soumate? Lana menutup telepon. Aku ditipu. Breach of contract.

Anaknya yang paling besar sudah mau SD, mereka masih tinggal di rumah yang sama. Lana tahu itu dari seorang alumni. Dan kamu belum menikah? Temannya itu bertanya, hati-hati. Lana menggeleng ringan dengan ekspresi yang bikin iri. Ada kemerdekaan di sana, penerimaan, dan keberanian untuk menjadi beda. Sejak dulu memang Cuma Lana yang punya itu semua, temannya membatin. Bergaul dengan Lana seperti hanyut dalam air sejuk, tapi kesejukan itu lama-lama menjadi dingin yang mengintimidasinya. Temannya pun permisi pergi, meininggalkan Lana yang kehilangan belahan jiwanya pada reuni akbar, pada saat jiwa-jiwa yang terpisah seharusnya kembali bertemu.

Digit terkahir. Jatuh pada angka nol. Jempol Lana gemetar seolah dibebani bergunung-gunung sampah batin yang dikoleksinya sepanjang hayat. Hatinya lalu mengukur dan menimbang: akankah aku bertambah tenang bila berhasil membuktikan pada diriku, pada dia, pada dunia, kalau aku baik-baik saja?

Satu percakapn telepon akan membuktikannya. Satu dosis kejujuran sebelum Lana pergi meracuni tubuh dengan kemoterapi, racun yang berbohong jadi obat.

Jempot itu melayang di atas nol. Kejujuranlah obat sejati.

Suara sintetik bernada tinggi menggema di ruang tunggu yang lengang. Tombol terakhir dipencet sudah. Aku mencintaimu. Tidak akan berubah.

Tombol merah yang Lana pilih menghapus kesembilan digit angka pada layar ponsel yang menyala biru. Seorang perempuan berseragam menghampirinya, ‘Bapak Maulana, mari saya antar ke pesawat.’

Lana tidak terburu-buru. Tangannya bergerak pelan dan khidmat. Pesawat itu pasti mau menunggu seseorang pesakitan untuk melipat dan menyimpan secari kertas ke dalam dompet, sebagaimana kertas itu sudah terlipat dan menunggu bertahun-tahun di tempat sama. Lalu Lana beringsut hati-hati ke kursi roda yang dibawakan khusus untuknya.

‘Tidak apa-apa, Pak?’ petugas itu bertanya saat melihat mata Lana.

Lana tersenyum tipis, ringan, ekspresi yang memancing rasa iru. Ada kejujuran di sana, kepasrahan, dan keberanian utnk menjadi beda. Namun ada juga bulatan air menyerupai angka nol yang menyembul di pelupuk mata. Lana menghancurkan bulatan itu dengan punggung tangan, ‘Tidak apa-apa.’

Baca juga biografi Dewi Lestari. Dan cerita pendek menarik lainnya
LARA LANA OLEH DEE LARA LANA OLEH DEE Reviewed by Unknown on 12:37 AM Rating: 5

No comments:

Powered by Blogger.